• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan Makna Tradisi Perayaan Bakar Tongkang Pada Masyarakat Tionghoa Di Kota Bagansiapiapi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perubahan Makna Tradisi Perayaan Bakar Tongkang Pada Masyarakat Tionghoa Di Kota Bagansiapiapi"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

PERUBAHAN MAKNA TRADISI PERAYAAN BAKAR TONGKANG PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA BAGANSIAPIAPI

SKRIPSI SARJANA

O

L

E

H

NAMA: ELY SOVITA

NIM: 080710021

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

PROGRAM STUDI SASTRA CINA

MEDAN

(2)

PERUBAHAN MAKNA TRADISI PERAYAAN BAKAR TONGKANG PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA BAGANSIAPIAPI

SKRIPSI SARJANA

O

L

E

H

NAMA: ELY SOVITA

NIM: 080710021

Disetujui oleh:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dra.Farida Hanum Ritonga, MSP Chen Shu Shu MTSOL

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

PROGRAM STUDI SASTRA CINA

MEDAN

(3)

DISETUJUI OLEH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

PROGRAM STUDI SASTRA CINA KETUA,

(4)
(5)

KATA PENGANTAR

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya buat ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.

Medan, Juni 2012

Penulis,

(6)
(7)

ABSTRACT

This thesis is made to analyze the changing meaning of burning barge ceremony at Tionghoan’s community in Bagansiapiapi. In studying the meaning, the writer uses the semiotic theory by Barthes. In analyzing the changing meaning of burning barge ceremony, the writer uses the social and culture changing theory by Karl Marx. The research method which used is the qualitative research method based on field research, interview, observation, participant observer, and take a key person which considered knows well about this tradition. The scientific findings at this research are:

A. This ceremony done by the Tionghoan’s community of Bagansiapiapi is a form of thanksgiving to the Holy God Kie Ong ya and Tai Sun Ong Ya which is believed that the Gods have protected the ancestors until find Bagansiapiapi

B. Nowadays, the changing meaning of this tradition done tend to inheritable tradition and also as the tourism icon of Bagansiapi-api.

(8)

KATA PENGANTAR

Pertama sekali penulis mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan limpahan berkat dan kekuatan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakulta Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara,Medan. Dengan judul skripsi : Perubahan Makna Tradisi Perayaan Bakar Tongkang Pada Masyarakat Tionghoa Di Kota Bagansiapiapi.

Untuk itu pada kesempatan kali ini, penulis hanya bisa mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak dan nama di bawah ini yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, diantaranya kepada :

1. Dr. H. Syahron Lubis, M.A., selaku Dekan Fakulta Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A., selaku ketua Program Studi Sastra China Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Farida Hanum Ritongga, MSP., selaku dosen pembimbing I, yang telah member dukungan, masukan dan motivasi dalam penyelesaian skripsi ini serta kesabaran membimbing penulis.

4. Laoshi Chen Shu Shu, MTSOL dan Laoshi Yu Xue Ling, M.A., Selaku dosen dari Jinan University yang selalu mendukung penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

5. Bapak dan Ibu staf pengajar Program Studi Sastra China Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengajaran selama penulis mengikuti perkuliahan.

6. Orang tua tercinta, ayahanda A.Siahaan,SH (Alm), dan ibunda N.Hutahaean yang setia mendampingi penulis saat menulis skripsi hingga larut malam, serta dukungan moral, materi, kasih saying dan doa yang selalu dilimpahkan kepada penulis.

(9)

8. Sahabat tercinta Reny Syafrida,SS, Yoan silviana,SS, Taufik Akbar,S.Ked, terimakasih atas kebersamaan kita, suka cita yang telah kita lalui bersama dan semua cerita yang telah kita ukir bersama hingga pada saatnya kita semua menyandang gelar sarjana.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa penelitian ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca yang sifatnya membangun untuk menyempurnakan skripsi ini.

Medan, Juni 2012

Penulis

(10)

DAFTAR ISI

ABSTRAK I

KATA PENGANTAR Ii

DAFTAR ISI Iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masalah………... 1 1.2 Batasan Masalah………. 6 1.3 Rumusan Masalah………... 7 1.4 Tujuan Penelitian……… 1.5 Manfaat Penelitian……….. 7 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP , LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Konsep………

9

2.1.1. Tradisi Ritual Bakar Tongkang……….

9

2.1.2. Masyarakat

Tionghoa………..

11

2.2. Landasan

Teori……….

12

2.3. Tinjauan

Pustaka………...

16

BAB III Metode Penelitian 3.1 Metodologi Penelitian………... 17 3.1.1. Pendekatan……….. 17

(11)

3.1.3. Teknik Analisis Data……….. 19 3.1.3.1. Wawancara……… 19 3.1.3.2. Observasi………... 20

BAB III METODE PENELITIAN 17

3.1 Metodologi Penelitian……… 17 3.1.1. Pendekatan………... 17 3.1.2. Teknik Pengumpulan

Data………..

18 3.2.3. Teknik Analisis

Data……… 3.2.3.1. Wawancara……….. 19 3.2.3.2. Observasi……… 20 3.2. 3.3. Studi

Kepustakaan……….

20 3.3. Data dan Sumber

Data………

21 3.4. Teknik Analisis

Data……….

22

3.5. Lokasi

Penelitian………..

BAB IV PEMBAHASAN

23

4.1. Masyarakat Tionghoa di Bagansiapiapi………. 24 8.2. Bakar Tongkang……….

4.2.1. Sejarah Bakar Tongkang……….

26 8.3. Makna Bakar

Tongkang………..

(12)

Lokal………..

4.3.1.1. Prosesi Ritual Tanki………

30 4.3.1.2. Makna Peran

Tanki……… 34 4.3.2. Perayaan Kehidupan………. 41 8.4. Perubahan Makna Tradisi Perayaan Bakar Tongkang

Pada Masyarakat Tionghoa Di Kota Bagansiapiapi……….

42

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan……… 45 5.2 Saran……….. 48

Daftar Pustaka 49

Buku dan artikel 50

Internet 50

(13)

ABSTRACT

This thesis is made to analyze the changing meaning of burning barge ceremony at Tionghoan’s community in Bagansiapiapi. In studying the meaning, the writer uses the semiotic theory by Barthes. In analyzing the changing meaning of burning barge ceremony, the writer uses the social and culture changing theory by Karl Marx. The research method which used is the qualitative research method based on field research, interview, observation, participant observer, and take a key person which considered knows well about this tradition. The scientific findings at this research are:

A. This ceremony done by the Tionghoan’s community of Bagansiapiapi is a form of thanksgiving to the Holy God Kie Ong ya and Tai Sun Ong Ya which is believed that the Gods have protected the ancestors until find Bagansiapiapi

B. Nowadays, the changing meaning of this tradition done tend to inheritable tradition and also as the tourism icon of Bagansiapi-api.

(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Budaya atau kebudayaan berasal daribuddhayah,

yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai

hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia (Koentjaraningrat, 1982:9).

Dalamculture, yang berasal dari kat

colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah

tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur"

dalam bahasa Indonesia.

Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai sebuah system, dimana system itu

terbentuk dari perilaku, baik itu perilaku badan maupun pikiran. Dan hal ini

berkaitan erat dengan adanya gerak dari masyarakat, dimana pergerakan yang

dinamis dan dalam kurun waktu tertentu akan menghasilkan sebuah tatanan

ataupun system tersendiri dalam kumpulan masyarakat. Seperti yang dikatakan

oleh Koentjaraningrat (1987:98),”…kebudayaan adalah keseluruhan system

gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat

yang dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar.”

Setiap masyarakat memiliki kebudayaan masing-masing. Mayarakat

Tionghoa sangat kaya akan kebudayaan tradisi dan kepercayaan. Mereka selalu

(15)

kita melihat suatu kegiatan budaya di kalangan masyarakat Tionghoa, kita sulit

memisahkan dan membedakan dengan jelas apakah itu tradisi atau agama atau

kepercayaan.

Dari sekian banyak tradisi yang mereka miliki. Etnis Tionghoa mempunyai

berbagai macam tradisi. Hingga saat ini masyarakat Tionghoa masih melestarikan

tradisi bakar bakaran. Sama halnya dengan masyarakat Tionghoa baik yang

berasal dari kota Bagansiapiapi maupun yang berada diluar kota Bagansiapiapi,

sampai saat ini masih melaksanakan tradisi peninggalan leluhur yaitu tradisi ritual

bakar Tongkang. Ritual pembakaran replika tongkang di kota Bagansiapiapi,

Kabupaten Rokan Hilir (Rohil) telah menjadi perhelatan akbar setiap tahun,

diperkirakan ribuan masyarakat Tionghoa dari berbagai daerah datang untuk

mengikuti tradisi ritual bakar tongkang ini.

Bagansiapiapi adalah sebuah daerah di Indonesia yang pendudukya

mayoritas bersuku China. Hal ini sebenarnya merupakan kenyataan yang cukup

mencengangkan bagi masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa, karena sebuah

wilayah di Indonesia didominasi oleh etnik non-pribumi. Menurut cerita

masyarakat Bagansiapiapi dari generasi ke generasi, nama Bagansiapiapi erat

kaitannya dengan cerita awal kedatangan orang Tionghoa ke kota itu.

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan narasumber yang bernama bapak

Khong ci dikatakan bahwa orang Tionghoa yang pertama sekali datang ke

Bagansiapiapi berasal dari daerah Songkhla(Thailand). Mereka sebenarnya

adalah perantau-perantau Tionghoa yang berasal dari Distrik Tong'an (Tang Ua)

(16)

orang-orang Tionghoa dengan penduduk Songkhla, Thailand dan hal inilah

menjadi penyebab terdamparnya mereka di Bagansiapiapi.

Disebutkan bahwa orang-orang Tionghoa melakukan pelarian dengan

menggunakan tiga perahu kayu (tongkang). Selama dalam perjalanan ketiga

perahu tongkang tersebut banyak mengalami masalah sehingga hanya satu

tongkang yang selamat. Tongkang yang selamat adalah tongkang yang dipimpin

oleh Ang Mie Kui bersama 17 orang penumpang lainnya. Tongkang yang selamat

ini kebetulan membawa serta patung Dewa Tai Sun Ong Ya yang diletakkan di

bagian haluan dan patung Dewa Kie Ong Ya yang ditempatkan dalam

magun/rumah tongkang.

Menurut kepercayaan masyarakat Tionghoa di kota Bagansiapiapi, patung

dewa Kie Ong Ya dan Tai Sun Ong Ya ini yang telah memberi keselamatan selama

pelayaran itu. Setelah berhari-hari di lautan akhirnya mereka diberikan petunjuk

oleh sang dewa, dari kejahuan mereka melihat cahaya api yang berkerlap-kerlip

sebagai tanda adanya daratan. Cahaya api itu ternyata berasal dari kunang-kunang

(siapiapi) yang bertebaran di antara hutan bakau yang tumbuh subur di tepi pantai.

Di daerah tidak bertuan inilah mereka mendarat dan membangun tempat

pemukiman baru yang kemudian dikenal dengan nama Bagansiapiapi.

Para leluhur orang Tionghoa yang menemukan Bagansiapiapi, bertekad

untuk berdiam disitu dan tidak kembali ke tempat asal mereka semula. Untuk itu,

tongkang yang mereka pakai hingga bisa mendarat di daerah tersebut, akhirnya

(17)

an, leluhur Tionghoa yang telah berada di Bagansiapiapi, tetap dapat

tinggal di daerah tersebut untuk selamanya.

Ritual Bakar Tongkang adalah upacara peringatan atas Dewa Laut Ki Ong

Ya dan Tai Su Ong yang merupakan sumber kekuatan atas dua sisi, yakni antara

baik dan buruk, suka dan duka, serta rezeki dan malapetaka.Masyarakat Tionghoa

di kota Bagansiapiapi percaya bahwa dewa Ki Ong Ya dan Tai Sun Ong Ya telah

membawa para lelulur dengan selamat hingga sampai dan menetap di Kota

Bagansiapiapi, setelah akibat terjadinya perang saudara di Tiongkok beberapa

ratus tahun lalu.

Acara ritual bakar tongkang sendiri tidak langsung muncul ketika

keluarga Ang mendaratkan kakinya di Bagansiapiapi. Acara bakar tongkang

diperkirakan baru dikenal pada tahun 1920-an atau sekitar 100 tahun

setelah pendaratan pertama. Ketika itu pelabuhan Bagansiapiapi telah

menjadi pelabuhan yang sangat terkenal di Selat Malaka. Menurut hasil

wawancara penulis dengan nara sumber yang bernama bapak Kong Ci dikatakan

bahwa acara bakar tongkang merupakan wujud rasa terima kasih warga Tionghoa

perantau untuk rezeki yang berlimpah, terutama kepada Dewa Kie Ong Ya yang

telah memberi petunjuk.

Bakar tongkang atau dalam istilah Tionghoa disebut "Go Ge Cap Lak",

dapat diartikan dengan tanggal 15-16 bulan 5 tahun Imlek. Atas dasar inilah,

(18)

Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, acara bakar tongkang sempat

menghilang. Penguasa Orde Baru kurang suka dengan acara yang dibuat

oleh masyarakat yang menganut agama Khonghucu.

Sejak era Presiden Abdurrahman Wahid, tradisi orang Tionghoa dari

agama Khonghucu kembali hidup. Bagi warga Tionghoa di kota Bagan Siapi-api,

perayaan ritual bakar tongkang jauh lebih besar bila dibandingkan dengan

perayaan Tahun Baru Imlek. Saat perayaan Tahun Baru Imlek banyak perantau

Tionghoa yang tidak pulang, tetapi pada saat acara ritual bakar tongkang

keinginan mudik jauh lebih besar.

Nilai-nilai luhur dan kearifan sosialnya Go Ge Cap Lak mempererat tali

persaudaraan dan kebersamaan serta kepedulian yang terus menyala dan menjadi

tradisi pulang kampung untuk memuliakan sanak saudara, kerabat dan handai

tolan Go Ge Cap Lak menjadi festival perayaan tradisi dan kepercayaan lokal

yang memberi semangat spiritualitas untuk kehidupan bersama yang membentuk

kesetiakawanan, peduli kepada sesama. Go Ge Cap Lak dapat dikatakan dapat

merangkul leluhur secara spiritual baik berdasarkan pertalian darah maupun

berdasarkan hubungan tradisi dan kepercayaan lokal.

Tradisi bakar tongkang yang dilakukan setiap tahun mengalami

perkembangan yang begitu pesat, bahkan berdampak pada perubahan makna pada

ritual bakar tongkang itu sendiri. Bagi etnis Tionghoa Bagansiapiapi generasi

yang sekarang, baik yang masih menetap dikota Bagansiapiapi maupun yang telah

merantau keluar kota Bagansiapiapi kini sudah mulai kurang memahami makna

(19)

generasi sekarang Tradisi Bakar Tongkang kini hanyalah suatu tradisi yang

dilakukan secara turun menurun. Adapun terdapat banyak faktor yang

mempengaruhi perubahan makna Tradisi Ritual Bakar Tongkang itu sendiri. Oleh

sebab itu untuk mengetahui lebih dalam lagi tentang perubahan makna tradidi

perayaan bakar tongkang pada masyarakat Tionghoa di kota Bagansiapiapi

penulis berniat untuk melakukan suatu penelitian ilmiah yang memfokuskan

tulisan ini pada perubahan makna tradisi perayaan bakar tongkang pada

masyarakat Tionghoa di kota Bagansiapiapi sebagai penelitian.

Dengan demikian penulis membuat judul penelitian ini “ Perubahan Makna Tradisi Perayaan Bakar Tongkang Pada Masyarakat Tionghoa Di Kota Bagansiapiapi

1.2. Batasan Masalah

Untuk menghindari batasan yang terlalu luas sehingga dapat mengaburkan

penelitian, maka penulis mencoba membatasi ruang lingkup penelitian pada

kajian mengenai makna tradisi ritual bakar tongkang pada masyarakat Tionghoa

(20)

1.3. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah penulis kemukakan di atas beberapa

masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana makna tradisi perayaan ritual bakar tongkang pada masyarakat

etnis Tionghoa di kota Bagansiapiapi ?

2. Bagaimana perubahan makna tradisi perayaan ritual bakar tongkang pada

generasi sekarang masyarakat etnis Tionghoa di kota Bagansiapiapi dewasa

ini?

1.4. Tujuan Penelitian

Secara khusus penelitian ini bertujuan :

1. Untuk mendeskripsikan makna tradisi perayaan ritual bakar tongkang bagi

masyarakat Tionghoa di kota Bagansiapiapi.

2. Untuk mengetahui perubahan makna yang terjadi pada tradisi perayaan ritual

bakar tongkang bagi generasi muda masyarakat etnis Tionghoa di kota

Bagansiapiapi.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi ataupun memberikan

informasi bagi masyarakat secara umum maupun mahasiswa yang

berminat terhadap tata cara dan makna dibalik tradisi bakar tongkang pada

(21)

2. Dengan adanya penelitian ini diharapkan tradisi bakar tongkang dapat

semakin dikenal oleh masyarakat luas sehingga membuat masyarakat luas

tersebut tertarik untuk datang melihat langsung tradisi bakar tongkang ini

(22)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep

Konsep adalah istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan

secara abstrak kejadian, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian

(Singarimbun, 1989: 33). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Poerwadarminta sebagai editor (1995:456) dikatakan bahwa, konsep diartikan

sebagai rancangan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari pengertian

kongkret, gambaran mental dari objek apapun yang ada diluar bahasa yang

digunakan oleh akal budi untuk memahami hal hal lain

Dalam hal ini, defenisi konsep bertujuan untuk merumuskan istilah yang

digunakan secara mendasar. Selain itu adalah untuk menyamakan persepsi tentang

apa yang akan diteliti serta menghindari salah pengertian yang dapat

mengaburkan tujuan penelitian.

2.1.1. Tradisi Ritual Bakar Tongkang

Tradisi Bakar Tongkang memiliki sejarah panjang, merupakan salah satu

unsur tradisi dan kepercayaan lokal yang menjadi suatu kebudayaan daerah dan

nasional. Indonesia adalah negara mempunyai tingkat pluralitas yang tinggi

terhadap pemahaman tradisi dan kepercayaan lokal yang dianut sebagian elemen

(23)

kebudayaannya, ganda dalam prilaku kehidupan kemasyarakatannya, tetapi

bersatu dalam satu bangsa dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika menunjukkan

ciri keragaman kehidupan Bangsa Indonesia, yang sesungguhnya berbeda-beda

tetapi dalam satu kesatuan juga.

Salah satu tradisi dan kepercayaan lokal pada kelompok masyarakat

Indonesia Tionghoa Bagansiapiapi di Provinsi Riau, Kabupaten Rokan Hilir telah

ada sepanjang abad lamanya yaitu upacara tradisi ritual Bakar Tongkang yang

dilakukan secara rutin pada bulan kelima penanggalan Imlek tanggal 16 disebut

Go Ge Cap Lak. Ritual diadakan pada setiap tahun. Ritual hanyalah salah satu

sarana menyentuh dan membangun semangat Komunitas Tionghoa di

Bagansiapiapi untuk pulang kampung. Perayaan tradisi Ritual Bakar Tongkang

merupakan tradisi dan kepercayaan masyarakat Indonesia Tionghoa

Bagansiapiapi. Penyelenggaraan tradisi Ritual Bakar Tongkang tiap tahunnya

sangatlah semarak. Kekhasan Go Ge Cap Lak terletak pada ritual Bakar Tongkang

yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari sejarah kehadiran warga Tionghoa di

Bagansiapiapi. Ritual ini juga berkaitan dengan kelenteng Ing Hok Kiong

merupakan tempat pemujaan sekaligus penghormatan terhadap Dewa Kie Ong Ya

dan Dewa Tai Sun Ong Ya sebagai manifestasi dewa keselamatan dan

(24)

2.1.2 Masyarakat Tionghoa

Suku bangsa Tionghoa di Indonesia adalah salah satu etnis di Indonesia.

Biasanya mereka menyebut dirinya dengan istilah Tenglang (Hokkien), Tengnang

(Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka). Dalam bahasa Mandarin mereka disebut

Tangren (Hanzi: 唐人, "orang Tang"). Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa

orang Tionghoa-Indonesia mayoritas berasal dari Cina selatan yang menyebut diri

mereka sebagai orang Tang, sementara orang Cina utara menyebut diri mereka

sebagai orang Han (Hanzi: 漢人, hanyu pinyin: hanren, "orang Han").

Leluhur orang Tionghoa - Indonesia berimigrasi secara bergelombang

sejak ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka beberapa

kali muncul dalam sejarah Indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia

dideklarasikan dan terbentuk. Catatan - catatan dari Cina menyatakan bahwa

kerajaan - kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti -

dinasti yang berkuasa di Cina. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan

perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Cina ke Nusantara dan

sebaliknya.

Setelah Negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa yang

berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam

lingkup nasional Indonesia, sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang

(25)

2.2 Landasan Teori

Teori merupakan yang alat terpenting dari suatu pengalaman. Tanpa teori

hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu

pengetahuan (Koentjaraningrat, 1973:10). Teori adalah landasan dasar keilmuan

untuk menganalisis berbagai fenomena. Teori adalah rujukan utama dalam

memecahkan masalah penelitian didalam ilmu pengetahuan.

Sebagai pedomaan dalam menyelesaikan tulisan ini penulis menggunakan

teori yang berhubungan dengan pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas

dalam tulisan ini. Adapun teori yang penulis pergunakan adalah seperti teori yang

akan diuraikan sebagai berikut:

Dalam membahas Perubahan Makna Tradisi Bakar Tongkang Pada

Mayarakat etnis Tionghoa di kota Bagansiapiapi, secara lebih mendetail, penulis

menggunakan teori semiotik yang dikemukakan oleh Roland Barthes. Semiotik

berasal dari kata Yunani,yaitu semeion yang berarti tanda. Semiotik adalah model

penelitian sastra dengan memperhatikan tanda-tanda. Tanda tersebut dianggap

mewakii sesuatu objek secara respresentative. Istilah semiotic sering digunakan

bersama dengan istilah semiologi.Istilah pertama merujuk pada sebuah displin

sedangkan istilah kedua merefer pada ilmu tentangnya. Baik semiotic atau

semiologi sering digunakan bersama-sama, tergantung di mana istilah itu

popular.(Endaswara,2008:64)

Menurut Barthes dalam (Kusumarini : 2006),”denotasi adalah tingkat

(26)

pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan pertanda yang didalamnya

beroperasi makna yang tidak eksplesit,tidak langsung,dan tidak pasti”.

Barthes adalah penerus pemikiran Saussure.Saussure tertarik pada cara

kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan

makna,tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bias saja

menyampaikan makna yang berbeda pada oranng yang berbeda situasinya.

Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi

antara teks dengan pengalaman personal dan cultural penggunanya, interaksi

antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh

penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of signification”,

mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda

yang lahir dari pengalaman cultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan

Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah

signifier-signified yang diusung sausure.

Untuk mengkaji Perubahan Makna Tradisi Perayaan Bakar Tongkang

Pada Masyarakat Tionghoa Di Kota Bagansiapiapi penulis juga menggunakan

teori perubahan sosial. Teori mengenai perubahan sosial sering mempersoalkan

perbedaan antara perubahan sosial dengan perubahan kebudayaan. Kingsley

David berpendapat bahwa perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan

perubahan kebudayaan. Perubahan dalam kebudayaan mencakup bagian kesenian,

ilmu pengetahuan, teknologi, dan filsafat. Pengertian kebudayaan itu mencakup

segenap cara berfikir, tingkah laku yang timbul karena interaksi yang bersifat

(27)

menurut Kingsley David kebudayaan adalah suatu kompleks yang mencakup

pengetahuan, kepercayaan kesenian, moral, adat-istiadat, dan setiap kemampuan

serta kebiasaan manusia sebagai masyarakat. Maka perubahan-perubahan

kebudayaan adalah setiap dari unsur-unsur tersebut. Perubahan-perubahan sosial

dan kebudayaan mempunyai suatu aspek yang sama yaitu keduanya

bersangkut-paut dengan suatu penerimaan cara-cara baru atau suatu perbaikan dalam cara

suatu masyarakat memenuhi kebutuhannya. Dewasa ini proses-proses pada

perubahan sosial dapat diketahui dari adanya cirri-ciri tertentu antara lain tidak

ada masyarakat yang berhenti perkembangannya, karena setiap masyarakat

mengalami perubahan yang terjadi secara lambat atau secara cepat. Secara

sosiologis, agar perubahan dapat terjadi, maka harus dipenuhi syarat-syarat

tertentu antara lain harus ada keinginan untuk mengadakan suatu perubahan. Di

dalam masyarakat harus ada perasaan tidak puas terhadap keadaan, dan harus ada

suatu keinginan untuk mencapai perbaikan dengan perubahan keadaan tersebut.

Suatu perubahan sosial dan kebudayaan dapat pula bersumber pada sebab-sebab

yang berasal dari luar masyarakat itu sendiri. Itu mungkin terjadi karena

kebudayaan dari masyarakat lain melancarkan pengaruhnya. Dengan kata lain,

hubungan yang dilakukan secara fisik antara dua masyarakat mempunyai

kecenderungan untuk menimbulkan pengaruh timbal-balik. Artinya, masing-

masing masyarakat mempengaruhi masyarakat lainnya, tetapi juga menerima

pengaruh dari masyarakat yang lain itu. Apabila salah satu dari dua kebudayaan

yang bertemu mempunyai taraf teknologi yang lebih tinggi, maka yang terjadi

(28)

Mula-mula unsur-unsur tersebut ditambahkan pada kebudayaan asli. Akan tetapi

lambat-laun unsur-unsur kebudayaan aslinya diubah dan diganti oleh unsur-unsur

kebudayaan asing tersebut.

Salah satu faktor yang mendorong jalannya proses perubahan adalah

kontak dengan kebudayaan lain. Salah satu proses yang menyangkut hal ini adalah

diffusion atau difusi. Difusi adalah proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan

dari individu kepada individu lain. Dengan proses tersebut manusia mampu untuk

menghimpun penemuan-penemuan baru yang telah diterima oleh masyarakat,

dapat diteruskan dan disebarkan pada masyarakat luas sampai umat manusia di

dunnia dapat menikmati kegunaannya. Proses tersebut merupakan pendorong

pertumbuhan suatu kebudayaan yang baru dan memperkaya

kebudayaan-kebudayaan masyarakat manusia. ( Kingsley David dalam Soekanto,1990 ; 337 –

(29)

2.1.3 Tinjauan Pustaka

Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat, sesudah

menyelidiki atau mempelajari (KBBI, 2003:912). Pustaka adalah kitab-kitab;

buku; buku primbon (KBBI,2003:912).

Brigjen TNI (Pur) Tedy Jusuf, (2000): Sekilas Budaya Tionghoa

Indonesia. Buku ini menjelaskan tentang budaya dan adat istiadat Tionghoa yang

hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia.

Sudarno M, (2005): Gema Proklamasi Kemerdekaan RI dalam peristiwa

Bagansiapiapi. Dimana dalam buku ini dikatakan Bagansiapiapi adalah sebuah

daerah di Indonesia yang penduduknya mayoritas beretnis Tionghoa. Masyarakat

Tionghoa pertama kali datang ke Bagansiapiapi pada tahun 1872 dengan

menggunakan dua perahu (tongkang),menurut sejarah hanya satu perahu yang

akhirnya tiba dan menetap di Bagansiapiapi yaitu perahu yang berisikan 18 orang

marga Ang yang memang berada di perahu tersebut. Perahu yang lain

kemungkinan besar tenggelam karena perjalanan mereka tertimpa badai.

Rohil (2008) Visit Bagansiapiapi, dimana dalam buku ini dikatakan bahwa

tradisi Bakar Tongkang dilakukan untuk menghormati dan mensyukuri

kemakmuran dan keselamatan yang mereka peroleh dari hasil laut sebagai mata

pencaharian utama masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi, maka mereka membakar

(30)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Metodologi Penelitian

3.1.1. Pendekatan

Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian perubahan

makna tradisi perayaan Bakar Tongkang pada masyarakat Tionghoa di kota

Bagansiapiapi melalui antropologi budaya dengan metode deskriptif dengan

pendekatan kualitatif. Penelitian ini bersifat deskriptif, bertujuan menjelaskan

secara tepat sifat sifat individu, keadaan gejala atau kelompok tertentu atau untuk

menentukan frekwensi adanya hubungan tertentu antara suatu gejala dengan

gejala yang lain dalam masyarakat. Dalam hal ini mungkin sudah ada

hipotesa-hipotesa, mungkin juga belum, tergantung dari sedikit banyaknya pengetahuan

tentang masalah bersangkutan (Koentjaningrat,1991:29).

Sedangkan menurut Hadari dan Mimi Martini (1994:176), penelitian yang

bersifat kualitatif yaitu rangkaian kegiatan atau proses menjaring data atau

informasi yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi

aspek/bidang kehidupan tertentu pada objeknya. Penelitian ini tidak

mempersoalkan sampel dan populasi sebagaimana dalam penelitian kuantitatif.

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk

(31)

sistematis dan akurat mengenai fakta dari perubahan makna tradisi perayaan

Bakar Tongkang.

3.1.2. Tekhnik Pengumpulan Data

Langkah dalam tehnik pengumpulan data ini adalah melalui metode :

Wawancara, Observasi Lapangan dan Studi kepustakaan.

Sebelum tehnik wawancara dilakukan, peneliti membuat pedoman

wawancara yang sesuai dengan pertanyaan yang diberikan kepada beberapa tokoh

masyarakat Tionghoa. Untuk mengumpulkan data pertama penulis menemui

informan yaitu seorang tokoh adat Tionghoa. Penulis datang dan bertanya

langsung tentang tradisi Bakar Tongkang. Kemudian sang informan menjelaskan

secara keseluruhan tentang tradisi Bakar Tongkang. Dari hasil wawancara ini

diperoleh keterangan tentang tradisi Bakar Tongkang.

Penulis juga menemui sekelompok anak muda berketurunan Tioghoa.

Dimana mereka merupakan masyarakat asli kota Bagansiapiapi yang kini telah

merantau keberbagai daerah namun secar khusus datang ke Bagansiapiapi hanya

untuk merayakan tradisi ritual Bakar Tongkang yang telah mereka lakukan sejak

dahulu secara turun menurun. Secara langsung penulis mengajukan pertanyaan

pertanyaan yang sesuai dengan objek penelitian penulis.

Maka untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian skripsi ini

penulis mengunjungi kelenteng Ing Hok Kiong di jalan Kelenteng kota

(32)

yang didirikan oleh pelayar yang datang ke kota Bagansiapiapi, sebagai wujud

syukur dan terimakasih terhadap dewa King Ong Ya dan Tai Sun Ong Ya. Di

kelenteng Ing Hok Kiong penulis bertemu dengan Bapak Ahe. Dimana beliau

adalah pengurus kelenteng. Dari beliau penulis menemukan bayak informasi

mengenai makna tradisi ritual Bakar Tongkang.

3.1.3. Teknik Analisis Data

3.1.3.1 Wawancara

Salah satu teknik pengumpulan data dalam penelitian adalah tehnik

wawancara, yaitu mendapatkan informasi dengan bertanya secara langsung

kepada subjek penelitian. Sebagai modal awal penulis berpedoman pada pendapat

Koentjaraningrat (1981:136) yang mengatakan, “…kegiatan wawancara secara

umum dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: persiapan wawancara, tehnik

bertanya dan pencatat data hasil wawancara.”

Dalam studi ini penulis melakukan penelitian terhadap beberapa

masyarakat Tionghoa dan pemuka adat masyarakat Tionghoa di kota

Bagansiapiapi. Penulis menggunakan metode wawancara terutama dengan

informan kunci yaitu orang yang banyak mengetahui dan mengerti tentang ritual

Bakar Tongkang.

Metode wawancara yang penulis gunakan adalah:

(33)

daftar pertanyaan, namun penulis menggunakan suatu pedoman yang

berisikan garis besar pokok masalah yang ingin penulis peroleh

informasinya.

2. Wawancara sambil lalu atau Casual Interview. Bentuk wawancara ini

penulis gunakan juga terhadap beberapa generasi muda berketrunan

Tionghoa yang mengikuti tradisi ritual Bakar Tongkang.

3.1.3.2Observasi

Observasi atau pengamatan, dapat berarti setiap kegiatan untuk melakukan

pengukuran dengan menggunakan indera penglihatan yang juga berati tidak

melakukan pertanyaan-pertanyaan (Soehartono, 1955:69). Dalam mengumpulkan

data salah satu tehnik yang cukup baik untuk diterapkan adalah pengamatan

secara langsung/observasi terhadap subyek yang akan diteliti.

Dalam penelitian ini penulis hanya mengadakan dua kali

pengamatan/observasi langsung ke kota Bagansiapiapi. Dimana pada saat satu

bulan sebelum dilaksanakannya ritual Bakar Tongkang dan pada saat tradisi

Ritual Bakar Tongkang berlangsung.

3.1.3.3 Studi Kepustakaan

Untuk mencari tulisan-tulisan pendukung, sebagai kerangka landasan

berfikir dalam tulisan ini, adapun yang dilakukan adalah studi kepustakaan.

(34)

hasil wawancara. Sumber bacaan atau literatur ini dapat berasal dari penelitian

terdahulu dimana berupa artikel - artikel.

3.2 Data dan Sumber Data

Di dalam setiap penelitian, data menjadi patokan yang sangat penting bagi

setiap penulis untuk menganalisis masalah yang dikemukakan. Data yang

digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data yang dipakai pada perayaan

ritual Bakar Tongkang. Data-data yang digunakan diperoleh dari sumber data

primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer tersebut adalah sebagai

berikut:

Sumber Data Primer : Kong Ci

Profesi : Pengusaha Walet

Alamat : Jln. Sumatera Laut no 88 Bagansiapiapi

Kabupaten Rokan Hilir

Sumber Data Primer : Bapak Ahe

Profesi : Pengurus kelenteng

Alamat : Jl. Kelenteng no.42 Bagansiapiapi

(35)

3.3 Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini akan diupayakan untuk memperdalam

atau menginterpretasikan secara spesifik dalam rangka menjawab seluruh

pertanyaan.

Adapun proses yang dilakukan adalah:

1. Mewawancarai beberapa masyarakat Tionghoa dan beberapa tokoh

masyarakat Tionghoa, untuk memudahkan penulis untuk mengerjakan

tulisan ini, serta mendapatkan informasi tentang tradisi perayaan ritual

Bakar Tongkang .

2. Mengumpulkan buku-buku atau jurnal-jurnal yang diharapkan dapat

mendukung tulisan ini kemudian memilih data yang dianggap paling

penting dan penyusunannya secara sistematis.

3. Berdasarkan data-data yang diambil, lalu penulis dapat membuat

kesimpulan dari hasil yang diteliti dalam proses jalannya membuat

penelitian ini.

3.4.Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian berada di beberapa tempat di Kota Bagansiapiapi

khususnya di kelenteng Ing Hok Kiong. Pemilihan lokasi penelitian ini, karena

kelenteng Ing Hok Kiong merupakan tempat dimana diadakannya perayaan

ritual Bakar Tongkang, sehingga penulis lebih mudah untuk mewawancarai

masyarakat Tionghoa.

(36)

Bab IV Pembahasan

4.1. Masyarakat Tionghoa kota Bagansiapiapi

Bagansiapiapi memiliki komunitas masyarakat Tionghoa yang sangat

besar. Menurut data yag penulis peroleh dari Badan Pusat Statistik kota

Bagansiapiapi komunitas Tionghoa di Bagansiapiapi sebagian besar merupakan

suku Hokkian, di mana leluhurnya sebagian besar berasal dari Distrik Tong'an

(Tang Ua) di Xiamen, provinsi Fujian, Tiongkok Selatan. Komunitas Tionghoa

lainnya di Bagansiapiapi dengan jumlah cukup signifikan adalah berasal dari suku

Tiociu, sedangkan dari suku Khek (Hakka), Hailam (Hainan) dan Konghu dapat

dijumpai dalam jumlah yang relatif lebih sedikit.

Etnis china di Bagansiapiapi terkenal sebagai suku yang gigih, pekerja

keras, ulet, penemu resep makanan yang lezat, suka berjudi, namun hemat dan

lebih mengedepankan hubungan kerja. Mereka mengingatkan kita pada kebesaran

Jengis Khan dan Timur Leng, namun mereka mempunyai selera kuliner yang

tinggi, kehalusan budaya dan kepatuhan pada peraturan. Banyak tokoh informal

China yang lahir dan besar di kota Bagansiapiapi. Mereka dapat menjadi contoh

bagi kita dalam membentuk rasa persaudaraan yang kental dan kesetiakawanan.

Kemampuan mereka dalam mengolah bahan baku menjadi produk bernilai tinggi

seharusnya menjadi acuan kita dalam membangun negeri ini. Syukurlah, bahwa

etnis China di Bagansiapiapi ini adalah bagian dari bangsa kita. Tidak sulit untuk

belajar pada mereka bagaimana membangun negara ini dengan kegigihan dan

kerja keras, asal kita menempatkan mereka berdiri sejajar, mempunyai hak dan

kewajiban yang sama, tidak dikurangi atau dilebihkan. Rentang waktu, akan

terbukti bahwa etnik China di Bagansiapiapi akan menjadi aset berharga yang

mengharumkan nama bangsa. (Sudarno M; 2005, 12)

(37)

perkumpulan marga Tionghoa, lengkap dengan kelentengnya masing - masing, di

mana dari perkumpulan - perkumpulan marga inilah kebudayaan Tionghoa tetap

terpelihara di Bagansiapiapi meskipun dibatasi pada masa rezim Orde Baru.

Perkumpulan-perkumpulan marga tersebut di antaranya adalah

Perkumpulan Marga Ang Liok Kui Tong / Yayasan Sosial Marga Sad Eka

(六桂堂), Perkumpulan Marga Ng Kang Ha Tong / Yayasan Samvara Dharma

Wijaya (江夏堂/黃氏宗親會), Perkumpulan Marga Tan Ying Chuan Tong

(陳氏穎川堂), Perkumpulan Marga Lim Kiu Ling Tong (九龍堂), Perkumpulan

Marga Coa Cei Yong Tong (濟陽堂), Perkumpulan Marga Gui, Perkumpulan

Marga Kho / Yayasan Panca Bina Dharma Citra, Perkumpulan Marga Li,

Perkumpulan Marga Yeo, Perkumpulan Suku Tiociu Han Kang/Yayasan Mulia

Dharma Abadi (韓江公會), dan sebagainya.

Jumlah masyarakat Tionghoa dikota Bagansiapiapi setiap tahunnya

mengalami perubahan, dikarenakan kebiasaan dari masyarakat Tionghoa di kota

Bagansiapiapi dimana setelah lulus Sekolah Menengah Atas mereka akan

merantau disuatu tempat dan mencoba peruntungan dikota tersebut, setelah

merasa berhasil masyarakat Tionghoa perantauan akan membawa keluarga yang

masih berdomisili di kota Bagansiapiapi untuk hijrah ke perantauan begitu juga

sebaliknya. Dimana masyarakat Tionghoa dari kota lain juga banyak yang

memilih untukberdomisili di kota Bagansiapiapi membawa serta seluruh

keluarganya.

Disini penulis melampirkan jumlah penduduk masyarakat Tionghoa

dikota Bagansiapiapi yang penulis peroleh dari Badan Pusat Statistik kota

(38)

Di Kecamatan Bangko

Etnis Tiong Hoa

Kelurahan

Jenis Kelamin

Jumlah

L P

Bagan Hulu 330 267 597 Bagan Timur 575 539 1,114 Bagan Kota 1,696 1,566 3,262 Bagan Barat 1,953 1,888 3,841 Bagan Jawa 215 193 408 Jumlah 4,769 4,453 9,222 Sumber : Sensus Penduduk 2010

4.2. Bakar Tongkang

4.2.1. Sejarah Bakar Tongkang

Menurut data yang penulis peroleh dari Humas Pemkab Rokan Hilir,

dikatakan bahwa Bakar Tongkang diperkirakan sudah dilaksanakan sejak tahun

1820 lalu. Bagi masyarakat Bagansiapiapi,Rokan Hilir, terutama bagi masyarakat

Tionghoa, Bakar Tongkang mempunyai nilai sejarah yang tak akan lekang

dimakan waktu. Karena itu tradisi ini terus dipelihara dari generasi ke generasi.

Menurut penuturan staf Humas Pemkab Rohil bapak Syahdan, dikatakan

Ritual Bakar Tongkang tidak dapat dipisahkan dari kehadiran masyarakat

Tionghoa dari provinsi Fujian – China. Menggunakan tiga kapal kayu yang

disebut wang kang atau tongkang. Mereka orang Tiongkok yang migrasi ke Desa

Songkla di Thailand pada tahun 1825. Masa migrasi di Thailand tidak

berlangsung lama. Orang Tiongkok pendatang dimusuhi penduduk asli hingga

terjadi kerusuhan. Karena sadar keberadaan mereka membawa pertikaian, mereka

(39)

Saat dalam kebimbangan dan kehilangan arah, mereka berdoa kepada

Dewa Kie Ong Ya yang saat itu berada di kapal tersebut agar dapat memberikan penuntun arah menuju daratan. Tidak lama, pada keheningan malam tiba – tiba mereka melihat cahaya samar – samar . Mereka yakin dimana ada cahaya, disitulah ada daratan. Mereka mengikuti arah cahaya, hingga sampai di daratan Selat Malaka.

Pejuang masyarakat Tionghoa yang merantau sebanyak 18 orang yaitu Ang Nie Kie, Ang Nie Hiok, Ang Se Guan, Ang Se Pun, Ang Se Teng, Ang Se Shia, Ang Se Puan, Ang Se Tiau, Ang Se Po, Ang Se Nie Tjai, Ang Se Nie Tjua, Ang Un Guan, Ang Cie Tjua, Ang Bun Ping, An Un Siong, Ang Sien In, Ang Se Jian dan Ang Tjie Tui. Mereka inilah kemudian dianggap sebagai leluhur di Bagansiapiapi.

Keesokan harinya, mereka melihat di sungai banyak ikan, begitu juga dilaut. Dengan penuh sukacita mereka menangkap ikan untuk kebutuhan hidup. Mulailah mereka bertahan hidup di tanah Bagansiapiapi. Bagi mereka yang menemukan daerah tempat tinggal yang lebih baik, segera mengajak keluarga dari negeri tirai bambu datang ke Bagansiapiapi. Sehingga jumlah masyarakat Tionghoa kian banyak.

Keahlian menangkap ikan yang dimiliki nelayan mendorong penangkapan hasil laut semakin berlimpah. Hasil laut yang berlimpah diekspor ke berbagai benua, hingga menjadi terkenal. Bahkan Bagansiapiapi diklaim sebagai penghasil ikan laut terbesar kedua di dunia, Setelah Norwegia.

Setelah sekian lama menetap di Bagansiapiapi, masyarakat Tionghoa di sana membangun sebuah kelenteng pada 1875, diberi nama Kelenteng IN Hok Kiong. Pada 1982 kelenteng ini dibuat secara permanen. Di sinilah Dewa Kie Ong Ya disembahyangkan secara utuh, asli saat leluhur pertama kali menginjak kaki di tanah Bagansiapiapi.

(40)

Ada juga versi lain yang jarang dibicarakan orang yaitu Bagan adalah istilah tempat atau alat penangkapan ikan model kuno dan kata api, nama sejenis pohon di rawa – rawa yang biasanya disebut pohon api – api. Dikarenakn pada saat dulu di perairan Bagansiapiapi banyak sekali ditemukan tempat atau alat penangkapan ikan dan rawa – rawa yang ditumbuhi oleh pohon api – api.

Ritual Bakar Tongkang merupakan kisah pelayaran masyarakat keturunan Tionghoa yang melarikan diri dari ancaman penguasa Silam. Kapal yang dipimpin

Ang Mei Kui, terdapat patung Dewa King Ong Ya dan lima dewa, dimana

panglimanya disebut Tai Sun Ong Ya. Patung – patung ini para pelayar bawa dari tanah Tiongkok. Menurut keyakinan para pelayar, dewa ini akan memberikan keselamatan selama dalam pelayaran, hingga akhirnya para pelayar menetap di kota Bagansiapiapi.

Sebagai menghormati dan mensyukuri kemakmuran dan keselamatan yang mereka peroleh dari hasil laut sebagai mata pencaharian utama masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi, mereka membakar wangkang ( tongkang ) yang dilakukan setiap tahun. Menurut hasil wawancara penulis terhadap beberapa masyarakat Tionghoa di kota Bagansiapiapi, terdapat beberapa sumber yang menyebutkan, ritual Bakar Tongkang adalah ritual pemujaan untuk memperingati hari ulang tahun Dewa Kie Ong Ya ( dewa Laut ) yang memiliki cirri khas tersendiri dan tidak ditemui ditempat lain di Indonesia.

4.3. Makna Ritual Bakar Tongkang

Bakar Tongkang atau yang biasa disebut dengan Go Ge Cap Lak menjadi

salah satu unsur tradisi dan kepercayaan lokal yang menjadi suatu kebudayaan

daerah dan nasional. Indonesia adalah Negara mempunyai tingkat pluralitas yang

tinggi terhadap pemahaman tradisi dan kepercayaan lokal yang dianut sebagian

elemen masyarakat. Bangsa Indonesia hidup dalam masyarakat plural (majemuk)

artinya masyarakat serba ganda dalam kepercayaannya, ganda dalam ragam

kebudayaannya, ganda dalam prilaku kehidupan kemasyarakatannya, tetapi

bersatu dalam satu Bangsa dengan Semboyan Bhineka Tunggal Ika menunjukkan

ciri keragaman kehidupan Bangsa Indonesia, yang sesungguhnya berbeda-beda

(41)

Didalam masyarakat plural muncul berbagai tradisi dan kepercayaan lokal

menjadi salah satu keanekaragaman kebudayaan Indonesia. Kebudayaan tidak

sebatas kesatuan berupa tarian-tarian, lukisan, teater atau film. Salah satu tradisi

dan kepercayaan lokal pada kelompok masyarakat Indonesia Tionghoa

Bagansiapiapi di Provinsi Riau, Kabupaten Rokan Hilir telah eksis sepanjang

abad lamanya yaitu Upacara prosesi Ritual Bakar Tongkang yang dilakukan

secara rutin pada bulan kelima penanggalan Imlek tanggal 16 disebut Go GeCap

Lak. Ritual diadakan pada setiap tahun. Ritual hanyalah salah satu sarana

menyentuh dan membangun semangat Komunitas Bagan Siapi-api untuk pulang

kampung. Dan pada tahun ini tradisi ritual bakar tongkang jatuh pada tanggal 4 di

bulan july kalender masehi.

Perayaan prosesi Ritual Bakar Tongkang merupakan tradisi dan

kepercayaan masyarakat Indonesia Tionghoa Bagansiapiapi. Penyelenggaraan

prosesi Ritual Bakar Tongkang tahun ini sama halnya perayaan beberapa tahun

terakhir, sangat semarak dibandingkan dengan perayaan Tahun Baru Imlek.

Kekhasan Go Ge Cap Lak terletak pada Ritual Bakar Tongkang yang menjadi

bagian tidak terpisahkan dari sejarah kehadiran warga Tionghoa di Bagan

Siapi-api. Ritual ini juga berkaitan dengan Kelenteng Ing Hok Kiong merupakan tempat

pemujaan sekaligus penghormatan terhadap Dewa Kie Ong Ya dan Dewa Tai

Sun Ong Ya. Dimana menurut kepercayaan lokal masyarakat Tionghoa

Bagansiapiapi dewa Kie Ong Ya dan Tai Sun Ong Ya merupakan dewa

keselamatan dan dewa pembawa rejeki serta kesejahteraan bagi masyarakat kota

(42)

4.3.1. Nilai Tradisi Dan Kepercayaan Lokal

4.3.1.1 Prosesi Ritual Tan Ki

Tradisi dan kepercayaan lokal atas prosesi Ritual Bakar Tongkang

dipercaya masyarakat Indonesia Tionghoa Bagansiapiapi menjadi bagian

momentum perayaan Ulang Tahun Dewa Kie Ong Ya, terutama upacara prosesi

Ritual Bakar Tongkang berkaitan dengan kepercayaan arah pencarian rezeki ;

Perayaan Ritual Bakar Tongkang ini untuk memperingati Dewa Kie Ong Ya dan

Dewa Tai Shun Ong Ya yang memberi pencerahan keselamatan dan

kesejahteraan. Keyakinan kosmologis ini masih sangat kental dipercaya dengan

melakukan prosesi Ritual Bakar Tongkang setiap tahun. Tradisi dan kepercayaan

lokal ini menjadi bagian tidak terpisahkan dari kisah perjalanan dan pembangunan

Kota Bagansiapiapi oleh Perantau Tionghoa pada Era 1820-an.

Berawal dari pelayaran dengan Kapal Tongkang yang selamat telah

menciptakan inspirasi dan kreasi budaya oleh warga Indonesia Tionghoa

Bagansiapiapi untuk memperingati keselamatan mereka menggunakan Kapal

Tongkang secara kebetulan membawa patung Dewa Kie Ong Ya dan Dewa Tai

Sun Ong Ya, telah menjadi penyelamat sehingga dalam memperingati

keselamatan tersebut perlu dilakukan prosesi Ritual dengan cara membakar

Replika Kapal Tongkang sebagai manifestasi keselamatan, kemakmuran dan

kejayaan yang dibimbing oleh kepercayaan Dewa Kie Ong Ya dan Dewa Tai Sun

Ong Ya. Konon tradisi prosesi Ritual Bakar Tongkang di mulai pada tahun

1920-an

Menjelang perayaan Ritual Bakar Tongkang dibentuk panitia untuk

membuat replika Kapal Tongkang dan meletakkannya di kelentengIng Hok

Kiong. Replika kapal Tongkang dipersiapkan pembuatannya sebulan sebelumnya,

dengan ukuran replika Tongkang sepanjang 9,2 Meter, lebar 2 Meter, dan tiang

tinggi 2,7 Meter dengan bobot 400 Kilogram. Sehari menjelang puncak kegiatan

(43)

Imlek yang jatuh pada tanggal 03 july 2012. Kelenteng itu dikhususkan bagi

penghormatan dewa Kie Ong Ya dan dewa Tai Sun Ong Ya. Pada tanggal 16

bulan kelima Imlek yang jatuh pada tanggal 04 july Juni 2012 dimulai Upacara

Spiritualitas dengan mempersembahkan benda-benda yang memiliki makna

masing-masing seperti berbagai ragam buah-buahan melambangkan buah

pencapaian spiritual yang membawa masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi menuju

buah akhir yaitu penerangan sempurna sedangkan simbol kembang bunga yang

segar dan indah yang segera akan menjadi layu, tidak lagi wangi dan pudar

warnanya mengingatkan masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi pada ketidak

kekalan semua benda, termasuk kehidupan manusia. Adapun makna tersirat dari

simbol kembang bunga yang segar dan indah yang segera akan menjadi layu,

tidak wangi dan pudar warnanya adalah untuk menghargai setiap momen

kehidupan kita dan tidak terikat pada setiap proses kehidupan manusia.

Berbagai rupa kue, beras, air putih beserta berbagai makanan dan

minuman khusus untuk sembahyang disertai berbagai lilin besar dan tinggi

bercahaya memilii makna bahwa pancaran sinar kebijaksanaan yang menghalangi

kegelapan dunia untuk mencapai penerangan sempurna, serta dupa (Hio) yang

yang ragam wanginya dimeja altar sembahyang dewa Kie Ong Ya dan dewa Tai

Sun Ong Ya.

Selama kurang lebih seminggu lamanya Kelenteng penuh dikunjungi umat

dengan nyala lilin dan dupa wangi dibakar yang keharumannya memenuhi udara

menyebarkan efek kesucian dan melambangkan jasa kebijakan, mendorong aura

spiritual untuk melawan semua godaan setan dan membangkitkan hal-hal yang

baik dan perbuatan yang tulus. Memberi persembahan merupakan salah satu cara

membentuk potensi aura positif dalam diri masyarakat Tionghoa Bagansispispi

dan mengembangkan kebersihan batin dan pikiran manusia. Persembahan dalam

upacara sembahyang dewa Kie Ong Ya dan dewa Tai Sun Ong Ya sebagai wujud

memberi doa dan sekaligus mengakumulasikan kebajikan dan didedikasikan

(44)

Semua umat yang hadir sembahyang memohon doa umur panjang, rezeki,

keselamatan, kesejahteraan, menghilangkan halangan-halangan dalam jalan

kehidupan, pada saat itulah permintaan tersebut diucapkan. Pada tanggal 17 bulan

lima kalender imlek seluruh rombongan suhu spiritual yang disebut Tan Ki yang

berasal dari berbagai kelenteng di kota Bagansiapiapi hadir silih berganti memberi

penghormatan spiritual kepada dewa Kie Ong Ya dan dewa Tai Sun Ong Ya.

Setiap Tan Ki berpakaian khas tradisional yang mewakili dewa - dewi yang

menjadi bagian spiritualitas Tan Ki (suhu spiritual) contohnya Tan Kie dari

kelenteng Dewi Kwan Im akan mengenakan pakaian putih - putih dengan

memegang cawan dan kuas. Para Tang Ki bersujud berhadapan dewa - dewi

memberi ungkapan rasa hormat yang mendalam, kemudian mengelilingi meja

altar sembahyang untuk membangkitkan kualitas aura spiritual.

Para Tan Ki yang berprosesi pada ritual di Kelenteng Ing Hok Kiong

diberi kesempatan menunjukkan kebolehan di depan meja altar persembahan.

Suasana mistis menjadi sangat kental. Tan Ki yang membawa pedang

membacokan senjata itu ketubuhnya. Tan Ki yang membawa bola duri secara

atraktif memukulkan bola duri ke sekujur tubuh dan kepalanya. Darah segar

mengalir dari kepala dan badan tanpa membahayakan jiwa. Ada juga para Tan Ki

yang menusuk pipinya dengan kawat tajam sehingga tembus dari pipi kiri ke pipi

kanan. Sejumlah orang-orang yang membawa tandu yang telah terisi dengan

kekuatan spiritualitas pun bergerak dengan kekuatan dan kecepatan tinggi

membuat sejumlah orang pembawa tandu terhujung-hujung, beragam adegan doa

dan upacara. Hadirnya Tan Ki dari berbagai kelenteng dengan mengenakan

kostum pakaian, aneka macam simbol dan aksesoris budaya yang khas dalam

puncak upacara sembahyang di kelenteng Ing Hok Kiong memberi warna

kehidmatan dan aura energi kedamaian, menyucikan dan menumbuhkan sifat-sifat

positif dalam pikiran.

Dalam prosesi ritual Bakar Tongkang tercatat satu momen penting yang

(45)

kepercayaan masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi sebagai kekuatan mukjizat yang

memberi petunjuk keselamatan dan peruntungan usaha (rezeki) serta mata

pencaharian bagi masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi. Dimana jika tiang layar

utama Kapal Tongkang yang dibakar itu jatuh kearah laut maka dipercaya sebagai

kekuatan mukjizat yang memberi arah petunjuk peruntungan usaha dalam mata

pencaharian akan lebih banyak datangnya dari hasil laut. Dan sebaliknya jika

tiang layar utama Kapal Tongkang jatuh kearah darat maka kekuatan mukjizat

peruntungan usaha dan mata pencaharian akan lebih banyak datangnya dari hasil

darat.

Menurut kepercayaan lokal masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi ritual

Bakar Tongkang mengandung mukjizat yang telah ditafsirkan sebagai petunjuk

arah mukjizat keberuntungan usaha dan mata pencaharian oleh masyarakat

Tionghoa Bagansiapiapi, pengalaman ritual Bakar Tongkang yang di pandang

memiliki suatu kekuatan mukjizat keberuntungan yang selalu berelasi hubungan

dengan arah jatuh tiang layar utama Kapal Tongkang menjadi salah satu hal unik

dan menarik dari ritual Bakar Tongkang. Fenomena super normal yang sangat

dipercayai ada kebenarannya dengan kekuatan - kekuatan Ilahiah yang

bersemayam pada masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi. Namun kekuatan dan

kepercayaan tersebut sulit dijelaskan secara rasional kebenarannya tetapi telah

menjadi akumulasi kepercayaan masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi.

4.3.1.2 Makna Peran Tan Ki

Setiap Tan Ki yang berasal berbagai kelenteng-kelenteng dari

masing-masing tradisi dan aliran dengan kemampuan spiritual masing-masing-masing-masing membaca

mantra yang menjadi media berkomunikasi dengan Dewa Kie Ong Ya dan Dewa

Tai Sun Ong Ya serta Dewa-Dewi Kelenteng di Ing Hok Kiong mereka

mengucapkan mantra berulang-ulang, memohon sesuatu kepada Dewa-Dewi di

(46)

mengandung pesan dan Roh yang khusus. Setiap umat yang berminat dan

berkepentingan untuk mendapatkan berkah senantiasa melalui media kemampuan

spiritual Tan Ki untuk mendapatkan berkah dari Dewa-Dewi, pesan dan kekuatan

Roh yang khusus datang masuk kejiwa spiritual Tan Ki yang secara spiritual

khusus memberkahi permintaan untuk penyembuhan dan pemberkatan

keselamatan, keberuntungan, jodoh, menghilangkan bala atau musibah dan

lainnya. Setiap prosesi Upacara Sembahyang diiringi dengan tetabuhan yang

dipukul terus menerus dengan irama nada yang bergelombang naik turun seperti

memberi kekuatan semangat dan aura spiritual para Tan Ki.

Tan Ki memiliki kemampuan spiritual dengan mantra menjadi media

komunikasi menyampaikan pesan khusus yang diciptakan oleh orang yang

istimewa. Mantra digunakan untuk berkomunikasi dan berbicara dengan akrab

dengan berbagai Dewa-Dewi untuk memberi penyembuhan bagi yang sakit atau

memberi dukungan pemberkatan. Setiap Tan Ki menjadi praktisi pembaca mantra

mengetahui kebutuhan Rohani, jiwa keinginan dan bantuan dibutuhkan oleh umat

yang mengajukan permohonan atas berbagai penyelesaian masalah dan

pemberkatan kehidupan yang dihadapi.

Setiap Tan Ki dengan kemampuan spiritual mantra memiliki pesannya

sendiri-sendiri, mempunyai pesan khusus yang diterima dari komunikasi dengan

Dewa-Dewi umntuk memenuhi permohonan umat yang bermaksud untuk

(47)

keselamatan hidup, atau meningkatkan kualitas spiritual bagi umat yang belajar

meditasi.

Tan Ki inilah yang menjadi Ikon Upacara prosesi Ritual Bakar Tongkang,

setelah melakukan persembahan dan dialog selesai, para Tan Ki segera

melanjutkan aktivitas dengan atraksi-atraksi kemudian keluar dari Kelenteng Ing

Hok Kiong, para Tan Ki sudah dalam kondisi jiwa raga seperti keadaan tidak

sadarkan diri pandangan dan tatapan matanya seperti kosong dan kepala terus

bergerak mengikuti iringan suara gemuruh tabuhan. Suara gemuruh tabuhan

merupakan manifestasi penguatan spiritual dalam bentuk yang menyentuh,

membangkitkan kekuatan spiritual para Tan Ki. Mendengarkan bunyi gemuruh

tabuhan adalah salah satu cara yang indah untuk membangkitkan energi

kedamaiaan, energi kesadaran dan energi-energi lain yang menjaga dan melawan

energi negatif.

4.3.2.

Pada tanggal 04 Juli 2012 (GO Ge Cap Lak) yaitu pada tanggal 16 bulan

kelima Imlek. Kira-kira berdasarkan kebiasaan beberapa kali Ritual Bakar

Tongkang akan bergerak kurang lebih pada pukul 16.00 Replika Kapal Tongkang

di arak keluar dari Kelenteng Ing Hok Kiong, Replika Kapal Tongkang seberat

kurang lebih 400 Kilogram itu digotong oleh puluhan orang utusan dari seluruh

kelenteng-kelenteng yang mewakili masing-masing Kelenteng seluruh Kota

Bagansiapiapi. Perayaan arak-arakan diselenggarakan tepat pada bulan kelima

(48)

sampai ketempat upacara Ritual Bakar Tongkang mencapai kurang lebih 2

Kilometer melintasi jalan-jalan di tengah Kota Bagansiapiapi.

Memerlukan waktu kurang lebih satu jam arak-arakan Replika Kapal

Tongkang sampai ke lapangan kompleks lokasi pembakaran yang pada sisi pintu

masuk sebelah kanan terdapat sebuah Kelenteng yang dikhususkan bagi

penghormatan Dewa Thong Chi Ya, disisi kiri lokasi terdapat sebuah bangunan

megah tempat para tamu dan undangan berkumpul. Selanjutnya replika kapal

Tongkang digiring ke sudut kanan dan ditempatkan dibawah tumpukan kertas

sembahyang disusul dengan pemasangan tiang layar utama kapal Tongkang.

Dalam prosesi Ritual Bakar Tongkang tercatat satu momen penting yang menjadi

essensi kepercayaan Seabad lamanya yaitu menyaksikan kemana arah jatuhnya

tiang layar utama kapal Tongkang yang dibakar itu, semula dipercaya sebagai

kekuatan mukjizat yang memberi petunjuk keselamatan dan peruntungan usaha

(rezeki) serta mata pencaharian bagi etnis Tinghoa di kota Bagansiapiapi.

Maksudnya jika tiang layar utama kapal Tongkang yang dibakar itu jatuh kearah

laut maka dipercaya sebagai kekuatan mukjizat yang memberi arah petunjuk

peruntungan usaha dalam mata pencaharian akan lebih banyak datangnya dari

hasil laut. Dan sebaliknya jika tiang layar utama kapal Tongkang jatuh kearah

darat maka kekuatan mukjizat peruntungan usaha dan mata pencaharian akan

lebih banyak datangnya dari hasil darat.

Selama beribu tahun, agama-agama didunia telah dihubungkan dengan

(49)

hubungannya dengan kekuasaan Tuhan. Misalnya Krisna dipercaya telah

melakukan banyak hal, mulai dari menyedot suatu kebakaran hutan sampai

mengangkat sebuah bukit. Sang Buddha menghentikan seekor gajah yang sedang

murka dan membuatnya ketakutan. Ular musa memakan ular-ular Imam-Imam

Mesir. Kristus menyediakan cukup ikan dan roti untuk memberi makan orang

banyak yang sedang berkumpul. Namun, kemampuan membuat mukjizat ini

secara langsung maupun tidak langsung selalu dalam hubungannya dengan

kekuasaan Tuhan, merupakan usaha setiap agama untuk mendemonstrasi

kekuasaan dan kedaulatan Tuhan yang diidealkannya.

Dengan penafsiran peristiwa-peristiwa sebagai mukjizat tersebut, sama

halnya Ritual Bakar Tongkang juga dipercaya mengandung mukjizat yang telah

ditafsirkan sebagai petunjuk arah mukjizat keberuntungan usaha dan mata

pencaharian oleh masyarakat etnis Tionghoa di kota Bagansiapiapi, pengalaman

Ritual Bakar Tongkang yang di pandang memiliki suatu kekuatan mukjizat

keberuntungan yang selalu berelasi hubungan dengan arah jatuh tiang layar utama

kapal Tongkang menjadi salah satu hal unik dan menarik dari ritual ini.

Fenomena super normal yang sangat dipercayai ada kebenarannya dengan

kekuatan-kekuatan Ilahiah yang bersemayam pada masyarakat etnis Tionghoa di

kota bagansiapiapi. Namun kekuatan dan kepercayaan tersebut sulit dijelaskan

secara rasional kebenarannya tetapi telah menjadi akumulasi kepercayaan yang

dianut masyarakat etnis Tionghoa di kota bagansiapiapi. Jatuhnya tiang layar

(50)

perdagangan yang memberi keberuntungan (Hokki) untuk menjalankan kegiatan

usaha mereka lakukan pada tahun depan berikutnya. Kepercayaan jatuhnya arah

tiang layar utama kapal Tongkang tidak berhubungan dengan klaim-klaim agama,

juga tidak dapat menyesatkan kekuasaan Tuhan. Satu-satunya yang mereka

lakukan adalah membenarkan dan menegaskan kepercayaan yang telah berjalan

seabad lamanya Ritual Bakar Tongkang sudah menjadi tradisi dan kepercayaan.

Mukjizat dari jatuhnya tiang layar utama kapal Tongkang telah dipercayai

masyarakat etnis Tionghoa di kota Bagansiapiapi, dan kepercayaan ini terbangun

dari pengalaman Ritual Bakar Tongkang seabad lamanya telah memberi rasa

aman dalam kehidupan ekonomi masyarakat etnis Tionghoa di kota

Bagansiapiapi.

Kepercayaan ini menyimbolkan keberadaan kepercayaan lokal mereka

dalam kelompok masyarakat etnis Tionghoa di kota bagansiapiapi tersebut telah

dikomunikasikan dan dipraktekan terus menerus melalui akumulasi kepercayaan

Ritual Bakar Tongkang tersebut. Dalam konteks asosiasi Ritual harus dilihat

dalam konteks kepercayaan lokal sudah turut mengisi atau membentuk

eksistensinya secara konkrit di alam raya yang sudah tentu berbeda dengan

kepercayaan berdasarkan tatanan Religi atau Agama, karenanya kepercayaan lokal

tersebut mungkin tampak sukar diterima dari segi pandangan Religi atau Agama

atau Rasionalitas, karena fondasi moral kepercayaan lokal telah diterima

pemikirannya dalam kehidupan alam semesta, sekaligus sanggup mentransendensi

(51)

Detik-detik Bakar Tongkang pun cenderung kearah Ritual dengan

dikelilingi para Tan Ki (Suhu Spiritual) memperagakan dan mengerahkan seluruh

kekuatan spiritual serta kebolehannya di pertontonkan dengan berlari-lari disertai

gerakan silat spiritual memutari replika Kapal Tongkang yang mulai disulut api

yang pelan-pelan berkobar dahsyat, dan seluruh tamu dengan hikmat memberi

penghormatan sembahyang baik dengan memegang Hio (Dupa) maupun tanpa

Hio berdoa sesuai dengan kepercayaan agama masing-masing.

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa essensi Ritual puncak Bakar

Tongkang adalah melihat kearah mana tiang layar utama akan terjatuh, yang

dipercaya masyarakat etnis Tionghoa di kota Bagansiapiapi sangat menentukan

kiblat rezeki mereka selama setahun kedepan. Mukjizat keberuntungan dari arah

jatuhnya tiang layar utama kapal Tongkang telah menjadi pengalaman spiritualitas

yang dialami dan dikomunikasikan berdasarkan kepercayaan-kepercayaan lokal

yang sudah diterima. Ketika menafsirkan kejadian arah jatuhnya tiang layar utama

kapal Tongkang tersebut sebagai mukjizat arah rejeki, dan jelas tafsiran

spiritualitas yang menjadi kepercayaan lokal telah terjadi dan tidak dapat

disangkal selama seabad lamanya, telah menyingkap hubungan mendalam antara

kepercayaan spiritual manusia dengan keyakinan pengalaman immaterial Ritual

Bakar Tongkang tersebut berelasi dengan essensi kekuatan kepercayaan itu sendiri

bersifat Ilahiah, Supra Human dan Supra Natural.

Menurut hasil wawancara penulis dengan masyarakat etnis Tionghoa di

(52)

dalam sejarah telah terbukti memberi manfaat bekah rezeki sesuai dengan

petunjuk jatuh tiang utama layar kapal Tongkang tersebut. Terdapat nilai dan

keyakinan berbaur dengan dimensi-dimensi spiritual dan kultural. Penyaklaran

Ritual Bakar Tongkang yang berjalan seabad lamanya telah menjadikan suatu

idiom asal-usul yang telah mendapat sebuah pengakuan terhadap kondisi

kesejarahan masyarakat etnis Tionghoa di kota bagansiapiapi. Sejarah pada saat

yang sama adalah suatu kenyataan yang telah terjadi dan juga merupakan sesuatu

proses yang sedang berlangsung. Bahkan sakralisasi itu sendiri adalah suatu

kenyataan yang telah terjadi dan juga merupakan suatu proses yang sedang

berlangsung. Dunia Ritual Bakar Tongkang tersebut merupakan sebuah dunia

yang telah terbentuk dan dipercaya sejak masa lalu sampai saat ini masih tetap

dipercaya dan diyakini oleh masyarakat etnis Tionghoa di kota bagansiapiapi dan

akan berkembang terus sampai kemasa depan. Sejarah Ritual Bakar Tongkang

adalah sebuah warisan budaya lokal dan sejarah bersama masyarakat

Bagansiapiapi, Kabupaten Rokan Hilir, Riau.

4.3.2. Perayaan Kehidupan

Go Ge Cap Lak dengan upacara ritual Bakar Tongkang bagi Masyarakat

Tionghoa Bagansiapiapi selalu menjadi momentum sosiologis perayaan puncak

kebajikan dan amal, pelaksanaan kebajikan dengan memberi sumbangan dana

atau benda yang diserahkan pada panitia atau pengurus kelenteng Ing Hok Kiong

untuk lancarnya prosesi ritual Bakar Tongkang. Buah perayaan Go Ge Cap Lak

secara kultural bagi masyarat Tionghoa Bagansiapiapi di seluruh Nusantara dan

Mancanegara menjadi ajang pulang kampung mengunjungi keluarga, saudara,

(53)

Go Ge Cap Lak bagaikan sebuah Momentum Hari Raya lokal yang

mengundang naluri alami yang paling dalam untuk pulang kampung bagaikan

burung-burung urban yang dari segala pelosok dunia menuju sarang sosial dan

kulturalnya, tampak menakjubkan bukan saja karena Ritual Bakar Tongkang yang

sakral tetapi juga makna eksistensial kemanusiaannya di dalam silahturahmi

kehangatan sanak saudara, kerabat, dan handai tolan. Bagi masyarakat Tionghoa

Bagansiapiapi yang telah merantau ke berbagai tempat, kelelahan rutinitas

kehidupan sepanjang tahun terobati dan serasa ringan jiwa raga mengunjungi

sanak saudara, kerabat dan handai tolan dikampung halaman Bagansiapiapi, setiap

orang menemukan qase atau danau pencerahan sekaligus kehangatan rasa

persaudaraan dan kekerabatan. Itulah salah satu hal yang indah mengenai Go Ge

Cap Lak, setiap orang terdorong untuk kembali pulang kampung.

Berdasarkan hasil wawancara penulis degan beberapa masyarakat

Tionghoa Bagansiapiapi yang telah merantau ke berbagai daerah memaknai Go

Ge Cap Lak sebagai manifestasi untuk merayakan peran sosial yang dimilikinya

berikut narasi kesuksesan dibuktikan. Selain ikatan emosional para perantau

warga Bagansiapiapi dengan kota asalnya Bagansiapiapi, tradisi pulang kampung

juga tidak kalah bernilainya sebagai momentum terbaik untuk kembalinya para

perantau ke Bagansiapiapi guna memperkuat tali silahturahmi dengan sanak

saudara, kerabat dan handai tolan.

Nilai - nilai luhur dan kearifan sosialnya Go Ge Cap Lak mempererat tali

persaudaraan dan kebersamaan serta kepedulian terus menyala menjadi tradisi

pulang kampung untuk memuliakan sanak saudara, kerabat dan handai tolan. Go

Ge Cap Lak menjadi festival perayaan tradisi dan kepercayaan lokal yang

memberi semangat spiritualitas untuk kehidupan bersama yang bersetia kawan,

peduli kepada sesame.Go Ge Cap Lak dapat dikatakan merangkul leluhur spiritual

kita baik berdasarkan pertalian darah maupun juga memiliki leluhur berdasarkan

hubungan tradisi dan kepercayaan lokal. Praktik pulang kampung dan praktik

(54)

4.4 . Perubahan Makna Tradisi Perayaan Bakar Tongkang Pada Masyarakat

Tionghoa Di Kota Bagansiapiapi.

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan beberapa generasi muda

masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi Go Ge Cap Lak dengan ritual Bakar

Tongkang berkembang dan bergerak dari sakralitas kemudian cenderung bersifat

profan, tidak lagi berhubungan dengan tradisi dan kepercayaan local masyarakat

Tionghoa Bagansiapiapi, sebagian generasi muda tidak lagi memahami Go Ge

Cap Lak sebagai bagian dari upacara ritual Bakar Tongkang dan penghormatan

terhadap dewa Kie Ong Ya dan dewa Tai Sun Ong Ya yang sakral. Generasi muda

masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi hanya melihat dari sisi sebuah Ikon wisata

Kabupaten Rokan Hilir-Provinsi Riau. Kesakralan Bakar Tongkang pada Go Ge

Cap Lak bagi generasi tua adalah manifestasi bentuk kegeniusan nenek moyang

yang menjadi bagian identitas mereka. Meski terjadi pergeseran nilai-nilai sakral

telah cenderung terdesak yang profane. Perubahan ini adalah bagian perjalanan

tradisi dan kepercayaan Go Ge Cap Lak itu sendiri.

Dalam tradisi dan kepercayaan GO Ge Cap Lak ini terjadi perubahan

sakralitas dan profanitas yang saling menyatu, antara sakralitas nilai-nilai tradisi

kepercayaan dan budaya dengan nilai semata hiburan profan yang saling mengisi.

Melalui wadah budaya nilai-nilai sakralitas diekspresikan dan dilambangkan

dalam perayaan prosesi Ritual Bakar Tongkang tersebut mengalami proses

tantangan realitas yang mengiring sakralitas menjadi bagian profanitas dari Ikon

hiburan pariwisata Rohil. Dan juga generasi muda memaknai ritual Bakar

Tongkang hanya sebagai tradisi yang dilakukan turun temurun dan telah menjadi

suatu kewajiban tuk mengikuti ritual Bakar Tongkang tanpa memahami arti

sebenarnya dari ritual Bakar Tongkang itu dsendiri. Dengan konsekwensi semakin

menurunnya pemahaman generasi muda masyarakat Tionghoa terhadap Go Ge

Cap Lak karena mereka memandang sebagai bagian tradisi kepercay

Referensi

Dokumen terkait

Kearifan local yang dilakukan dalam proses pembibitan hanya terdapat 5 kearifan lokal saja yang dilakukan oleh petani gambir yakni dari kelima kearifan lokal tersebut

Nilai presentase terrendah yaitu pada tingkat keamanan tinggi dimana hanya sebanyak 31 permukiman saja yang dapat dipengaruhi oleh fasilitas kemanan serta kesadaran

Hal yang cukup krusial dari kedua PSAK tersebut bagi bank adalah bahwa, kredit sebagai asset bank digolongkan pada ³/RDQ DQG 5HFHLYDEOHV´ yang mana valuasinya

kegiatan semacam ini meliputi beberapa tipe intervensi seperti aksi politik (misalnya penyusunan undang-undang baru), pembangunan masyarakat, gerakan pendidikan

Susu merupakan minuman yang mempunyai kandungan gizi yang lengkap sehingga susu merupakan medium pertumbuhan yang baik bagi mikroba. Pertumbuhan mikroba yang tidak

Kegiatan argumentasi dapat melibatkan peserta didik dalam memberikan bukti, data dan teori yang valid terhadap permasalahan yang ditemui, dan secara tidak langsung mahasiswa

Dalam pemodelan VAR pengujian pertama adalah melakukan uji stasioneritas Pengujian stasioneritas diujikan terhadap masing-masing data variabel yang akan digunakan

Guru menyajikan media yang akan digunakan dalam