• Tidak ada hasil yang ditemukan

GELAP UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS Gracilaria

verrucosa

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas agar yang dihasilkan dari rumput laut Gracilaria verrucosa setelah masa budidaya pascapanen dengan perlakuan gelap. Aplikasi teknologi budidaya pascapanen dilakukan terhadap masing-masing rumput laut hasil panen dari perlakuan: non-enriched (A); diperkaya dengan N (B); diperkaya dengan N+P (C); diperkaya dengan N+P+Fe (D). Rumput laut hasil panen dari setiap perlakuan tersebut dianggap sebagai 0HG (0 hari gelap), dan perlakuan budidaya pascapanen adalah: (1) budidaya dengan cahaya normal sebagaimana periode pengkayaan selama 8 dan 12 hari, diikuti perlakuan gelap selama 3 hari (8HN3HG dan 12HN3HG); (2) budidaya dengan perlakuan gelap selama 3, 8 dan 12 hari (3HG, 8HG, 12HG). Hasil penelitian menunjukkan kadar agar meningkat pada 3HG (C), 8HG (A,B,D), serta 8HN3HG (A,B,C,D), dan kadar agar tertinggi dicapai pada 8HN3HG (B). Namun, berdasarkan produksi biomassa rumput laut, produksi agar tertinggi dihasilkan dari perlakuan 8HN3HG (D) dengan performa gel strength dalam kategori yang sama dengan 8HN3HG (B). Perlakuan 8HN3HG (D) tersebut menghasilkan produksi agar 14% , 72% dan 110% lebih tinggi dibanding masing-masing perlakuan 8HN3HG (B), 0HG (D), dan 0HG (A). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perlakuan 8HN3HG (B) pada penelitian ini menghasilkan kadar agar terbaik, sedangkan perlakuan 8HN3HG (D) menghasilkan produksi

agar tertinggi dengan performa gel strength dalam kategori yang sama dengan perlakuan 8HN3HG (B).

Kata kunci: produksi rumput laut, kadar agar, produksi agar, gel strength

POSTHARVEST CULTURE TECHNOLOGY WITH APPLICATION OF DARK TREATMENTS TO ENHANCE QUALITY PERFORMANCE OF Gracilaria

verrucosa

ABSTRACT

The present study was aimed to evaluate the agar quality of G.verrucosa upon the dark treatment of postharvest culture. Postharvest cultivation was applied to seaweed after treatments: non-enriched (A); enriched with N (B); enriched with N + P (C); and enriched with N + P + Fe (D). The seaweed harvested from such treatments considered as 0HG (0 day dark), and postharvest culture treatments were: (1) cultivation with normal light as the enrichment period for 8 and 12 days, followed by dark treatment for 3 days (8HN3HG and 12HN3HG) ; (2) the cultivation of the dark treatment for 3, 8 and 12 days (3HG, 8HG, 12HG). The results showed that the agar content increased in 3HG (C), 8HG (A,B,C) and 8HN3HG (A,B,C,D) with the highest agar content in 8HN3HG (B). However, the highest agar production revealed in 8HN3HG (D) with gel strength in the same grade as the 8HN3HG (B). The 8HN3HG (D) treatment produced agar 14% , 72% and 110% higer than 8HN3HG (B), 0HG (D), and 0HG (A). In conclusion, the 8HN3HG (B) in this study showed the highest agar content, while the 8HN3HG (D) resulted the highest agar production with the gel strength in the same category as 8HN3HG (B).

PENDAHULUAN

Produksi bahan baku yang tinggi dari Gracilaria verrucosa seharusnya diimbangi oleh kualitas agar yang dihasilkan yang merupakan bagian terpenting dalam bidang industri. Kualitas alga merah ini selain ditekankan pada kandungan agar, juga dilihat dari kekuatan gel agar (agar gel strength) sesuai aplikasi dan penggunaannya secara komersial.

Pengetahuan tentang kadar agar dan gel strength di Indonesia, umumnya masih merupakan monopoli pabrik, dimana pembudidaya tidak memiliki kapasitas terkait hal tersebut. Akibat budidaya yang sangat tergantung dari alam dan juga pengetahuan yang minim tentang kualitas agar, harga rumput laut di tingkat pembudidaya menjadi sangat berfluktuasi.

Pada umumnya, pembudidaya hanya mementingkan jumlah produksi rumput laut yang akan di panen, sedangkan masalah kualitas agar yang dihasilkan dari rumput laut tersebut, sepenuhnya menjadi urusan pelaku industri. Beberapa studi telah melaporkan bahwa peningkatan kualitas agar, utamanya gel strength, selama ini diperoleh dari proses treatment sebelum ekstraksi di industri komersial (Armisen 1995). Aplikasi perlakuan alkali dengan penggunaan NaOH/KOH di industri pengolahan agar dapat menghasilkan gel strength yang lebih baik dibanding tanpa perlakuan tersebut. Unsur alkali dapat menyebabkan terjadinya hidrolisis dari grup sulfat, suatu struktur agar yang sangat kuat pengaruhnya terhadap performa fisik dari gel. Namun, menurut Freille-Pelegrin dan Murano (2005), serta Villanueva et al. (2009) perlakuan alkali yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya penurunan kandungan agar. Untuk mengimbangi hal tersebut, telah dilakukan upaya-upaya yang dapat meningkatkan kualitas agar

sejak masa budidaya, atau dengan kata lain kualitas agar ditingkatkan saat rumput laut masih dalam keadaan hidup sehingga dapat tetap mempertahankan kadar agar dan meminimalisir penggunaan alkali sehingga mengurangi limbah kimia.

Beberapa studi yang telah dilakukan terkait peningkatan kualitas agar sejak masa budidaya, yaitu studi tentang aplikasi postharvest culture (budidaya pascapanen) dengan perlakuan gelap, menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kualitas agar sejak masa budidaya rumput laut (Ekman et al. 1991; Rincones et al. 1993; Hemmingson & Furneaux 2003). Salah satu teknologi dalam bidang akuakultur ini juga bertujuan memanipulasi kandungan sulfat pada

Gracilaria spp. (Ekman et al. 1991; Rincones et al. 1993; Hemmingson&Furneaux 2003), dan juga pada spesies lain dari Rhodophyta penghasil karaginan (Villanueva et al. 2009). Hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa postharvest culture pada kondisi gelap, mampu menurunkan kandungan sulfat sehingga kualitas agar meningkat. Namun, penelitian-penelitian tersebut masih sangat terbatas, dan baru dilakukan pada kondisi laboratorium dengan penggunaan sampel alga yang sangat minim (10 g basah), atau bahkan hanya menggunakan alga hasil dari budidaya unialgal (± 2-3 g basah). Sedangkan kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa untuk analisis kadar agar di skala industri, minimum sampel yang dibutuhkan adalah 50 atau 100 g kering (FAO 2012). Sehubungan dengan hal tersebut, Armisen and Galatas ( 2011) menyarankan untuk meningkatkan jumlah alga yang akan diuji apabila melakukan penelitian terkait sehingga diharapkan dapat memperoleh hasil yang menyerupai kondisi dalam proses di bidang industri pengolahan agar. Penelitian tentang teknologi budidaya pascapanen tersebut belum pernah dilakukan pada rumput laut jenis G. verrucosa, yang merupakan penghasil agar

utama di Indonesia. Oleh sebab itu, penelitian ini mencoba mengkombinasikan metode-metode yang telah digunakan sebelumnya, dan dilakukan di bak-bak outdoor dengan biomassa rumput laut yang lebih besar dengan tujuan untuk dapat meningkatkan kualitas agar G.verrucosa.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu metode yang dapat diterapkan oleh pembudidaya rumput laut sehingga kualitas rumput laut, dalam hal ini baik kualitas produksi maupun kualitas agar, dapat menjadi lebih baik.

METODOLOGI

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga Desember 2013. Penelitian yang dilakukan meliputi 2 tahap, yaitu percobaan pendahuluan dan percobaan utama. Percobaan pendahuluan dimaksudkan untuk mencari lama waktu perlakuan gelap yang dapat dilakukan untuk rumput laut, Gracilaria verrucosa, sedangkan percobaan utama adalah berbagai perlakuan gelap pada budidaya pascapanen terhadap Gracilaria verrucosa. Penelitian budidaya pascapanen rumput laut dilakukan di Balai Pengembangan Budidaya Air Payau dan Laut (BPBAPL) Desa Pusakajaya Utara Kecamatan Cilebar, Karawang, Provinsi Jawa Barat. Analisis kadar agar dan

gel strength dari rumput laut yang dihasilkan dari penelitian ini dilakukan di Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau (BPPBAP) Maros, Sulawesi Selatan, dan PT. Bantimurung Indah, Maros, Sulawesi Selatan.

Tumbuhan uji

Bibit Gracilaria verrucosa yang digunakan berasal dari tambak Desa Muara Gembong Bekasi. Sebelum dibudidaya di bak-bak percobaan, rumput laut terlebih dahulu diaklimatisasi selama 24 jam. Setelah 2 minggu masa budidaya, rumput laut dipanen dan di timbang, dan sebanyak 1 kg berat basah dari tiap-tiap perlakuan diambil untuk dikeringkan selama 2 hari, untuk kemudian dianalisis kualitas agarnya (sebagai 0d). Sementara itu, rumput laut lainnya yang tersisa dari masing-masing perlakuan digunakan untuk tahapan budidaya pascapanen. Budidaya pascapanen

Pada tahapan budidaya pascapanen, rumput laut ditebar dengan kepadatan 10 kali lebih besar daripada tahapan budidaya sebelumnya dengan cara memadatkan rumput laut sehingga kepadatan setara dengan 100 kg/m3. Budidaya dilakukan dengan perlakuan gelap menggunakan wadah plastik bundar berwarna hijau. Seluruh bagian wadah budidaya ditutup dengan plastik hitam hingga cahaya tidak dapat menembus ke media budidaya, dan aerasi dilakukan secara terus menerus. Rumput laut pada setiap wadah budidaya kemudian dikelompokkan menjadi: (1) dibudidaya sama dengan kondisi sebelumnya (cahaya normal sebagaimana kondisi di tambak = N, namun tidak ada lagi pengkayaan nutrien) selama masing-masing 8 dan 12 hari lalu dilanjutkan dengan perlakuan gelap tanpa cahaya (gelap=G) selama 3 hari (8HN3HG; 12HN3HG); (2) langsung ditutup, tanpa cahaya selama 3, 8 dan 12 hari (3HG, 8HG, 12HG). Pada setiap perlakuan dilakukan panen sesuai waktu yang ditentukan, lalu rumput laut hasil panen dikeringkan di bawah sinar matahari selama 1-2 hari, dan kemudian dianalisis kadar dan

Parameter uji

Sebanyak minimum 50 g sampel kering (dw) dari rumput laut digunakan dalam proses ekstraksi. Rumput laut yang telah dicuci bersih, kemudian direndam beberapa saat, dan dimasak dalam 1 L larutan NaOH 2% selama 2 jam pada suhu 90 oC. Rumput laut kemudian dicuci dengan air tawar dan kaporit (CaOCl) untuk menghilangkan sisa NaOH. Selanjutnya, rumput laut dimasak lagi hingga menjadi bubur/pasta dengan menggunakan asam cuka (CH3COOH)

kurang lebih selama 4 jam hingga pH 6-6,5 (suhu maksimal 95o C). Ekstrak rumput laut kemudian disaring dengan filter press hingga diperoleh filtrat agar. Filtrat tersebut lalu dibekukan dan kemudian dipotong-potong untuk kemudian dilakukan pengeluaran air melalui metode freezing-thawing. Agar yang terbentuk dikeringkan dalam alat pengering, lalu digrinding untuk menjadi tepung untuk kemudian ditimbang dan dihitung kadarnya (rendemennya). Sementara itu, gel strength diukur dengan menggunakan Nikansui gel tester

pada 1 cm2 plunger, yaitu 1,5% filtrat agar dimasukkan dalam kotak metalik dan dibiarkan menjadi gel pada suhu 20o C. Pemberat dengan kapasitas tertentu (g/cm2) yang menyebabkan gel hancur dalam 20 detik dicatat.

Analisis Statistik

Pada data hasil penelitian dilakukan uji normalitas (Kolmogorov-Smirnov) dan uji homogenitas (Brownforsythe Welch). Data kemudian diolah dengan analisis ragam (oneway anova, p< 0,05), dilanjutkan dengan posthoc Comparisons Duncan‟s Multiple Range Test. Terhadap hasil terbaik dari kadar agar pada setiap kelompok perlakuan dilakukan uji-T. Pengolahan data untuk analisis ragam dan uji-T menggunakan program SPSS, sedangkan untuk presentasi data disajikan dengan bantuan mikrosoft office excel 2007.

HASIL

Agar dan gel strength setelah masa budidaya dan setelah masa budidaya pascapanen perlakuan gelap

Kadar agar dan gel strength dari G.verrucosa setelah masa budidaya dan budidaya pascapanen menunjukkan perbedaan antar perlakuan yang dicobakan (Gambar 8). Kadar agar

mulai meningkat pada perlakuan 3HG (pengkayaan N+P), dan 8HG dengan pengkayaan lainnya. Namun, dalam setiap kelompok perlakuan pengkayaan, perlakuan 8HN3HG lebih tinggi dibanding perlakuan lainnya dalam kelompok pengkayaan yang sama. Diantara semua perlakuan yang dicobakan, peningkatan kadar agar tertinggi terlihat pada 8HN3HG (pengkayaan N), dan perlakuan ini berbeda nyata dibanding 8HN3HG pada masing-masing pengkayaan lainnya (p< 0,05).

Setelah budidaya pascapanen, gel strength meningkat pada 3HG (non-enriched) 3HG dan 8HG (pengkayaan N), 8HG (pengkayaan N+P+Fe), serta 8HN3HG (pengkayaan N; pengkayaan N+P+Fe). Gel strength tertinggi, sebagaimana tersaji pada Gambar 8, diperoleh pada alga yang dibudidaya dengan perlakuan 8HN3HG (pengkayaan N), dan tidak berbeda dengan perlakuan 3HG dan 8HG pada kelompok pengkayaan yang sama (p> 0,05), namun berbeda nyata dibanding perlakuan pada kelompok pengkayaan lainnya (p< 0,05).

Keterangan : 0HG = 0 hari gelap; 3HG = 3 hari gelap; 8HG = 8 hari gelap; 12HG= 12 hari gelap; 8HN3HG = 8 hari normal+3 hari gelap; 12HN3HG= 12 hari normal+3 hari gelap

Gambar 8. Kadar agar dan gel strength agar dari Gracilaria verrusoca setelah

masa budidaya selama 2 minggu dan setelah masa budidaya pascapanen dengan perlakuan gelap.

Produksi rumput laut, kadar agar, dan produksi agar G. verrucossa setelah masa budidaya dan setelah masa budidaya pascapanen perlakuan gelap

Uji-t menunjukkan bahwa kadar agar pada perlakuan 8HN3HG (pengkayaan N) lebih tinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan 8HN3HG (Pengkayaan N+P+Fe) (p< 0,05) (Lampiran 5). Namun, berdasarkan produksi biomassa rumput laut, sebagaimana tersaji pada Tabel 5, produksi agar tertinggi dapat dihasilkan dari perlakuan 8HN3HG (pengkayaan N+P+Fe). 0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00 14,00 16,00 18,00 20,00 Non-enriched N N+P N+P+Fe KA D A R A GA R (% )

PERLAKUAN

0HG 3HG 8HG 12HG 8HN3HG 12HN3HG 0,00 100,00 200,00 300,00 400,00 500,00 600,00 700,00 G E L S TR E N G TH ( g / cm 2)

Tabel 5. Produksi rumput laut, kadar agar, dan produksi agar Gracilaria

verrucosa pada berbagai perlakuan gelap

Perlakuan Produksi rumput laut (g) Basah kering Kadar agar (%) Produksi agar* (g) Non- enriched 0HG 17.300±0,20 2.270±0,03 10,20±2,23 231,54 3HG 17.600±0,13 2.180±0,02 6,60±0,20 143,88 8HG 16.890±0,18 1.710±0,02 11,40±0,35 194,94 12HG 15.910±0,47 2.180±0,06 11,50±0,50 250,70 8HN3HG 17.860±0,24 2.000±0,03 14,00±0,20 280,00 12HN3HG 17.300±0,58 2.300±0,08 11,75±0,75 270,25 N 0HG 18.770±1,56 2.440±0,20 9,33±2,25 227,65 3HG 18.980±0,07 2.220±0,01 6,40±1,40 142,08 8HG 18.210±0,19 2.400±0,03 13,40±0,30 321,60 12HG 16.920±0,29 2.250±0,04 10,50±0,50 236,25 8HN3HG 19.830±0,26 2.440±0,03 17,50±0,20 427,00 12HN3HG 18.560±0,72 2.580±0,10 13,75±0,75 354,75 N+P 0HG 21.300±1,31 2.580±0,16 11,20±1,22 288,96 3HG 21.680±0,08 2.040±0,01 13,30±1,10 271,32 8HG 21.050±0,22 2.400±0,02 11,20±0,35 268,80 12HG 19.200±0,33 2.320±0,04 9,50±0,50 220,40 8HN3HG 23.020±0,59 2.900±0,07 14,30±0,30 414,70 12HN3HG 19.870±0,72 2.340±0,08 13,75±0,25 321,75 N+P+Fe 0HG 23.400±0,61 2.850±0,07 9,93±1,86 283,01 3HG 23.860±0,15 2.720±0,02 6,90±1,30 187,68 8HG 22.560±0,42 2.550±0,05 12,60±0,20 321,30 12HG 20.670±0,37 2.400±0,04 10,75±0,75 258,00 8HN3HG 25.850±0,32 3.080±0,04 15,80±0,40 486,64 12HN3HG 23.660±1,19 2.790±0,14 14,50±0,50 404,55

Keterangan: * = produksi rumput laut kering x kadar agar

0HG=0 hari gelap; 3HG=3 hari gelap; 8HG=8 hari gelap; 12HG =12 hari gelap; 8HN3HG = 8 hari normal+3 hari gelap; 12HN3HG = 12 hari normal+3 hari gelap

PEMBAHASAN

Kadar agar dan gel strength dari G.verrucosa pada umumnya menunjukkan peningkatan setelah perlakuan gelap pada budidaya pascapanen. Meningkatnya agar pada kondisi gelap disebabkan karena polimer penyimpan karbon (C) hasil fotosintesis (floridean starch dan floridoside) mendegradasi C untuk biosintesis agar. Keadaan ini sejalan dengan hasil penelitian Macler (1986) yang menemukan bahwa pada kondisi gelap ada aliran karbon yang terdegradasi dari produk cadangan (floridean starch dan floridoside) oleh enzim phosphorylase dan α-galactosidase, untuk biosintesis agar. Demikian pula, peningkatan aktivitas enzim pada kondisi gelap dapat mengeliminir sulfat dan menstimulasi pembentukan rantai prekursor of 3,6 Anhydrogalactose (3,6 AG), sehingga dapat meningkatkan gel strength (Hemmingson & Furneaux 2003; Villanueva et al. 2009).

Pada penelitian ini, secara umum baik kadar agar maupun gel strength Gracilaria yang sebelumnya diberi perlakuan pengkayaan, lalu dibiarkan 8 hari dengan cahaya tanpa penambahan nutrien, dan kemudian diberi perlakuan gelap selama 3 hari (8HN3HG), menghasilkan performa agar yang lebih baik dibanding Gracilaria yang setelah diberi perlakuan pengkayaan, langsung diberi perlakuan gelap. Menurut Macler (1986) pada kondisi keterbatasan nutrien terutama N, Rhodophyta dapat kehilangan pigmen fotosintesis serta protein sel dalam jumlah besar, namun pada alga tersebut terdeteksi C flow yang lebih tinggi, dimana C tersebut diperuntukkan bagi sintesis agar. Keterbatasan N pada alga, dapat meningkatkan kadar

agar sebagaimana teori Neish effect, dimana pada keadaan tersebut rumput laut mampu mengakumulasi karbohidrat (Lapointe & Duke 1984). Kondisi ini dapat dikaitkan dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya yang merekomendasikan untuk membiarkan atau memindahkan rumput laut yang berasal dari media dengan nutrien yang tinggi ke media yang mengandung nutrien rendah beberapa saat sebelum dipanen agar kadar agar yang dihasilkan rumput laut menjadi lebih baik (Brigss & Funge-Smith 1993). Selanjutnya, pada kondisi gelap, C yang berasal dari produk cadangan hasil fotosintesis, juga digunakan untuk biosintesis agar. Keadaan ini menunjukkan bahwa pembatasan N setelah pengkayaan, lalu dilanjutkan dengan perlakuan gelap, secara bersama-sama mendukung peningkatan kadar agar. Disamping itu, perlakuan gelap juga mampu memgeliminir sulfat untuk menstimulasi pembentukan gel strength

sebagaimana penjelasan di atas.

Pada penelitian ini, thallus Gracilaria tidak menunjukkan adanya kerusakan dan perubahan warna hingga 8 hari perlakuan gelap, tetapi menunjukkan kecenderungan perubahan warna kekuningan pada saat diberi perlakuan 12 hari gelap. Sebagai perbandingan, penelitian Villanueva et al. (2009) menunjukkan thallus Rhodophyta, Chondrus crispus yang tetap segar setelah diberi perlakuan gelap hingga 10 hari. Sementara itu, thallus G. chilensis mulai menunjukkan kerapuhan setelah 3 minggu perlakuan gelap (Hemmingson & Furneaux 2000). Secara umum, pada penelitian ini untuk semua perlakuan 12 hari gelap menunjukkan performa kadar agar yang tetap baik, tetapi keadaan sebaliknya terlihat pada gel strength agar, kecuali pada perlakuan dimana sebelumnya diberi pengkayaan N+P+Fe. Keadaan ini diduga terkait dengan regulasi Fe dalam jaringan rumput laut yang mampu mentolerir perubahan lingkungan budidaya. Hal ini sesuai pendapat Mtolera (2003) yang menyatakan bahwa salah satu fungsi mineral adalah dapat mencegah stres pada rumput laut. Disamping itu, adanya penambahan Fe kemungkinan telah mengoptimalkan metabolisme N dalam thallus rumput laut pada periode budidaya, sehingga pada gilirannya (pada budidaya pascapanen dengan perlakuan gelap) ketersediaan nutrien yang memadai tersebut mampu mempertahankan performa thallus

yang baik. Namun, studi secara detail tentang peranan Fe terhadap fisiologi rumput laut dan kualitas agarG. verrucosa masih sangat perlu dilakukan karena hingga saat ini informasi terkait hal ini masih sangat terbatas.

Perlakuan 8 hari normal+3 hari gelap setelah pengkayaan N (8HN3HG, pengkayaan N) pada penelitian ini menunjukkan kadar agar dan gel strength tertinggi, namun sebagaimana Tabel 2, produksi rumput lautnya lebih rendah dibanding perlakuan 8HN3HG (pengkayaan N+P+Fe). Apabila dihitung produksi agar secara total (biomassa) maka produksi agar tertinggi dicapai pada perlakuan 8 hari normal+3 hari gelap setelah pengkayaan N+P+Fe (8HN3HG, pengkayaan N+P+Fe). Perlakuan ini menghasilkan produksi agar lebih tinggi 14% dibanding 8HN3HG (pengkayaan N). Selain itu, produksi agar dari 8HN3HG (pengkayaan N+P+Fe) ini lebih tinggi 72% dan 110% dibanding masing-masing perlakuan 0HG (pengkayaan N+P+Fe) dan perlakuan 0HG (non-enriched). Pada penelitian ini, walaupun gel strength dari perlakuan 8HN3HG (pengkayaan N+P+Fe) tersebut lebih rendah dari perlakuan 8HN3HG (pengkayaan N), namun nilai gel strength pada kedua perlakuan tersebut sama-sama termasuk dalam kategori nomor 1 untuk tingkat mutu agar yang berlaku di Jepang sebagai negara pemasok utama produksi agar di dunia (Lampiran 3). Hasil ini memberi gambaran bahwa rumput laut yang dihasilkan dari perlakuan pengkayaan kombinasi unsur hara makro dan mikro dan dilanjutkan dengan teknologi budidaya pascapanen perlakuan gelap secara signifikan berpengaruh terhadap peningkatan produksi agar, dan menghasilkan gel strength dengan performa yang baik.

Penelitian ini telah mencoba mengestimasi kuantitas agar yang dihasilkan dari produksi rumput laut secara keseluruhan, tidak hanya mengklasifikasikan hasil berdasarkan kadar agar

yang dihasilkan sebagaimana yang telah dilakukan pada penelitian-penelitian sebelumnya. Belum ada pengkajian kualitas rumput laut, dalam hal ini kadar agar yang dihasilkan dan sekaligus menganalisis produksi agar yang dihasilkan secara biomassa. Oleh sebab itu, studi terkait hal ini masih sangat perlu untuk terus dilakukan sehingga didapatkan pula data nilai ekonomis secara kompehensif dari budidaya G. verrucosa dengan berbagai metode yang diaplikasikan.

.

SIMPULAN

Perlakuan 8 hari normal 3 hari gelap setelah pengkayaan N+P+Fe menghasilkan produksi

agar tertinggi, yaitu lebih tinggi sampai dengan 110% dibanding perlakuan yang lain, dengan

gel strength masuk dalam kategori yang tinggi.

5

TEKNOLOGI BUDIDAYA PASCAPANEN DENGAN PERLAKUAN

Dokumen terkait