• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

H. Metode Penelitian

7. Teknik Keabsahan Data

Untuk mendapatkan keabsahan data dalam penelitian diperlukannya uji validitas dan reabilitas secara kualitatif. Validitas digunakan untuk menguji derajat suatu data bisa dipercaya atau tidaknya untuk kepentingan penelitian, sedangkan reabilitas merupakan proses untuk menilai tingkat konsistensi data pada hasil penelitian yang telah dilakukan. Pada penelitian kualitatif validitas meliputi:

a) Memperpanjang Waktu Pengamatan

Dengan memperpanjang waktu pengamatan memberi kesempatan peneliti mendapatkan data yang belum terkumpul sebelumnya. Biasanya peneliti yang turun kelapangan dianggap asing oleh masyarakat dan segan untuk memberi informasi yang akurat. Dengan durasi yang

20 panjang maka masyarakat khususnya informan bisa lebih terbuka pada peneliti dan memberikan data sesuai persoalan yang dicari.

b) Melakukan Triangulasi

Dengan triangulasi peneliti akan mendapatkan data dari berbagai sumber, dengan berbagai cara, dan diberbagai waktu sesuai dengan persoalan yang dicari. Data menjadi lebih akurat apabila semua sumber data dan bukti berkesuaian serta saling mengomfrimasi satu sama lain.

Triangulasi sendiri terdiri dari: Pertama, triangulasi sumber denga menguji keabsahan data dengan ditelusurinya data dari berbagai sumber. Kedua, triangulasi teknik dengan menguji keabsahan data menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda. Ketiga, triangulasi waktu dengan mengulang-ulang penggalian data dengan metode yang berbeda-beda.

c) Melakukan Bimbingan dengan Pakar dan Teman Sejawat

Melakukan diskusi dengan peneliti yang lebih ahli agar memberikan arahan dimana kekurangan data yang telah kita kumpulkan. Khususnya untuk peneliti pemula seperti kalangan mahasiswa sarjana dengan adanya bimbingan memberikan arahan yang baik pada hasil penelitian.

Sedangkan pada reabilitas penelitian kualitatif meliputi:

a) Prosedur penelitian sesuai dengan kaidah pendekatan kualitatif baik sebelum, saat, dan setelah turun lapangan. Untuk peneliti pemula seperti mahasiswa lazimnya terdapat pedoman penelitian dari kampusnya masing-masing.

b) Dokumen penelitian harus menyertai setiap data penelitian, artinya data penelitian harus didokumentasikan secara otentik baik pada data observasi, transkrip wawancara, atau notulensi diskusi.

c) Analisis data dilakukan secara sistematis menyusun data dari hasil turun lapangan dengan perangkat catatan lapangan (field note) dan catatan kerja lapangan (field work), dan bahan-bahan lainnya sehingga informasi yang didapat mudah dipahami (Rustanto 2015, 66-69).

21 8. Teknik Pemilihan Informan

Spradley dalam Sugiyono (2018) menamai populasi dalam penelitian kualitatif sebagai “social situation” atau situasi sosial terdiri dari tiga elemen yaitu tempat (place), pelaku (actor), dan aktivitas (activity) yang berinteraksi secara sinergis (Sugiyono 2018, 215). Situasi sosial tersebut berupa aktivitas keluarga khususnya anggota keluarga dalam ketahanan keluarganya. Dari populasi tersebut dalam menggali informasi diperlukan pemilihan sampel sebagai informan. Menurut Lincoln dan Guba dalam Rustanto (2015) spesifikasi suatu sampel dalam kualitatif tidak ditentukan sebelumnya, secara teknis sangat berbeda dengan penelitian kuantitatif. Umumnya pada penelitian kualitatif sering digunakan teknik purposive sampling yang selanjutnya akan digunakan pada penelitian ini.

Purposive sampling merupakan teknik penentuan sampel sumber data dengan pertimbangan bahwa orang tersebut dianggap mengerti tentang apa yang akan dicari dalam sebuah penelitian, sehingga dengan teknik tersebut dapat memudahkan peneliti menjelajahi objek atau situasi sosial yang diteliti. Purposive sampling memiliki ciri yaitu bersifat sementara, menggelinding seperti salju, disesuaikan berdasarkan kebutuhan, dan ditelusuri hingga mencapai data jenuh (Rustanto 2015, 53).

Penelitian ini dilaksanakan pada Perumahan Bumi Anugrah Sejahtera (Perum BAS) Babelan sebagai pemukiman yang sangat rawan banjir kiriman, khususnya yang terparah berada di Jalan Garuda II, Blok A4, RT11/RW013. Banjir merupakan bencana alam sebagai kerentanan saling terpengaruh dengan resiliensi keluarga. Selain itu Perum BAS berada di Kelurahan Kebalen yang merupakan kelurahan dengan klasifikasi suburban. Menurut Ramadhana (2020) pemukiman dengan klasifikasi suburban memiliki resiliensi lebih kuat dibandingkan pusat kota atau perdesaan. Berangkat dari pemahaman tersebut maka ketahanan keluarga suatu yang identik pada masyarakat setempat. Pada penelitian ini membahas ketahanan keluarga di tengah pandemi COVID-19 maka dipilih informan utama yang keluarganya merupakan penyitas COVID-19 dengan karakteristik keluarga batih yang memiliki anak usia sekolah atau balita,

22 karena sejalan dengan beban ganda yang diterima sesuai dengan latar belakang masalah yang telah dibahas serta orang yang paling dekat dengan informan utama – yaitu tetangga, sebagai langkah triangulasi.

Table I-1 Daftar Identitas Informan No. Nama Informan Tipe

Informan

Informasi yan dicari Jumlah

1. Keluarga A :

9. Pedoman Penulisan Skripsi

Penulisan penelitian kali mengacu pada Keputusan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Nomor 507 Tahun 2017 tentang pedoman penulisan karya ilmiah (skripsi, tesis, dan disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

23 I. Sistematika Penulisan

Untuk mengetahui hubungan yang sistematis antara bagian satu dengan bagian selanjutnya serta mempermudah dalam memahami skripsi ini, maka peneliti menguraikan sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I: Pada bab ini peneliti menuliskan pendahuluan berisi latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodelogi penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II: Pada bab ini peneliti menuliskan kajian pustaka berisi landasan teori yang berkaitan dengan keluarga dan fakto-faktor serta komponen tentang ketahanan keluarga, dan juga landasan teori diuraikan menjadi kerangka pemikiran.

BAB III: Pada bab ini peneliti menuliskan gambaran umum latar penelitian tentang Kelurahan Kebalen / Kecamatan Babelan berisi gambaran geografi, gambaran demografi, gambaran sosial ekonomi, sarana dan prasarana, serta data bantuan sosial COVID-19 di Kelurahan Kebalen / Kecamatan Babelan.

BAB IV: Berisi uraian penyajian dan data temuan penelitian yang dilakukan di lapangan dengan pendekatan komponen laten dan pendekatan komponen sistem melalui wawancara dan observasi.

BAB V: Membahas bagaimana ketahanan keluarga penyitas COVID-19 di masa bencana multidimensional pandemi COVID-19.

BAB VI: Yang terdiri dari kesimpulan dan implikasi dari penelitian tersebut serta saran untuk khazanah keilmuan kesejahteraan sosial/pekerjaan sosial kedepannya.

24 BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Landasan Teori

1. Keluarga

a) Definisi Keluarga

Definisi keluarga telah disebutkan dalam pasal 1 ayat 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga sebagai “unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya”. Serta pada pasal 1 ayat 10 menjelaskan “Keluarga berkualitas adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah dan bercirikan sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan ke depan, bertanggung jawab, harmonis dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.”

Menurut Mufidah mengatakan bahwa keluarga merupakan institusi terkecil yang menjadi sarana terciptanya hidup yang penuh ketentraman, sejahtera, dan diliputi dengan cinta kasih terhadap anggotanya satu sama lain. Ikatan keluarga bisa dijalin dengan dijalankannya perkawinan, maupun sepersusuan, atau melalui kegiatan pengasuhan. Dalam ikatan pernikahan terjalin komitmen untuk menjalankan tugas dan fungsi dari masing-masing pasangan untuk mencapai tujuan bersama yang kelak melahirkan ikatan darah, dapat juga nilai kesepemahaman, norma, pandangan, karakter, dan sikap yang saling mempengaruhi satu sama lain walaupun dilatar belakangi dari budaya dan adat yang berbeda. Pernikahan sebagai jalan terwujudnya keluarga secara sah dalam pandangan hukum ataupun agama merupakan perjanjian sakral antara suami dan istri (Mitsaqan Ghalidza). Perjanjian sakral ini tertuang disetiap tradisi agama maupun kebudayaan yang dengannya terbangun keluarga sakinah, mawadah, warohmah. Keluarga pada umumnya terdiri dari ayah/suami, ibu/istri, dan anak (Mufidah 2014, 33-34).

25 Manusia sebagai mahkluk biologis dibentuk dalam naungan keluarga sebagai lembaga sosial terkecil, pada prosesnya keluarga menjadi agen pengenalan memberikan modus orientasi penyesuaian diri, seperti belajar bekerjasama dan belajar membantu orang lain, sehingga manusia yang terlahir di dalam keluarga dapat menyesuaikan dengan lingkungan sosialnya. Tingkah laku serta keadaan manusia di dalam lingkungan sosialnya sangat dipengaruhi oleh interaksi yang terjalin dalam keluarga yang dimilikinya (Rustina 2014, 291-292).

Pada institusi keluarga dapat diuraikan ke dalam macam-macam tipe yang berbeda. Terdapat keluarga dengan sistem konsanguinal yang sangat menekankan pentingnya ikatan darah yaitu antara orangtua dan anak kandung dan sistem konjugal yang menekankan hubungan perkawinan.

Dalam istilah lain terdapat tipe keluarga yang dikenal dengan keluarga orientasi (family of orientation) yang di dalamnya individu dilahirkan dan keluarga prokreasi (family of procreation) yang dibentuk dari seseorang menikah dan mempunyai keturunan. Di sisi lain terdapat keluarga batih (nuclear family) dan keluarga besar/luas (extended family), dari keluarga luas ini terdapat tipe joint family yang terdiri dari kakak beradik laki-laki dengan anak-anaknya dan saudara perempuan yang belum menikah tinggal dalam satu rumah yang bila ayahnya meninggal dunia maka kakak laki-laki tertua menggantikan peran ayah (Sunarto 2000, 63-64).

Bentuk keluarga yang terbentuk di masyarakat sangatlah dipengaruhi latar belakang lingkungan secara daerah dan sistem yang dianut masyarakat dimana keluarga itu bertempat. Bentuk keluarga ini seperti pada keluarga yang tinggal di pedesaan memiliki karakteristik paguyuban yang memiliki pola komunikasi masyarakat sangat intens dan memiliki karakter kekeluargaan, sedangkan masyarakat perkotaan memiliki karakteristik patembayan yang memiliki relasi antar masyarakat lebih longgar dan intensitas komunikasi sangat terbatas. Namun dalam perkembangannya pola struktur masyarakat menjadi bergeser mengikuti tuntutan zaman, peran gender pada masyarakat urban modern lebih luwes sesuai kesepakatan hak dan kewajiban anggota keluarga (Mufidah 2014, 37-38).

26 . Dalam keadaan sosial masyarakat di Indonesia BKKBN dalam Sunarti (2018) membagi tipe-tipe keluarga berdasarkan kesejahteraanhya menjadi lima tipe: Pertama ialah Keluarga Pra-Sejahtera yang kondisinya belum dapat memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari, kedua ialah Keluarga Sejahtera 1 (KS-I) ialah keluarga yang mampu memenuhi kebutuhan dasar agar tetap bertahan hidup namun belum mampu memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya, ketiga ialah Keluarga Sejahtera 2 (KS-II) ialah keluarga yang telah tercukupi kebutuhan dasar dan kebutuhan sosial psikologisnya, namun pemenuhan kebutuhan tersebut belum bisa menumbuhkan perkembangan keluarga, keempat Keluarga Sejahtera 3 (KS-III) ialah keluarga telah mampu meningkatkan perkembangannya di luar pemenuhan kebutuhan yang ada, namun dari perkembangan keluarga tersebut belum bisa turut andil dalam perkembangan masyarakat, terakhir Keluarga Sejahtera 3 Plus (KS-III Plus) yaitu keluarga yang dapat berkembang di luar memenuhi kebutuhan dasar dan dapat turut andil dalam perkembangan masyarakat (Sunarti 2018, 12).

Keluarga membutuhkan kerjasama antar anggotanya baik laki-laki maupun perempuan untuk menjaga fungsi dan tujuan keluarga tersebut.

Kemitraan gender dalam keluarga menurut Herlina merupakan kerjasama secara adil dan setara antara suami, istri dan anak-anak tanpa memandang jenis kelaminnya menjalankan fungsi keluarga dengan peran dan pekerjaan tanpa ada ketimpangan secara gender. Dengan adanya transparansi sumber daya serta penggunaannya, saling menghormati dan mempercayai, merupakan cerminan dari kemitraan suami dan istri dalam mencapai kehidupan keluarga yang harmonis (Herlina 2018, 123).

b) Fungsi Keluarga

Keluarga yang berkualitas merupakan keluarga yang dapat menjalankan fungsi keluarganya dengan baik untuk mencapai tujuan bersama, sebaliknya keluarga yang gagal menjalankan fungsinya maka akan runtuh keutuhan keluarganya. Oleh sebab itu maka dirumuskannya fungsi-fungsi keluarga dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1994 pasal 4 ayat 2 yang ditafsirkan Puspitawati (2012) sebagai berikut:

27 1. Fungsi Keagamaan

Sebagai wahana menanam dan menumbuhkan nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur keluarga perlu mendorong anggota-anggotanya untuk menjadi insan yang agamis dan religius.

Seperti diwajibkan untuk kedua orang tua agar memberikan pendidikan keagamaan sejak dini untuk anak laki-laki dan perempuannya sebagai pondasi pendidikan karakter.

2. Fungsi Sosial-Budaya

Beragam budaya yang ada membuka kesempatan bagi keluarga untuk mengembangkan kekayaan budaya tersebut dalam satu kesatuan. Seperti kedua orang tua menjadi perantara sosialisasi nilai-nilai budaya agar tumbuh kecintaan padanya dengan berpegang erat pada nilai luhur kesetaraan dan keadilan antar sesama.

3. Fungsi Cinta Kasih

Keluarga memberikan landasan yang kokoh sebagai tempat utama bersemainya cinta kasih lahir dan batin. Kedua orang tua menebar cinta kasih kepada anak-anaknya serta dilandasi kerjasama diantara anggota keluarga termaksud antar suami dan istri supaya saling menyayangi, menghormati, saling membantu dan membutuhkan satu sama lain.

4. Fungsi Perlindungan

Keluarga berkewajiban menumbuhkan rasa aman dan tentram untuk anggota-anggotanya. Seperti suami dan istri saling melindungi sesuai dengan keunikan perbedaan latar belakang masing-masing sekaligus orang tua memberikan perlindungan terhadap anak-anaknya sesuai dengan kebutuhan jasmaninya dan perkembangan psikososialnya.

5. Fungsi Reproduksi

Sebagai mekanisme sarana regenerasi keturunan yang disepakati hingga terciptanya kualitas manusia yang penuh iman dan taqwa. Seperti suami dan istri saling memberikan hak-hak

28 reproduksinya seperti menjaga kesehatan reproduksi sekaligus orang tua wajib menjaga kesehatan reproduksi anak-anaknya secara adil tanpa memandang gender.

6. Fungsi Sosialisasi dan Pendidikan

Keluarga berperan mendidik keturunannya sehingga bisa beradaptasi dengan lingkungan di masa depan. Anak wajib mendapatkan hak pendidikan dan sosialisasi oleh orang tuanya yang dilakukan secara kerjasama antara ibu dan ayahnya demi membangun anak yang berkarakter.

7. Fungsi Ekonomi

Menjadi mekanisme penopang kemandirian dan ketahanan keluarga. Suami dan istri bekerja sama mengelola keuangan dan memutuskan prioritas pengeluaran keuangan secara transparan, serta ayah dan ibu diharuskan melakukan sosialisasi tentang ekonomi yang meliputi sumber daya terbatas di atas keinginan yang tak terbatas.

8. Fungsi Pembinaan Lingkungan

Keluarga meniliki kemampuan menyesuaikan diri secara serasi, selaras, dan seimbang sesuai sumber daya alam dan keadaan lingkungan yang berubah-ubah. Orangtua bertugas mengelola keberlangsungan hidup keluarganya tanpa merusak lingkungan sekitarnya, menjaga lingkungan fisik maupun sosial, serta lingkungan dalam lingkup mikro, messo, makro (Puspitawati 2012, 197 dan 447).

Sejalan dengan fungsi keluarga yang tertuang pada PP No. 21 Tahun 1994, Soerjono Soekanto merumuskan fungsi keluarga sebagai berikut:

1. Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, keluarga mengatur hubungan seksual antara suami dan istri seyogyanya

2. Keluarga sebagai wadah terjalinnya sosialisasi seputar nilai-nilai yang berlangsung di masyarakat, hal ini melalui proses pendidikan demi mengenali, mematuhi, dan memahami kaidah-kaidah nilai yang berlaku

29 3. Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat berfungsi memenuhi kebutuhan-kebutuhan ekonomis sebagai hak di antara anggotanya

4. Sebagai tempat untuk mendapatkan perlindungan bagi ketentraman serta perkembangan jiwa untuk anggota-anggota keluarga (Soekanto 2009, 2)

2. Teori Sistem/Struktural-Fungsional dan Ekologi Keluarga Teori sistem sosial merupakan suatu model yang menerangkan pola hubungan segala rangkaian sub-sistem yang tersusun menjadi sistem sebagai satu kesatuan unit. Interaksi kuat antara kerangka sub-sistem/elmen/sub-elemen dalam satu kesatuan sistem saling mempengaruhi hingga membentuk pola yang kokoh. Apabila terdapat gangguan dari satu unit sub-sistem atau sub-elemen saja bukan hanya merusak sub-sistem itu secara tunggal, namun dapat merusak sistem secara keseluruhan dan berpengaruh buruk secara merata. Bila sistem sosial ini dianalogikan sebagai sebuah gedung tinggi yang kokoh bila salah satu tiang pondasinya dihancurkan sebagai analogi sub-sistem maka akan merusak struktur bangunan secara keseluruhan. Oleh karena itu bila suatu sistem tidak berfungsi dengan cara semestinya (fungsi sosial), maka akan merusak sistem secara keseluruhan (disfungsi sosial). Keluarga sebagai salah satu unit sosial merupakan sebuah sistem yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anaknya dengan segala tugas dan fungsinya sebagai sub-sistem. Bila salah satu sub-sistem dalam keluarga terdapat satu masalah yang krusial seperti ayah sebagai sumber pencari nafkah diberhentikan dari pekerjaannya di masa pandemi COVID-19 maka akan berdampak pada keluarga secara langsung sebagai sistem, atau faktor eksternal seperti penutupan sekolah tatap muka di masa pandemi yang menyebabkan anak sekolah dari rumah secara langsung mengganggu kerangga sistem dalam keluarga (Pujileksono dan Wuryanti 2017, 17-18).

Keluarga pada hakikatnya tidak bergerak sendirian, sebagai salah satu dari lembaga sosial terkecil keluarga sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya. Di antara fungsi utama keluarga ialah menjadi

30 penghubung menuju kehidupan bermasyarakat yang luas. Dari keluarga ini individu belajar berkomunikasi secara antarpribadi sebagai modal kehidupan sosial serta memahami peran dan tingkah laku yang berkembang di antara masyarakat dalam bentuk adat budaya yang diadopsi keluarga dan diajarkan kepada masing-masing anggotanya. Disebabkan tidak hidup sendiri ini keluarga dianggap sebagai model suatu sistem. Dari cara interaksi lingkungan dengan keluarga menjadi pertimbangan melihat perkembangan suatu keluarga sebagai bagian dari sistem (Puspitawati 2018, 4).

Terdapat beberapa prinsip yang fundamental menerangkan bahwa teori sistem merupakan dasar dalam pembentukan kerangka resiliensi keluarga yang diringkas oleh Walsh sebagai berikut:

1) Resiliensi merupakan hal yang kompleks, memiliki multidimensi, bersifat dinamis dan bertingkat. Hal ini dapat dipahami melalui kontekstual yang terjadi, sebagai hubungan intetaksi timbal balik lapisan masyarakat dari pengaruh individu, keluarga, sosial-kultural, agen sosialisasi, dan lintas generasi.

2) Peristiwa krisis yang bersanding dengan tekanan stress yang menimpa silih berganti dapat mempengaruhi seluruh keluarga dengan semua anggota di dalamnya yang memberikan dampak reiiko tidak hanya disfungsi pada seorang individu saja namun juga menimbulkan konflik relasional dan keretakan keluarga.

3) Proses dinamika keluarga menjadi penengah dari dampak situasi yang merugikan untuk semua anggota keluarga, serta untuk hubungan dan kelangsungan hidup berkeluarga.

4) Perilaku maldatif memperdalam kerentanan dan risiko yang menyebabkan disfungsi individu, kerenggangan hubungan, dan kehancuran keluarga.

5) Proses dinamika keluarga membangun resiliensi dengan mengelola stress, memperkuat ketahanan, dan manajemen sumber daya yang digunakan untuk memfasilitasi adaptasi positif

31 6) Semua individu maupun keluarga sekalipun dianugrahi resiliensi dan mempu memperkuat ketahanan mereka, semua dapat memaksimalkan potensi tersebut dengan upaya maksimal, memperkokoh proses utama, dan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki (Walsh 2016, 21).

Pada dasarnya pengertian dari teori sistem dengan teori struktural fungsional dipandang oleh para ahli sebagai teori yang sama serta digunakan pada analisis kehidupan keluarga. Tetapi, teori sistem menekankan pada beroprasinya rangkaian hubungan antara satu elmen dengan elmen lainnya, sedangkan pada teori struktural-fungsional lebih menekankan keseimbangan struktur dengan mempertahankan mekanisme struktur dan fungsi keluarga. Jadi teori struktural-fungsional memandang sistem sosial sebagai suatu sistem yang seimbang, harmonis, dan berkelanjutan dengan cara kerja di setiap sub sitem yang terorganisir.

Keluarga sebagai unit sosial memiliki peraturan atau fungsi yang dijalankan oleh unit keluarga tersebut, tanpa adanya aturan atau fungsi maka dapat dibilang bahwah keluarga tersebut tidak memiliki arti untuk mendapatkan suatu kebahagiaan. Melalui pendekatan teori struktural-fungsional bisa dipakai sebagai analisi peran dari keluarga supaya dapat berfungsi dengan baik agar menjaga keutuhan keluarga di masyarakat. Teori struktural fungsional memiliki asumsi dasar meliputi: kecendrungan masyarakat mencari titik keseimbangan, terpenuhinya titik keseimbangan dengan memenuhi kebutuhan dasar, untuk mewujudkan semua itu harus terbentuk struktur tertentu supaya berlangsungnya suatu keseimbangan atau homeostatik (Puspitawati 2012, 77-79).

Mengingat pada hakikatnya manusia merupakan makhluk sosial yang kemudian membentuk keluarga sebagai lembaga sosial terkecil yang berurusan dengan hubungan antarpribadi dan hubungan antara manusia dengan lingkungan di sekitarnya, maka keluarga tidak berdiri sendiri dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan individu di dalamnya. Keluarga sangat bergantung dengan lingkungan sekitarnya pada tingkat mikrosistem, mesosistem, eksosistem, dan makrosistem. Dan sebaliknya keluarga pun

32 juga mempengaruhi lingkungan di sekitarnya (Puspitawati 2012, 74). Pada pandangan bahwa lingkungan sangat mempengaruhi perkembangan anak itulah maka melahirkan asusmsi dasar mengenai teori ekologi meliputi:

Pertama, tingkah laku manusia mengenai konteks lingkungan. Kedua, sismbiosis mutualisme antara manusia dengan lingkungannya. Ketiga, interaksi yang bersifat dinamis antara manusia dengan lingkungannya.

Empat, tingkatan sistem interaksi antara manusia dengan lingkungannya tergantung pada fungsinya yaitu sistem mikro, meso, ekso, meso, dan makro (Pujileksono and Wuryanti 2017, 22). Pada penjelasan tersebut terlihat jelas bahwa pendekatan ekosisitem dan keluarga membahas hubungan interdependensi antara manusia yang tergabung dalam satu unit keluarga batih dengan lingkungan sosialnya mapun fisik yang berada di sekitarnya sesuai degan norma kultural yang dianut. Perspektif ekosistem ini pun melihat perilaku manusia untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dalam hubungan dengan lingkungan sekitar (Puspitawati 2012, 75)

Dalam situasi bencana multidemensional seperti COVID-19 menggunakan kajian ekologi keluarga merupakan hal penting untuk menghadapi lingkungan yang berubah total akibat bencana, ekologi keluarga dapat melihat kekuatan keluarga inti dalam berinteraksi dengan lapisan lingkungan sosialnya secara timbal balik yang dapat menguatkan atau melemahkan suatu keluarga. Pengurangan risiko yang ditimbulkan oleh COVID-19 secara efektif dapat dijalani dengan melakukan sinegitas antara keluarga dan masyarakat walaupun interaksi dibatasi dimasa pandemi namun keluarga dan lingkungannya secara timbal-balik saling mendukung dalam agar memiliki ketahanan (resiliensi) (Budirahayu 2019, 135).

Sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat keluarga senantiasa mengalami perubahan-perubahan, pada perubahan tersebut terjadi baik secara internal atau di dalam keluarga, maupun terjadi secara eksternal atau di luar keluarga. Semua perubahan tersebut yang terjadi di dalam maupun di luar sistem keluarga baik pengaruh tersebut secara positif maupun pengaruh secara negatif yaitu akan mendatangkan masalah dalam

33 kehidupan keluarga. Oleh karena itu dengan segala perubahan yang terjadi maka keluarga harus memiliki ketahanan dalam menghadapi berbagai perubahan serta masalah yang terjadi guna mengelola sumberdaya yang dimiliki sehingga pada tujuan akhirnya keluarga memiliki keadaan yaitu kesejahteraan keluarga (Sunarti 2018, 1-2).

3. Ketahanan Keluarga

a) Definisi Ketahanan Keluarga

a) Definisi Ketahanan Keluarga

Dokumen terkait