• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengkayaan Nutrien dan Teknologi Budidaya Pascapanen untuk Meningkatkan Kualitas Gracilaria verrucosa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengkayaan Nutrien dan Teknologi Budidaya Pascapanen untuk Meningkatkan Kualitas Gracilaria verrucosa"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

PENGKAYAAN NUTRIEN DAN TEKNOLOGI BUDIDAYA

PASCAPANEN UNTUK MENINGKATKAN

KUALITAS

Gracilaria

verrucosa

EKA ROSYIDA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “Pengkayaan nutrien dan teknologi budidaya pascapanen untuk meningkatkan kualitas Gracilaria verrucosa adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, November 2014

Eka Rosyida

(4)

RINGKASAN

EKA ROSYIDA. Pengkayaan Nutrien dan Teknologi Budidaya Pascapanen untuk Meningkatkan Kualitas Gracilaria verrucosa. Dibimbing oleh ENANG HARRIS, SUGENG HERI SUSENO dan EDDY SUPRIYONO.

Gracilariaverrucosa merupakan rumput laut penghasil agar yang penting di Indonesia. Budidaya salah satu jenis Rhodophyta ini umumnya hanya mengandalkan air yang tersedia yang berada disekitar tambak, sehingga produksi yang tinggi berasal dari perluasan areal budidaya, bukan akibat peningkatan produktivitas rumput laut tersebut. Studi tentang rumput laut menunjukkan bahwa salah satu faktor pendukung meningkatnya produktivitas adalah ketersediaan nutrien yang memadai. Selain peningkatan produktivitas, hal yang harus dipertimbangkan dalam budidaya rumput laut, G. verrucosa adalah kualitas

agar yang merupakan hasil ekstraksi dari rumput laut ini. Oleh sebab itu, penelitian ini mencoba untuk mengkaji peningkatan produktivitas melalui pengkayaan nutrien, dan memperbaiki kualitas agar rumput laut, G. verrucosa

sejak masa budidaya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon pertumbuhan G. verrucosa yang diberi pengkayaan berbagai nutrien, serta mengkaji efektivitas perlakuan gelap, juga kombinasi perlakuan gelap dan salinitas yang ditingkatkan pada budidaya pascapanen dalam meningkatkan kualitas G. verrucosa.

Penelitian ini terdiri atas 3 tahap yaitu: (1) pengkayaan unsur-unsur N, P, Fe pada masa budidaya untuk meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas

G. verrucosa ; (2) teknologi budidaya pascapanen dengan perlakuan gelap untuk meningkatkan kualitas G. verrucosa; (3) teknologi budidaya pascapanen dengan perlakuan gelap dan salinitas untuk meningkatkan kualitas G. verrucosa.

Penelitian pertama bertujuan untuk mengkaji respon pertumbuhan

Gracilaria verrucosa melalui metode pengkayaan N, P dan Fe sebagai unsur hara makro dan mikro ke dalam media budidaya. Penelitian ini menggunakan bibit

G. verrucossa yang berasal dari Desa Muara Gembong, Bekasi, Jawa Barat. Budidaya dilakukan di wadah persegi berukuran 2x1,5x0,80 (m) terbuat dari bambu dilapisi terpal plastik berwarna biru dengan kepadatan tebar rumput laut 10 kg/m3. Untuk menjamin adanya sinar matahari dan menghindari jatuhnya air hujan ke media budidaya, maka pada sekitar 1,5 m di atas media ditempatkan atap plastik bening transparan. Pengkayaan dilakukan setiap 7 hari sekali, dan setiap 3 hari sekali dilakukan penggantian air sebesar 50% dari air media, sedangkan penggantian air 100% dilakukan sebelum pengkayaan berikutnya. Sebagai sumber N adalah pupuk urea (46% N), sumber P adalah pupuk SP-36 (36% P2O5) dan

sumber Fe adalah FeCl3.6H2O, dengan dosis masing-masing 50 : 5 : 2 ppm.

(5)

budidaya G. verrucosa pada penelitian ini dapat meningkatkan produksi sebesar 35% dibanding tanpa perlakuan pengkayaan, dan meningkatkan produksi 10 - 25% dibanding perlakuan dengan menggunakan unsur-unsur makro saja.

Penelitian kedua bertujuan untuk mengevaluasi kualitas agar yang dihasilkan dari rumput laut G. verrucosa setelah masa budidaya pascapanen dengan perlakuan gelap. Budidaya pascapanen dilakukan terhadap masing-masing rumput laut hasil panen dari perlakuan: non-enriched (A); diperkaya dengan N (B); diperkaya dengan N + P (C); dan diperkaya dengan N + P + Fe (D). Hasil panen dari setiap perlakuan dianggap sebagai 0HG (0 hari gelap), dan perlakuan budidaya pascapanen adalah: (1) budidaya dengan cahaya normal selama 8 dan 12 hari, diikuti perlakuan gelap selama 3 hari (8HN3HG dan 12HN3HG); (2) budidaya perlakuan gelap selama 3, 8 dan 12 hari (0HG, 3HG, 12HG). Hasil penelitian menunjukkan kadar agar meningkat pada 3HG (C), 8HG (A;B;D), serta 8HN3HG (A;B;C;D), dengan kadar agar tertinggi pada 8HN3HG (B). Gel strength meningkat pada 3HG (A;B), 8HG (D), serta 8HN3HG (B;D). Berdasarkan produksi biomassa rumput laut, produksi agar tertinggi dihasilkan dari 8HN3HG (D), yaitu lebih tinggi 14% dibanding 8HN3HG (B), lebih tinggi 72% dibanding perlakuan 0HG (D), dan lebih tinggi 110% dibanding perlakuan 0HG (A). Hal ini menunjukkan bahwa budidaya pascapanen perlakuan gelap 8HN3HG (D) menghasilkan produksi agar tertinggi dengan performa gel strength dalam kategori yang sama dengan 8HN3HG (B).

Penelitian ketiga bertujuan untuk mengkaji kualitas agar G. verrucosa

yang dihasilkan dari teknologi budidaya pascapanen perlakuan gelap dikombinasi dengan perlakuan salinitas yang ditingkatkan. Aplikasi teknologi budidaya pascapanen dilakukan sama dengan pada penelitian kedua, namun rumput laut selain dibudidaya dengan perlakuan gelap, salinitas pada air medianya ditingkatkan dari 20 ppt menjadi 30 ppt. Hasil penelitian menunjukkan kadar

agar meningkat pada 3HG (B;C) dan 8HG (A) dengan kadar agar tertinggi dicapai pada 3HG (C). Perlakuan 3HG (C) ini berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (p< 0,05). Peningkatan gel strength terjadi pada 3HG dan 8HG (A), 3HG dan 8HG (B), serta pada 8HG, 8HN3HG dan 12 HN3HG (C). Gel strength

tertinggi ditunjukkan oleh agar 8HG (A), serta 8HN3HG dan 12HN3HG (D) dan berbeda nyata dibanding gel strength agar pada perlakuan lainnya (p< 0,05). Perlakuan 3HG (C) menghasilkan kadar agar dan produksi agar lebih tinggi 29% dan 11 % dibanding 8HN3HG (D), serta produksi agar lebih tinggi 95% dibanding 0HG (A). Sedangkan, perlakuan 8HN3HG (D) menghasilkan produksi rumput laut 17% lebih tinggi dengan gel strength lebih baik dibanding 3HG (C) . Secara umum dapat disimpulkan bahwa kombinasi pengkayaan unsur hara makro dan mikro (N+P+Fe) dapat meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas yang signifikan pada G. verrucosa. Apabila perlakuan ini dilanjutkan dengan budidaya pascapanen perlakuan gelap, atau budidaya pascapanen kombinasi perlakuan gelap dan salinitas dengan 8 hari normal dan 3 hari gelap, maka metode ini secara umum dapat meningkatkan produksi rumput laut, kadar agar, produksi

agar dan gel strengthagar dari rumput laut G. verrucosa.

Kata kunci: produktivitas, budidaya pascapanen, kadar agar, produksi agar,

(6)

SUMMARY

EKA ROSYIDA. Nutrient enrichment and postharvest culture technology to enhance the quality of Gracilaria verrucosa. Supervised by ENANG HARRIS, SUGENG HERI SUSENO and EDDY SUPRIYONO.

The economic important of Gracilariaverrucosa is undoubted as its being the raw material world-wide in agar production. In Indonesia, cultivation of this species has been employed broadly, however this magnitude growth merely due to expansion of farm area. In general, farmers only rely on available water surround the pond for their culture condition, while previous studies mentioned that one factor to be considered to enhance productivity is the availability of nutrients properly. Besides quantities production of raw materials, it must be consistent with the quality of agar that extracted from Gracilariaverrucosa.

T

his study was aimed to determine the growth response of G. verrucosa following a variety of nutrients enrichment, as well as to assess the quality of G. verrucosa

upon he postharvest culture of dark or dark and increased salinity treatments . Three sets of experiments were conducted : (1) nutrient enrichments with N,P,Fe elements to stimulate growth and productivity of G.verrucosa in culture periods, (2) postharvest culture tehnology with dark treatment to enhance the quality of G. verrucosa; (3) postharvest culture tehnology with the combination of dark and increased salinity treatment to enhance the quality of G. verrucosa.

The first study aimed to examine the growth response of Gracilaria verrucosa after enrichment of N, P and Fe as macro and micro nutrients to the cultivation medium. The experiment was a complete randomized design with four treatments and in triplicate : non-enriched; enriched with N; enriched with N+P; and enriched with N+P+Fe. The results showed N+P+Fe enrichments affect significantly higher on growth of G. verrucosa and significantly different compare to others (p<0.05). In addition, chlorophyll and N concentrations in seaweed detected higher in those treatments. Thus, enrichment with combination of macro nutrients (N, P) and micronutrients (Fe) in the cultivation media of G. verrucosa

would accelerate growth significantly 35% higher compared to non-enriched, and 10-25% more than macro nutrients treatments only.

The second study aimed to evaluate the quality of seaweed, G. verrucosa

(7)

110 % higher than 0HG (A). This suggest, the application of dark treatment in postharvest culture at 8HN3HG (D) resulted in the highest agar production with the gel strength in the same category as in 8HN3HG (B) .

The third study was conducted to assess the quality of G. verrucosa

resulted from the postharvest cultivation technology with dark treatment combined with increased salinity in the culture medium. Postharvest culture was applied in the same methods as the second study, but besides cultured the seaweed with dark treatment, the salinity of medium was increased from 20 ppt to 30 ppt). The results of the dark treatment and increased salinity in the postharvest cultivation showed the increasing of agar content at 3HG (B;C) and 8HG (A). The highest agar content was achieved in 3HG (C), and it was significantly different from the other treatment either in the same group of enrichment or with other groups enrichment (p <0.05). Increased gel strength occurred in 3HG and 8HG (A), and 8HG 3HG (B), as well as in 8HG, HN3HG 8HN3HG and 12 (C). The highest gel strength in the postharvest cultivation indicated in 8HG (A), as well as 8HN3HG and 12HN3HG (D) and they were significantly different than the gel strength of other treatments (p <0.05). The agar production from 3HG (C) was higher than from 0HG (C) dan 0HG (A) culture media. The 3HG (C) showed agar content and agar production 29% and 11% higher than 8HN3HG (D, and the agar production 95% more than 0HG (A). Meanwhile, 8HN3HG (D) revealed the seaweed production 17% higher and better gel strength compared to 3HG (C).

It can be concluded from this study that the enrichment of macro and micro nutrients (N + P + Fe) could improve the growth and productivity significantly in seaweed, G. verrucosa and the postharvest culture with dark treatment, as well as a combination of dark treatment and increased salinity 8HN3HG (enrichment of N + P + Fe) is an ideal method that could increase the content of agar and gel strength in this study.

(8)
(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Akuakultur

PENGKAYAAN NUTRIEN DAN TEKNOLOGI BUDIDAYA

PASCAPANEN UNTUK MENINGKATKAN

KUALITAS

Gracilaria

verrucosa

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(12)

Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Dr Ir Kukuh Nirmala, MSc

Staf Pengajar Depatemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB

2. Dr Pipih Suptijah, MBA

Staf Pengajar Departemen Teknologi Hasil Perairan

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB

Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Prof Dr Jana T. Anggadiredja, MSApt Peneliti utama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) 2. Dr Ir Mia Setiawaty, MSi

Staf Pengajar Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

(13)

Judul Disertasi: Pengkayaan Nutrien dan Teknologi Budidaya Pascapanen untuk Meningkatkan Kualitas Gracilaria verrucosa

Nama : Eka Rosyida NIM : C161100031

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Enang Harris, MS Ketua

Dr Ir Eddy Supriyono,MSc Anggota

Dr Sugeng Heri Suseno, SPi MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Akuakultur

Dr Ir Widanarni, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(14)
(15)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari – Desember 2013 ini ialah meningkatkan kualitas rumput laut, dengan judul Pengkayaan Nutrien dan Teknologi Budidaya Pascapanen untuk Meningkatkan Kualitas Gracilaria verrucosa. Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Akuakultur, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Disertasi ini terdiri atas 3 artikel, yaitu artikel pertama berjudul “Pengkayaan unsur-unsur N,P,Fe pada media budidaya untuk meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas Gracilaria verrucosa”, artikel kedua berjudul “Teknologi budidaya pascapanen dengan perlakuan gelap untuk meningkatkan kualitas Gracilaria verrucosa” dan artikel ketiga berjudul “Teknologi budidaya pascapanen dengan perlakuan gelap dan salinitas untuk meningkatkan kualitas

Gracilaria verrucosa.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa proses penelitian dan penulisan disertasi ini tidak akan dapat berjalan lancar tanpa dukungan berbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Enang Harris, MS, Bapak Dr. Ir. Sugeng Heri Suseno, MSi dan Bapak Dr. Ir. Eddy Supriyono, MSc selaku komisi pembimbing, yang telah memberi banyak saran dan masukkan mulai dari penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian hingga penulisan disertasi ini. Terima kasih juga ditujukan kepada Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Ketua Program Studi Ilmu Akuakultur dan Ketua Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB serta seluruh Staf Pengajar dan Staf Administrasi atas berkenannya menerima penulis sebagai mahasiswa IPB, mendapat pelayanan, fasilitas pendidikan dan pengajaran yang baik.

Terima kasih kepada Rektor dan Dekan Fakulas Peternakan dan Perikanan, Universitas Tadulako Palu yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program Doktor di IPB. Terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia atas beasiswa Biaya Pendidikan Pasca Sarjana (BPPS), dan terima kasih kepada Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Tengah atas kontribusi/fasilitas yang diberikan selama penelitian.

(16)

Dr.Muhammad/Dr.Rini Marlida, Bapak M. Amin, serta teman-teman di Laboratorium Lingkungan Dept. Budidaya Perairan-IPB yang telah banyak membantu dalam penyajian presentasi: Rian, Wildan, Radith, dan Fida, semoga silaturahmi dan kerjasama kita tetap terjalin.

Secara khusus ungkapan terimakasih yang tak terhingga disampaikan kepada kedua orang tua tercinta, ayahanda (alm.) H. Andi Beddu Kasim dan ibunda Hj. Risna Dulla, ibunda mertua tercinta P.Hj. Andi Nurmudiyah, suami tercinta Ir.H.Muh. Ridwan, M.Si, anak-anak tercinta: A.Eifan Abuswan, A.Inastuti Retno Giffani, A.Aulia Trikayudhi dan A.Ayyud Wirayudha, keluarga kakak ipar P.H.Andi Pallawagau, M.Si., keluarga adik-adik: Ir.Hj.Dewi R, Muh.Rizal, SE,MT. dan Rosita SE, serta segenap keluarga besar dan teman-teman tercinta atas doa dan motivasi yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, November 2014

(17)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN

Latar Belakang Tujuan Penelitian Kerangka Pemikiran Manfaat Penelitian

Ruang Lingkup Penelitian Kebaruan Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA

Biologi dan taksonomi Gracilaria sp. Manfaat Gracilaria

Budidaya Gracilaria

Spesifikasi kualitas Gracilaria yang baik Meningkatkan kualitas Gracilaria

3 PENGKAYAAN UNSUR N, P, Fe PADA MEDIA

BUDIDAYA UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN DAN PRODUKTIVITAS Gracilaria verrucosa

Pendahuluan Metodologi Hasil

Pembahasan Simpulan

4 TEKNOLOGI BUDIDAYA PASCAPANEN DENGAN PERLAKUAN GELAP UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS Gracilaria verrucosa

Pendahuluan Metodologi Hasil

Pembahasan Simpulan

5 TEKNOLOGI BUDIDAYA PASCAPANEN DENGAN PERLAKUAN GELAP DAN SALINITAS UNTUK

(18)

6 PEMBAHASAN UMUM 7 SIMPULAN DAN SARAN

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

RIWAYAT HIDUP

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Spesifikasi standar agar untuk FCC, USP, EEC dan FAO

2 Potensi produksi dan kualitas Gracilaria sp. dari beberapa daerah di Indonesia

3 Kadar air Gracilaria verrucosa dan karakteristik fisiko-kimia

agar yang diperoleh dari tempat budidaya yang berbeda 4 Produksi rumput laut, Gracilaria verrucosa setelah dibudidaya

pada berbagai perlakuan pengkayaan selama 2 minggu 5 Produksi rumput laut, kadar agar dan produksi agar,

Gracilariaverrucosa pada berbagai perlakuan gelap

6 Produksi rumput laut, kadar agar dan produksi agar, Gracilaria verrucosa pada berbagai perlakuan gelap dan salinitas yang ditingkatkan (30 ppt)

7 Resume hasil uji-t antar perlakuan terbaik pada budidaya pascapanen perlakuan gelap (salinitas 20 ppt) dan perlakuan gelap + salinitas ditingkatkan (salinitas 30 ppt)

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran penelitian meningkatkan produktivitas rumput laut dan kualitas agar Gracilaria verrucosa melalui pengkayaan nutrien dan teknologi budidaya pascapanen

2 Gracilariaverrucosa

3 Daur hidup (life cycle) Gracilaria sp.

12

13 15

24 35

46

52 49 53 54 60 69

(19)

4 Regulasi N dalam fiksasi dan metabolisme C hasil fotosintesis Rhodophyta

5 Pertumbuhan mutlak rumput laut, Gracilaria verrucosa setelah dibudidaya dengan berbagai perlakuan pengkayaan selama 2 minggu

6 Kandungan klorofil rumput laut, Gracilaria verrucosa setelah dibudidaya dengan berbagai perlakuan pengkayaan selama 2 minggu

7 Kandungan N, P, Fe pada jaringan thallus rumput laut, Gracilaria verrucosa setelah dibudidaya dengan berbagai perlakuan pengkayaan selama 2 minggu

8 Kadar agar dan gel strengthagar dari Gracilaria verrucosa setelah masa budidaya selama 2 minggu dan setelah masa budidaya pascapanen dengan perlakuan gelap

9 Kadar agar dan gel strength agar dari Gracilaria verrucosa setelah masa budidaya 2 minggu dan setelah masa budidaya pascapanen

dengan perlakuan gelap dan salinitas ditingkatkan (30 ppt)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Surat keterangan hasil identifikasi tumbuhan uji

2 Kandungan N, P, Fe air media rumput laut, Gracilaria verrucosa

sebelum dan setelah masa budidaya selama 2 minggu 3 Salah satu spesifikasi standar mutu agar di Jepang

4 Hasil uji Pearson correlation antara klorofil dna pertumbuhan mutlak rumput laut, Gracilaria verrucosa yang dibudidaya selama 2 minggu 5 Hasil uji-t untuk perlakuan 8HN3HG (N) dengan 8HN3HG (N+P+Fe)

pada budidaya pascapanen perlakuan gelap

6 Hasil uji-t untuk perlakuan 3HG (N+P) dengan 8HN3HG (N+P+Fe) pada budidaya pascapanen perlakuan gelap dan salinitas

7 Hasil uji-t untuk perlakuan 8HN3HG (N+P+Fe) pada budidaya pascapanen perlakuan gelap dengan 8HN3HG (N+P+Fe) pada budidaya pascapanen perlakuan gelap dan salinitas 8 Dokumentasi penelitian

61

62 63

64

65

66

67 68 10

23

24

25

34

(20)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Rumput laut merupakan salah satu komoditas perikanan internasional, dimana umur budidayanya yang relatif pendek, yaitu sekitar 6 hingga 8 minggu menjadikan produk ini sangat ideal sebagai bahan baku berbagai industri (Anggadiredja et al. 2006). Aplikasi yang sangat luas dalam pemanfaatan produk turunan rumput laut seperti agar, alginate dan karaginan menyebabkan permintaan bahan baku meningkat dengan pesat. Indonesia sebagai negara kepulauan dan mempunyai panjang pantai yang cukup luas mempunyai keunggulan komparatif untuk menjadi produsen rumput laut di tingkat dunia. Pada tahun 2007 produksi budidaya rumput laut Indonesia untuk jenis Kappaphycus, Gracilaria dan Eucheuma telah mencapai 50% dari produksi global sebesar 290.000 ton (Anggadiredja et al. 2011). Lebih lanjut dipaparkan, selain permintaan ekspor yang terus meningkat, hasil produksi Gracilaria sebagian besar (81,60%) juga diserap oleh industri agar dalam negeri. Tingginya permintaan ekspor dan kebutuhan di dalam negeri menyebabkan perlunya ketersediaan bibit dan bahan baku berkualitas hasil kegiatan budidaya. Khusus untuk jenis Gracilaria sp., yang merupakan rumput laut penghasil agar yang terpenting di Indonesia, produksi yang tinggi terdapat di daerah Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara. Namun, jenis tersebut terus dikembangkan di daerah pantai utara Jawa dan telah menjadi salah satu komoditas unggulan perikanan budidaya bersama-sama dengan komoditas perikanan lainnya, seperti udang, bandeng dan patin (Kementerian Kelautan Perikanan 2012).

Pemasalahan yang dihadapi saat ini adalah meskipun telah umum dibudidayakan, namun kualitas Gracilaria, utamanya di Indonesia, sangat bervariasi sehingga mempengaruhi harga dan pembudidayanya. Variasi kualitas tersebut selain dipengaruhi oleh kondisi lingkungan (Mubarak

et al. 1990; Freile-Pelegrin & Murano 2005; Anggadiredja et al. 2011), juga oleh umur tanaman (Mubarak et al. 1990; Angkasa et al. 2006; Zatnika 2009) dan metode budidaya (Permata 2010). Di Indonesia, spesies yang umum dibudidayakan adalah Gracilaria verrucosa, dimana umumnya pembudidaya hanya mengandalkan air yang tersedia yang berada disekitar tambak, sehingga produksi yang tinggi hasil budidaya spesies ini berasal dari perluasan areal budidaya, bukan akibat peningkatan produktivitas rumput laut. Sedangkan, studi tentang rumput laut menunjukkan bahwa produktivitas akan meningkat apabila didukung oleh nutrien yang memadai (De Boer 1981; Macler 1986; Kirst 1989), disamping kondisi cahaya, suhu, pergerakan air dan salinitas yang baik. Oleh sebab itu, pada penelitian ini dilakukan aplikasi pengkayaan nutrien untuk dapat meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas G. verrucosa.

(21)

Sementara itu, unsur P diperlukan untuk transfer energi dalam sel tanaman terutama dalam pembentukan klorofil pada ATP dan ADP (De Boer 1981). Selain N dan P, beberapa mineral juga berpengaruh terhadap pertumbuhan rumput laut. Mtolera (2003) meneliti penggunaan air laut yang difortifikasi dengan unsur Fe serta beberapa unsur mineral lainnya, dan menghasilkan laju pertumbuhan harian Rhodophyta jenis Kappaphycus alvarezii meningkat 10 hingga 200% dibandingkan tanpa penambahan mineral-mineral tersebut. Pengujian pengaruh beberapa mineral dilakukan dengan menambahkan mineral tersebut pada air laut buatan, dan hasilnya menunjukkan bahwa ion besi (Fe++) berpengaruh terhadap pertumbuhan G.chorda, sedangkan ion cobalt menunjukkan tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan spesies tersebut (Kakita & Kamishima 2007). Selanjutnya, penelitian terhadap G.tenuispitata menunjukkan laju pertumbuhan yang terus menurun setelah dibudidaya selama 40 hari dalam media yang kekurangan Fe (Liu et al. 2000). Hal tersebut menurut Lobban dan Wynne (1981) terkait peranan zat besi yang merupakan komponen struktural dan sebagai ko-faktor dalam reaksi enzim bagi rumput laut. Disamping itu, pada kondisi kekurangan zat besi, metabolisme nitrogen akan sangat mempengaruhi sintesis klorofil, sehingga secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap pertumbuhan rumput laut (Cordover 2007). Mineral juga diketahui berperan dalam memberi efek resisten terhadap stres fisik rumput laut, yaitu stres yang dapat menyebabkan makroalga tersebut mudah terserang epifit atau terinfeksi bakteri penyebab penyakit ice-ice

(Mtolera 2003).

Selain peningkatan produktivitas, hal yang harus dipertimbangkan dalam budidaya adalah kualitas agar yang merupakan produk utama dari Gracilaria. Kondisi lingkungan, umur tanaman, dan metode budidaya sebagaimana telah disebutkan di atas, merupakan faktor-faktor yang akan menentukan kandungan (kadar) agar, kadar air, kandungan kotoran (impurity) dan warna (Mubarak et al. 1990; Zatnika 2009). Sementara itu, di bidang industri selain ditekankan pada kadar agar, kualitas Gracilaria juga ditentukan oleh kekuatan gel (gel strength) agar sesuai aplikasi dan penggunaannya secara komersial.

Berdasarkan struktur kimianya, agar dari Gracilaria terdiri dari suatu polisakarida kompleks, yaitu molekul netral (polisakarida netral) hingga molekul galaktan dengan sulfat yang tinggi (Duckworth & Yaphe 1971). Secara sederhana dikatakan bahwa agar terdiri dari agarosa dan agaropectin (Atun 1996), dimana agarosa adalah polimer galaktan yang bersifat netral, sedangkan agaropectin merupakan polimer galaktan bersifat anionic (tidak netral) dan mengandung sulfat. Biosintesis dari galaktan (agar) alga merah ini melibatkan formasi suatu prekursor (galaktose-6-sulfat) yang bertindak dalam pembentukan gel (3,6-anhydro-galaktose, biasanya disingkat 3,6 AG). Prekursor tersebut secara perlahan dapat dikonversi menjadi 3,6 AG dengan bantuan enzim (in vivo) sulfohydrolase/sulfotransferase. Berdasarkan pathway

tersebut, pada tahun 1936, Yanagawa menemukan “metode alkali” untuk meningkatkan kualitas agar (Armisen 1995). Aplikasi yang luas di bidang industri dari metode alkali tersebut, yaitu dengan merendam rumput laut pada larutan alkali (hingga 10% NaOH/KOH) sebelum proses ekstraksi. Dibandingkan dengan perlakuan alami sebelum ekstraksi, perlakuan alkali dapat mengeliminir sulfasi dari galaktose- 6- sulfat dan membentuk rantai 3,6 AG (Rao & Khaladaran 2003; Rath & Adhikary 2004; Praiboon et al. 2006; Zatnika & Istini 2008), serta menurunkan kandungan abu (Armisen 1995) sehingga menghasilkan kualitas gel strength yang lebih baik. Namun, selain membutuhkan biaya produksi yang tinggi, perlakuan tersebut juga menyebabkan polusi dengan adanya limbah residu alkali yang tinggi.

(22)

masa budidaya. Sebelum dilakukan ektraksi, rumput laut yang telah dipanen dibudidaya kembali (postharvest culture) dengan perlakuan gelap atau dan dengan merubah salinitas ambient

(Ekman et al. 1991; Freille-Pelegrin et al. 2002). Hal ini dilakukan dengan asumsi bahwa pada kondisi gelap atau salinitas meningkat/menurun (hypersaline/hyposaline), polimer yang bertindak sebagai penyimpan karbon (C) dapat memanfaatkan C tersebut untuk biosintesis agar. Pada Rhodophyta, floridean starch merupakan polimer utama penyimpanan C cadangan, sedangkan floridoside adalah fotoasimilase dari unsur dengan berat molekul rendah yang salah satu fungsinya juga sebagai penyimpan C (Hemmingson et al. 1996). Selanjutnya disebutkan bahwa pembentukan kedua senyawa tersebut adalah reversible sehingga kedua senyawa tersebut bertindak sebagai dynamic carbon pool dimana pada kondisi gelap dapat digunakan untuk proses yang berlangsung di dalam sel, dan salah satu diantaranya adalah dalam biosintesis agar.

Macler (1986) menyatakan bahwa fiksasi C dalam kondisi gelap tetap terjadi dalam siklus asam sitrat dan asam amino, dan dilakukan oleh enzim PEP carboxynase, namun hanya berkisar 1-9% dari fiksasi fotosintesis. Lebih lanjut dikemukakan bahwa fiksasi C pada kondisi gelap tersebut rendah terhadap floridoside. Demikian pula, pada kondisi gelap terjadi degradasi

floridean starch yang lebih cepat oleh enzim phosphorylase pada rumput laut yang dibudidaya dalam media dengan nutrien N yang memadai (Ekman et al. 1991; Hemmingson et al. 1996). Hal tersebut menunjukkan bahwa nutrient status berperan penting dalam regulasi degradasi

starch. Disamping itu, penelitian oleh Rincones et al. (1993) menunjukkan bahwa agar yang diisolasi pada kondisi gelap mengandung starch (yang merupakan kontaminan agar) yang lebih rendah. Selanjutnya pada kondisi gelap, mendukung biosintesa agar membentuk AG unit (proses siklisasi) yang berkorelasi dengan peningkatan gel strength (Hemmingson et al. 1996).

Sifat khas agar dalam membentuk gelasi tersebut merupakan salah satu spesifikasi dalam menentukan kualitas agar. Enzim sulfohydrolase sangat aktif mengkonversi prekursor sulfat- 6- galaktopyranose menjadi 3,6 Anhydro-L-Galactose pada kondisi gelap. Pada kondisi

hypersaline, yaitu kondisi air media budidaya yang ditingkatkan salinitasnya, Ekman et al. (1991) menemukan terjadinya akumulasi berbagai senyawa organik pada alga merah, dan diantara senyawa tersebut adalah floridoside. Peningkatan pool floridoside tersebut disebabkan oleh meningkatnya tekanan osmotik eksternal, dan pada beberapa diantara jenis Gracilaria keadaan tersebut menyebabkan terjadinya penurunan aktivitas enzim α-galaktosidase, yaitu enzim yang mendegradasi floridoside (Yu & Pedersen 1990ab). Oleh sebab itu, perlakuan dengan kondisi gelap pada media hypersaline diharapkan dapat meningkatkan aktivitas enzim tersebut.

Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini dilakukan untuk mengkaji respon G. verrucosa terhadap perlakuan pengkayaan berbagai nutrien, serta teknologi budidaya pascapanen dengan perlakuan gelap dan salinitas yang ditingkatkan. Penelitian terdiri atas 3 tahap yaitu: (1) pengkayaan unsur-unsur N, P, Fe pada masa budidaya untuk meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas G.verrucosa ; (2) teknologi budidaya pascapanen dengan perlakuan gelap untuk meningkatkan kualitas G. verrucosa; (3) teknologi budidaya pascapanen dengan kombinasi perlakuan gelap dan salinitas untuk meningkatkan kualitas G. verrucosa.

Tujuan Penelitian

(23)

perlakuan gelap dan salinitas pada budidaya pascapanen dalam meningkatkan kualitas G. verrucosa. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beberapa hal sebagai berikut :

1. Mengkaji efektivitas pengkayaan nutrien dalam media budidaya terhadap peningkatan produktivitas G. verrucosa

2. Mengkaji aplikasi teknologi budidaya pascapanen dengan perlakuan gelap terhadap peningkatan kualitas G. verrucosa

3. Mengkaji aplikasi teknologi budidaya pascapanen dengan perlakuan gelap dan salinitas terhadap kualitas G. verrucosa

4. Membandingkan kualitas agar dari budidaya pascapanen perlakuan gelap (salinitas 20 ppt) dengan perlakuan gelap dan salinitas yang ditingkatkan (salinitas 30 ppt)

Kerangka Pemikiran

Pada penelitian ini, rumput laut G. verrucosa dibudidaya pada kondisi dimana cahaya matahari mendukung dalam optimalisasi proses fotosintesa dengan melakukan pengkayaan nutrien makro (N, P) dan mikro (Fe) sehingga diharapkan dapat meningkatkan produktivitas, dan juga kualitas agar. Dalam proses fotosintesa akan terjadi fiksasi karbon (C), yang kemudian menghasilkan glukosa sebagai nutrisi untuk pertumbuhan rumput laut. Sebagian hasil fiksasi C disimpan dalam bentuk floridean starch dan floridoside. Pengkayaan nutrien makro dan mikro akan meningkatkan kandungan nutrien rumput laut sehingga menstimulasi pertumbuhan dan dapat membantu dalam pembentukan agar dari rumput laut. Setelah pertumbuhan/produktivitas tercapai pada waktu tertentu, maka dilakukan panen. Rumput laut hasil panen kemudian dibudidaya kembali dengan perlakuan gelap, serta perlakuan gelap dan salinitas yang ditingkatkan (postharvest culture). Pada perlakuan gelap, diharapkan C cadangan yang tersimpan akan terdegradasi dan digunakan untuk biosintesa agar. Demikian pula pada perlakuan salinitas air media yang ditingkatkan pada kondisi gelap, akan terjadi akumulasi

floridoside dan pada saat bersamaan akan terjadi degradasi C cadangan baik dari floridoside

tersebut maupun dari floridean starch sehingga menstimulasi terbentuknya agar. Pembentukan

agar dari perlakuan gelap akan terkait dengan pembetukan unit anhydrogalactose yang berasosiasi dengan pembentukan gel strength sehingga diharapkan dapat meningkatkan kualitas

(24)

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian meningkatkan produktivitas rumput laut dan kualitas

agar Gracilaria verrucosa melalui pengkayaan nutrien dan teknologi budidaya pascapanen

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi metode budidaya yang dapat diaplikasikan dalam meningkatkan kualitas G. verucosa dalam hal ini terkait kualitas pertumbuhan sekaligus kualitas

agar dari rumput laut tersebut. Meningkatnya kualitas tersebut selanjutnya diharapkan akan dapat meningkatkan harga jual dari rumput laut G. verrucosa sehingga nantinya dapat meningkatkan pendapatan para pembudidaya.

Gracilaria

BUDIDAYA

PENGKAYAAN

TANPA CAHAYA

N P

AG unit forming/ pembentukan gel Sintesa protein

Pembentukan Klorofil Pembentukan Koenzim

PERTUMBUHAN/ PRODUKTIVITAS

Degradasi C

Transfer energypembentukan klorofil pada ATP& ADP

BIOSINTESA AGAR

Fe

Regulasi stress

KUALITAS AGAR

Photosintensa

Optimasi transpor electron & nitrat reduktase fiksasi&metabolism C

Biosintesa Agar

Fiksasi C

sintesa protein Sintesa floridoside

CAHAYA

P A N E N

P A N E N

BUDIDAYA PASCAPANEN

Floridean starch floridoside

Biosintesa C cadangan: Floridean starch floridoside

TANPA CAHAYA +SALINITAS

floridoside

Degradasi C

(25)

Ruang Lingkup Penelitian Secara umum ruang lingkup disertasi ini adalah :

1. Menentukan dosis pengkayaan N, P, Fe yang sesuai untuk pertumbuhan rumput laut, G. verrucosa

2. Mengevaluasi unsur-unsur nutrien yang penting yang dibutuhkan dalam meningkatkan produktivitas rumput laut, G. verrucosa

3. Menganalisis efek teknologi budidaya pascapanen dengan perlakuan gelap maupun kombinasi perlakuan gelap dan salinitas terhadap kualitas rumput laut, G. verrucosa

Kebaruan Penelitian

Kebaruan (novelty) dalam penelitian ini adalah meningkatkan kualitas rumput laut,

(26)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Biologi dan Taksonomi Gracilaria sp.

Rumput laut adalah gangang multiseluler golongan divisi thallophyta dimana pada umumnya tanaman ini tidak memiliki akar, batang dan daun tetapi seluruhnya terdiri dari batang (thallus) (FAO 2012). Rumput laut biasanya hidup di dasar laut yang dapat tembus cahaya matahari. Seperti layaknya tanaman darat pada umumnya, rumput laut juga memiliki klorofil atau pigmen warna yang dapat menggolongkan jenisnya. Secara umum, penggolongan tersebut adalah jenis ganggang biru (cyanophyceae), ganggang hijau (chlorophyceae), ganggang merah (rodophyceae) dan ganggang coklat (phaeophyceae).

Pertumbuhan dan penyebaran rumput laut dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti substrat, salinitas, temperatur, cahaya, tekanan dan nutrisi (Anggadiredja et al. 2011). Lebih lanjut dipaparkan bahwa perairan dangkal (intertidal dan sublitoral) dengan dasar perairan berpasir, sedikit lumpur atau campuran keduanya merupakan habitat yang sangat baik untuk pertumbuhan rumput laut tersebut. Terdapat sekitar 555 jenis rumput laut di Indonesia, tetapi hanya beberapa jenis yang bernilai ekonomis dan digunakan sebagai komoditas perdagangan yang di ekspor ke China dan Jepang, yaitu diantaranya dari jenis penghasil agar (Gracilaria sp.,

Gelidium sp., Gelidiella sp., Gelidiopsis sp.) dan penghasil karaginan (Eucheuma sp., Hypnea

sp.)

Genus Gracilaria berdistribusi secara kosmopolitan baik didaerah Arctic, temperate and tropis. Greville adalah penemu genus Gracilaria pada 1830, yang saat itu hanya dikenal 4 species. Agardh mengevaluasi kembali genus tersebut pada tahun 1852, dan mengembangkannya menjadi 23 species. Pada tahun 1876 and 1901, Agardh mengidentifikasi kembali genus tersebut dan melaporkan jumlah species keseluruhan sebanyak 61 species, dimana sejak saat itu jumlah Gracilaria di dunia dilaporkan telah mencapai hingga 150 species (FAO 2012).

Mubarak et al. (1990) memaparkan ciri-ciri khusus Gracilaria (Gambar 2) terkait bentuk

thallusnya yang pipih/silindris, rumpun yang terbentuk mempunyai tipe percabangan yang tidak teratur, dichotomous (dua-dua terus menerus),serta memiliki thallus yang menyempit pada pangkal percabangan, meruncing, halus dan berbintil-bintil. Selanjutnya beberapa jenis

Gracilaria di berbagai daerah dikenal pula dengan sebutan bulung rambut (Bali) dan sango-sango (Sul-sel) (Anggadiredja et al. 2010) serta ramen/retek (Lombok) dan agar-agar jahe (Kep. Seribu) (Ahda et al. 2005) dengan warna thalli (bentuk jamak dari thallus) yang bervariasi yaitu hijau-coklat, merah, pirang, merah coklat.

Klasifikasi Gracilaria dapat diuraikan sebagai berikut : Divisi : Thallophyta

(27)

Gambar 2. Gracilaria verrucosa (sumber: FAO)

Reproduksi rumput laut umumnya dapat bersifat vegetatif maupun generatif. Mubarak et al. (1990) menyatakan bahwa dasar pengembangan budidaya rumput laut adalah memanfaatkan sifat reproduksi vegetatif melalui cara stek, dimana setiap potong dari seluruh bagian thallus

tanaman dapat tumbuh membentuk tanaman baru yang dapat dilakukan dengan sangat mudah dengan biaya yang murah. Gambaran life cycleGracilaria sp. adalah sebagai berikut :

(28)

Manfaat Gracilaria

Gracilaria sp. merupakan salah satu jenis alga merah (Rhodophyceae) penghasil agar

(agarophyt), dimana agar bersifat seperti gelatin dan merupakan bentuk koloid dari suatu polisakarida kompleks yang umumnya disusun oleh gugus agarosa dan agaropektin. Agarose umumnya bebas sulfat, sedangkan agaropektin mengandung muatan sulfat (sekitar 3-10%) (Rasyid et al. 1999; Anggadiredja et al. 2011). Lebih lanjut dipaparkan pemanfaatan agardalam industri pangan maupun non-pangan didasarkan atas kemampuan agar dalam membentuk gel (daya gelasi), viskositas (kekentalan), setting point (suhu pembentuk gel) dan melting point (suhu mencairnya gel). Dalam berbagai industri, agar berfungsi sebagai bahan pemantap (stabiliser), pembuat emulsi (emulsifier), bahan pengental (thickener), bahan pengisi (filler) serta pembuat gel (gelling agent).

Selain berfungsi secara ekonomis, Gracilaria sp. juga efektif dalam memberi manfaat secara ekologis yaitu dapat memperbaiki kualitas air tambak dengan peranannya sebagai biofilter yang dapat menyerap limbah kotoran udang/ikan (Komarudin 2007). Jenis G. gigas telah digunakan sebagai perekat (binder/binding agent) pakan udang (Saade et al. 2011).

Hasil olahan rumput laut dapat berupa produk kering, bubuk maupun yang segar. Dalam industri farmasi, agar digunakan sebagai pembungkus kapsul obat, bahan baku pembuatan salep, cream maupun sabun, serta dapat digunakan sebagai media tumbuh bakteri di dalam laboratorium (Anggadiredja et al. 2010).

Budidaya Gracilaria

Budidaya Gracilaria tersebar cukup luas, dan dibudidaya dengan skala besar di Chili, Taiwan, Viatnam dan Thailand (FAO 2012). Di Indonesia, pengembangan budidaya Gracilaria

dimulai dengan mengadopsi teknik budidaya di dasar tambak (metode dasar/bottom method) pada tahun 1985 dan dilanjutkan dengan gabungan metoda dasar dan polikultur dengan ikan bandeng (chanos-chanos) (Anggadiredja et al. 2011). Selanjutnya dipaparkan daerah-daerah tempat pengembangan budidaya dimaksud, yaitu P. Jawa; Sulawesi Selatan, Tengah dan Tenggara; P.Lombok dan P.Sumbawa.

Kualitas air yang mendukung pertumbuhan rumput laut di tambak adalah salinitas 15-30 ppt dengan salinitas optimum 25 ppt, suhu 20-28o C, dan pH 6-9 (Anggadiredja et al. 2010). Selanjutnya dinyatakan air tambak sebaiknya sedikit mengandung lumpur sehingga kekeruhan air memungkinkan rumput laut untuk menerima sinar matahari.

Kedalaman tambak untuk budidaya Gracilaria dapat berkisar antara 50-80 cm dengan ketinggian air minimal 30 cm (Trono 1988). Selanjutnya disarankan untuk melakukan penggantian air sebanyak 50-75% setiap 2 atau 3 hari sekali.

Padat penebaran bibit rumput laut di Indonesia rata-rata berkisar 1-1,5 ton/ha (Ahda et al.

2005), tetapi dapat ditingkatkan hingga 4 ton/ha apabila laju pertumbuhan harian rumput laut yang ditanam sebelumnya dapat mencapai lebih dari 4% atau hasil panen basah mencapai 4 kali berat bibit (Angkasa et al. 2011). Di Philipina, padat penebaran budidaya Gracilaria di tambak telah mencapai 5-6 ton/ha (Trono 1988).

(29)

tergantung kualitas air tambak. Di Philipina misalnya, pemupukan menggunakan urea dilakukan sebanyak 3 kg/ha/minggu dan ditambah dengan kotoran babi sebagai pupuk lainnya (Trono 1988). Sementara itu, Angkasa et al. (2011) menganjurkan untuk memberikan pupuk yang mengandung nitrogen sebanyak 10 kg/ha pada 4 minggu pertama penanaman dan pupuk yang mengandung fosfat sebesar 5 kg/ha pada 2 hingga 3 minggu berikutnya. Melalui proses fotosintesis, regulasi N dalam fiksasi dan metabolisme C pada alga merah tersaji pada Gambar 4.

Keterangan : N menunjukkan kemungkinan alur regulasi nitrogen. TCA cycle = siklus asam trikarboksilat (modifikasi dari Macler 1986).

Gambar 4. Regulasi N dalam fiksasi dan metabolisme C hasil fotosintesis Rhodophyta.

Hasil percobaan terhadap Gracilaria sp. yang diberi urea dan TSP atau yang memanfaatkan limbah ekskresi udang menunjukkan peningkatan pertumbuhan di 2-3 minggu pertama, dan kemudian terus menurun hingga akhir penelitian (Patadjai 1993; Marinho-Soriano

et al. 2002; Sakdiah 2009).

Metode budidaya Gracilaria yang umum dilakukan di tambak adalah metode tebar (broadcast) (Ahda et al. 2005) dan dapat dilakukan baik monokultur maupun secara polikultur dengan udang windu dan ikan bandeng (Komarudin 2007).

Panen rumput laut dapat dilakukan setelah Gracilaria dibudidaya selama 45-60 hari (Angkasa et al. 2011) atau dari 1 ha tambak dapat dihasilkan 1500-2000 kg rumput laut kering.

H2O CO2

light

NADP+

Reaksi ADP RuBP Cahaya + P

O2

Calvin cycle

ATP

NADPH

(30)

Spesifikasi Kualitas Gracilaria yang Baik

Rao dan Khaladaran (2003) menyatakan bahwa kuantitas dan kualitas phycocoloid

Gracilaria dipengaruhi oleh species, factor lingkungan, variasi musim dan metode ekstraksi. Selanjutnya dinyatakan bahwa kualitas agar merupakan kriteria tunggal yang menentukan harga dari komoditas ini karena terkait pemanfaatan agar dalam industri pangan maupun non-pangan. Secara umum dilakukan pengujian secara fisika dan kimia untuk menentukan kualitas polisakarida rumput laut (Atun 1996). Pengujian secara fisika umumnya meliputi gel strength, gelling point dan melting point, sedangkan secara kimia mencakup kadar 3,6 Anhydrogalaktose dan kadar sulfat (Atun 1996; Marinho-Soriano & Bourret 2005; Freile-Pelegrin & Murano 2005; Praiboon et al. 2006 ), juga kadar air dan kadar abu (Rasyid et al. 1999; Permata 2010).

Kriteria kualitas Gracilaria sp. yang baik adalah usia tanam 45-60 hari, kandungan air 18-22 % , kandungan agar minimal 14%, kandungan kotoran dan kadar garam maksimal 2% (Anggadiredja et al. 2010). Spesifikasi kualitas hasil budidaya Gracilaria menurut Mubarak et al. (1990) didasarkan pada kemurnian menurut jenis dan benda asing, tingkat kekeringan, warna dan bau, kandungan bahan pokok polisakarida dan bebas dari bahan-bahan pencemar. Untuk mendapatkan kualitas yang baik, maka panen Gracilaria dapat dilakukan pada minggu ke 6 hingga ke 8 masa tanam dengan kandungan benda-benda asing (pasir, karang, kulit kerang, dll.) tidak lebih dari 5%, kadar air maximum 25%, kandungan agar minimal 15% dengan kekuatan gel 100 g/cm2. Apabila umur panen kurang dari 6 minggu akan menyebabkan kualitas rumput laut rendah, dimana kandungan agar dan gel strength rendah, sementara kandungan air tinggi (Angkasa et al. 2006). Pada masa penyimpanan, kandungan air yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya fermentasi/pembusukan sehingga kualitas akan lebih mudah menurun dibanding rumput laut dengan kandungan air yang rendah (Mubarak et al. 1990). Kandungan air rumput laut terkait cara pengeringan, dan dalam keadaan cuaca yang baik, biasanya pengeringan di bawah sinar matahari berlangsung 2 hingga 3 hari untuk mendapatkan rumput laut dengan kualitas standar.

Sebagai salah satu food additive, spesifikasi agar berdasarkan purity test FAO-WHO norms (Comite mixto FAO/OMS de expertos en aditivosalimentarios (septimo informe) menyebutkan moisture content kurang dari 22% (pengeringan pada 105 oC) dan total ash content

(kadar abu) kurang dari 6,5% berat kering (Armisen 1995).

(31)

Tabel 1. Spesifikasi standar agar untuk FCC, USP, EEC dan FAO

PERSYARATAN KUALITAS FCC USP EEC FAO

Microbial limit, salmonella - * - -

Moisture, % max 20 20 20 20

Kadar abu % max 6,5 6,5 6,5 6,5

Kadar abu tak larut asam % max 0,5 0,5 0,5 0,5

Kotoranorganik/benda asing % max - 1,0 - 1,0

Kotoran tidak larut % max 1,0 1,0 1,0 -

Arsenic, ppm max 3 3 - 3

Lead, ppm max 10 10 - 10

Logam berat, (mis:Pb) % max 10 40 - 40

Pati dan dextrin * * * *

Gelatin dan protein lainnya * * * *

Penyerapan air, max. per 5,0 g agar 75 75 75 75

Sumber: FAO

Ket: * = negatif FCC=Food Chemical Codex

USP=The United State Pharmacopoeia UEE=European Economic Countries

FAO=Food and Agriculture Organisation on the United Nations

Kandungan kotoran (impurity content) pada Gracilaria tergantung pada kondisi perairan budidaya dan cara pengeringan, misalnya pada Gracilaria (type verrucosa) Takalar kandungan kotoran tergolong tinggi, yaitu 46,2% karena terdiri dari epifit (Chaetomorpha aerea) dan bakteri membran sebesar 0,1% ; pasir dan cangkang moluska sebesar 6% ; serta debu yang berasal dari lumpur dan kristal garam sebesar 40,20% (Hatta 1994).

Kualitas agar dikatakan baik bila rendemen agar, kandungan 3,6 AG dan gel strength

tinggi, tetapi sebaliknya kandungan sulfatnya rendah (Permata 2010; Zatnika & Istini 2008). Kandungan sulfat yang terkandung dalam agar sebaiknya hanya berkisar 4-10% (FAO 2012).

Kadar polisakarida agar sangat ditentukan oleh species (Mubarak et al. 1990; Rasyid et al. 1999; Fleire-Pelegrin & Murano 2005; Anggadiredja et al. 2011; Angkasa et al. 2011). Rasyid et al. (1999) menyebutkan secara umum kandungan agar untuk masing-masing

Gracilaria verrucosa, G. amansii dan G. edulis adalah berturut-turut 25,35%; 23% dan 20-25%. Kandungan agar yang diekstraksi tanpa perlakuan alkali pada 3 species Gracilaria yang berbeda asal Peninsula juga berbeda-beda dengan kisaran 30-40%, dan kandungan tertinggi ditemukan pada G. verviconis (39,3%), diikuti G. blotgettii dan G.crassissima (Freile-Pelegrin & Murano 2005).

Agar dari Gracilaria memiliki gelling temperature yang tinggi akibat metoxylasi, tetapi di lain pihak memiliki kandungan sulfat yang tinggi (yang juga menyebabkan kadar abunya tinggi), serta gel strength yang rendah (Armisen 1995), dimana keadaan ini berbanding terbalik dengan agar dari Gellidium yang kualitasnya lebih baik. Gelling dan melting temperature

(32)

Gelling point dan melting point Gracilaria umumnya dicapai masing-masing pada suhu 29-42 oC dan 76-92 oC (FAO 2012), sedangkan spesifikasi agar oleh US Pharmacopoeia and US Chemical Codex menunjukkan gelling temperature pada 1,5% (w/v) agar dalam aquades maksimum 39 oC dan minimum 32 oC dengan melting temperature minimum pada 85 oC (Armisen 1995).

Gracilaria spp. menghasilkan kandungan agar yang rendah karena tingginya kandungan sulfatnya (Rao & Khaladaran 2003). Kualitas agar dapat ditingkatkan melalui perlakuan alkali dalam proses ekstraksinya. Namun, kualitas dan harga Gracilaria dipasaran ditentukan antara lain oleh species, asal lokasi budidaya (origin), teknik budidaya dan umur/lama waktu tanam (Mubarak et al. 1990; Rasyid et al. 1999). Penelitian oleh Hatta (1994) menunjukkan kandungan

agar yang berasal dari Gracilaria (type verrucosa) Takalar adalah cukup tinggi yaitu 47,70% dibandingkan agar dari G. verucosa Canada dan Taiwan yaitu masing-masing 12,6-31,6% dan 21-23,7% . Penelitian lain menyebutkan kandungan agar Gracilaria sp. asal Takalar sebesar 30,75 % (Rasyid et al. 1999). Dengan bobot awal 50 g dan umur panen 60 hari, G.verrucosa asal Cilacap dapat menghasilkan kandungan agar sebesar kurang lebih 31-32% (Permata 2010). Briggs dan Funge-Smith (1993) menyatakan bahwa umumnya kandungan agar dari Gracilaria

sp. di berbagai negara adalah 33%, sedangkan potensi produksi dan kualitas Gracilaria sp. dari berbagai daerah di Indonesia tersaji pada Tabel berikut :

Tabel 2. Potensi produksi dan kualitas Gracilaria sp. dari beberapa daerah di Indonesia

Kota Potensi

produksi (ton/tahun)

Kadar air (%)

Clean Anhydrous Weed (%)

Kadar agar

(%)

Gel Strength

(g/cm2)

NTB 60-90 14,35 63,31 6,56 32,14

JABAR 60-90 36,94 27,41 20,21 119,28

BALI 20-40 31 33,4 13,28 105,5

LAMPUNG 20-40 27,44 33,17 7,74 11,4

Sumber: Subaryono dan Utomo ( 2010), BBRP2B-KKP

Evaluasi terhadap kuantitas dan kualitas agar didasarkan atas penggunaannya/peruntukkannya di berbagai bidang, sementara proses yang berbeda-beda dalam mengevaluasi kualitas agar telah menyebabkan hasil yang berbeda-beda pula (Armisen & Galatas 2011).

Meningkatkan Kualitas Gracilaria

Faktor lingkungan yang sangat penting dalam budidaya rumput laut menurut Brigss dan Funge-Smith (1993) antara lain adalah konsentrasi nutrien pada media budidaya, cahaya, kedalaman, temperatur dan salinitas. Rumput laut memerlukan zat hara dan elemen lainnya yang terdapat di air media budidaya. Angkasa et al. (2011) menyarankan untuk dapat menambah kedalaman air hingga 50-80 cm pada umur tanam minggu ke-5 hingga ke-7 sehingga tanaman dapat meningkatkan penyerapan terhadap nutrisi. Briggs dan Funge-Smith (1993) menunjukkan bahwa laju pertumbuhan dan fotosintesa, kandungan protein, kekuatan gel dan melting point dari

(33)

menurun dengan meningkatnya konsentrasi nitrogen, sebaliknya kandungan agar meningkat dengan adanya fosfat.

Gel strength agar dipengaruhi oleh species, cara produksi dan kandungan sulfat (Atun 1996) serta kandungan nutrien, suhu dan salinitas air media (Bird 1988). Tingginya kandungan sulfat dapat menyebabkan rendahnya gel strength pada Gracilaria sp. (Armisen 1995), sedangkan penambahan N dalam media kultur, dengan suhu 32 oC dan salinitas 33 ppt telah menghasilkan agar dengan gel strength yang lebih tinggi dibanding perlakuan tanpa N, suhu 15

o

C dan 24 oC, serta salinitas 17ppt (Bird 1988). Umumnya gel strengthGracilaria sp. berkisar 50- 300 g/cm2 dan dapat mencapai 500 g/cm2 setelah perlakuan alkali (FAO 2012).

Gel strength agar dari G. fishery berbanding terbalik dengan total Dissolved Inorganic Nitrogen (DIN) dan gel strength agar dari G.tinuistipitata meningkat saat kadar alkalinitas air laut menurun (Chirapart et al. 2006), mengindikasikan bahwa faktor nutrien dan lingkungan air laut sangat berpengaruh terhadap kualitas agar. Kandungan nitrogen dalam bentuk ammonium (NH4-N) memberi pertumbuhan yang lebih baik dibanding nitrat (NO3-N) (Briggs & Funge-Smith 1993; Jones 1994). Baik ammonium maupun fosfat dengan konsentrasi tinggi yaitu masing-masing >3mg/L dan >10mg/L dapat menghambat pertumbuhan, sedangkan nitrat (hingga 20 mg/L) dan nitrit (2-20 mg/L) tidak menyebabkan laju pertumbuhan menurun (Briggs & Funge-Smith 1993).

Unit penyusun agar yang berpengaruh terhadap gel strength adalah 3.6 Anhydro-L-galactose (3,6 AG) . Menurut Atun (1996) pembentukan gel terjadi karena adanya penggantian senyawa L-galactosa sulfat oleh senyawa 3,6 AG yang menyebabkan kekejangan/kekakuan dalam struktur heliks. Jika grup sulfat dikonversi menjadi senyawa 3,6 AG, maka kekuatan gel akan lebih tinggi. Di industri agar, perlakuan alkali dalam proses ekstraksi dapat merubah kadar sulfat agar. Manipulasi terhadap kandungan sulfat tersebut dalam budidaya Gracilaria telah pula diupayakan melalui perlakuan yang bervariasi terhadap cahaya (photoperiod), salinitas dan temperatur dalam media kultur (Armisen 1995).

Penelitian skala laboratorium terhadap species G. conferta menunjukan kontrol parsial terhadap epifit dapat dilakukan dengan pulse-fed (pemberian nutrien secara pulsatif/bertahap) yang mengandung amonium tinggi dan irradiance rendah sehingga terjadi competitive relationship dimana ada stimulasi pertumbuhan terhadap G. conferta dan penghambatan biomass epifit (Briggs & Funge-Smith 1993). Pada Rhodophyta jenis Kappaphycus alvarezi, studi skala laboratorium menunjukkan beberapa mineral seperti Mn, Cu, dan Zn berperan penting dalam meningkatkan pertumbuhan rumput laut dan mampu mencegah stres fisik yang dapat menyebabkan mudahnya rumput laut tersebut terserang epifit (Mtolera 2003).

Kandungan polisakarida Gracilaria juga dipengaruhi oleh jarak antar tanaman, kedalaman penanaman, berat awal tanaman dan umur tanaman saat panen (Mubarak et al. 1990). Lokasi tambak yang berdekatan dengan mulut sungai dan sebelumnya merupakan daerah mangrove merupakan penyebab tingginya kandungan lumpur yang menempel pada rumput laut (Hatta 1994) sehingga daerah tersebut perlu dihindari sebagai tempat budidaya. Demikian pula penguapan air laut yang terdapat pada hasil panen Gracilaria dapat menyebabkan terbentuknya garam pada thallus (thalli). Mubarak et al. (1990) menyarankan untuk melakukan pemisahan garam dengan cara pengayakan setelah selesai pengeringan.

(34)

Analisis fisiko-kimia dengan kultivar (rumput laut yang dibudidaya) asal serta metoda yang berbeda dapat menghasilkan kualitas yang berbeda pula. Kualitas G. verrucosa yang berasal dari sentra budidaya di Takalar, Sulawesi Selatan (Hatta 1994) dan Cilacap, Jawa Barat (Permata 2010) didapatkan perbedaan sebagai berikut:

Table 3. Kadar air Gracilaria verrucosa dan karakteristik fisiko-kimia agar yang diperoleh dari tempat budidaya yang berbeda

Parameter Kultivar asal Takalar Kultivar asal Cilacap

Kadar air (%) 23,53 21,22 - 24,54

Kadar agar (%) 47,70 23 - 32,6

Viscositas (cPs) 51 31 - 38

Titik jendal (gelling point) 27 - 28 34 - 35

Gel strength (g/cm2) 45 200 - 306

Budidaya G. edulis pada area indoor (laboratorium) dan outdoor (menggunakan bak) dengan pemberian enrichment unsur NH4+ (Jones 1994) dapat meningkatkan pigmen yang dibutuhkan untuk proses fotosintesa dan meningkatkan kandungan N dalam thalli. Penelitian sebelumnya terhadap Gracilaria thikvahiae menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik dengan pemberian NH4+ (Jones 1994). Tingginya laju fotosintesis berkorelasi dengan meningkatnya pigmen pada G. verrucosa yang diberi nutrient enriched media (PO4+ dan NH4+), sedangkan

pada non enriched media menunjukkan tingginya level karbohidrat dan menurunnya level phycoerythrin, serta chlorophyll a (Dawes et al. 1984).

Pemberian nitrogen fertilizer meningkatkan pertumbuhan dan kandungan N thallus G. tikvahiae, tetapi menurunkan produksi agar dari rumput laut tersebut (Bird et al. 1981). Sementara itu, gel strength dari agar lebih tinggi pada Gracilaria sp. yang diberi pengkayaan N (Bird 1988) dan terdapat korelasi positif antara masing-masing kadar agar, kadar N, dan kandungan 3,6-anhydrogalaktose terhadap gel strength (Marinho-Soriano & Bourret 2005).

Kandungan N dan level nitrogen berbanding terbalik dengan kandungan karbohidrat pada thalliG. tikvahiae (Bird et al. 1981; Lapointe & Duke 1984) dan ratio protein : KH penting untuk pertumbuhan G. verrucosa (Bird 1988). Beberapa penelitian juga menunjukkan menurunnya produksi agar dengan meningkatnya konsentrasi nitrogen (Briggs & Funge-Smith 1993), tetapi produksi agar tersebut dapat meningkat dengan meningkatnya level fosfat dalam media. Nutrient inorganicammonia-N dari finfish effluent lebih banyak diserap oleh macroalgae dibanding P (Mwandia et al. 1999). Phosporus enrichment meningkatkan photosynthetic rate, tetapi pada keadaan dimana level P rendah, photosintetic rate tersebut dipengaruhi oleh CO2

enrichment (Xu et al. 2010) sehingga P kemungkinan mengatur penggunaan inorganic karbon pada rumput laut G. lemaneiformis yang dibudidaya dengan level CO2 enrichment yang berbeda. Penambahan nitrat dan ammonium efektif untuk meningkatkan pertumbuhan, tetapi level ammonium (>3 mg/l) dan fosfat (>10 mg/l) yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan G. conferta (Friedlander & Ben-Amotz 1991) sehingga ratio N : P kemungkinan juga penting dalam budidaya rumput laut tersebut.

(35)

3

PENGKAYAAN UNSUR N, P, Fe PADA MEDIA BUDIDAYA

UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN DAN

PRODUKTIVITAS

Gracilaria verrucosa

ABSTRAK

Salah satu faktor utama yang meregulasi pertumbuhan, reproduksi dan biokimia dari rumput laut adalah nutrien. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji respon pertumbuhan

Gracilaria verrucosa melalui metode pengkayaan N, P dan Fe sebagai unsur hara makro dan mikro ke dalam media budidaya. Metode penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan, yaitu tanpa pengkayaan nutrien/non-enriched, pengkayaan N, pengkayaan N+P dan pengkayaan N+P+Fe. Hasil penelitian menunjukkan pengkayaan N+P+Fe memberi pengaruh yang lebih tinggi terhadap pertumbuhan G. verrucosa

dan berbeda secara signifikan dengan perlakuan lainnya (p< 0,05). Perlakuan tersebut dapat meningkatkan produksi sebesar 35% dibanding tanpa perlakuan pengkayaan, dan meningkatkan produksi 10 - 25% dibanding perlakuan dengan menggunakan unsur-unsur makro saja. Klorofil dan konsentrasi N pada rumput laut juga terdeteksi lebih tinggi pada perlakuan N+P+Fe tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan metode pengkayaan dengan menggunakan kombinasi unsur hara makro (N, P) dan mikro (Fe) dalam media budidaya G. verrucosa dapat meningkatkan pertumbuhan secara signifikan dan secara tidak langsung meningkatkan produktivitas sehingga dapat dipertimbangkan untuk diaplikasikan dalam budidaya rumput laut tersebut.

(36)

ENRICHMENT OF N, P, Fe ELEMENTS INTO CULTURE MEDIUM

TO ENHANCE THE GROWTH AND PRODUCTIVITY OF

Gracilaria

verrucosa

ABSTRACT

Nutrient is one amongst primarily factor that to control growth, reproduction and biochemistry of seaweed. This study was aimed to assess the growth response of Gracilaria verrucosa after enrichment of N, P and Fe nutrients to the cultivation medium. The experiment was a complete randomized design with four treatments and in triplicate : non-enriched; enriched with N; enriched with N+P; and enriched with N+P+Fe. The results showed N+P+Fe treatment affect significantly higher on growth of G. verrucosa and significantly different compare to others (p< 0.05). This treatment increased about 35% production compare to non-enriched treatment, and increased 10 - 25% production compare to macro nutrients non-enriched only. The seaweed chlorophyll content and N tissue retained were also high in those treatment. Hence, enrichment technology with the application of both macro (N, P) and micro (Fe) elements may enhance growth and productivity of G. verrucosa and would become considerable to the massive culture of the seaweed.

(37)

PENDAHULUAN

Gracilaria verrucosa merupakan salah satu Rhodophyta penghasil polisakarida berupa

agar yang sangat penting untuk berbagai industri, misalnya industri makanan, kertas, obat-obatan, dan lain-lain. Di Indonesia, budidaya rumput laut ini berkembang cukup pesat dengan hasil produksi yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Namun, peningkatan produksi tersebut disebabkan oleh perluasan areal tambak, bukan karena peningkatan produktivitas rumput laut. Umumnya, pembudidaya hanya mengandalkan ketersediaan air disekitar areal tambak sebagai sumber media budidaya.

Studi tentang rumput laut menunjukkan salah satu faktor utama yang meregulasi pertumbuhan, reproduksi dan biokimia dari rumput laut di alam adalah nutrien (Macler 1986; Cole & Sheath 1990; Lobban & Harrison 1997), disamping faktor cahaya, pergerakan arus, suhu dan salinitas (Parker 1982; Xu et al. 2001; Raikar et al. 2001; Bunsom & Prathep 2012). Hasil-hasil penelitian sebelumnya telah menegaskan bahwa inorganik nutrien yang terdapat di perairan merupakan faktor pembatas yang sangat penting dalam produktivitas rumput laut. Hal ini diperkuat oleh hasil analisis yang menunjukkan ada sekitar 56 unsur nutrien yang terdapat dalam jaringan rumput laut tersebut (De Boer 1981). Sehubungan dengan hal tersebut, dalam media budidaya yang terkontrol telah banyak dilakukan penelitian teknologi pengkayaan nutrien untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi makroalga tersebut (Catriona et al. 2014).

(38)

METODOLOGI

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2013. Penelitian yang dilakukan meliputi 2 tahap, yaitu percobaan pendahuluan dan percobaan utama. Percobaan pendahuluan dimaksudkan untuk mencari konsentrasi nutrien yang sesuai untuk pertumbuhan rumput laut, sedangkan percobaan utama adalah perlakuan pemberian berbagai nutrien ke dalam media budidaya Gracilaria verrucosa. Penelitian budidaya rumput laut dilakukan di Balai Pengembangan Budidaya Air Payau dan Laut (BPBAPL) Desa Pusakajaya Utara Kecamatan Cilebar, Karawang, Provinsi Jawa Barat. Untuk analisis kandungan N, P, Fe air dan thallus

rumput laut, serta analisis klorofil rumput laut dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ikan, FPIK-IPB serta di laboratorium Kimia Fisik dan Lingkungan-FMIPA IPB.

Tumbuhan uji dan kondisi budidaya Gracilaria verrucosa

Bibit Gracilaria verrucosa (species ditentukan berdasarkan hasil identifikasi sebagaimana surat keterangan pada Lampiran 1) yang digunakan berasal dari tambak Desa Muara Gembong Bekasi. Media budidaya yang digunakan adalah wadah persegi berukuran 2x1,5x0,80 (m) terbuat dari bambu dilapisi terpal plastik berwarna biru. Untuk menjamin adanya sinar matahari dan menghindari jatuhnya air hujan ke media budidaya, pada sekitar 1,5 m di atas media ditempatkan atap plastik bening transparan. Pada setiap wadah dipelihara rumput laut sebanyak 10 kg/m3. Sumber air berasal dari saluran yang digunakan untuk mengairi tambak disekitar Balai.

Pengkayaan dilakukan setiap 7 hari sekali, dan setiap 3 hari sekali dilakukan penggantian air sebesar 50% dari air media (Trono 1988), sedangkan penggantian air 100% dilakukan sebelum pengkayaan berikutnya. Sebagai sumber N adalah pupuk urea (46% N), sumber P adalah pupuk SP-36 (36% P2O5) dan sumber Fe adalah FeCl3.6H2O. Sebelum dan setelah

periode budidaya, dilakukan pengukuran terhadap parameter kualitas air meliputi salinitas, suhu, oksigen terlarut (DO), dan pH, serta pengukuran terhadap klorofil, kandungan N, P, dan Fe dalam air media dan jaringan thallus rumput laut.

Penelitian pengkayaan ini merupakan bagian dari penelitian yang berkelanjutan, dimana data yang diinginkan adalah data pertumbuhan optimum untuk kemudian dibuat perlakuan lanjutan. Oleh sebab itu, penelitian ini dilakukan selama 2 minggu dengan pertimbangan rumput laut dapat mencapai pertumbuhan maksimumnya pada fase 2-3 minggu apabila budidaya dengan pengkayaan dilakukan di bak terkontrol. Hal ini mengacu pada hasil-hasil penelitian sebelumnya, dimana Gracilaria sp. yang diberi urea dan TSP atau yang memanfaatkan limbah ekskresi udang pertumbuhannya meningkat di 2-3 minggu pertama, dan kemudian terus menurun hingga akhir penelitian (Patadjai 1993; Marinho-Soriano et al. 2002; Sakdiah 2009). Penelitian menggunakan konsentrasi nutrien yang terpilih pada percobaan pendahuluan (percobaan penentuan dosis), yaitu masing-masing urea sebanyak 50 ppm, SP-36 sebanyak 5 ppm dan FeCl3.6H2O sebanyak 2 ppm. Setelah 2 minggu pemeliharaan, rumput laut dipanen dan di

(39)

Rancangan Percobaan

Penelitian pengkayaan rumput laut menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan masing-masing dibuat 3 ulangan, yaitu tanpa pengkayaan nutrien ( non-enriched), pengkayaan N, pengkayaan N+P dan pengkayaan N+P+Fe ke dalam air media budidaya.

Parameter uji

Pertumbuhan mutlak dan produksi rumput laut

Pertumbuhan mutlak rumput laut diperoleh dari hasil bobot yang didapatkan pada akhir masa budidaya dikurangi bobot pada awal masa budidaya. Untuk produksi biomassa rumput laut diperoleh dari bobot akhir saat panen setelah budidaya untuk masing-masing perlakuan pengkayaan.

Klorofil

Pengukuran klorofil dilakukan dengan menimbang sampel rumput laut seberat 0,5 g (

Gambar

Gambar 1.  Kerangka pemikiran penelitian meningkatkan produktivitas rumput   laut dan kualitas
Gambar 3. Daur hidup (life cycle) Gracilaria sp. (sumber: FAO)
Gambar 4.  Regulasi N dalam fiksasi dan metabolisme C hasil fotosintesis  Citric Acid Cycle= Kreb‟s Cycle (Modifi
Gambar 5.  Pertumbuhan mutlak  rumput laut,  Gracilaria verrucosa  setelah               dibudidaya
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan untuk lemak didapat hasil yang sama dengan protein, yaitu menunjukkan kadar lemak telur ikan lele yang diberi perlakuan biofloks lebih tinggi

Menurut Nguyen &#34; (2009) bobot kering biomas padi pada budidaya jenuh air dengan ketinggian muka air parit 15 cm di bawah permukaan tanah lebih tinggi dibandingkan budidaya

verrucosa pada konsentrasi 2% mampu meningkatkan pertumbuhan berat udang sebesar 131,43% dan pertumbuhan panjang udang sebesar 32,50% dibandingkan kontrol selama perlakuan 28

Belum diperoleh dosis optimum aplikasi karena produksi masih menunjukkan respon linier (3) Aplikasi bokashi jerami dan pemberian EM4 pada tanah tidak mempengaruhi kualitas

Kadar bahan aktif pada tanaman sangat mungkin untuk dapat diinduksi, dimanipulasi, dirubah atau ditingkatkan baik melalui cara budidaya maupun penanganan pasca panen

Namun cemaran getah pada kulit buah tergolong tinggi yaitu mencapai 73,40 pada buah yang dikelola dengan cara petani dan 68, 20 pada penerapan paket teknologi

Dalam Tabel 3 ditunjukkan pula bahwa perlakuan teknologi budidaya tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap umur pertumbuhan tangkai bunga yang berkisar

(2009) bobot kering biomas padi pada budidaya jenuh air dengan ketinggian muka air parit 15 cm di bawah permukaan tanah lebih tinggi dibandingkan budidaya kering dan padi sawah