• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PEMBAHASAN

B. Ragam Paradigma Integrasi Ilmu dan Teknik Integrasi Ilmu

2. Teknik Integrasi Ilmu

Upaya mengintegrasikan ini juga telah ditunjukkan dalam beberapa disiplin ilmu pengetahuan. Salah satunya pada cabang ilmu psikologi. Nashori, H.

F, Diana R. R., & Hidayat, B (2019) memaparkan kecenderungan psikologi islam mulai berkembang dari aspek konseptual kearah praksis, baik dalam bentuk psikoterapi Islam maupun kajian akademis. Di antaranya, kajian tentang pengaruh ibadah keislaman dalam ibadah yang terbukti efektif dalam pembentukan Kesehatan mental anak dan remaja untuk mengurangi hambatan perkembangan psikofisiologis (Lubis, L. T., Sati, L., Adhinda, N. N., Yulianirta, H., & Hidayat, B (2019). Namun, implikasi hasil-hasil riset tersebut belum menjadi prioritas utama dalam kurikulum sekolah maupun perguruan tinggi Islam di Indonesia. Termasuk dalam kajian pembelajaran dikelas, misalnya pada rencana pembelajaran semester (RPS) ataupun dalam bentuk praktik yang teratur, terarah, dan terdokumentasikan dengan baik dalam bentuk riset lanjutan. Oleh karena itu, dipandang perlu melakukan praktik nyata integrasi ilmu pengetahuan dan agama yang diantaranya dengan meluncurkan proyek Islamisasi ilmu pengetahuan tepat pada titik ia lahir dengan berkembang.

Wacana untuk mengintegrasikan ilmu pengetahuan dan agama, semakin meluas setelah adanya indikasi kegagalan proyek modernisme. Degradasi moral,

7 Jurnal Akuntansi Indonesia et al., “Postmodern : ( The Best ) Paradigm ?,” Akuntansi Indonesia6, no. 1 (2010):

53–64.

7

meningkatnya angka kriminalitas, berkembangnya prostitusi, dan perjudian, serta dilegalkannya hal-hal yang sebenarnya dilarang dalam ajaran agama-agama. Hal tersebut menjadikan “ilmu pengetahuan tanpa agama seperti jasad tanpa jiwa”.

Teknik dalam mengintegrasikan ilmu dapat diperoleh dari urgensi-urgensi ilmu pengetahuan. Seseorang ingin mendapatkan ilmu karena beberapa alasan.

Antara keinginan maupun kebutuhannya. Urgensi integrasi ilmu dan agama saling berkaitan. Berikut 3 faktor yang mendorong urgensi integrasi ilmu dan agama:

1. Adanya gagasan dari kaum cendekian untuk membangkitkan ghirah dan masa keemasan islam

2. Factor yang berasal dari sikap taqlid dan jumud yang berdampak pada tertutupnya pintu itjihad sehingga membawa kemunduran islam. Selain itu juga diakibatkan adanya ragam paradigma pemikiran di tataran ontologis, epistemologis, dan aksionologis.

3. Masih ditemukannya dikotomi antara ilmu agama dengan ilmu umum.

Jadi, Teknik pengintegrasian ilmu dapat kita peroleh dari paradigma pemikiran ilmuan terdahulu yang menggabungkan ilmu menjadi satu kesatuan sehingga muncul ilmu-ilmu baru yang menjadikan kemajuan untuk peradaban modernisme dengan berbagai pembaharuan.

Proses Islamisasi Ilmu Pengetahuan Proses islamisasi ilmu pengetahuan ini akan bisa dilaksanakan ketika proses ilmu pengetahuan ini dilaksanakan dengan beberapa prinsip pokok yang ada pada agama Islam itu sendiri. Baik itu dalam prinsip pokok tauhid, syariah, maupun akhlak. Ketiga prinsip pokok tersebut haruslah menjadi pondasi dasar bagi ilmu pengetahuan yang ada. Islamisasi ilmu pengetahuan ini bisa dilaksanakan dengan dua cara. Yakni yang pertama, dengan cara mengislamkan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada maupun yang sedang berkembang. Yang kedua, dengan cara mengilmukan Islam. Dari kedua konsep Islamisasi ilmu pengetahuan ini dibahas oleh kedua tokoh besar dalam gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan ini yakni Syed M.Naquib Al-Attas dan Ismail Raji AlFaruqi. Dalam pandangan Syed Naquib AlAttas proses Islamisasi ilmu ini bisa dilakukan dengan melalui dua cara. Yang pertama, ialah melakukan proses pemisahan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat. Dalam arti menjauhkan diri dari segala sesuatu yang menjadikan peluang-peluang terjadinya budaya yang menimbulkan suatu peradaban yang dihasilkan oleh orang-orang Barat. Misalnya, dalam budaya

8

terdapat salah satu unsur budaya adalah bahasa. Bahasa disini memberi peluang terjadinya budaya yang menjadikan peradaban Barat. Mulai dari penggunaan bahasa hingga bagaimana memperlakukan bahasa tersebut. Contohnya dalam kajian sosiologi kita kenal dengan tokoh Emile Durkheim dengan beberapa teorinya dalam melihat masyarakat. Diantaranya mengenai konsep solidaritas.

Konsep solidaritas ini seakan-akan menjadi gagasan awal yang disampaikan oleh Emile Durkheim. Namun perlu diketahui bahwa konsep solidaritas sudah ada sejak zaman terdahulu. Tepatnya pada zaman Ibnu Khaldun. Dimana Ibnu Khaldun sudah jauh mencetuskan dan menggagas konsep solidaritas yang disebut sebagai Ashobiyah ini dalam menjawab persoalan Negara. Menurut Al-Attas inilah yang harus dihilangkan. Sehingga tidak memunculkan klaim terhadap peradaban Barat.

Yang kedua, menurut Al-Attas adalah memasukan elemen-elemen Islam dan konsep-konsep kunci ke dalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan. Dalam arti konsep kedua ini Al-Attas menindaklanjuti konsepan yang pertama yakni dengan memasukkan nilai-nilai Islam dalam unsur-unsur ilmu pengetahuan tersebut. Berbeda dengan pandangan Ismail Raji Al-Faruqi. Dimana Al-Faruqi berpendapat bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan ini dilakukan dengan cara menjadikan konsep tauhid sebagai pondasi dalam ilmu pengetahuan. Berikut merupakan esensi tauhid yang digambarkan Al-Faruqi dalam ilmu pengetahuan:

(a) Tauhid / Keesaan Allah. Al-Faruqi ini berpandangan bahwa suatu yang esa atau mengandung unsur ketuhanan yang satu merupakan esensi dari segalanya.

Bagaimana menciptakan suatu ilmu pengetahuan yang sifatnya bertauhid atau mengandung unsur ke-Esaan. Dalam menilai kebenaran pun bagaimana melakukan penilaian yang tidak menimbulkan dualisme kebenaran yakni kebenaran subjektif, objektif. Akan tetapi bagaimana nilai kebenaran tersebut bersifat tunggal. Yang mengerucut pada nilai-nilai ketauhidan; dan (b) Integrasi kebenaran Islam dan kebenaran ilmu pengetahuan. Menurut Al-Faruqi, kebenaran dalam Islam haruslah di integrasikan pada nilai-nilai kebenaran ilmu pengetahuan. Kebenaran ilmu pengetahuan disini kita kenal sebagai kebenaran yang melalui hukum-hukum logika yang dijadikan patokan sebagai tolak ukur standar kebenaran. Sumber kebenaran dalam ilmu pengetahuan yang terpusat dalam nilai-nilai rasionalitas dan nilai-nilai empiris yang lebih mengedepankan pengalaman sebagai ukuran kebenaran. Sedangkan kebenaran dalam Islam bersumber pada wahyu dan kebenaran akal selagi tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah dalam Islam dalam

9

proses mengolahnya dengan akal manusia. Karena bagaimanapun, kepercayaan terhadap agama yang di topang oleh wahyu merupakan pemberian dari Allah dan akal juga merupakan pemberian dari Allah yang diciptakan untuk mencari kebenaran. Islamisasi ilmu pengetahuan pandangan Al-Faruqi ini haruslah mengintegrasikan konsep kebenaran yang ada pada ilmu pengetahuan yang bersumber pada akal (rasionalitas) dan pengalaman (empiris) dengan konsep kebenaran Islam yang terletak pada keyakinan melalui wahyu dan ayat-ayat yang mempunyai sakralitas dalam agama tersebut.

Pengilmuan Islam lahir dari keprihatinan terhadap ilmu modern Barat yang melenceng dari semangat Renaissans yang pada mulanya bertujuan memanusiakan manusia, malah yang terjadi dehumanisasi dan sekularisasi.

Pengilmuan Islam juga bermaksud merespons gagasan Islamisasi ilmu, yang dipandang sebagai sebuah tekstualisasi, yakni menjadikan ilmu-ilmu Barat selaras dengan Islam. Pengilmuan Islam bermaksud menempatkan Islam (teks al Qur’an) sebagai sebuah paradigma dalam memotret realitas. Apabila Islamisasi merupakan upaya untuk mengalihkan konteks kepada teks, maka pengilmuan Islam sebaliknya, yaitu bagaimana teks yang normatif diarahkan kepada konteks. Al Qur’an dalam hal ini bukan sebagai alat justifikasi dari berbagai penemuan dalam bidang ilmu, tetapi sebagai sebuah pijakan paradigma yang melahirkan keilmuan Islam yangintegralistik. Pengilmuan Islam merupakan pengembangan lebih lanjut dari upaya untuk menempatkan al Qu’an sebagai sumber utama rujukan umat Islam. Dalam hal ini, al Qur’an ditempatkan dalam posisi yang simetris dengan alam dan juga manusia, yakni sebagai sumber ilmu. Sebagai sumber ilmu, al Qur’an memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi berbagai macam teori, khususnya dalam bidang ilmu-ilmu sosial dan juga ilmu-ilmu yang lain. Pandangan ini menjadi mungkin, karena al Qur’an memuat banyak konsep yang dapat dianalisis sehingga melahirkan sebuah teori ilmu. Dengan menjadikan al Qur’an sebagai sebuah teori ilmu, ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh.

Pertama, ketika teks Al Qur’an ditempatkan sebuah teori ilmu, maka akan melahirkan desakralisasi terhadap teks, karena bagaimanapun juga yang namanya ilmu senantiasa tidak dapat dilepaskan dari dunia kritik, ia senantiasa harus menerima revisi-revisi kalau memang ditemukan kekurangan atau kelemahan.

Inilah karakteristik yang khas dari ilmu. Kedua, dengan menjadi sebuah teori ilmu, tentu saja produk yang akan dilahirkan juga tidak akan berpisah langsung dari

10

induknya, dalam artian nilai-nilai ketuhanan yang melekat pada wahyu secara otomatis juga akan turut serta dalam teori ilmu tersebut.

Dokumen terkait