• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fitoplankton adalah tumbuhan mikroskopis yang pergerakannya dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitarnya, dalam trofik level disebut sebagai produsen utama perairan (Odum, 1971). Fitoplankton terdiri dari tumbuhan laut yang bebas melayang dan hanyut dalam laut serta mampu berfotosintesis (Nybakken, 1988).

Fitoplankton di perairan merupakan salah satu komponen biologi laut yang penting terutama untuk memetakan potensi sumberdaya hayati laut. Hal ini didukung oleh kondisi bahwa cahaya di perairan Indonesia cukup banyak sepanjang tahun, sehingga apabila terjadi sedikit kenaikan atau penurunan kandungan klorofil perairan maka ini adalah diakibatkan oleh proses oseanografi termasuk adanya perubahan kontribusi jumlah kandungan zat makanan dari daratan (Hendarti, 2008).

Menurut Delvin (1975) dalam Nontji (2007), bahwa di dalam tumbuhan klorofil terdapat empat macam yaitu a, b, c dan d. Klorofil-a merupakan salah satu pigmen fotosintesis yang paling penting bagi tumbuhan yang ada di perairan. Klorofil-a merupakan pigmen yang paling umum terdapat pada fitoplankton sehingga hasil pengukuran kandungan klorofil-a sering digunakan untuk menduga biomassa fitoplankton suatu perairan.

Konsentrasi klorofil-a erat kaitannya dengan tingkat produktifitas primer yang ditunjukan dengan besarnya biomassa fitoplankton yang menjadi rantai pertama makanan ikan pelagis kecil (Syahdan, 2005). Sedangkan menurut Brown et al., (1989), bahwa sebaran klorofil-a di dalam kolom perairan sangat tergantung

pada konsentrasi nutrien. Nutrien memiliki konsentrasi rendah dan berubah-ubah pada permukaan laut dan konsentrasinya akan meningkat dengan bertambahnya kedalaman.

Sebaran dan konsentrasi klorofil-a mempengaruhi tingkat produktifitas primer di laut dimana, menurut Gabric and Parslow (1989), bahwa laju produktifitas primer di lingkungan laut ditentukan oleh berbagai faktor fisika. Faktor fisika utama yang mengontrol produksi fitoplankton di perairan eutropik adalah percampuran vertikal, penetrasi cahaya matahari kolom air dan laju tenggelam sel (fitoplankton).

2.2.4 Kecerahan, Salinitas dan Oksigen Terlarut (DO)

a. Kecerahan

Kecerahan perairan adalah suatu kondisi yang menunjukan kemampuan cahaya untuk menembus lapisan air pada kedalaman tertentu. Kecerahan perairan merupakan faktor penting di laut karena erat kaitannya dengan kelangsungan proses fotosintesa.

Kemampuan air laut untuk merambatkan cahaya sangat penting. Tanpa sinar matahari, fotosintesis tidak mungkin terjadi, dan kehidupan di laut tidak akan dapat bertahan. Sinar matahari secara cepat diabsorbsi oleh air laut hingga kedalaman sekitar 100 m pada lautan yang jernih. Pada air yang keruh, air terabsorbsi hingga kedalaman 10 sampai 30 m dan di air yang sangat keruh hanya terabsorbsi hingga kedalaman kurang dari 3 m (Meadows, 1978 in Bishop, 1983).

Tingkat kecerahan suatu perairan umumnya sangat dipengaruhi oleh berbagai hal seperti pola angin dan arus (sirkulasi air laut), sedimentasi dan polusi. Sedimentasi yang terjadi di laut umumnya karena adanya sumbangan massa daratan yang berlebihan sehingga menurunkan tingkat kecerahan perairan. Faktor penyebab penurunan tingkat kecerahan atau kekeruhan dapat berupa komponen organik dan anorganik yang dikenal dengan istilah muatan padatan terlarut atau MPT. MPT adalah partikel-partikel yang melayang di dalam air dan terdiri dari komponen organik dan anorganik. Komponen hidup termasuk fitoplankton, zooplankton, bakteri, fungi dan sebagainya. Komponen mati termasuk detritus organik dan partikel-partikel inorganik. Menurut Ross (1970), bahwa muatan padatan terlarut dapat terdiri dari lapukan batuan, lumpur halus,

pasir, kerikil dan bahan organik lainnya. Jenis-jenis partikel yang ada dalam suatu perairan sangat menentukan penetrasi cahaya yang masuk ke dalam perairan. Hal ini terjadi karena adanya penyerapan dan penghambatan cahaya tersebut oleh partikel-partikel tersuspensi, khususnya dari hasil dekomposisi zat organik, misalnya detritus.

b. Salinitas

Salinitas atau kadar garam ialah banyaknya garam-garaman (dalam gram) yang terdapat dalam 1 Kg (1000 gr) air laut, yang dinyatakan dengan ‰ atau perseribu. Salinitas umumnya stabil, walaupun di beberapa tempat terjadi fluktuasi. Forch et al., (1902) in Sverdrup et al., (1942), mendefenisikan salinitas sebagai jumlah gram seluruh zat yang larut dalam 1 kg air laut, dengan anggapan bahwa seluruh karbonat telah diubah menjadi oksida, semua brom dan ion diganti dengan khlor yang setara dan semua zat organik mengalami oksidasi sempurna.

Sebaran salinitas di laut biasanya berbeda secara vertikal maupun horizontal dimana penyebabnya adalah interaksi berbagai hal. Secara vertikal nilai salinitas air laut umumnya dipengaruhi oleh tiupan angin yang berpotensi menggerakan air secara vertikal sedangkan secara horizontal berhubungan dengan arus yang membawa massa air. Perubahan terbesar salinitas di lautan terjadi pada kedalaman 100 – 1000 meter. Lapisan dimana terjadinya perubahan yang sangat cepat dari salinitas disebut haloklin. Salinitas pada kedalaman 100 meter pertama, dapat dikatakan konstan. Walaupun terdapat sedikit perbedaan-perbedaan, tetapi tidak mempengaruhi ekologi secara nyata. Salinitas air laut di daerah tropis secara umum lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah beriklim sedang karena pada daerah tropis terjadi evaporasi yang lebih tinggi (Nybakken, 1988). Nilai salinitas rata-rata tahunan yang terendah di perairan Indonesia sering dijumpai pada perairan Indonesia bagian barat dan semakin ke timur nilai rata-rata tahunannya semakin meningkat (Halim, 2005).

c. Oksigen Terlarut (DO)

Oksigen terlarut adalah jumlah oksigen dalam mili gram yang terdapat dalam satu liter air (ppt) yang umumnya berasal dari difusi udara melalui

permukaan air, aliran air masuk, air hujan, dan hasil dari proses fotosintesis plankton atau tumbuhan air.

Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen = DO) dibutuhkan oleh semua jasad

hidup untuk pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan, disamping dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik. Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal sari suatu proses difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan tersebut

(Salmin, 2000).

Konsentrasi oksigen terlarut sangat berkorelasi dengan kondisi suhu

maupun salinitas perairan. Menurut Effendi (2003), bahwa hubungan antara

kadar oksigen terlarut jenuh dengan suhu yaitu semakin tinggi suhu maka kelarutan oksigen dan gas-gas lain juga berkurang dengan meningkatnya salinitas, sehingga kadar oksigen terlarut di laut cenderung lebih rendah dari pada kadar oksigen di perairan tawar.

2.2.5 Anomali Tinggi Paras Laut (ATPL)

Perubahan kedudukan muka laut dapat bersifat periodik maupun tak periodik. Kedudukan muka laut periodik terjadi secara alamiah, kedudukan muka laut tak periodik dapat dikatakan sebagai perubahan sekular muka laut. Perubahan sekular merupakan perubahan level jangka panjang (Nurmaulia et al., 2005). Bentuk dari permukaan lautan ditentukan oleh variasi gravitasi dasar lautan sehingga menghasilkan undulasi geoid, dan oleh arus yang menghasilkan topografi lautan (Stewart, 1985). Pengamatan perubahan kedudukan muka laut untuk mengidentifikasi kemungkinan adanya kejadian anomali tinggi paras laut positif (di atas level surface) maupun anomali tinggi paras laut negatif (di bawah level surface) dimana kemungkinan adanya anomali positif maupun negatif merupakan petunjuk dalam mempelajari hubungan antara parameter serta gejala fenomena lainnya. ATPL berhubungan dengan pola angin yang terjadi di suatu tempat sehingga ATPL cenderung terjadi secara musiman dimana pola ATPL periode musim barat berbeda dengan pola ATPL musim yang mana perbedaan tersebut menyebabkan kondisi parameter osenografi menjadi dinamis.

Tinggi paras laut di perairan Indonesia berkorelasi secara signifikan dengan kedalaman lapisan termoklin. Pada saat TPL rendah, lapisan termoklin mengalami pendangkalan (Bray et al., 1996, Susanto et al., 2001 dalam Gaol, 2003). Kenaikan paras laut di pengaruhi oleh banyak faktor diantaranya ekspansi termal lautan menyebabkan kenaikan volume laut, pemanasan global, jumlah curah hujan dan pencairan es di kutub.

Beberapa dekade terakhir, perubahan sea level diestimasi dari pengukuran stasiun passut. Namun terdapat kekurangan dalam hal tersebut diantaranya adalah jangkauan data terbatas di daerah sekitar pantai sehingga datanya hanya akurat untuk memprediksi perubahan kedudukan muka laut di perairan dangkal atau sekitar pantai. Selain itu kedudukan tide gauge tidak terikat terhadap suatu referensi global sehingga perlu disertai dengan pengamatan GPS (Nurmaulia et al., 2005).

2.3 Teknik Penginderaan Jauh (Indraja)

Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lilesand and Kiefer, 1987). Dalam sistem penginderaan jauh dikenal empat komponen utama yaitu sumber energi, interaksi energi dan atmosfer, sensor sebagai alat deteksi dan obyek yang menjadi sasaran pengamatan. Interaksi komponen inderaja akan menghasilkan sejumlah informasi tentang kondisi obyek yang terdeteksi sebagaimana yang ditunjukan pada Gambar 5.

Bidang Penginderaan jauh (Indraja) kelautan sendiri saat ini telah berkembang sesuai dengan perkembangan aplikasinya dalam berbagai bidang yang ditandai dengan pengembangan instrumen sensor dalam mendeteksi objek yang menjadi target pengamatan dan pengkajian. Aplikasi atau penerapan indraja untuk kelautan (Indraja Kelautan) dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu :

1. Aplikasi untuk oseanografi fisika

2. Aplikasi untuk sumberdaya alam laut; dan

Beberapa jenis sensor satelit telah dikembangkan untuk mendeteksi berbagai parameter kelautan yang penting dalam proses-proses kelautan baik proses fisik, kimia maupun proses biologi (Susilo, 2000).

Gambar 5 Interaksi Radiasi Elektromagnetik (REM) dengan atmosfer

Radiasi gelombang elektromagnetik (REM) adalah sumber utama energi dalam sistem inderaja. REM adalah suatu bentuk dari energi yang hanya dapat diamati melalui interaksinya dengan obyek, dimana wujud dari energi ini dikenal sebagai sinar X, sinar tampak, infra merah dan gelombang mikro. Spektrum radiasi gelombang elektromagnetik REM yang digunakan dalam inderaja menurut Jars (1993), adalah seperti pada Gambar 6, sedangkan beberapa bagian penting dari REM yang digunakan dalam inderaja adalah :

0.3 – 0.4 µm : ultraviolet 0.4 – 0.7 µm : sinar tampak 0.7 – 3.0 µm : inframerah dekat 3.0 – 8.0 µm : middle infrared 8.0 - 1000 µm : inframerah termal 1mm – 100cm : gelobang mikro.

Kondisi oseanografi yang dapat diamati menggunakan citra satelit antara lain SPL, kandungan klorofil-a, arus serta paras laut. Citra SPL diperoleh dari sensor thermal, kandungan klorofil-a dari sensor optik, sedangkan arus dan paras laut dari sensor radar (Simbolon et al., 2009).

pantulan awan scattering abso rbsi Sensor Objek/perairan At m os fe r pantulan awan scattering abso rbsi Sensor Objek/perairan At m os fe r Matahari

Gambar 6 Spektrum Radiasi Elektromagnetik (REM) yang digunakan dalam inderaja (Jars, 1993).

2.3.1 Penginderaan Jauh Cahaya Tampak (Ocean Color)

Istilah “ocean color” atau inderaja warna air laut diartikan sebagai inderaja yang memanfaatkan radiasi GEM yang dipantulkan dari bawah permukaan laut (Hovis et al., 1980). Penginderaan jauh cahaya tampak (ocean color) menggunakan sensor pada panjang gelombang cahaya tampak (400 hingga 700 nm). Sensor ini dapat digunakan untuk mendeteksi material terlarut dan kandungan klorofil dari fitoplankton yang ada di permukaan perairan hingga kedalaman tertentu (Gaol, 2003). Dilihat dari segi fisiologis tumbuhan (fitoplankton), spektrum cahaya terpenting untuk tumbuhan laut terdapat pada kisaran panjang gelombang 400-720 nm atau yang dikenal sebagai PAR (Photosytetically Available Radiation). Spektrum ini hampir sama dengan spektrum sinar tampak yakni 360 -780 nm (Parson et al., 1984 dalam Prasasti et al., 2005). Dalam interpretasi perlu diketahui bagaimana parameter-parameter di laut mempengaruhi sifat optik perairan. Spectral signature air murni digunakan hingga sebagai acuan untuk tipe spektral air yang menggabung obyek pengabsorbsi dan penghambur. Koefisien absorbsi spektral air untuk berbagai kondisi dapat dilihat pada Gambar 7.

Sifat optik dari air murni dan air laut secara umum mudah dimengerti, dimana attenuasi cahaya meningkat tajam di luar kisaran cahaya tampak. Di atas panjang gelombang 700 nm, penetrasi cahaya dibatasi oleh meningkatnya

hamburan. Sifat optik secara drastis akan berubah jika ada zat tersuspensi dan atau terlarut bertambah ke dalam perairan (Van der Piepen, 1991).

Gambar 7 Koefisien absorbsi spektral air jernih, suspensi sedimen dan klorofil dalam berbagai panjang gelombang cahaya tampak (nm). Van der Piepen (1991).

Distribusi spektral dari radiasi gelombang elektromagnetik (REM) yang berasal dari tubuh air laut memberikan informasi tentang aspek-aspek yang berkaitan dengan kualitas air laut tersebut, termasuk material yang terlarut dalam air. Material tersebut dapat berasal dari zat organik maupun anorganik (Gaol, 2003).

Tipe variasi spektral dari absorbsi dan scattering air laut murni menurut Robinson (1985), dapat dilihat pada Gambar 8 dimana ada indikasi kuat bahwa absorbsi akan menurun dan hamburan menaik dengan menurunnya panjang gelombang, sesuai dengan sifat warna biru air laut. Air yang mengandung fitoplankton mempunyai karakteristik spektral yang lebih rumit karena sel hidup dari organisme tumbuhan kecil dan alga mengandung klorofil yang digunakan untuk fotosintesis.

Klorofil mempunyai karakteristik absorbsi sedangkan fitoplankton mempunyai struktur yang secara optik sebagai materi penghambur cahaya selain karakter absorbsi spektrum yang lain karena keberadaannya dikelilingi materi organik yang mengandung phaeophytin a.

Gambar 8. Absorbsi (a) dan hamburan kembali (b) dari air laut murni (Robinson 1985).

Sedangkan variasi absorbsi dan hamburan menurut Robinson (1985), dapat dilihat pada Gambar 9. Terjadi absorbsi yang kuat pada puncak 440 nm dan lebih rendah sekitar 675 nm. Backscatter hampir seragam menurun terjadi pada panjang gelombang yang diperkirakan terjadi puncak absorbsi.

Gambar 9 Tipe keragaman spektral dari (a) absorbsi klorofil, dan (b) koefisien hamburbalik spesifik. Nilai-nilai dari (a) pada 440 nm beragam antara 0.01 dan 0.1 m-1(mg m-3)-1, tergantung pada umur dan spesies fitoplankton. Satuan-satuan dari (b) ordo tipe 10-3 m-1 (mg m-3)-1 dari (Robinson 1985).

Sifat absorbsi tertinggi klorofil ditemukan pada kanal biru dan merah sebaliknya pantulan tertinggi pada saluran hijau yang mana hal tersebut

disebabkan karena meningkatnya koefisien hambur bb(λ) sedangkan Gaol (2003), menyatakan bahwa pada saluran hijau koefisien absorbs a(λ), secara tajam berubah karena pigmen klorofil-a tidak menyerap pada kanal hijau. Pada kanal biru daya absorbsi klorofil-a sangat tinggi, karena daya absorbsi lebih besar dari daya hambur akibat pantulan menjadi rendah pada kanal biru.

Berdasarkan pemahaman karakteristik interaksi obyek terhadap radiasi elektromagnetik, disamping ketidak seragaman kondisi setiap perairan maka diperlukan algoritma yang sesuai dalam pengkajian lautan berdasarkan warna air laut yang memanfaatkan radiasi gelombang elektromagnetik. Menurut Campbell (1999), bahwa algoritma ocean color adalah sebuah formula atau prosedur matematik untuk menentukan keberadaan perairan dari radiansi yang diukur dengan sensor ocean color. Algortima dapat dikembangkan secara analitik (yang lebih mengarah pada pengembangan algoritma secara teoritis) dan pengembangan secara empiris yaitu berdasarkan hubungan radiansi pada masing-masing kanal atau rasio kanal dengan konsentrasi klorofil di suatu perairan dengan statistik regresi.

Sathyendranath and Morel (1983) dalam Wouthuyzen et al., (2005), membagi perairan berdasarkan sifat optiknya atas dua tipe, yakni tipe 1 (case-1 waters) dan tipe 2 (case-2 waters). Pada perairan tipe 1, fitoplankton dan bio produknya memegang peranan dominan dalam menentukan sifat optik perairan. Perairan tipe 1 akan berubah menjadi perairan tipe 2, jika sedikitnya salah satu komponen berikut ini masuk ke dalam perairan tipe 1, yaitu sedimen yang tersuspensi ulang dari dasar perairan, terutama perairan dangkal; zat organik terlarut berasal dari daratan yang masuk melalui sungai (run off); dan material tersuspensi berasal dari limbah rumah tangga (anthropogenic). Dari sifat optik tersebut, maka pada umumnya perairan tipe 1 diklasifikasikan sebagai perairan lepas pantai (oseanik), sedangkan tipe 2 adalah perairan pantai/dangkal (wilayah pesisir).

Dasar estimasi konsentrasi klorofil-a dengan data citra satelit adalah berdasarkan rasio antara kanal yang tingkat absorbsi maksimum dengan kanal yang tingkat absorbsi minimum terhadap klorofil-a maka prinsip pengembangan algoritma ocean color adalah rasio antara kanal biru dan hijau.

Bebarapa algoritma yang dikembangkan untuk ocean color berdasarkan rasio kanal menurut Gaol (2003), adalah sebagai berikut :

(1) Algoritma untuk sensor Coastal Zone Color Scanner (CZCS),

Klorofil (Chl) = 1.130 (Lw(443)/Lw(550)-1.705 untuk Chl < 1.5 mg/m3 .... (1) Chl (mg/m3) = 3.327 (Lw(520)/Lw(550)-2.44 untuk Chl > 1.5 mg/m3 ….. (2) Dimana Lw(550) = radiansi kanal hijau; Lw(443) = radiansi kanal biru.

(2) Algoritma untuk sensor Ocean Color and Thermal Sensor (OCTS),

Chl (mg/m3) = 0.2818 (Lw(520) + Lw(565)/ Lw(490))3.47 …………. (3) Dimana Lw(520)= kanal hijau; Lw(490) = kanal biru.

(3) Algoritma untuk sensor SeaWiFS.

Berdasarkan hasil evaluasi, dengan menggunakan formulasi rasio kanal maksimum (maximum band ratio/MBR) maka didapatkan bahwa algoritma yang paling baik hasilnya adalah algoritma Ocean Chlorophyll 4 (OC4) yang menghasilkan koefisien determinasi (r2) 0.932 (O’Reilly et al., 1998); (Hooker and McClain 2000) dalam (Gaol 2003).

Chl-a (mg/m3) = 10^(a0 + a1*R + a2*R^2 + a3*R^3) + a4. (OC4) ..………. (4) Dikatakan pula bahwa, formulasi MBR merupakan suatu pendekatan baru dalam pengembangan algoritma ocean color secara empiris dan mempunyai keunggulan dalam mengatasi kemungkinan tingkatan kisaran konsentrasi klorofil (rendah, sedang dan tinggi). Dengan demikian model MBR juga berguna untuk penentuan konsentrasi klorofil dalam hubungannya dengan status trophic yaitu : oligotrophic, konsentrasi klorofil (< 0.3 µg/L), mesotrophic (0.3-1.5 µg/L) dan eutrophic (>1.5 µg/L).

2.3.2 Penginderaan Jauh Gelombang Mikro Altimetri

Informasi dinamika laut sangat diperlukan dalam menunjang studi ilmiah maupun aplikasi praktis yang berhubungan dengan kelautan. Dengan diluncurkannya satelit altimetri maka dapat diungkap berbagai fenomena laut seperti topografi dan dinamika laut secara global.

Altimetri adalah sebuah teknik untuk mengukur tinggi. Satelit radar altimetri mengukur waktu yang diperlukan radar pulsa untuk bepergian dari antena satelit ke permukaan dan kembali ke penerima satelit. Terlepas dari ketinggian permukaan, pengukuran ini menghasilkan kekayaan informasi lain

yang dapat digunakan untuk berbagai aplikasi. Altimeter adalah suatu instrumen untuk menentukan tinggi di atas suatu acuan, biasanya dengan mengukur perubahan dari tekanan udara, atau dengan mengukur jarak vertikal secara langsung dengan suatu sistem radar atau laser. Satelit altimetri yang diluncurkan memiliki karakteristik yang berbeda-beda dimana untuk mendapatkan ketelitian dalam hal spasial yang baik maka akan mengesampingkan resolusi temporal dan sebaliknya.

Konsep dasar dari satelit altimetri adalah mengukur jarak dari satelit terhadap permukaan air laut dengan memanfaatkan interval waktu perambatan gelombang radar yang dipancarkan satelit, kemudian dipantulkan oleh permukaan air dan diterima kembali oleh satelit. Dengan diketahui tinggi satelit terhadap elipsoid referensi maka dapat dihitung tinggi permukaan air laut terhadap elipsoid referensi. Dikarenakan muka air laut yang selalu dinamis, pengukuran tidak sebatas pada satu titik namun didapat dari hasil rerata nilai dari area footprint sinyal (Chelton et al., 2001).

Salah satu tujuan pengukuran altimetri dengan satelit adalah untuk memperoleh informasi oseanografis berupa topografi permukaan laut relatif terhadap geoid (Robinson, 1985).   Geometri dasar pengukuran satelit altimetri seperti disajikan pada Gambar 10 dengan formula sebagai berikut (Sebeer, 2003)

h = N + H + ρ, ……… (5) dalam hal ini :

h = adalah tinggi satelit di atas elipsoid referensi, N = undulasi geoid,

H = jarak dari geoid ke permukaan laut sesaat dan ρ = jarak altimeter ukuran.

Ketelitian pengukuran dengan sensor altimeter dipengaruhi berbagai faktor seperti ketelitian pengukur waktu, refraksi ionosfer, troposfer, kesalahan orbit. Misalnya karena kecepatan rasio signal adalah 3 x 1010 cmS-1 maka untuk mendapatkan ketelitian pengukuran 1 cm maka diperlukan tingkat akurasi alat pengukur waktu 30 picoseconds (Stewart, 1985).

Prinsip penentuan perubahan kedudukan muka laut dengan teknik altimetri yaitu pengukuran jarak vertikal dari satelit ke permukaan laut. Karena tinggi

satelit di permukaan ellipsoid referensi di ketahui maka tinggi muka laut (sea surface height atau SSH) saat pengukuran dapat ditentukan sebagai selisih antara tinggi satelit dengan jarak vertikal. Nilai SSH yang diperoleh masih mengandung efek variasi periode pendek, seperti pasut dan sebagainya. Selanjutnya variasi muka laut periode pendek harus dihilangkan sehingga fenomena kenaikan muka laut dapat terlihat melalui analisis deret waktu dimana analisis deret waktu perlu dilakukan sehingga secara jelas dapat memantau variasi temporal periode panjang dan fenomena sekularnya.

Gambar 10 Geometri pengukuran tinggi muka laut dengan satelit altimetri (Seeber, 2003).

Satelit TOPEX/Poseidon diluncurkan pada Agustus 1992, merupakan hasil kerjasama badan antariksa Amerika NASA (National Aeronatics and Space Administration) dengan badan antariksa Perancis CNES (Centre National d’Etudes Spatiales). Karakteristik dari satelit TOPEX/Poseidon sebagaimana disajikan dalam Tabel 2, sedangkan misinya menurut Benada (1997), adalah untuk mengukur tinggi muka laut untuk tujuan studi dinamika laut yang mencakup hitungan rerata maupun variasi arus permukaan dan pasang surut lautan secara global dan memproses, memverifikasi, serta mendistribusikan data TOPEX/Poseidon beserta data geofisika lainnya kepada pengguna disamping meletakkan dasar bagi keberlanjutan program pengamatan sirkulasi laut dan variasinya dalam jangka waktu yang panjang.

Tabel 2 Karakteristik satelit TOPEX/Poseidon

 

Satelit QuikSCAT merupakan produksi Ball Aerospace dan Technologies Corp, yang dibeli oleh NASA dan dikelola oleh pusat program penerbangan angkasa luar Goddard greenbelt dengan misi untuk banyak kepentingan seperti peramalan cuaca.

Data QuikSCAT diproses oleh National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) dan disistribusikan informasinya kepada pengguna yang kemudian disesuaikan dengan data hasil pengukuran untuk menghasilkan suatu informasi yang tepat. Data tersebut sangat penting dalam hal peramalan cuaca jangka pendek serta prediksi pola cuaca global hingga pada sistem iklim dunia (Benada, 1997). Selanjutnya dikatakan pula bahwa QuikSCAT juga bekerja untuk memonitor fenomena penyimpangan kondisi iklim (El Nino dan La Nina).

European Space Agency meluncurkan satelit Envisat pada Maret 2002 dengan tujuan utama yaitu menyediakan data pengamatan dari atmosfer, lautan global, dan es dengan karakteristik orbit sun synchronous serta karakteristik satelit Envisat disajikan pada Tabel 3.

Karakteristik Utama

Setengah sumbu panjang 7714.4278 km

Eksentrisitas 0.000095

Inklinasi bidang orbit 66.04o

Argumen of perigee 90o

Asensiorekta ascending 116.56o

Anomali rerata 253.13o

Data Tambahan

Tinggi referensi (ekuatorial) 1336 km Periode satu lintasan orbit 6745.72 detik Resolusi temporal (cycle) 9.9156 hari Jumlah revolusi dalam satu cycle 127

Jarak antar lintasan pada ekuator 315 km Sudut lintasan terhadap ekuator 39.5o

Kecepatan orbit 7.2 km/detik

Tabel 3 Karakteristik satelit Envisat

2.3.3 Satelit Aqua MODIS

MODIS adalah salah satu instrument utama yang dibawa Earth Observing System (EOS) Terra Satellite, yang merupakan bagian dari program antariksa Amerika Serikat, National Aeronautics and Space Administration (NASA). Program ini merupakan program jangka panjang untuk mengamati, meneliti dan menganalisa lahan, lautan, atmosfir bumi dan interaksi diantara faktor-faktor tersebut. MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) mengamati seluruh permukaan bumi setiap 1 sampai dengan 2 hari dengan whisk-broom scanning imaging radiometer. Spesifikasi dari satelit Aqua MODIS dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Karakteristik Satelit Aqua MODIS

Dokumen terkait