PERUBAHAN MAKNA TRADISI PERAYAAN BAKAR TONGKANG PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA BAGANSIAPIAPI
SKRIPSI SARJANA
O
L
E
H
NAMA: ELY SOVITA
NIM: 080710021
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
PROGRAM STUDI SASTRA CINA
MEDAN
PERUBAHAN MAKNA TRADISI PERAYAAN BAKAR TONGKANG PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA BAGANSIAPIAPI
SKRIPSI SARJANA
O
L
E
H
NAMA: ELY SOVITA
NIM: 080710021
Disetujui oleh:
Pembimbing I, Pembimbing II,
Dra.Farida Hanum Ritonga, MSP Chen Shu Shu MTSOL
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
PROGRAM STUDI SASTRA CINA
MEDAN
DISETUJUI OLEH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PROGRAM STUDI SASTRA CINA KETUA,
KATA PENGANTAR
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya buat ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.
Medan, Juni 2012
Penulis,
ABSTRACT
This thesis is made to analyze the changing meaning of burning barge ceremony at Tionghoan’s community in Bagansiapiapi. In studying the meaning, the writer uses the semiotic theory by Barthes. In analyzing the changing meaning of burning barge ceremony, the writer uses the social and culture changing theory by Karl Marx. The research method which used is the qualitative research method based on field research, interview, observation, participant observer, and take a key person which considered knows well about this tradition. The scientific findings at this research are:
A. This ceremony done by the Tionghoan’s community of Bagansiapiapi is a form of thanksgiving to the Holy God Kie Ong ya and Tai Sun Ong Ya which is believed that the Gods have protected the ancestors until find Bagansiapiapi
B. Nowadays, the changing meaning of this tradition done tend to inheritable tradition and also as the tourism icon of Bagansiapi-api.
KATA PENGANTAR
Pertama sekali penulis mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan limpahan berkat dan kekuatan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakulta Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara,Medan. Dengan judul skripsi : Perubahan Makna Tradisi Perayaan Bakar Tongkang Pada Masyarakat Tionghoa Di Kota Bagansiapiapi.
Untuk itu pada kesempatan kali ini, penulis hanya bisa mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak dan nama di bawah ini yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, diantaranya kepada :
1. Dr. H. Syahron Lubis, M.A., selaku Dekan Fakulta Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A., selaku ketua Program Studi Sastra China Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Dra. Farida Hanum Ritongga, MSP., selaku dosen pembimbing I, yang telah member dukungan, masukan dan motivasi dalam penyelesaian skripsi ini serta kesabaran membimbing penulis.
4. Laoshi Chen Shu Shu, MTSOL dan Laoshi Yu Xue Ling, M.A., Selaku dosen dari Jinan University yang selalu mendukung penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
5. Bapak dan Ibu staf pengajar Program Studi Sastra China Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengajaran selama penulis mengikuti perkuliahan.
6. Orang tua tercinta, ayahanda A.Siahaan,SH (Alm), dan ibunda N.Hutahaean yang setia mendampingi penulis saat menulis skripsi hingga larut malam, serta dukungan moral, materi, kasih saying dan doa yang selalu dilimpahkan kepada penulis.
8. Sahabat tercinta Reny Syafrida,SS, Yoan silviana,SS, Taufik Akbar,S.Ked, terimakasih atas kebersamaan kita, suka cita yang telah kita lalui bersama dan semua cerita yang telah kita ukir bersama hingga pada saatnya kita semua menyandang gelar sarjana.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa penelitian ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca yang sifatnya membangun untuk menyempurnakan skripsi ini.
Medan, Juni 2012
Penulis
DAFTAR ISI
ABSTRAK I
KATA PENGANTAR Ii
DAFTAR ISI Iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah………... 1 1.2 Batasan Masalah………. 6 1.3 Rumusan Masalah………... 7 1.4 Tujuan Penelitian……… 1.5 Manfaat Penelitian……….. 7 8
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP , LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep………
9
2.1.1. Tradisi Ritual Bakar Tongkang……….
9
2.1.2. Masyarakat
Tionghoa………..
11
2.2. Landasan
Teori……….
12
2.3. Tinjauan
Pustaka………...
16
BAB III Metode Penelitian 3.1 Metodologi Penelitian………... 17 3.1.1. Pendekatan……….. 17
3.1.3. Teknik Analisis Data……….. 19 3.1.3.1. Wawancara……… 19 3.1.3.2. Observasi………... 20
BAB III METODE PENELITIAN 17
3.1 Metodologi Penelitian……… 17 3.1.1. Pendekatan………... 17 3.1.2. Teknik Pengumpulan
Data………..
18 3.2.3. Teknik Analisis
Data……… 3.2.3.1. Wawancara……….. 19 3.2.3.2. Observasi……… 20 3.2. 3.3. Studi
Kepustakaan……….
20 3.3. Data dan Sumber
Data………
21 3.4. Teknik Analisis
Data……….
22
3.5. Lokasi
Penelitian………..
BAB IV PEMBAHASAN
23
4.1. Masyarakat Tionghoa di Bagansiapiapi………. 24 8.2. Bakar Tongkang……….
4.2.1. Sejarah Bakar Tongkang……….
26 8.3. Makna Bakar
Tongkang………..
Lokal………..
4.3.1.1. Prosesi Ritual Tanki………
30 4.3.1.2. Makna Peran
Tanki……… 34 4.3.2. Perayaan Kehidupan………. 41 8.4. Perubahan Makna Tradisi Perayaan Bakar Tongkang
Pada Masyarakat Tionghoa Di Kota Bagansiapiapi……….
42
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan……… 45 5.2 Saran……….. 48
Daftar Pustaka 49
Buku dan artikel 50
Internet 50
ABSTRACT
This thesis is made to analyze the changing meaning of burning barge ceremony at Tionghoan’s community in Bagansiapiapi. In studying the meaning, the writer uses the semiotic theory by Barthes. In analyzing the changing meaning of burning barge ceremony, the writer uses the social and culture changing theory by Karl Marx. The research method which used is the qualitative research method based on field research, interview, observation, participant observer, and take a key person which considered knows well about this tradition. The scientific findings at this research are:
A. This ceremony done by the Tionghoan’s community of Bagansiapiapi is a form of thanksgiving to the Holy God Kie Ong ya and Tai Sun Ong Ya which is believed that the Gods have protected the ancestors until find Bagansiapiapi
B. Nowadays, the changing meaning of this tradition done tend to inheritable tradition and also as the tourism icon of Bagansiapi-api.
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Budaya atau kebudayaan berasal daribuddhayah,
yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai
hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia (Koentjaraningrat, 1982:9).
Dalamculture, yang berasal dari kat
colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah
tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur"
dalam bahasa Indonesia.
Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai sebuah system, dimana system itu
terbentuk dari perilaku, baik itu perilaku badan maupun pikiran. Dan hal ini
berkaitan erat dengan adanya gerak dari masyarakat, dimana pergerakan yang
dinamis dan dalam kurun waktu tertentu akan menghasilkan sebuah tatanan
ataupun system tersendiri dalam kumpulan masyarakat. Seperti yang dikatakan
oleh Koentjaraningrat (1987:98),”…kebudayaan adalah keseluruhan system
gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat
yang dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar.”
Setiap masyarakat memiliki kebudayaan masing-masing. Mayarakat
Tionghoa sangat kaya akan kebudayaan tradisi dan kepercayaan. Mereka selalu
kita melihat suatu kegiatan budaya di kalangan masyarakat Tionghoa, kita sulit
memisahkan dan membedakan dengan jelas apakah itu tradisi atau agama atau
kepercayaan.
Dari sekian banyak tradisi yang mereka miliki. Etnis Tionghoa mempunyai
berbagai macam tradisi. Hingga saat ini masyarakat Tionghoa masih melestarikan
tradisi bakar bakaran. Sama halnya dengan masyarakat Tionghoa baik yang
berasal dari kota Bagansiapiapi maupun yang berada diluar kota Bagansiapiapi,
sampai saat ini masih melaksanakan tradisi peninggalan leluhur yaitu tradisi ritual
bakar Tongkang. Ritual pembakaran replika tongkang di kota Bagansiapiapi,
Kabupaten Rokan Hilir (Rohil) telah menjadi perhelatan akbar setiap tahun,
diperkirakan ribuan masyarakat Tionghoa dari berbagai daerah datang untuk
mengikuti tradisi ritual bakar tongkang ini.
Bagansiapiapi adalah sebuah daerah di Indonesia yang pendudukya
mayoritas bersuku China. Hal ini sebenarnya merupakan kenyataan yang cukup
mencengangkan bagi masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa, karena sebuah
wilayah di Indonesia didominasi oleh etnik non-pribumi. Menurut cerita
masyarakat Bagansiapiapi dari generasi ke generasi, nama Bagansiapiapi erat
kaitannya dengan cerita awal kedatangan orang Tionghoa ke kota itu.
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan narasumber yang bernama bapak
Khong ci dikatakan bahwa orang Tionghoa yang pertama sekali datang ke
Bagansiapiapi berasal dari daerah Songkhla(Thailand). Mereka sebenarnya
adalah perantau-perantau Tionghoa yang berasal dari Distrik Tong'an (Tang Ua)
orang-orang Tionghoa dengan penduduk Songkhla, Thailand dan hal inilah
menjadi penyebab terdamparnya mereka di Bagansiapiapi.
Disebutkan bahwa orang-orang Tionghoa melakukan pelarian dengan
menggunakan tiga perahu kayu (tongkang). Selama dalam perjalanan ketiga
perahu tongkang tersebut banyak mengalami masalah sehingga hanya satu
tongkang yang selamat. Tongkang yang selamat adalah tongkang yang dipimpin
oleh Ang Mie Kui bersama 17 orang penumpang lainnya. Tongkang yang selamat
ini kebetulan membawa serta patung Dewa Tai Sun Ong Ya yang diletakkan di
bagian haluan dan patung Dewa Kie Ong Ya yang ditempatkan dalam
magun/rumah tongkang.
Menurut kepercayaan masyarakat Tionghoa di kota Bagansiapiapi, patung
dewa Kie Ong Ya dan Tai Sun Ong Ya ini yang telah memberi keselamatan selama
pelayaran itu. Setelah berhari-hari di lautan akhirnya mereka diberikan petunjuk
oleh sang dewa, dari kejahuan mereka melihat cahaya api yang berkerlap-kerlip
sebagai tanda adanya daratan. Cahaya api itu ternyata berasal dari kunang-kunang
(siapiapi) yang bertebaran di antara hutan bakau yang tumbuh subur di tepi pantai.
Di daerah tidak bertuan inilah mereka mendarat dan membangun tempat
pemukiman baru yang kemudian dikenal dengan nama Bagansiapiapi.
Para leluhur orang Tionghoa yang menemukan Bagansiapiapi, bertekad
untuk berdiam disitu dan tidak kembali ke tempat asal mereka semula. Untuk itu,
tongkang yang mereka pakai hingga bisa mendarat di daerah tersebut, akhirnya
an, leluhur Tionghoa yang telah berada di Bagansiapiapi, tetap dapat
tinggal di daerah tersebut untuk selamanya.
Ritual Bakar Tongkang adalah upacara peringatan atas Dewa Laut Ki Ong
Ya dan Tai Su Ong yang merupakan sumber kekuatan atas dua sisi, yakni antara
baik dan buruk, suka dan duka, serta rezeki dan malapetaka.Masyarakat Tionghoa
di kota Bagansiapiapi percaya bahwa dewa Ki Ong Ya dan Tai Sun Ong Ya telah
membawa para lelulur dengan selamat hingga sampai dan menetap di Kota
Bagansiapiapi, setelah akibat terjadinya perang saudara di Tiongkok beberapa
ratus tahun lalu.
Acara ritual bakar tongkang sendiri tidak langsung muncul ketika
keluarga Ang mendaratkan kakinya di Bagansiapiapi. Acara bakar tongkang
diperkirakan baru dikenal pada tahun 1920-an atau sekitar 100 tahun
setelah pendaratan pertama. Ketika itu pelabuhan Bagansiapiapi telah
menjadi pelabuhan yang sangat terkenal di Selat Malaka. Menurut hasil
wawancara penulis dengan nara sumber yang bernama bapak Kong Ci dikatakan
bahwa acara bakar tongkang merupakan wujud rasa terima kasih warga Tionghoa
perantau untuk rezeki yang berlimpah, terutama kepada Dewa Kie Ong Ya yang
telah memberi petunjuk.
Bakar tongkang atau dalam istilah Tionghoa disebut "Go Ge Cap Lak",
dapat diartikan dengan tanggal 15-16 bulan 5 tahun Imlek. Atas dasar inilah,
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, acara bakar tongkang sempat
menghilang. Penguasa Orde Baru kurang suka dengan acara yang dibuat
oleh masyarakat yang menganut agama Khonghucu.
Sejak era Presiden Abdurrahman Wahid, tradisi orang Tionghoa dari
agama Khonghucu kembali hidup. Bagi warga Tionghoa di kota Bagan Siapi-api,
perayaan ritual bakar tongkang jauh lebih besar bila dibandingkan dengan
perayaan Tahun Baru Imlek. Saat perayaan Tahun Baru Imlek banyak perantau
Tionghoa yang tidak pulang, tetapi pada saat acara ritual bakar tongkang
keinginan mudik jauh lebih besar.
Nilai-nilai luhur dan kearifan sosialnya Go Ge Cap Lak mempererat tali
persaudaraan dan kebersamaan serta kepedulian yang terus menyala dan menjadi
tradisi pulang kampung untuk memuliakan sanak saudara, kerabat dan handai
tolan Go Ge Cap Lak menjadi festival perayaan tradisi dan kepercayaan lokal
yang memberi semangat spiritualitas untuk kehidupan bersama yang membentuk
kesetiakawanan, peduli kepada sesama. Go Ge Cap Lak dapat dikatakan dapat
merangkul leluhur secara spiritual baik berdasarkan pertalian darah maupun
berdasarkan hubungan tradisi dan kepercayaan lokal.
Tradisi bakar tongkang yang dilakukan setiap tahun mengalami
perkembangan yang begitu pesat, bahkan berdampak pada perubahan makna pada
ritual bakar tongkang itu sendiri. Bagi etnis Tionghoa Bagansiapiapi generasi
yang sekarang, baik yang masih menetap dikota Bagansiapiapi maupun yang telah
merantau keluar kota Bagansiapiapi kini sudah mulai kurang memahami makna
generasi sekarang Tradisi Bakar Tongkang kini hanyalah suatu tradisi yang
dilakukan secara turun menurun. Adapun terdapat banyak faktor yang
mempengaruhi perubahan makna Tradisi Ritual Bakar Tongkang itu sendiri. Oleh
sebab itu untuk mengetahui lebih dalam lagi tentang perubahan makna tradidi
perayaan bakar tongkang pada masyarakat Tionghoa di kota Bagansiapiapi
penulis berniat untuk melakukan suatu penelitian ilmiah yang memfokuskan
tulisan ini pada perubahan makna tradisi perayaan bakar tongkang pada
masyarakat Tionghoa di kota Bagansiapiapi sebagai penelitian.
Dengan demikian penulis membuat judul penelitian ini “ Perubahan Makna Tradisi Perayaan Bakar Tongkang Pada Masyarakat Tionghoa Di Kota Bagansiapiapi”
1.2. Batasan Masalah
Untuk menghindari batasan yang terlalu luas sehingga dapat mengaburkan
penelitian, maka penulis mencoba membatasi ruang lingkup penelitian pada
kajian mengenai makna tradisi ritual bakar tongkang pada masyarakat Tionghoa
1.3. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah penulis kemukakan di atas beberapa
masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana makna tradisi perayaan ritual bakar tongkang pada masyarakat
etnis Tionghoa di kota Bagansiapiapi ?
2. Bagaimana perubahan makna tradisi perayaan ritual bakar tongkang pada
generasi sekarang masyarakat etnis Tionghoa di kota Bagansiapiapi dewasa
ini?
1.4. Tujuan Penelitian
Secara khusus penelitian ini bertujuan :
1. Untuk mendeskripsikan makna tradisi perayaan ritual bakar tongkang bagi
masyarakat Tionghoa di kota Bagansiapiapi.
2. Untuk mengetahui perubahan makna yang terjadi pada tradisi perayaan ritual
bakar tongkang bagi generasi muda masyarakat etnis Tionghoa di kota
Bagansiapiapi.
1.5. Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi ataupun memberikan
informasi bagi masyarakat secara umum maupun mahasiswa yang
berminat terhadap tata cara dan makna dibalik tradisi bakar tongkang pada
2. Dengan adanya penelitian ini diharapkan tradisi bakar tongkang dapat
semakin dikenal oleh masyarakat luas sehingga membuat masyarakat luas
tersebut tertarik untuk datang melihat langsung tradisi bakar tongkang ini
BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep
Konsep adalah istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan
secara abstrak kejadian, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian
(Singarimbun, 1989: 33). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Poerwadarminta sebagai editor (1995:456) dikatakan bahwa, konsep diartikan
sebagai rancangan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari pengertian
kongkret, gambaran mental dari objek apapun yang ada diluar bahasa yang
digunakan oleh akal budi untuk memahami hal hal lain
Dalam hal ini, defenisi konsep bertujuan untuk merumuskan istilah yang
digunakan secara mendasar. Selain itu adalah untuk menyamakan persepsi tentang
apa yang akan diteliti serta menghindari salah pengertian yang dapat
mengaburkan tujuan penelitian.
2.1.1. Tradisi Ritual Bakar Tongkang
Tradisi Bakar Tongkang memiliki sejarah panjang, merupakan salah satu
unsur tradisi dan kepercayaan lokal yang menjadi suatu kebudayaan daerah dan
nasional. Indonesia adalah negara mempunyai tingkat pluralitas yang tinggi
terhadap pemahaman tradisi dan kepercayaan lokal yang dianut sebagian elemen
kebudayaannya, ganda dalam prilaku kehidupan kemasyarakatannya, tetapi
bersatu dalam satu bangsa dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika menunjukkan
ciri keragaman kehidupan Bangsa Indonesia, yang sesungguhnya berbeda-beda
tetapi dalam satu kesatuan juga.
Salah satu tradisi dan kepercayaan lokal pada kelompok masyarakat
Indonesia Tionghoa Bagansiapiapi di Provinsi Riau, Kabupaten Rokan Hilir telah
ada sepanjang abad lamanya yaitu upacara tradisi ritual Bakar Tongkang yang
dilakukan secara rutin pada bulan kelima penanggalan Imlek tanggal 16 disebut
Go Ge Cap Lak. Ritual diadakan pada setiap tahun. Ritual hanyalah salah satu
sarana menyentuh dan membangun semangat Komunitas Tionghoa di
Bagansiapiapi untuk pulang kampung. Perayaan tradisi Ritual Bakar Tongkang
merupakan tradisi dan kepercayaan masyarakat Indonesia Tionghoa
Bagansiapiapi. Penyelenggaraan tradisi Ritual Bakar Tongkang tiap tahunnya
sangatlah semarak. Kekhasan Go Ge Cap Lak terletak pada ritual Bakar Tongkang
yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari sejarah kehadiran warga Tionghoa di
Bagansiapiapi. Ritual ini juga berkaitan dengan kelenteng Ing Hok Kiong
merupakan tempat pemujaan sekaligus penghormatan terhadap Dewa Kie Ong Ya
dan Dewa Tai Sun Ong Ya sebagai manifestasi dewa keselamatan dan
2.1.2 Masyarakat Tionghoa
Suku bangsa Tionghoa di Indonesia adalah salah satu etnis di Indonesia.
Biasanya mereka menyebut dirinya dengan istilah Tenglang (Hokkien), Tengnang
(Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka). Dalam bahasa Mandarin mereka disebut
Tangren (Hanzi: 唐人, "orang Tang"). Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa
orang Tionghoa-Indonesia mayoritas berasal dari Cina selatan yang menyebut diri
mereka sebagai orang Tang, sementara orang Cina utara menyebut diri mereka
sebagai orang Han (Hanzi: 漢人, hanyu pinyin: hanren, "orang Han").
Leluhur orang Tionghoa - Indonesia berimigrasi secara bergelombang
sejak ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka beberapa
kali muncul dalam sejarah Indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia
dideklarasikan dan terbentuk. Catatan - catatan dari Cina menyatakan bahwa
kerajaan - kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti -
dinasti yang berkuasa di Cina. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan
perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Cina ke Nusantara dan
sebaliknya.
Setelah Negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa yang
berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam
lingkup nasional Indonesia, sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang
2.2 Landasan Teori
Teori merupakan yang alat terpenting dari suatu pengalaman. Tanpa teori
hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu
pengetahuan (Koentjaraningrat, 1973:10). Teori adalah landasan dasar keilmuan
untuk menganalisis berbagai fenomena. Teori adalah rujukan utama dalam
memecahkan masalah penelitian didalam ilmu pengetahuan.
Sebagai pedomaan dalam menyelesaikan tulisan ini penulis menggunakan
teori yang berhubungan dengan pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas
dalam tulisan ini. Adapun teori yang penulis pergunakan adalah seperti teori yang
akan diuraikan sebagai berikut:
Dalam membahas Perubahan Makna Tradisi Bakar Tongkang Pada
Mayarakat etnis Tionghoa di kota Bagansiapiapi, secara lebih mendetail, penulis
menggunakan teori semiotik yang dikemukakan oleh Roland Barthes. Semiotik
berasal dari kata Yunani,yaitu semeion yang berarti tanda. Semiotik adalah model
penelitian sastra dengan memperhatikan tanda-tanda. Tanda tersebut dianggap
mewakii sesuatu objek secara respresentative. Istilah semiotic sering digunakan
bersama dengan istilah semiologi.Istilah pertama merujuk pada sebuah displin
sedangkan istilah kedua merefer pada ilmu tentangnya. Baik semiotic atau
semiologi sering digunakan bersama-sama, tergantung di mana istilah itu
popular.(Endaswara,2008:64)
Menurut Barthes dalam (Kusumarini : 2006),”denotasi adalah tingkat
pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan pertanda yang didalamnya
beroperasi makna yang tidak eksplesit,tidak langsung,dan tidak pasti”.
Barthes adalah penerus pemikiran Saussure.Saussure tertarik pada cara
kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan
makna,tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bias saja
menyampaikan makna yang berbeda pada oranng yang berbeda situasinya.
Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi
antara teks dengan pengalaman personal dan cultural penggunanya, interaksi
antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh
penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of signification”,
mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda
yang lahir dari pengalaman cultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan
Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah
signifier-signified yang diusung sausure.
Untuk mengkaji Perubahan Makna Tradisi Perayaan Bakar Tongkang
Pada Masyarakat Tionghoa Di Kota Bagansiapiapi penulis juga menggunakan
teori perubahan sosial. Teori mengenai perubahan sosial sering mempersoalkan
perbedaan antara perubahan sosial dengan perubahan kebudayaan. Kingsley
David berpendapat bahwa perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan
perubahan kebudayaan. Perubahan dalam kebudayaan mencakup bagian kesenian,
ilmu pengetahuan, teknologi, dan filsafat. Pengertian kebudayaan itu mencakup
segenap cara berfikir, tingkah laku yang timbul karena interaksi yang bersifat
menurut Kingsley David kebudayaan adalah suatu kompleks yang mencakup
pengetahuan, kepercayaan kesenian, moral, adat-istiadat, dan setiap kemampuan
serta kebiasaan manusia sebagai masyarakat. Maka perubahan-perubahan
kebudayaan adalah setiap dari unsur-unsur tersebut. Perubahan-perubahan sosial
dan kebudayaan mempunyai suatu aspek yang sama yaitu keduanya
bersangkut-paut dengan suatu penerimaan cara-cara baru atau suatu perbaikan dalam cara
suatu masyarakat memenuhi kebutuhannya. Dewasa ini proses-proses pada
perubahan sosial dapat diketahui dari adanya cirri-ciri tertentu antara lain tidak
ada masyarakat yang berhenti perkembangannya, karena setiap masyarakat
mengalami perubahan yang terjadi secara lambat atau secara cepat. Secara
sosiologis, agar perubahan dapat terjadi, maka harus dipenuhi syarat-syarat
tertentu antara lain harus ada keinginan untuk mengadakan suatu perubahan. Di
dalam masyarakat harus ada perasaan tidak puas terhadap keadaan, dan harus ada
suatu keinginan untuk mencapai perbaikan dengan perubahan keadaan tersebut.
Suatu perubahan sosial dan kebudayaan dapat pula bersumber pada sebab-sebab
yang berasal dari luar masyarakat itu sendiri. Itu mungkin terjadi karena
kebudayaan dari masyarakat lain melancarkan pengaruhnya. Dengan kata lain,
hubungan yang dilakukan secara fisik antara dua masyarakat mempunyai
kecenderungan untuk menimbulkan pengaruh timbal-balik. Artinya, masing-
masing masyarakat mempengaruhi masyarakat lainnya, tetapi juga menerima
pengaruh dari masyarakat yang lain itu. Apabila salah satu dari dua kebudayaan
yang bertemu mempunyai taraf teknologi yang lebih tinggi, maka yang terjadi
Mula-mula unsur-unsur tersebut ditambahkan pada kebudayaan asli. Akan tetapi
lambat-laun unsur-unsur kebudayaan aslinya diubah dan diganti oleh unsur-unsur
kebudayaan asing tersebut.
Salah satu faktor yang mendorong jalannya proses perubahan adalah
kontak dengan kebudayaan lain. Salah satu proses yang menyangkut hal ini adalah
diffusion atau difusi. Difusi adalah proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan
dari individu kepada individu lain. Dengan proses tersebut manusia mampu untuk
menghimpun penemuan-penemuan baru yang telah diterima oleh masyarakat,
dapat diteruskan dan disebarkan pada masyarakat luas sampai umat manusia di
dunnia dapat menikmati kegunaannya. Proses tersebut merupakan pendorong
pertumbuhan suatu kebudayaan yang baru dan memperkaya
kebudayaan-kebudayaan masyarakat manusia. ( Kingsley David dalam Soekanto,1990 ; 337 –
2.1.3 Tinjauan Pustaka
Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat, sesudah
menyelidiki atau mempelajari (KBBI, 2003:912). Pustaka adalah kitab-kitab;
buku; buku primbon (KBBI,2003:912).
Brigjen TNI (Pur) Tedy Jusuf, (2000): Sekilas Budaya Tionghoa
Indonesia. Buku ini menjelaskan tentang budaya dan adat istiadat Tionghoa yang
hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia.
Sudarno M, (2005): Gema Proklamasi Kemerdekaan RI dalam peristiwa
Bagansiapiapi. Dimana dalam buku ini dikatakan Bagansiapiapi adalah sebuah
daerah di Indonesia yang penduduknya mayoritas beretnis Tionghoa. Masyarakat
Tionghoa pertama kali datang ke Bagansiapiapi pada tahun 1872 dengan
menggunakan dua perahu (tongkang),menurut sejarah hanya satu perahu yang
akhirnya tiba dan menetap di Bagansiapiapi yaitu perahu yang berisikan 18 orang
marga Ang yang memang berada di perahu tersebut. Perahu yang lain
kemungkinan besar tenggelam karena perjalanan mereka tertimpa badai.
Rohil (2008) Visit Bagansiapiapi, dimana dalam buku ini dikatakan bahwa
tradisi Bakar Tongkang dilakukan untuk menghormati dan mensyukuri
kemakmuran dan keselamatan yang mereka peroleh dari hasil laut sebagai mata
pencaharian utama masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi, maka mereka membakar
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Metodologi Penelitian
3.1.1. Pendekatan
Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian perubahan
makna tradisi perayaan Bakar Tongkang pada masyarakat Tionghoa di kota
Bagansiapiapi melalui antropologi budaya dengan metode deskriptif dengan
pendekatan kualitatif. Penelitian ini bersifat deskriptif, bertujuan menjelaskan
secara tepat sifat sifat individu, keadaan gejala atau kelompok tertentu atau untuk
menentukan frekwensi adanya hubungan tertentu antara suatu gejala dengan
gejala yang lain dalam masyarakat. Dalam hal ini mungkin sudah ada
hipotesa-hipotesa, mungkin juga belum, tergantung dari sedikit banyaknya pengetahuan
tentang masalah bersangkutan (Koentjaningrat,1991:29).
Sedangkan menurut Hadari dan Mimi Martini (1994:176), penelitian yang
bersifat kualitatif yaitu rangkaian kegiatan atau proses menjaring data atau
informasi yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi
aspek/bidang kehidupan tertentu pada objeknya. Penelitian ini tidak
mempersoalkan sampel dan populasi sebagaimana dalam penelitian kuantitatif.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk
sistematis dan akurat mengenai fakta dari perubahan makna tradisi perayaan
Bakar Tongkang.
3.1.2. Tekhnik Pengumpulan Data
Langkah dalam tehnik pengumpulan data ini adalah melalui metode :
Wawancara, Observasi Lapangan dan Studi kepustakaan.
Sebelum tehnik wawancara dilakukan, peneliti membuat pedoman
wawancara yang sesuai dengan pertanyaan yang diberikan kepada beberapa tokoh
masyarakat Tionghoa. Untuk mengumpulkan data pertama penulis menemui
informan yaitu seorang tokoh adat Tionghoa. Penulis datang dan bertanya
langsung tentang tradisi Bakar Tongkang. Kemudian sang informan menjelaskan
secara keseluruhan tentang tradisi Bakar Tongkang. Dari hasil wawancara ini
diperoleh keterangan tentang tradisi Bakar Tongkang.
Penulis juga menemui sekelompok anak muda berketurunan Tioghoa.
Dimana mereka merupakan masyarakat asli kota Bagansiapiapi yang kini telah
merantau keberbagai daerah namun secar khusus datang ke Bagansiapiapi hanya
untuk merayakan tradisi ritual Bakar Tongkang yang telah mereka lakukan sejak
dahulu secara turun menurun. Secara langsung penulis mengajukan pertanyaan
pertanyaan yang sesuai dengan objek penelitian penulis.
Maka untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian skripsi ini
penulis mengunjungi kelenteng Ing Hok Kiong di jalan Kelenteng kota
yang didirikan oleh pelayar yang datang ke kota Bagansiapiapi, sebagai wujud
syukur dan terimakasih terhadap dewa King Ong Ya dan Tai Sun Ong Ya. Di
kelenteng Ing Hok Kiong penulis bertemu dengan Bapak Ahe. Dimana beliau
adalah pengurus kelenteng. Dari beliau penulis menemukan bayak informasi
mengenai makna tradisi ritual Bakar Tongkang.
3.1.3. Teknik Analisis Data
3.1.3.1 Wawancara
Salah satu teknik pengumpulan data dalam penelitian adalah tehnik
wawancara, yaitu mendapatkan informasi dengan bertanya secara langsung
kepada subjek penelitian. Sebagai modal awal penulis berpedoman pada pendapat
Koentjaraningrat (1981:136) yang mengatakan, “…kegiatan wawancara secara
umum dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: persiapan wawancara, tehnik
bertanya dan pencatat data hasil wawancara.”
Dalam studi ini penulis melakukan penelitian terhadap beberapa
masyarakat Tionghoa dan pemuka adat masyarakat Tionghoa di kota
Bagansiapiapi. Penulis menggunakan metode wawancara terutama dengan
informan kunci yaitu orang yang banyak mengetahui dan mengerti tentang ritual
Bakar Tongkang.
Metode wawancara yang penulis gunakan adalah:
daftar pertanyaan, namun penulis menggunakan suatu pedoman yang
berisikan garis besar pokok masalah yang ingin penulis peroleh
informasinya.
2. Wawancara sambil lalu atau Casual Interview. Bentuk wawancara ini
penulis gunakan juga terhadap beberapa generasi muda berketrunan
Tionghoa yang mengikuti tradisi ritual Bakar Tongkang.
3.1.3.2Observasi
Observasi atau pengamatan, dapat berarti setiap kegiatan untuk melakukan
pengukuran dengan menggunakan indera penglihatan yang juga berati tidak
melakukan pertanyaan-pertanyaan (Soehartono, 1955:69). Dalam mengumpulkan
data salah satu tehnik yang cukup baik untuk diterapkan adalah pengamatan
secara langsung/observasi terhadap subyek yang akan diteliti.
Dalam penelitian ini penulis hanya mengadakan dua kali
pengamatan/observasi langsung ke kota Bagansiapiapi. Dimana pada saat satu
bulan sebelum dilaksanakannya ritual Bakar Tongkang dan pada saat tradisi
Ritual Bakar Tongkang berlangsung.
3.1.3.3 Studi Kepustakaan
Untuk mencari tulisan-tulisan pendukung, sebagai kerangka landasan
berfikir dalam tulisan ini, adapun yang dilakukan adalah studi kepustakaan.
hasil wawancara. Sumber bacaan atau literatur ini dapat berasal dari penelitian
terdahulu dimana berupa artikel - artikel.
3.2 Data dan Sumber Data
Di dalam setiap penelitian, data menjadi patokan yang sangat penting bagi
setiap penulis untuk menganalisis masalah yang dikemukakan. Data yang
digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data yang dipakai pada perayaan
ritual Bakar Tongkang. Data-data yang digunakan diperoleh dari sumber data
primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer tersebut adalah sebagai
berikut:
Sumber Data Primer : Kong Ci
Profesi : Pengusaha Walet
Alamat : Jln. Sumatera Laut no 88 Bagansiapiapi
Kabupaten Rokan Hilir
Sumber Data Primer : Bapak Ahe
Profesi : Pengurus kelenteng
Alamat : Jl. Kelenteng no.42 Bagansiapiapi
3.3 Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini akan diupayakan untuk memperdalam
atau menginterpretasikan secara spesifik dalam rangka menjawab seluruh
pertanyaan.
Adapun proses yang dilakukan adalah:
1. Mewawancarai beberapa masyarakat Tionghoa dan beberapa tokoh
masyarakat Tionghoa, untuk memudahkan penulis untuk mengerjakan
tulisan ini, serta mendapatkan informasi tentang tradisi perayaan ritual
Bakar Tongkang .
2. Mengumpulkan buku-buku atau jurnal-jurnal yang diharapkan dapat
mendukung tulisan ini kemudian memilih data yang dianggap paling
penting dan penyusunannya secara sistematis.
3. Berdasarkan data-data yang diambil, lalu penulis dapat membuat
kesimpulan dari hasil yang diteliti dalam proses jalannya membuat
penelitian ini.
3.4.Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian berada di beberapa tempat di Kota Bagansiapiapi
khususnya di kelenteng Ing Hok Kiong. Pemilihan lokasi penelitian ini, karena
kelenteng Ing Hok Kiong merupakan tempat dimana diadakannya perayaan
ritual Bakar Tongkang, sehingga penulis lebih mudah untuk mewawancarai
masyarakat Tionghoa.
Bab IV Pembahasan
4.1. Masyarakat Tionghoa kota Bagansiapiapi
Bagansiapiapi memiliki komunitas masyarakat Tionghoa yang sangat
besar. Menurut data yag penulis peroleh dari Badan Pusat Statistik kota
Bagansiapiapi komunitas Tionghoa di Bagansiapiapi sebagian besar merupakan
suku Hokkian, di mana leluhurnya sebagian besar berasal dari Distrik Tong'an
(Tang Ua) di Xiamen, provinsi Fujian, Tiongkok Selatan. Komunitas Tionghoa
lainnya di Bagansiapiapi dengan jumlah cukup signifikan adalah berasal dari suku
Tiociu, sedangkan dari suku Khek (Hakka), Hailam (Hainan) dan Konghu dapat
dijumpai dalam jumlah yang relatif lebih sedikit.
Etnis china di Bagansiapiapi terkenal sebagai suku yang gigih, pekerja
keras, ulet, penemu resep makanan yang lezat, suka berjudi, namun hemat dan
lebih mengedepankan hubungan kerja. Mereka mengingatkan kita pada kebesaran
Jengis Khan dan Timur Leng, namun mereka mempunyai selera kuliner yang
tinggi, kehalusan budaya dan kepatuhan pada peraturan. Banyak tokoh informal
China yang lahir dan besar di kota Bagansiapiapi. Mereka dapat menjadi contoh
bagi kita dalam membentuk rasa persaudaraan yang kental dan kesetiakawanan.
Kemampuan mereka dalam mengolah bahan baku menjadi produk bernilai tinggi
seharusnya menjadi acuan kita dalam membangun negeri ini. Syukurlah, bahwa
etnis China di Bagansiapiapi ini adalah bagian dari bangsa kita. Tidak sulit untuk
belajar pada mereka bagaimana membangun negara ini dengan kegigihan dan
kerja keras, asal kita menempatkan mereka berdiri sejajar, mempunyai hak dan
kewajiban yang sama, tidak dikurangi atau dilebihkan. Rentang waktu, akan
terbukti bahwa etnik China di Bagansiapiapi akan menjadi aset berharga yang
mengharumkan nama bangsa. (Sudarno M; 2005, 12)
perkumpulan marga Tionghoa, lengkap dengan kelentengnya masing - masing, di
mana dari perkumpulan - perkumpulan marga inilah kebudayaan Tionghoa tetap
terpelihara di Bagansiapiapi meskipun dibatasi pada masa rezim Orde Baru.
Perkumpulan-perkumpulan marga tersebut di antaranya adalah
Perkumpulan Marga Ang Liok Kui Tong / Yayasan Sosial Marga Sad Eka
(六桂堂), Perkumpulan Marga Ng Kang Ha Tong / Yayasan Samvara Dharma
Wijaya (江夏堂/黃氏宗親會), Perkumpulan Marga Tan Ying Chuan Tong
(陳氏穎川堂), Perkumpulan Marga Lim Kiu Ling Tong (九龍堂), Perkumpulan
Marga Coa Cei Yong Tong (濟陽堂), Perkumpulan Marga Gui, Perkumpulan
Marga Kho / Yayasan Panca Bina Dharma Citra, Perkumpulan Marga Li,
Perkumpulan Marga Yeo, Perkumpulan Suku Tiociu Han Kang/Yayasan Mulia
Dharma Abadi (韓江公會), dan sebagainya.
Jumlah masyarakat Tionghoa dikota Bagansiapiapi setiap tahunnya
mengalami perubahan, dikarenakan kebiasaan dari masyarakat Tionghoa di kota
Bagansiapiapi dimana setelah lulus Sekolah Menengah Atas mereka akan
merantau disuatu tempat dan mencoba peruntungan dikota tersebut, setelah
merasa berhasil masyarakat Tionghoa perantauan akan membawa keluarga yang
masih berdomisili di kota Bagansiapiapi untuk hijrah ke perantauan begitu juga
sebaliknya. Dimana masyarakat Tionghoa dari kota lain juga banyak yang
memilih untukberdomisili di kota Bagansiapiapi membawa serta seluruh
keluarganya.
Disini penulis melampirkan jumlah penduduk masyarakat Tionghoa
dikota Bagansiapiapi yang penulis peroleh dari Badan Pusat Statistik kota
Di Kecamatan Bangko
Etnis Tiong Hoa
Kelurahan
Jenis Kelamin
Jumlah
L P
Bagan Hulu 330 267 597 Bagan Timur 575 539 1,114 Bagan Kota 1,696 1,566 3,262 Bagan Barat 1,953 1,888 3,841 Bagan Jawa 215 193 408 Jumlah 4,769 4,453 9,222 Sumber : Sensus Penduduk 2010
4.2. Bakar Tongkang
4.2.1. Sejarah Bakar Tongkang
Menurut data yang penulis peroleh dari Humas Pemkab Rokan Hilir,
dikatakan bahwa Bakar Tongkang diperkirakan sudah dilaksanakan sejak tahun
1820 lalu. Bagi masyarakat Bagansiapiapi,Rokan Hilir, terutama bagi masyarakat
Tionghoa, Bakar Tongkang mempunyai nilai sejarah yang tak akan lekang
dimakan waktu. Karena itu tradisi ini terus dipelihara dari generasi ke generasi.
Menurut penuturan staf Humas Pemkab Rohil bapak Syahdan, dikatakan
Ritual Bakar Tongkang tidak dapat dipisahkan dari kehadiran masyarakat
Tionghoa dari provinsi Fujian – China. Menggunakan tiga kapal kayu yang
disebut wang kang atau tongkang. Mereka orang Tiongkok yang migrasi ke Desa
Songkla di Thailand pada tahun 1825. Masa migrasi di Thailand tidak
berlangsung lama. Orang Tiongkok pendatang dimusuhi penduduk asli hingga
terjadi kerusuhan. Karena sadar keberadaan mereka membawa pertikaian, mereka
Saat dalam kebimbangan dan kehilangan arah, mereka berdoa kepada
Dewa Kie Ong Ya yang saat itu berada di kapal tersebut agar dapat memberikan penuntun arah menuju daratan. Tidak lama, pada keheningan malam tiba – tiba mereka melihat cahaya samar – samar . Mereka yakin dimana ada cahaya, disitulah ada daratan. Mereka mengikuti arah cahaya, hingga sampai di daratan Selat Malaka.
Pejuang masyarakat Tionghoa yang merantau sebanyak 18 orang yaitu Ang Nie Kie, Ang Nie Hiok, Ang Se Guan, Ang Se Pun, Ang Se Teng, Ang Se Shia, Ang Se Puan, Ang Se Tiau, Ang Se Po, Ang Se Nie Tjai, Ang Se Nie Tjua, Ang Un Guan, Ang Cie Tjua, Ang Bun Ping, An Un Siong, Ang Sien In, Ang Se Jian dan Ang Tjie Tui. Mereka inilah kemudian dianggap sebagai leluhur di Bagansiapiapi.
Keesokan harinya, mereka melihat di sungai banyak ikan, begitu juga dilaut. Dengan penuh sukacita mereka menangkap ikan untuk kebutuhan hidup. Mulailah mereka bertahan hidup di tanah Bagansiapiapi. Bagi mereka yang menemukan daerah tempat tinggal yang lebih baik, segera mengajak keluarga dari negeri tirai bambu datang ke Bagansiapiapi. Sehingga jumlah masyarakat Tionghoa kian banyak.
Keahlian menangkap ikan yang dimiliki nelayan mendorong penangkapan hasil laut semakin berlimpah. Hasil laut yang berlimpah diekspor ke berbagai benua, hingga menjadi terkenal. Bahkan Bagansiapiapi diklaim sebagai penghasil ikan laut terbesar kedua di dunia, Setelah Norwegia.
Setelah sekian lama menetap di Bagansiapiapi, masyarakat Tionghoa di sana membangun sebuah kelenteng pada 1875, diberi nama Kelenteng IN Hok Kiong. Pada 1982 kelenteng ini dibuat secara permanen. Di sinilah Dewa Kie Ong Ya disembahyangkan secara utuh, asli saat leluhur pertama kali menginjak kaki di tanah Bagansiapiapi.
Ada juga versi lain yang jarang dibicarakan orang yaitu Bagan adalah istilah tempat atau alat penangkapan ikan model kuno dan kata api, nama sejenis pohon di rawa – rawa yang biasanya disebut pohon api – api. Dikarenakn pada saat dulu di perairan Bagansiapiapi banyak sekali ditemukan tempat atau alat penangkapan ikan dan rawa – rawa yang ditumbuhi oleh pohon api – api.
Ritual Bakar Tongkang merupakan kisah pelayaran masyarakat keturunan Tionghoa yang melarikan diri dari ancaman penguasa Silam. Kapal yang dipimpin
Ang Mei Kui, terdapat patung Dewa King Ong Ya dan lima dewa, dimana
panglimanya disebut Tai Sun Ong Ya. Patung – patung ini para pelayar bawa dari tanah Tiongkok. Menurut keyakinan para pelayar, dewa ini akan memberikan keselamatan selama dalam pelayaran, hingga akhirnya para pelayar menetap di kota Bagansiapiapi.
Sebagai menghormati dan mensyukuri kemakmuran dan keselamatan yang mereka peroleh dari hasil laut sebagai mata pencaharian utama masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi, mereka membakar wangkang ( tongkang ) yang dilakukan setiap tahun. Menurut hasil wawancara penulis terhadap beberapa masyarakat Tionghoa di kota Bagansiapiapi, terdapat beberapa sumber yang menyebutkan, ritual Bakar Tongkang adalah ritual pemujaan untuk memperingati hari ulang tahun Dewa Kie Ong Ya ( dewa Laut ) yang memiliki cirri khas tersendiri dan tidak ditemui ditempat lain di Indonesia.
4.3. Makna Ritual Bakar Tongkang
Bakar Tongkang atau yang biasa disebut dengan Go Ge Cap Lak menjadi
salah satu unsur tradisi dan kepercayaan lokal yang menjadi suatu kebudayaan
daerah dan nasional. Indonesia adalah Negara mempunyai tingkat pluralitas yang
tinggi terhadap pemahaman tradisi dan kepercayaan lokal yang dianut sebagian
elemen masyarakat. Bangsa Indonesia hidup dalam masyarakat plural (majemuk)
artinya masyarakat serba ganda dalam kepercayaannya, ganda dalam ragam
kebudayaannya, ganda dalam prilaku kehidupan kemasyarakatannya, tetapi
bersatu dalam satu Bangsa dengan Semboyan Bhineka Tunggal Ika menunjukkan
ciri keragaman kehidupan Bangsa Indonesia, yang sesungguhnya berbeda-beda
Didalam masyarakat plural muncul berbagai tradisi dan kepercayaan lokal
menjadi salah satu keanekaragaman kebudayaan Indonesia. Kebudayaan tidak
sebatas kesatuan berupa tarian-tarian, lukisan, teater atau film. Salah satu tradisi
dan kepercayaan lokal pada kelompok masyarakat Indonesia Tionghoa
Bagansiapiapi di Provinsi Riau, Kabupaten Rokan Hilir telah eksis sepanjang
abad lamanya yaitu Upacara prosesi Ritual Bakar Tongkang yang dilakukan
secara rutin pada bulan kelima penanggalan Imlek tanggal 16 disebut Go GeCap
Lak. Ritual diadakan pada setiap tahun. Ritual hanyalah salah satu sarana
menyentuh dan membangun semangat Komunitas Bagan Siapi-api untuk pulang
kampung. Dan pada tahun ini tradisi ritual bakar tongkang jatuh pada tanggal 4 di
bulan july kalender masehi.
Perayaan prosesi Ritual Bakar Tongkang merupakan tradisi dan
kepercayaan masyarakat Indonesia Tionghoa Bagansiapiapi. Penyelenggaraan
prosesi Ritual Bakar Tongkang tahun ini sama halnya perayaan beberapa tahun
terakhir, sangat semarak dibandingkan dengan perayaan Tahun Baru Imlek.
Kekhasan Go Ge Cap Lak terletak pada Ritual Bakar Tongkang yang menjadi
bagian tidak terpisahkan dari sejarah kehadiran warga Tionghoa di Bagan
Siapi-api. Ritual ini juga berkaitan dengan Kelenteng Ing Hok Kiong merupakan tempat
pemujaan sekaligus penghormatan terhadap Dewa Kie Ong Ya dan Dewa Tai
Sun Ong Ya. Dimana menurut kepercayaan lokal masyarakat Tionghoa
Bagansiapiapi dewa Kie Ong Ya dan Tai Sun Ong Ya merupakan dewa
keselamatan dan dewa pembawa rejeki serta kesejahteraan bagi masyarakat kota
4.3.1. Nilai Tradisi Dan Kepercayaan Lokal
4.3.1.1 Prosesi Ritual Tan Ki
Tradisi dan kepercayaan lokal atas prosesi Ritual Bakar Tongkang
dipercaya masyarakat Indonesia Tionghoa Bagansiapiapi menjadi bagian
momentum perayaan Ulang Tahun Dewa Kie Ong Ya, terutama upacara prosesi
Ritual Bakar Tongkang berkaitan dengan kepercayaan arah pencarian rezeki ;
Perayaan Ritual Bakar Tongkang ini untuk memperingati Dewa Kie Ong Ya dan
Dewa Tai Shun Ong Ya yang memberi pencerahan keselamatan dan
kesejahteraan. Keyakinan kosmologis ini masih sangat kental dipercaya dengan
melakukan prosesi Ritual Bakar Tongkang setiap tahun. Tradisi dan kepercayaan
lokal ini menjadi bagian tidak terpisahkan dari kisah perjalanan dan pembangunan
Kota Bagansiapiapi oleh Perantau Tionghoa pada Era 1820-an.
Berawal dari pelayaran dengan Kapal Tongkang yang selamat telah
menciptakan inspirasi dan kreasi budaya oleh warga Indonesia Tionghoa
Bagansiapiapi untuk memperingati keselamatan mereka menggunakan Kapal
Tongkang secara kebetulan membawa patung Dewa Kie Ong Ya dan Dewa Tai
Sun Ong Ya, telah menjadi penyelamat sehingga dalam memperingati
keselamatan tersebut perlu dilakukan prosesi Ritual dengan cara membakar
Replika Kapal Tongkang sebagai manifestasi keselamatan, kemakmuran dan
kejayaan yang dibimbing oleh kepercayaan Dewa Kie Ong Ya dan Dewa Tai Sun
Ong Ya. Konon tradisi prosesi Ritual Bakar Tongkang di mulai pada tahun
1920-an
Menjelang perayaan Ritual Bakar Tongkang dibentuk panitia untuk
membuat replika Kapal Tongkang dan meletakkannya di kelentengIng Hok
Kiong. Replika kapal Tongkang dipersiapkan pembuatannya sebulan sebelumnya,
dengan ukuran replika Tongkang sepanjang 9,2 Meter, lebar 2 Meter, dan tiang
tinggi 2,7 Meter dengan bobot 400 Kilogram. Sehari menjelang puncak kegiatan
Imlek yang jatuh pada tanggal 03 july 2012. Kelenteng itu dikhususkan bagi
penghormatan dewa Kie Ong Ya dan dewa Tai Sun Ong Ya. Pada tanggal 16
bulan kelima Imlek yang jatuh pada tanggal 04 july Juni 2012 dimulai Upacara
Spiritualitas dengan mempersembahkan benda-benda yang memiliki makna
masing-masing seperti berbagai ragam buah-buahan melambangkan buah
pencapaian spiritual yang membawa masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi menuju
buah akhir yaitu penerangan sempurna sedangkan simbol kembang bunga yang
segar dan indah yang segera akan menjadi layu, tidak lagi wangi dan pudar
warnanya mengingatkan masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi pada ketidak
kekalan semua benda, termasuk kehidupan manusia. Adapun makna tersirat dari
simbol kembang bunga yang segar dan indah yang segera akan menjadi layu,
tidak wangi dan pudar warnanya adalah untuk menghargai setiap momen
kehidupan kita dan tidak terikat pada setiap proses kehidupan manusia.
Berbagai rupa kue, beras, air putih beserta berbagai makanan dan
minuman khusus untuk sembahyang disertai berbagai lilin besar dan tinggi
bercahaya memilii makna bahwa pancaran sinar kebijaksanaan yang menghalangi
kegelapan dunia untuk mencapai penerangan sempurna, serta dupa (Hio) yang
yang ragam wanginya dimeja altar sembahyang dewa Kie Ong Ya dan dewa Tai
Sun Ong Ya.
Selama kurang lebih seminggu lamanya Kelenteng penuh dikunjungi umat
dengan nyala lilin dan dupa wangi dibakar yang keharumannya memenuhi udara
menyebarkan efek kesucian dan melambangkan jasa kebijakan, mendorong aura
spiritual untuk melawan semua godaan setan dan membangkitkan hal-hal yang
baik dan perbuatan yang tulus. Memberi persembahan merupakan salah satu cara
membentuk potensi aura positif dalam diri masyarakat Tionghoa Bagansispispi
dan mengembangkan kebersihan batin dan pikiran manusia. Persembahan dalam
upacara sembahyang dewa Kie Ong Ya dan dewa Tai Sun Ong Ya sebagai wujud
memberi doa dan sekaligus mengakumulasikan kebajikan dan didedikasikan
Semua umat yang hadir sembahyang memohon doa umur panjang, rezeki,
keselamatan, kesejahteraan, menghilangkan halangan-halangan dalam jalan
kehidupan, pada saat itulah permintaan tersebut diucapkan. Pada tanggal 17 bulan
lima kalender imlek seluruh rombongan suhu spiritual yang disebut Tan Ki yang
berasal dari berbagai kelenteng di kota Bagansiapiapi hadir silih berganti memberi
penghormatan spiritual kepada dewa Kie Ong Ya dan dewa Tai Sun Ong Ya.
Setiap Tan Ki berpakaian khas tradisional yang mewakili dewa - dewi yang
menjadi bagian spiritualitas Tan Ki (suhu spiritual) contohnya Tan Kie dari
kelenteng Dewi Kwan Im akan mengenakan pakaian putih - putih dengan
memegang cawan dan kuas. Para Tang Ki bersujud berhadapan dewa - dewi
memberi ungkapan rasa hormat yang mendalam, kemudian mengelilingi meja
altar sembahyang untuk membangkitkan kualitas aura spiritual.
Para Tan Ki yang berprosesi pada ritual di Kelenteng Ing Hok Kiong
diberi kesempatan menunjukkan kebolehan di depan meja altar persembahan.
Suasana mistis menjadi sangat kental. Tan Ki yang membawa pedang
membacokan senjata itu ketubuhnya. Tan Ki yang membawa bola duri secara
atraktif memukulkan bola duri ke sekujur tubuh dan kepalanya. Darah segar
mengalir dari kepala dan badan tanpa membahayakan jiwa. Ada juga para Tan Ki
yang menusuk pipinya dengan kawat tajam sehingga tembus dari pipi kiri ke pipi
kanan. Sejumlah orang-orang yang membawa tandu yang telah terisi dengan
kekuatan spiritualitas pun bergerak dengan kekuatan dan kecepatan tinggi
membuat sejumlah orang pembawa tandu terhujung-hujung, beragam adegan doa
dan upacara. Hadirnya Tan Ki dari berbagai kelenteng dengan mengenakan
kostum pakaian, aneka macam simbol dan aksesoris budaya yang khas dalam
puncak upacara sembahyang di kelenteng Ing Hok Kiong memberi warna
kehidmatan dan aura energi kedamaian, menyucikan dan menumbuhkan sifat-sifat
positif dalam pikiran.
Dalam prosesi ritual Bakar Tongkang tercatat satu momen penting yang
kepercayaan masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi sebagai kekuatan mukjizat yang
memberi petunjuk keselamatan dan peruntungan usaha (rezeki) serta mata
pencaharian bagi masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi. Dimana jika tiang layar
utama Kapal Tongkang yang dibakar itu jatuh kearah laut maka dipercaya sebagai
kekuatan mukjizat yang memberi arah petunjuk peruntungan usaha dalam mata
pencaharian akan lebih banyak datangnya dari hasil laut. Dan sebaliknya jika
tiang layar utama Kapal Tongkang jatuh kearah darat maka kekuatan mukjizat
peruntungan usaha dan mata pencaharian akan lebih banyak datangnya dari hasil
darat.
Menurut kepercayaan lokal masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi ritual
Bakar Tongkang mengandung mukjizat yang telah ditafsirkan sebagai petunjuk
arah mukjizat keberuntungan usaha dan mata pencaharian oleh masyarakat
Tionghoa Bagansiapiapi, pengalaman ritual Bakar Tongkang yang di pandang
memiliki suatu kekuatan mukjizat keberuntungan yang selalu berelasi hubungan
dengan arah jatuh tiang layar utama Kapal Tongkang menjadi salah satu hal unik
dan menarik dari ritual Bakar Tongkang. Fenomena super normal yang sangat
dipercayai ada kebenarannya dengan kekuatan - kekuatan Ilahiah yang
bersemayam pada masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi. Namun kekuatan dan
kepercayaan tersebut sulit dijelaskan secara rasional kebenarannya tetapi telah
menjadi akumulasi kepercayaan masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi.
4.3.1.2 Makna Peran Tan Ki
Setiap Tan Ki yang berasal berbagai kelenteng-kelenteng dari
masing-masing tradisi dan aliran dengan kemampuan spiritual masing-masing-masing-masing membaca
mantra yang menjadi media berkomunikasi dengan Dewa Kie Ong Ya dan Dewa
Tai Sun Ong Ya serta Dewa-Dewi Kelenteng di Ing Hok Kiong mereka
mengucapkan mantra berulang-ulang, memohon sesuatu kepada Dewa-Dewi di
mengandung pesan dan Roh yang khusus. Setiap umat yang berminat dan
berkepentingan untuk mendapatkan berkah senantiasa melalui media kemampuan
spiritual Tan Ki untuk mendapatkan berkah dari Dewa-Dewi, pesan dan kekuatan
Roh yang khusus datang masuk kejiwa spiritual Tan Ki yang secara spiritual
khusus memberkahi permintaan untuk penyembuhan dan pemberkatan
keselamatan, keberuntungan, jodoh, menghilangkan bala atau musibah dan
lainnya. Setiap prosesi Upacara Sembahyang diiringi dengan tetabuhan yang
dipukul terus menerus dengan irama nada yang bergelombang naik turun seperti
memberi kekuatan semangat dan aura spiritual para Tan Ki.
Tan Ki memiliki kemampuan spiritual dengan mantra menjadi media
komunikasi menyampaikan pesan khusus yang diciptakan oleh orang yang
istimewa. Mantra digunakan untuk berkomunikasi dan berbicara dengan akrab
dengan berbagai Dewa-Dewi untuk memberi penyembuhan bagi yang sakit atau
memberi dukungan pemberkatan. Setiap Tan Ki menjadi praktisi pembaca mantra
mengetahui kebutuhan Rohani, jiwa keinginan dan bantuan dibutuhkan oleh umat
yang mengajukan permohonan atas berbagai penyelesaian masalah dan
pemberkatan kehidupan yang dihadapi.
Setiap Tan Ki dengan kemampuan spiritual mantra memiliki pesannya
sendiri-sendiri, mempunyai pesan khusus yang diterima dari komunikasi dengan
Dewa-Dewi umntuk memenuhi permohonan umat yang bermaksud untuk
keselamatan hidup, atau meningkatkan kualitas spiritual bagi umat yang belajar
meditasi.
Tan Ki inilah yang menjadi Ikon Upacara prosesi Ritual Bakar Tongkang,
setelah melakukan persembahan dan dialog selesai, para Tan Ki segera
melanjutkan aktivitas dengan atraksi-atraksi kemudian keluar dari Kelenteng Ing
Hok Kiong, para Tan Ki sudah dalam kondisi jiwa raga seperti keadaan tidak
sadarkan diri pandangan dan tatapan matanya seperti kosong dan kepala terus
bergerak mengikuti iringan suara gemuruh tabuhan. Suara gemuruh tabuhan
merupakan manifestasi penguatan spiritual dalam bentuk yang menyentuh,
membangkitkan kekuatan spiritual para Tan Ki. Mendengarkan bunyi gemuruh
tabuhan adalah salah satu cara yang indah untuk membangkitkan energi
kedamaiaan, energi kesadaran dan energi-energi lain yang menjaga dan melawan
energi negatif.
4.3.2.
Pada tanggal 04 Juli 2012 (GO Ge Cap Lak) yaitu pada tanggal 16 bulan
kelima Imlek. Kira-kira berdasarkan kebiasaan beberapa kali Ritual Bakar
Tongkang akan bergerak kurang lebih pada pukul 16.00 Replika Kapal Tongkang
di arak keluar dari Kelenteng Ing Hok Kiong, Replika Kapal Tongkang seberat
kurang lebih 400 Kilogram itu digotong oleh puluhan orang utusan dari seluruh
kelenteng-kelenteng yang mewakili masing-masing Kelenteng seluruh Kota
Bagansiapiapi. Perayaan arak-arakan diselenggarakan tepat pada bulan kelima
sampai ketempat upacara Ritual Bakar Tongkang mencapai kurang lebih 2
Kilometer melintasi jalan-jalan di tengah Kota Bagansiapiapi.
Memerlukan waktu kurang lebih satu jam arak-arakan Replika Kapal
Tongkang sampai ke lapangan kompleks lokasi pembakaran yang pada sisi pintu
masuk sebelah kanan terdapat sebuah Kelenteng yang dikhususkan bagi
penghormatan Dewa Thong Chi Ya, disisi kiri lokasi terdapat sebuah bangunan
megah tempat para tamu dan undangan berkumpul. Selanjutnya replika kapal
Tongkang digiring ke sudut kanan dan ditempatkan dibawah tumpukan kertas
sembahyang disusul dengan pemasangan tiang layar utama kapal Tongkang.
Dalam prosesi Ritual Bakar Tongkang tercatat satu momen penting yang menjadi
essensi kepercayaan Seabad lamanya yaitu menyaksikan kemana arah jatuhnya
tiang layar utama kapal Tongkang yang dibakar itu, semula dipercaya sebagai
kekuatan mukjizat yang memberi petunjuk keselamatan dan peruntungan usaha
(rezeki) serta mata pencaharian bagi etnis Tinghoa di kota Bagansiapiapi.
Maksudnya jika tiang layar utama kapal Tongkang yang dibakar itu jatuh kearah
laut maka dipercaya sebagai kekuatan mukjizat yang memberi arah petunjuk
peruntungan usaha dalam mata pencaharian akan lebih banyak datangnya dari
hasil laut. Dan sebaliknya jika tiang layar utama kapal Tongkang jatuh kearah
darat maka kekuatan mukjizat peruntungan usaha dan mata pencaharian akan
lebih banyak datangnya dari hasil darat.
Selama beribu tahun, agama-agama didunia telah dihubungkan dengan
hubungannya dengan kekuasaan Tuhan. Misalnya Krisna dipercaya telah
melakukan banyak hal, mulai dari menyedot suatu kebakaran hutan sampai
mengangkat sebuah bukit. Sang Buddha menghentikan seekor gajah yang sedang
murka dan membuatnya ketakutan. Ular musa memakan ular-ular Imam-Imam
Mesir. Kristus menyediakan cukup ikan dan roti untuk memberi makan orang
banyak yang sedang berkumpul. Namun, kemampuan membuat mukjizat ini
secara langsung maupun tidak langsung selalu dalam hubungannya dengan
kekuasaan Tuhan, merupakan usaha setiap agama untuk mendemonstrasi
kekuasaan dan kedaulatan Tuhan yang diidealkannya.
Dengan penafsiran peristiwa-peristiwa sebagai mukjizat tersebut, sama
halnya Ritual Bakar Tongkang juga dipercaya mengandung mukjizat yang telah
ditafsirkan sebagai petunjuk arah mukjizat keberuntungan usaha dan mata
pencaharian oleh masyarakat etnis Tionghoa di kota Bagansiapiapi, pengalaman
Ritual Bakar Tongkang yang di pandang memiliki suatu kekuatan mukjizat
keberuntungan yang selalu berelasi hubungan dengan arah jatuh tiang layar utama
kapal Tongkang menjadi salah satu hal unik dan menarik dari ritual ini.
Fenomena super normal yang sangat dipercayai ada kebenarannya dengan
kekuatan-kekuatan Ilahiah yang bersemayam pada masyarakat etnis Tionghoa di
kota bagansiapiapi. Namun kekuatan dan kepercayaan tersebut sulit dijelaskan
secara rasional kebenarannya tetapi telah menjadi akumulasi kepercayaan yang
dianut masyarakat etnis Tionghoa di kota bagansiapiapi. Jatuhnya tiang layar
perdagangan yang memberi keberuntungan (Hokki) untuk menjalankan kegiatan
usaha mereka lakukan pada tahun depan berikutnya. Kepercayaan jatuhnya arah
tiang layar utama kapal Tongkang tidak berhubungan dengan klaim-klaim agama,
juga tidak dapat menyesatkan kekuasaan Tuhan. Satu-satunya yang mereka
lakukan adalah membenarkan dan menegaskan kepercayaan yang telah berjalan
seabad lamanya Ritual Bakar Tongkang sudah menjadi tradisi dan kepercayaan.
Mukjizat dari jatuhnya tiang layar utama kapal Tongkang telah dipercayai
masyarakat etnis Tionghoa di kota Bagansiapiapi, dan kepercayaan ini terbangun
dari pengalaman Ritual Bakar Tongkang seabad lamanya telah memberi rasa
aman dalam kehidupan ekonomi masyarakat etnis Tionghoa di kota
Bagansiapiapi.
Kepercayaan ini menyimbolkan keberadaan kepercayaan lokal mereka
dalam kelompok masyarakat etnis Tionghoa di kota bagansiapiapi tersebut telah
dikomunikasikan dan dipraktekan terus menerus melalui akumulasi kepercayaan
Ritual Bakar Tongkang tersebut. Dalam konteks asosiasi Ritual harus dilihat
dalam konteks kepercayaan lokal sudah turut mengisi atau membentuk
eksistensinya secara konkrit di alam raya yang sudah tentu berbeda dengan
kepercayaan berdasarkan tatanan Religi atau Agama, karenanya kepercayaan lokal
tersebut mungkin tampak sukar diterima dari segi pandangan Religi atau Agama
atau Rasionalitas, karena fondasi moral kepercayaan lokal telah diterima
pemikirannya dalam kehidupan alam semesta, sekaligus sanggup mentransendensi
Detik-detik Bakar Tongkang pun cenderung kearah Ritual dengan
dikelilingi para Tan Ki (Suhu Spiritual) memperagakan dan mengerahkan seluruh
kekuatan spiritual serta kebolehannya di pertontonkan dengan berlari-lari disertai
gerakan silat spiritual memutari replika Kapal Tongkang yang mulai disulut api
yang pelan-pelan berkobar dahsyat, dan seluruh tamu dengan hikmat memberi
penghormatan sembahyang baik dengan memegang Hio (Dupa) maupun tanpa
Hio berdoa sesuai dengan kepercayaan agama masing-masing.
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa essensi Ritual puncak Bakar
Tongkang adalah melihat kearah mana tiang layar utama akan terjatuh, yang
dipercaya masyarakat etnis Tionghoa di kota Bagansiapiapi sangat menentukan
kiblat rezeki mereka selama setahun kedepan. Mukjizat keberuntungan dari arah
jatuhnya tiang layar utama kapal Tongkang telah menjadi pengalaman spiritualitas
yang dialami dan dikomunikasikan berdasarkan kepercayaan-kepercayaan lokal
yang sudah diterima. Ketika menafsirkan kejadian arah jatuhnya tiang layar utama
kapal Tongkang tersebut sebagai mukjizat arah rejeki, dan jelas tafsiran
spiritualitas yang menjadi kepercayaan lokal telah terjadi dan tidak dapat
disangkal selama seabad lamanya, telah menyingkap hubungan mendalam antara
kepercayaan spiritual manusia dengan keyakinan pengalaman immaterial Ritual
Bakar Tongkang tersebut berelasi dengan essensi kekuatan kepercayaan itu sendiri
bersifat Ilahiah, Supra Human dan Supra Natural.
Menurut hasil wawancara penulis dengan masyarakat etnis Tionghoa di
dalam sejarah telah terbukti memberi manfaat bekah rezeki sesuai dengan
petunjuk jatuh tiang utama layar kapal Tongkang tersebut. Terdapat nilai dan
keyakinan berbaur dengan dimensi-dimensi spiritual dan kultural. Penyaklaran
Ritual Bakar Tongkang yang berjalan seabad lamanya telah menjadikan suatu
idiom asal-usul yang telah mendapat sebuah pengakuan terhadap kondisi
kesejarahan masyarakat etnis Tionghoa di kota bagansiapiapi. Sejarah pada saat
yang sama adalah suatu kenyataan yang telah terjadi dan juga merupakan sesuatu
proses yang sedang berlangsung. Bahkan sakralisasi itu sendiri adalah suatu
kenyataan yang telah terjadi dan juga merupakan suatu proses yang sedang
berlangsung. Dunia Ritual Bakar Tongkang tersebut merupakan sebuah dunia
yang telah terbentuk dan dipercaya sejak masa lalu sampai saat ini masih tetap
dipercaya dan diyakini oleh masyarakat etnis Tionghoa di kota bagansiapiapi dan
akan berkembang terus sampai kemasa depan. Sejarah Ritual Bakar Tongkang
adalah sebuah warisan budaya lokal dan sejarah bersama masyarakat
Bagansiapiapi, Kabupaten Rokan Hilir, Riau.
4.3.2. Perayaan Kehidupan
Go Ge Cap Lak dengan upacara ritual Bakar Tongkang bagi Masyarakat
Tionghoa Bagansiapiapi selalu menjadi momentum sosiologis perayaan puncak
kebajikan dan amal, pelaksanaan kebajikan dengan memberi sumbangan dana
atau benda yang diserahkan pada panitia atau pengurus kelenteng Ing Hok Kiong
untuk lancarnya prosesi ritual Bakar Tongkang. Buah perayaan Go Ge Cap Lak
secara kultural bagi masyarat Tionghoa Bagansiapiapi di seluruh Nusantara dan
Mancanegara menjadi ajang pulang kampung mengunjungi keluarga, saudara,
Go Ge Cap Lak bagaikan sebuah Momentum Hari Raya lokal yang
mengundang naluri alami yang paling dalam untuk pulang kampung bagaikan
burung-burung urban yang dari segala pelosok dunia menuju sarang sosial dan
kulturalnya, tampak menakjubkan bukan saja karena Ritual Bakar Tongkang yang
sakral tetapi juga makna eksistensial kemanusiaannya di dalam silahturahmi
kehangatan sanak saudara, kerabat, dan handai tolan. Bagi masyarakat Tionghoa
Bagansiapiapi yang telah merantau ke berbagai tempat, kelelahan rutinitas
kehidupan sepanjang tahun terobati dan serasa ringan jiwa raga mengunjungi
sanak saudara, kerabat dan handai tolan dikampung halaman Bagansiapiapi, setiap
orang menemukan qase atau danau pencerahan sekaligus kehangatan rasa
persaudaraan dan kekerabatan. Itulah salah satu hal yang indah mengenai Go Ge
Cap Lak, setiap orang terdorong untuk kembali pulang kampung.
Berdasarkan hasil wawancara penulis degan beberapa masyarakat
Tionghoa Bagansiapiapi yang telah merantau ke berbagai daerah memaknai Go
Ge Cap Lak sebagai manifestasi untuk merayakan peran sosial yang dimilikinya
berikut narasi kesuksesan dibuktikan. Selain ikatan emosional para perantau
warga Bagansiapiapi dengan kota asalnya Bagansiapiapi, tradisi pulang kampung
juga tidak kalah bernilainya sebagai momentum terbaik untuk kembalinya para
perantau ke Bagansiapiapi guna memperkuat tali silahturahmi dengan sanak
saudara, kerabat dan handai tolan.
Nilai - nilai luhur dan kearifan sosialnya Go Ge Cap Lak mempererat tali
persaudaraan dan kebersamaan serta kepedulian terus menyala menjadi tradisi
pulang kampung untuk memuliakan sanak saudara, kerabat dan handai tolan. Go
Ge Cap Lak menjadi festival perayaan tradisi dan kepercayaan lokal yang
memberi semangat spiritualitas untuk kehidupan bersama yang bersetia kawan,
peduli kepada sesame.Go Ge Cap Lak dapat dikatakan merangkul leluhur spiritual
kita baik berdasarkan pertalian darah maupun juga memiliki leluhur berdasarkan
hubungan tradisi dan kepercayaan lokal. Praktik pulang kampung dan praktik
4.4 . Perubahan Makna Tradisi Perayaan Bakar Tongkang Pada Masyarakat
Tionghoa Di Kota Bagansiapiapi.
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan beberapa generasi muda
masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi Go Ge Cap Lak dengan ritual Bakar
Tongkang berkembang dan bergerak dari sakralitas kemudian cenderung bersifat
profan, tidak lagi berhubungan dengan tradisi dan kepercayaan local masyarakat
Tionghoa Bagansiapiapi, sebagian generasi muda tidak lagi memahami Go Ge
Cap Lak sebagai bagian dari upacara ritual Bakar Tongkang dan penghormatan
terhadap dewa Kie Ong Ya dan dewa Tai Sun Ong Ya yang sakral. Generasi muda
masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi hanya melihat dari sisi sebuah Ikon wisata
Kabupaten Rokan Hilir-Provinsi Riau. Kesakralan Bakar Tongkang pada Go Ge
Cap Lak bagi generasi tua adalah manifestasi bentuk kegeniusan nenek moyang
yang menjadi bagian identitas mereka. Meski terjadi pergeseran nilai-nilai sakral
telah cenderung terdesak yang profane. Perubahan ini adalah bagian perjalanan
tradisi dan kepercayaan Go Ge Cap Lak itu sendiri.
Dalam tradisi dan kepercayaan GO Ge Cap Lak ini terjadi perubahan
sakralitas dan profanitas yang saling menyatu, antara sakralitas nilai-nilai tradisi
kepercayaan dan budaya dengan nilai semata hiburan profan yang saling mengisi.
Melalui wadah budaya nilai-nilai sakralitas diekspresikan dan dilambangkan
dalam perayaan prosesi Ritual Bakar Tongkang tersebut mengalami proses
tantangan realitas yang mengiring sakralitas menjadi bagian profanitas dari Ikon
hiburan pariwisata Rohil. Dan juga generasi muda memaknai ritual Bakar
Tongkang hanya sebagai tradisi yang dilakukan turun temurun dan telah menjadi
suatu kewajiban tuk mengikuti ritual Bakar Tongkang tanpa memahami arti
sebenarnya dari ritual Bakar Tongkang itu dsendiri. Dengan konsekwensi semakin
menurunnya pemahaman generasi muda masyarakat Tionghoa terhadap Go Ge
Cap Lak karena mereka memandang sebagai bagian tradisi kepercay