• Tidak ada hasil yang ditemukan

7 KEBUNTINGAN HASIL TRANSFER BLASTOSIS MENCIT YANG

7.2.6 Teknik transfer embrio

Mencit betina yang mengalami kebuntingan semu 3,5 hari, dibius campuran obat bius xylazine (Iliumxylazil-20®Troy Lab NSW, Australia) dengan ketamine (Ketamil® Troy Lab NSW, Australia), masing-masing campuran 0,2mg dan 1 mg untuk satu ekor mencit (Muhammad et al. 1999). Setelah terbius, pembedahan dengan penyayatan kulit sepanjang 1-2 cm sejajar tulang punggung, dilakukan pada titik tengah garis maya yang menghubungkan pangkal ekor dengan bagian belakang tulang tengkorak. Lubang pada kulit akibat sayatan skalpel tersebut digeser ke kanan, sampai teramati di belakang tulang iga terakhir dan bawah dinding abdomen yang transparan, lemak putih di sekitar ovarium. Dinding abdomen tersebut dilubangi, lemak tersebut ditarik keluar, dan bersamaan dengan itu tanduk uterus kanan pun akan tertarik juga keluar abdomen. Tanduk uterus tersebut dilubangi pada bagian ujungnya dengan jarum 26G, selanjutnya 6-8 embrio tahap blastosis yang telah disiapkan dalam mikropipet ditransfer kedalam uterus melalui lubang yang dibentuk oleh jarum 26G tersebut. Tanduk uterus dikembalikan ke kedudukannya semula, dan sayatan kulit dijahit dengan jahitan sederhana dan dibubuhi bubuk antibiotik (Hogan et al. 1994).

7.2.7 Rancangan percobaan

Penelitian dilaksanakan berdasarkan rancangan acak lengkap pola split in time. Embrio tahap blastosis tersebut divitrifikasi, kemudian dihangatkan, dan selanjutnya dikultur in vitro, dan ditransfer ke induk resipien. Parameter yang diamati adalah tingkat perkembangan embrio secara in vitro, diamati setiap 6 jam, mulai dari tingkat (Hogan et al. 1994), blastosis, blastosis ekspan, hatching,

dan hatched (Gilbert 1988; Hogan et al. 1994). Secara in vivo, parameter yang diamati adalah persentase pembentukan fetus dan kelahiran anakan mencit hasil transfer blastosis.

7.3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa blastosis yang telah divitrifikasi dan warming, setelah dikultur selama 24 jam dalam medium KSOM menunjukkan daya tahan hidup (survival rate) sebesar 85,70% (Gambar 7.1). Perkembangan embrio pasca warming teramati mulai terjadi 6 jam setelah dikultur dalam KSOM. Persentase blastosis yang berkembang ke tahap lebih lanjut (blastosis ekspan,

hatching dan hatched) adalah sekitar 28,6%, kemudian meningkat menjadi 71,5% pada jam ke 12, selanjutnya menurun menjadi 71,4% pada jam ke 18, dan persentase embrio yang berkembang terus menurun, sampai akhirnya yang berkembang hanya 52,3% pada jam ke 42 (Lampiran 8).

Hasil ini lebih rendah dibandingkan dengan laporan Lane et al. (1999), dalam laporan tersebut blastosis mencit yang divitrifikasi dengan carrier kriolup mampu berkembang kembali sebesar 100%. Sedangkan Takahashi et al. (2005) yang melakukan penelitian sejenis pada blastosis manusia melaporkan survival ratenya adalah 85,5%. Tetapi hasil penelitian ini setara dengan yang dilaporkan oleh Ali & Shelton (1993) yang melakukan vitrifikasi blastosis menggunakan straw inseminasi berbahan plastik 0,25 ml sebagai carrier. Tingkat daya tahan hidup yang lebih rendah dalam penelitian ini, kemungkinan disebabkan oleh volume krioprotektan yang terbawa dalam kriolup dalam penelitian ini (0.115 μl) masih terlalu besar jika dibandingkan dengan kriolup nilon yang dipakai Lane et al. (1999), Mukaida et al. (2001), dan Takahashi et al. (2005) menggunakan kriolup yang memiliki volume sekitar 0.05 μl. Pemanfaatan kriolup bervolume sangat kecil tersebut memungkinkan krioprotektan berkonsentrasi tinggi didinginkan dengan sangat cepat. Pendinginan dari 250C ke -1960C,

berkecepatan 2210C/0,5 detik atau 26.5200C/menit (Liebermann et al. 2002). Pendinginan yang sangat cepat tersebut membuat krioprotektan memadat tetapi tidak membeku dan tidak membentuk kristal es yang mematikan sel-sel embrio (Mukaida et al. 2001). Pada penelitian ini, begitu pula pada vitrifikasi menggunakan straw sebagai carrier seperti yang dilakukan Ali & Shelton (1993), volume larutan krioprotektannya relatif besar, akibatnya percepatan pendinginan tidak sepenuhnya tercapai sesuai harapan, sehingga kristal es sangat mungkin terbentuk dan mematikan sebagian atau keseluruhan sel-sel embrio.

85. 7 57. 1 14. 4 4. 7 4. 7 0 28 .6 66. 7 66. 7 66. 7 0 0 0 9. 5 9. 5 0 0 4. 8 4. 8 4. 8 85. 7 85. 7 85. 7 85. 7 85. 7 14. 3 14. 3 14. 3 14. 3 14. 3 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 0 6 12 18 24

Waktu inkubasi (jam)

P er k em ba ng an ( % )

Blastosis Blast.eksp Hatching Hatched Hidup Mati

Gambar 7.1. Blastosis vitrifikasi yang berkembang ke tahap selanjutnya (n=21)

Tingkat kematian embrio vitrifikasi mencapai 14,30% sesaat setelah dilakukan penghangatan (warming) hingga 24 jam kultur (Gambar 7.1). Kematian embrio pasca vitrifikasi terutama disebabkan oleh keracunan akibat terlalu lama bersinggungan dengan krioprotektan berkonsentrasi tinggi dan terbentuknya kristal es. Dalam penelitian ini seperti telah dikemukakan di atas, akibat volume krioprotektan yang lebih besar, mengakibatkan laju percepatan pendinginan menjadi lebih lambat. Kelambatan tersebut, di samping membuat persinggungan embrio dengan krioprotektan menjadi lebih lama, juga memungkinkan terbentuknya kristal es yang merusak membran dan organel sel. Setelah vitrifikasi dengan kriolup sel-sel embrio (kuda) tahap blastosis yang bertahan hidup sekitar 48%. Di samping itu hampir 30% embrio yang divitrifikasi

zona pelusidanya mengalami keretakan (Oberstein et al. 2001). Sisa-sisa sel embrio yang bertahan hidup sebenarnya dapat mempertahankan diri untuk selanjutnya berkembang ke tahap lebih lanjut. Tetapi jika disertai dengan keretakan-keretakan (fracture) pada zona pelusida, hal tersebut akan membuat sel-sel embrio yang bertahan hidup akan semakin sulit untuk mempertahankan dirinya, karena pelindung embrio dari gangguan lingkungan yang ekstrim tidak lagi berperan.

Gambar 7.2. Pewarnaan vital embrio setelah vitrifikasi dengan metode kriolup. Sel-sel embrio yang bertahan hidup (biru) dan mati (merah)

Embrio pasca penghangatan (warming) pada penelitian ini teramati mulai

hatching setelah 12 jam dikultur dalam KSOM. Persentase embrio yang hatching

sebanyak 4,8% (Gambar 7.1) dan persentasenya terus meningkat sampai sekitar 19% setelah 42 jam dalam kultur (Lampiran 8). Lane et al. (1999) melaporkan 95,5% embrio yang divitrifikasi berhasil hatching setelah dilkultur selama 48 jam. Adanya perbedaan hasil yang diperoleh kemungkinan karena adanya perbedaan dalam hal volume larutan vitrifikasi dalam kriolup seperti telah dikemukakan sebelumnya dan medium kultur yang dipakai. Lane et al. (1999) dalam penelitian tersebut menggunakan larutan vitrifikasi dengan volume yang sangat sedikit, dengan demikian kecepatan pendinginannya menjadi sangat cepat. Pendinginan dan penghangatan yang dilakukan sesingkat mungkin akan mencegah kerusakan sel embrio akibat terbentuknya kristal es dalam sel (Takahashi et al. 2005). Di samping karena volume krioprotektan, rendahnya hatching rate

kemungkinan juga karena medium kultur yang dipakai. Menurut Lane et al. (1998a; 1998b) medium bufer yang dipakai dalam vitrifikasi hendaknya medium yang mampu mencegah perubahan pH intraseluler yang terjadi saat vitrifikasi. Perubahan yang sangat kecil sekali pun dalam sel embrio akan membuat embrio tersebut kehilangan kemampuannya untuk berkembang. Vitrifikasi kini diketahui mengakibatkan pH dalam sel menurun, dan menurut Lane et al. (1999), medium bufer HEPES memiliki kelebihan dalam menstabilkan pH, dibandingkan medium sejenis yang lainnya.

Pemeriksaan terhadap viabilitas embrio setelah kriopreservasi adalah menguji kemampuan embrio tersebut untuk menimbulkan dan mempertahankan kebuntingan, dilanjutkan dengan lahirnya anak yang fertil (Lane et al. 1999). Pada penelitian ini dipilih secara acak 63 embrio tahap blastosis vitrifikasi yang berkualitas baik. Embrio tersebut ditransfer ke sembilan resipien, masing-masing ditransfer tujuh embrio ke dalam tanduk rahim kanan . Fetus yang berkembang ditemukan pada tanduk kanan rahim dua induk, masing-masing tiga fetus (9,5%). Anak yang lahir adalah empat ekor (6,3%), yaitu tiga dari induk pertama dan satu dari induk kedua. Keberhasilan blastosis vitrifikasi menimbulkan kebuntingan dan kemudian lahir, membuktikan metode vitrifikasi kriolup dapat diandalkan untuk mengawetbekukan (kriopreservasi) embrio. Keberhasilan tersebut selaras dengan yang dilaporkan oleh Hredzak et al (2005), yang nenunjukkan keberhasilan tingkat implantasi (11,1%) embrio pasca vitrifikasi dengan metode

straw. Penelitian serupa yang dilakukan Ali & Shelton (1993), melaporkan bahwa jumlah embrio pasca vitrifikasi yang berhasil implantasi sebanyak 25,4%, tetapi yang mati dan kemudian diserap sebesar 13%, dan sisanya berkembang menjadi fetus sebanyak 12,4%. Lebih jauh Hredzak et al (2005), melaporkan bahwa tingkat implantasi blastosis vitrifikasi nyata lebih rendah jika dibandingkan dengan embrio segar mau pun embrio hasil pembekuan slow freezing. Hasil ini memperlihatkan bahwa pembekuan embrio memberi efek buruk terhadap perkembangan embrio, dan vitrifikasi efeknya jauh lebih buruk Embrio tersebut kualitasnya lebih rendah dan kemampuannya untuk implantasi juga menurun, walau pun secara morfologi identik dengan embrio yang tidak divitrifikasi. Kerusakan embrio akibat vitrifikasi mengakibatkan kematian 50% lebih sel-sel embrio (kuda) telah ditunjukkan oleh Oberstein et al. (2001). Begitu pula dalam penelitian ini tampak embrio yang divitrifikasi, sebagian sel-selnya ada yang mati (Gambar 7.2). Sebelumnya dilaporkan oleh Lane et al. (1999), bahwa embrio

mencit hasil vitrifikasi dengan metode kriolup yang berhasil implantasi 78% dan sekitar 55% berkembang menjadi fetus. Angka tersebut tidak berbeda jika yang ditransfer embrio segar. Lane et al. (1998, 1999) seperti telah dikemukakan di atas memakai medium yang lebih efisien untuk mengatasi perubahan pH intraseluler, sehingga perkembangan embrio tidak terganggu. Kriolup bervolume sangat kecil, membuat laju pembekuannya menjadi sangat cepat dan kristal es yang mematikan tidak terbentuk.

Dari penelitian yang dilakukan diperoleh hasil bahwa, blastosis vitrifikasi yang dapat kembali berkembang (reexpand) sebanyak 85,7% dan dari blastosis tersebut yang berkembang ke tahap lebih lanjut secara in vitro, persentasenya berbeda-beda pada pengamatan yang dilakukan setiap 6 jam. Blastosis vitrifikasi yang mati pasca warming sekitar 14,3% hingga jam ke 24, dan kematian menjadi tiga kali lipat pada saat jam ke 48 (Lampiran 8). Blastosis mulai hatching setelah 12 jam dikultur dan setelah 48 jam, sebanyak 19% blastosis tersebut hatching. Secara in vivo, blastosis vitrifikasi tersebut berhasil berkembang menjadi fetus dan lahir tanpa menunjukkan tanda-tanda cacat.

7.4 SIMPULAN

Simpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah: Vitrifikasi dengan metode kriolup dapat dipakai untuk kriopreservasi embrio mencit tanpa membuat embrio tersebut kehilangan viabilitasnya; Embrio mencit setelah vitrifikasi, viabilitasnya sedikit menurun; Transfer embrio mencit yang telah divitrifikasi ke resipien, berhasil berkembang menjadi fetus dan lahir menjadi mencit normal.

7.5 SARAN

Perlu dilakukan penelitian untuk meningkatkan calving rate blastosis setelah vitrifikasi, dan dicobakan pula pada hewan lainnya.

8. PEMBAHASAN UMUM

Studi ini membahas cemaran mikroba infeksius pada embrio mencit. Cemaran terhadap embrio oleh agen infeksius telah banyak dilaporkan. Beberapa jenis virus dan bakteri mampu mencemari dan melekat pada permukaan ZP antara lain: virus blue tongue, penyakit mulut dan kuku, bovine herpervirus-1, dan bovine viral diarrhoea (Stringfellow & Givens 2000), bakteri

Leptospira spp. (Shisong & Wrathall 1989; Bielanski & Surujballi 1996),

Escherichia coli K99, Streptococcus agalactie, Actinomyces pyogenes (Otoi et al. 1992), mikoplasma (Mycoplasma bovis, M bovigenitalium), parasit

Tritrichomonas foetus (Bielanski et al. 2000; Bielanski et al. 2004). Pencemaran dengan agen patogenik ini dapat terjadi saat fertilisasi in vitro dan transfer embrio. Di samping itu cakupan infeksi dapat meluas, karena embrio beku kini telah menjadi komoditi perdagangan antar bangsa (Otoi et al. 1992; Otoi et al. 1993).

Cemaran terhadap embrio yang akan ditransfer kemungkinan berasal dari semen tercemar yang digunakan untuk membuahi oosit, oosit yang dipanen transvagina, dan peralatan transfer embrio yang tercemar. Mikroba yang tercatat sebagai pencemar pada embrio manusia adalah E.coli, bakteri dipteroid, Mycoplasma hominis, dan Ureaplasma urealyticum (Cottell et al. 1996). Pada ternak infeksi bovine viral diarrhea virus (BVDV) merupakan penyebab utama gangguan reproduksi dan kerugian ekonomi. Dari sudut pandang epidemiologi, ternak yang secara persisten terinfeksi BVDV memegang peran kunci sebagai penyebar penyakit. Strategi pengendalian yang dijalankan selama ini adalah dengan mengidentifikasi dan menyingkirkan ternak yang terindentifikasi. Ternak penderita yang secara persisten terinfeksi BVD dapat menghasilkan anakan yang menderita penyakit BVD persisten juga (Bak et al. 1992). Namun, embrio ternak berkualitas bagus penderita BVD persisten dapat lahir tanpa terinfeksi dengan jalan melakukan embrio transfer ke induk sehat, hanya saja pada ternak penderita BVD persisten, sulit dilakukan superovulasi untuk mendapatkan embrio normal seperti yang diharapkan. Zona pelusida embrio tersebut tidak mampu ditembus oleh BVDV (Singh et al. 1982), dan BVDV dapat disingkirkan dari permukaan zona pelusida dengan melakukan pembasuhan menggunakan metode standar (Vanroose 1999). Embrio ternak tidak mampu berkembang pada

uterus yang sengaja diinfeksi dengan BVDV. Embrio tersebut mati setelah tiga hari terinfeksi. Namun beberapa sel somatik, seperti sel-sel oviduk, sel-sel kumulus, dan sel-sel granulosa dapat berperan sebagai penawar efek racun (detoxifying) agen-agen penyakit terhadap perkembangan embrio (Bavister 1995). Penetralan efek racun ini dapat terjadi jika jumlah agen yang mencemari embrio jumlahnya tidak begitu banyak.

Kematian embrio transfer pada ternak, terbanyak terjadi antara 30-90 hari kebuntingan. Calving rate dari telaah 20 studi yang dilakukan antara 1989-1998, sekitar 30%, sedangkan rataan conception rate inseminasi buatan sekitar 64% (Peterson & Lee 2003). Di Indonesia calving rate pada suatu balai embrio transfer, setelah mentransfer 416 embrio ternak, 67 ekor (16,1%) bunting, yang berhasil lahir 5 ekor atau calving ratenya 1,20% (Balai Embrio Transfer 1997). Namun, laporan tersebut tidak menyertakan faktor-faktor kendala yang mengakibatkan rendahnya calving rate yang diperoleh.

Kebuntingan atau konseptus yang tidak normal, tidak akan bertahan pada trimester kebuntingan, hal ini terutama karena faktor fetus yang tidak normal, dan merupakan faktor utama penyebab kematian fetus. Kematian fetus di bawah dua bulan, terutama karena adanya cacat dalam pembentukan alantois. Cacat pembentukan alantois dapat mencapai 25%, perkembangan yang optimal mencapai 10%, dan alantois yang tidak berkembang mencapai 50%. Perkembangan alantois yang cacat membuat plasentome yang terbentuk menjadi sedikit, dan hal ini merupakan penyebab utama kematian embrio (Peterson & Lee 2003).

Pada awalnya penelitian manipulasi embrio mencit ini didisain untuk pendekatan masalah-masalah yang berhubungan dengan agen infeksius, khususnya bakteri E.coli K99. Bakteri ini sering ditemukan pada ternak sapi neonatal penderita diare. Bakteri ini memiliki antigen perlekatan K99 (pili K99), berfungsi sebagai antigen perlekatan pada reseptor spesifik pada permukaan sel mamalia, seperti pada zona pelusida embrio.

Pada penelitian peranan zona pelusida sebagai barier terhadap cemaran

Escherichia coli K99, bakteri E.coli K99 teramati tidak menembus zona pelusida pada embrio mencit yang diproduksi secara in vivo pada tahap perkembangan yang berbeda. Untuk mendapatkan penjelasan sementara terhadap fungsi zona pelusida sebagai barier pertahanan terhadap E.coli K99 maka diakukan studi ELISA dan SEM. Pada pemeriksaan ELISA, unsur yang dipakai melapisi

sumuran (well plate) pada lempeng ELISA adalah zona pelusida. Selanjutnya direaksikan dengan E.coli K99 dan bakteri atau unsur-unsur bakteri E.coli asal hewan lainnya. Pada pembacaan hasil uji ELISA teramati bahwa pada sumuran tempat zona pelusida dan E.coli K99 direaksikan, terbaca kepadatan optik yang tinggi jika dibandingkan dengan bakteri E.coli lainnya. Hal ini menandakan bahwa terjadi perlekatan antara E.coli K99 dengan zona pelusida mencit. Hasil ini memperkuat penelitian yang dilakukan Otoi et al. (1992;1993) yang mereaksikan E.coli K99 dengan zona pelusida sapi. Penelti tersebut menduga adanya ikatan yang spesifik, karena bakteri yang melekat tidak semuanya tercuci dengan perlakuan tripsin.

Bakteri E.coli K99 mampu melekat karena memiliki struktur perlekatan yang dikenal sebagai pili. Pili tersebut akan melekatkan dirinya ke suatu gugus gula tertentu. Reseptor bakteri E.coli K99 adalah asam muramat (muramic acid), galaktosa, dan glukosa (Dean & Isaacson 1985).

Zona pelusida terdiri dari tiga unsur glikoprotein yakni ZP1, ZP2, dan ZP3. Rantai polipeptida dan oligosakarida dari glikoprotein tersebut berbeda satu dengan yang lain (Wassarman 1999). Gugus gula yang umum ditemukan pada zona pelusida adalah: D-manosa, D-glukosa, galaktosa, N-asetil glukosamin (Skutelsky et al. 1994). Pada mencit gugus gula yang umum ditemukan adalah galaktosil, L-fukosa, D-manosa, dan metil manosida (Wassarman 1988). Adanya gugus gugus gula monosakharida tersebut membuat pili mempunyai tempat melekat pada zona pelusida.

Pada pemeriksaan SEM, teramati permukaan zona pelusida embrio dilekati oleh E.coli K99. Struktur permukaan zona pelusida secara mendasar ada dua pola yang berbeda: 1) zona pelusida berbentuk suatu jalinan seperti spon yang memiliki banyak pori, dan 2) zona pelusida memiliki struktur yang lebih kompak dengan sedikit pori (Familiari et al. 1989; Vanroose 1999). Pada penelitian ini teramati bakteri E.coli K99 terikat ke zona pelusida yang memiliki struktur kompak dan sedikit berpori. Bentuk seperti ini merupakan bentuk khas zona pelusida yang telah terbuahi spermatozoa (Suzuki et al. 1994). Perubahan pola permukaan zona pelusida yang dicirikan dengan struktur benda padat yang seakan meleleh dan disertai dengan sedikit pori tersebut, dikenal sebagai ‘zona pellucida hardening’, struktur tersebut berperan mencegah terjadinya polispermia (Legge 1995). E.coli K99 mampu melekat pada zona pelusida, tetapi E.coli yang berukuran 2,9 µm x 0,64 μm (Boyer 2002) tidak mampu menembus zona

pelusida untuk mencapai sel-sel embrio menembus ribuan pori-pori pada permukaan zona pelusida. Pori-pori tersebut pada zona pelusida embrio sapi tahap morula, seperti yang dilaporkan Vanroose (1999) berdiameter 155 nm. Pori-pori pada zona pelusida berbentuk seperti corong, lebar di luar dan menyempit ke dalam, sehingga agen penyakit kemungkinan hanya mampu melekat pada bagian luar pori saja dan tidak mampu menembus zona pelusida.

Virus bovine viral diarrhoea sebagai misal yang berukuran 40-50 nm hanya mampu menembus setengah tebal zona pelusida, sedangkan bovine herpesvirus-1 yang berukuran 180-200 nm menembus seperempat ketebalan zona pelusida. Hal ini berkaitan dengan struktur pori-pori yang menyempit ke bagian dalam seperti tersebut di atas (Vanroose 1999).

Adanya cemaran agen penyakit terutama bakteri seperti E.coli mesti selalu diwaspadai. Penambahan antibiotik, seperti penisilin dan streptomisin kedalam medium efektif untuk menyingkirkan mikroba pencemar (Cottell et al. 1996). Namun pemberian antibiotik, ke dalam medium kultur kemungkinan dapat menimbulkan cacat pada embrio vertebrata (Holdines 1987). Pemberian antibiotik pentostatin terhadap embrio mencit dapat mengakibatkan perkembangan alantois cacat yang ditandai dengan agenesis atau hipogenesis dan tidak normalnya vaskularisasi ke keseluruhan struktur embrio. Alantois yang sedang berkembang merupakan target toksisitas antibiotik (Airhart et al. 1996). Pada embrio transfer, hingga kini belum pernah dilakukan penelitian secara sistemik mengenai tipe, jumlah antibiotik yang dapat diandalkan untuk digunakan dalam medium, tanpa mengganggu proses embrio transfer tersebut (Peterson & Lee 2003).

Walau pun dapat dinyatakan bahwa zona pelusida utuh berperan sebagai barier infeksi penyakit bakterial (Bab 4), masih tetap diperlukan tindakan sanitasi dan perlakuan-perlakuan yang efektif untuk memastikan permukaan zona pelusida bebas dari bakteri, atau setidaknya agen bakteri yang melekat dapat diinaktivasi dalam upaya melindungi embrio dari infeksi bakteri. Ada dua alasan kenapa tindakan tersebut perlu dilakukan: 1) embrio telah terlindungi dengan baik oleh zona pelusida, tetapi embrio dapat terinfeksi pada saat hatching (keluar dari zona pelusida) dalam medium yang tercemar bakteri E.coli K99. Dengan kata lain embrio yang berkualitas layak transfer (morfologi utuh), dengan bakteri melekat pada permukaannya, mungkin saja ditransfer ke induk resipien yang sehat. Bakteri E.coli dapat menginfeksi endometrium dan selanjutnya

mengakibatkan endometritis (Zerbe et al. 2002) dan akhirnya membuat kematian pada embrio, dan 2) agen penyakit melekat pada permukaan zona pelusida, akan mendorong terjadinya kompetisi perebutan zat-zat nutrisi. Bakteri E.coli

K99 yang tumbuh cepat akan membuat kebutuhan zat nutrisi untuk embrio tak tercukupi selama embrio tersebut berada dalam biakan.

Tindakan sanitasi terhadap embrio telah diulas oleh Bielanski dan Jordan (1996). Tindakan rutin untuk mendesinfeksi embrio adalah membasuhi dengan larutan bufer dan perlakuan dengan tripsin. Namun, pembasuhan dan perlakukan tripsin tidak efektif untuk menghilangkan agen yang melekat pada zona pelusida. Menurut Guerin et al. (1997), sebenarnya resiko terinfeksi agen penyakit lebih besar terjadi pada embrio yang diproduksi secara in vitro

dibandingkan in vivo, karena struktur zona pelusida embrio produksi in vitro tidak sebaik in vivo. Struktur zona pelusida dari embrio in vivo memperoleh tambahan unsur-unsur yang diperoleh sepanjang perjalanan dalam oviduk.

Pada penelitian pemaparan E.coli K99 ke embrio yang memiliki zona pelusida utuh, selama kultur secara in vitro dilakukan, menimbulkan akibat buruk terhadap perkembangannya. E.coli K99 yang berada dan berkembang pada sistem kultur in vitro, teramati laju perkembangan embrio delapan sel ke tahap selanjutnya tidak sebaik embrio yang berkembang dalam medium yang tidak dicemari.

Adanya agen bakteri secara berkesinambungan dalam medium kultur embrio, secara normal tidak akan terjadi pada laboratorium-laboratorium yang mengikuti rekomendasi yang dikeluarkan the International Embryo Transfer Society. Tetapi, hendaknya selalu diwaspadai bahwa agen penyakit mungkin menyusup melalui salah satu langkah pemrosesan embrio, seperti: maturasi in vitro,fertilisasi in vitro, dan kultur in vitro, khususnya jika asal oosit, embrio, dan bahan-bahan lainnya tidak jelas. Di samping itu pemanfaatan serum dan bahan- bahan biologi lainnya, kini merupakan faktor penting dalam proses produksi embrio, sehingga secara tidak langsung membuka peluang masuknya agen ke sistem produksi embrio (Wrathall 1995). Seperti pada pemakaian bovine serum albumin (BSA), ketika penyakit sapi gila merebak di Inggris dan Eropa, pemerintah Selandia Baru melarang impor segala kebutuhan BSA untuk kepentingan embrio transfer (Peterson & Lee 2003).

Cemaran E.coli terhadap spermatozoa pada in vitro fertilisasi dilaporkan mengakibatkan motilitas spermatozoa sangat menurun, bahkan mengakibatkan

terjadinya aglutinasi, sebagai akibat E.coli melekatkan ekor spermatozoa satu dengan yang lainnya. Keadaan tersebut membuat spermatozoa tidak mampu melakukan fertilisasi terhadap oosit (Wolff et al. 1993)

Pada penelitian yang dilakukan, pencemaran medium kultur KSOM secara in vitro dengan bakteri E.coli K99 mengakibatkan pengaruh buruk terhadap perkembangan embrio. Embrio tahap morula yang ditumbuhkan pada medium tercemar, persentase embrio yang mampu berkembang ternytata lebih rendah dibandingkan dengan morula yang dikembangkan pada medium yang tidak tercemar. Jika dikaitkan dengan cemaran medium oleh virus, ternyata pencemaran medium maturasi in vitro dengan BHV-1 (bovine herpesvirus type-1) dan BVDV bovine viral diarrhea virus) yang dilaporkan oleh Vanroose (1999) mengakibatkan pengaruh buruk pula terhadap perkembangan embrio. Begitu pula tingkat pembelahan oosit-berkumulus yang dicemari dengan BVDV (Booth

et al. 1999). Hal senada dilaporkan oleh Guerin et al. (1990) bahwa fertilisasi oosit yang tercemar BHV-1 menjadi sangat rendah. Oosit asal hewan penderita infeksi BHV-1 akut, yang dikultur secara in vitro, tingkat perkembangannya tidak sebaik oosit yang berasal dari hewan sehat (Bielanski & Dubuc 1995).

Mekanisme bakteri E.coli K99 dapat mempengaruhi perkembangan embrio, belum sepenuhnya dipahami. Dalam penelitian ini, bakteri E.coli K99 berkembang dengan baik dalam medium kultur KSOM. Padatnya jumlah bakteri

Dokumen terkait