• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam menganalisis data yang akan peneliti lakukan, pertama-tama membuat rekaman dengan data yang akan dikaji. Rekaman tersebut berupa percakapan atau pembicaraan yang dilakukan peneliti dengan narasumber. Peneliti merekam daftar tanyaan yang berisi daftar kosakata bahasa Indonesia, seperti kata, frasa, kalimat, dan suku kata yang dilafalkan oleh anak penyandang tunagrahita pada taraf ringan, sedang, dan berat. Selain dengan teknik rekam, peneliti juga melakukan teknik catat dengan mencatat semua data daftar tanyaan yang sama.

Setelah melakukan perekaman, selanjutnya mengklasifikasikan data sesuai yang berada dalam rekaman dan catatan yang peneliti lakukan. Data daftar tanyaan tersebut di transkripsikan berdasarkan fonetis, dan selanjutnya dianalisis sesuai dengan pelafalan kosakata oleh anak penyandang tunagrahita tersebut. Meneliti setiap realisasi tuturan kosakata dasar berdasarkan kata, frasa, kalimat, dan suku kata, selanjutnya meneliti variasi pelafalan tuturan kosakata dasar berdasarkan kata, frasa, kalimat, dan suku kata, dan dilakukan perbandingan pelafalan antara anak penyandang tunagrahita taraf ringan, sedang, dan berat. Dengan begitu akan ditemukannya pelafalan bunyi yang hilang, atau penambahan bunyi, dan adanya gejala perubahan bunyi.

Setelah dianalisis, peneliti menyimpulkan hasil analisisnya. Selanjutnya, di tes kebenarannya, dari hasil observasi, wawancara, teknik rekam, teknika catat, dan kajian pustaka yang berkaitan dengan penelitian, agar terhindar dari

37

Realisasi tuturan dan variasi pelafalan tuturan pada anak penyandang tunagrahita taraf ringan, dalam melafalkan kata /anggrek/ dilafalkannya [andlék]. pelafalan bunyi /ŋ/ seharusnya terjadi pada tempat artikulasi dorso velar, cara artikulasinya nasal sengau, pelafalan bunyi /g/ seharusnya terjadi pada tempat artikulasi dorso velar, cara artikulasinya hambat letup, dan pelafalan bunyi /r/ seharusnya terjadi pada tempat artikulasi apiko alveolar, cara artikulasinya getar (tril). Namun diubah dengan bunyi /d/ yang seharusnya terjadi pada tempat artikulasi apiko palatal, cara artikulasinya hambat letup, dan bunyi /l/ yang terjadi pada tempa artikulasi apiko alveolar, cara artikulasinya sampingan (lateral). Namun anak tersebut mengubah bunyi /ŋ/, /g/, dan /r/ di tengah kata menjadi bunyi /d/ dan bunyi /l/. hal tersebut mengalami gejala perubahan bunyi rotatisme.

BAB V PENUTUP

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai tuturan anak penyandang tunagrahita taraf ringan, taraf sedang, dan taraf berat, penulis telah menentukan tiga temuan sebagai berikut.

1) Realisasi tuturan yang dilafalkan oleh anak penyandang tunagrahita taraf ringan, pelafalannya hampir sempurna dan dapat dimengerti, hanya saja masih ada pelafalan yang dapat dikatakan cadel, dan pada awalan bunyi /m/ berhadapan dengan bunyi /ə/, bunyi /m/ sering tidak dilafalkan, lalu bunyi /k/ berhadapan dengan bunyi /ə/, bunyi /k/ tidak dilafalkan juga. Selanjutnya pada frasa, pelafalan pada kata pertama dan kedua sudah lengkap dan sempurna, hanya saja ada beberapa bunyi yang tidak dilafalkan pada awal kata, dan pada kalimat pelafalannya dapat dimengerti, hanya saja sering ada penghilangan bunyi di awal, dan sering tidak melafalkan bunyi /r/ di awal, tengah, dan bila akhir hanya diubah bunyinya menjadi bunyi /l/. Berikutnya, anak penyandang tunagrahita taraf sedang, pelafalannya hampir sempurna, namun ada beberapa bagian pelafalannya yang tidak dapat dimengerti, adanya kesamaan dengan anak penyandang tunagrahita taraf ringan, yaitu tidak melafalkan bunyi /m/ di awal yang berhadapan dengan bunyi /ə/, lalu bunyi /ŋ/ yang sering tidak

dilafalkan pada tengah kata, selain itu pada frasa ada beberapa yang dihilangkan kata pertamanya, namun masih dapat dimengerti, sedangkan pada kalimat pelafalannya lebih sering difokuskan pada makna kalimat yang sebenarnya, tanpa mengikuti kaidah bahasa Indonesia yang seharusnya. Kasus selanjutnya, anak penyandang tunagrahita taraf berat, pelafalannya banyak bunyi-bunyi bahasa yang tidak dilafalkan, ada pula beberapa yang mengubah bunyi bahasanya tersebut, lalu pada frasa pada kata pertama sering tidak dilafalkan, dan terkadang pelafalannya itu menjadi makna yang tabu, dan

263

memberikan beberapa makna yang berbeda-beda, selanjutnya pada kalimat pelafalannya kurang sempurna, disebabkan adanya penghilangan beberapa bunyi bahasa, dan pelafalannya tidak utuh atau tidak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia.

2) Variasi pelafalan tuturan pada anak penyandang tunagrahita taraf ringan, ditemukan seringnya tidak melafalkan bunyi bahasa pada awal kata, dengan begitu anak tersebut jumlah terbanyak dari gejala perubahan bunyinya yaitu aferesis 29, lalu rotatisme 28. Sementara, anak penyandang tunagrahita taraf sedang, tidak jauh beda dengan anak penyandang tunagrahita taraf sedang, yaitu memiliki jumlah terbanyak dari gejala perubahan bunyinya yaitu aferesis 29, lalu sinkop 15. Selanjutnya, anak penyandang tunagrahita taraf berat, memiliki kesamaan dengan taraf ringan dan taraf sedang, yaitu memiliki jumla terbanyak dari gejala perubahan bunyinya yaitu aferesis 34, lalu rotatisme 33. 3) Tingkat perbandingan antara anak penyandang tunagrahita taraf ringan, taraf

sedang, dan taraf berat, anak penyandang tunagrahita taraf ringan dapat melafalkan suatu bunyi bahasanya dengan secara baik, dan hampir sempurna, meskipun ada beberapa bunyi bahasa yang tidak dilafalkan, namun tetap saja pelafalannya dapat dimengerti, sedangkan anak taraf sedang pelafalannya hampir sempurna, hanya banyak tidak melafalkan beberapa bunyi bahasa, dan adanya penyisipan bunyi bahasa yang memang seharusnya tidak ada, dan sering dimunculkan pada tengah kata, selanjutnya anak taraf berat ada beberapa pelafalannya yang dapat dimengerti hanya saja masih ada bunyi bahasa yang tidak dilafalkan, terutama pada kalimat bunyi bahasanya memiliki perbedaan pelafalan yang sangat berbeda, karena anak tersebut lebih fokus pada makna yang sebenarnya, bukan pada kaidah bahasa Indonesia, sehingga menimbulkan pelafalan yang kurang sempurna.

Berdasarkan hasil temuan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa realisasi anak penyandang tunagrahita pada setiap tarafnya itu berbeda-beda, sesuai dengan kemampuan dan mental si anak. Dari pelafalan-pelafalannya itu, menimbulkan gejala perubahan bunyi, seperti adanya penghilangan, penambahan atau

gejala perubahan bunyi yang sering dilafalkan oleh anak penyandang tunagrahita. Selanjutnya, adanya tingkat perbandingan antara anak penyandang tuangrahita taraf ringan, sedang, dan berat, yang dapat membuktikan bahwa pelafalan anak taraf ringan dapat lebih baik dan dapat dimengerti, dibandingkan anak taraf sedang, dan taraf berat.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, penulis mengajukan beberapa saran sebagai berikut.

1) Penelitian ini lebih difokuskan pada kajian fonologi khususnya fonetis, selain itu juga kasus atau penelitian ini dapat dikaji kembali atau ditindak lanjuti dengan kajian sintaksis, kajian morfologi, dan kajian pragmatik.

2) Penelitian ini dapat dijadikan sarana therapy untuk anak-anak yang berkebutuhan khusus dalam berbicara.

3) Penelitian ini dapat memberikan persiapan dalam bersikap yang seharusnya kepada anak-anak penyandang tunagrahita.

4) Penelitian ini dapat dijadikan untuk pelatihan pelafalan bunyi-bunyi berdasarkan cara dan tempat artikulasinya.

Dokumen terkait