Alfiani Eliata Sallata. KAJIAN POTENSI SUMBERDAYA UNTUK PENGELOLAAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT DAN IKAN KERAPU DI WILAYAH PESISIR KECAMATAN AMPIBABO, KABUPATEN PARIGI MOUTONG, SULAWESI TENGAH. Di bawah bimbingan : Dr. Ir. Fredinan Yulianda, MS. dan Ir. Santoso Rahardjo, M.Sc.
Penelitian yang di lakukan di Kecamatan Ampibabo ini mempunyai dua tujuan: (1) mengetahui potensi sumberdaya lingkungan berdasarkan kondisi fisik, kimia dan biologi perairan yang diperuntukkan bagi budidaya rumput laut dan ikan kerapu. Keseuaian lingkungan perairan untuk kemudian dianalisis menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan (2) Menyusun rencana pengelolaan kawasan budidaya laut. Wilayah pesisir yang sesuai untuk budidaya ikan kerapu sistem KJA sebesar 1.605,84 Ha dan sesuai dengan beberapa faktor pembatas sebesar 1.608,86 Ha. Untuk budidaya rumput laut sistem longline, luasan perairan yang sangat sesuai sebesar 925,88 Ha, dan sesuai sebesar 8.633,19 Ha. Lebih lanjut, diketahui bahwa di pesisir Kecamatan Ampibabo mempunyai luas potensi kawasan budidaya laut (rumput laut dan ikan kerapu) sebesar 2531,72 Ha, masing-masing sebesar 1.605,84 Ha untuk budidaya ikan kerapu dan 925,88 Ha untuk budidaya rumput laut. Hasil perhitungan kawasan yang efektif untuk budidaya laut dengan memperhatikan peruntukan lain dan utilitas budidaya di wilayah ini di peroleh sebesar 508.207 Ha
Alfiani Eliata Sallata. STUDY OF RESOURCE POTENCY FOR MANAGEMENT OF SEAWEEDS CULTURE AND GROUPER CULTURE IN OF AMPIBABO, PARIGI MOUTONG REGENCY COASTAL AREA, NORT SULAWESI. Under the supervision of Fredinan Yulianda, Phd. and Ir. Santoso Rahardjo, M.Sc.
The research in Ampibabo Sub District are divided into two purposes: (1) to know the potencies of environmental resources base on aquatic physic, chemical and biology water used by seaweeds and grouper culture. Based on suitability of water quality analysis by using Geographic Information System (GIS) and (2) to make the management plan of marine culture area. Coastel that is suitable area for grouper culture in floating cage system is 1.605,84 Ha and suitable with border factor is about 1.608,86 Ha. The other area that is very suitable for seaweed culture is 925,88 Ha and suitable is 8.633,19 Ha. Ampibabo Sub District has potential area for marine culture is about 2531,72 Ha, where 1.605,84 Ha for grouper culture and 925,88 Ha for seaweed culture. Consist of the effective area for marine culture with limited another focus and utilization marine culture in this area is about 508,207 Ha.
1.1. Latar Belakang
Budidaya laut merupakan bagian dari budidaya perikanan (akuakultur) yang didefinisikan sebagai intervensi yang terencana dan sengaja oleh manusia dalam proses produksi organisme akuatik seperti ikan (finfish), udang (krustasea), moluska, ekinodermata, dan alga (Effendi 2004). Terdapat beberapa komoditas perikanan yang potensial untuk dikembangkan dalam usaha perikanan budidaya laut antara lain teripang, kakap, tiram, kerang darah, ikan kerapu, abalone, tiram mutiara, rumput laut, dan kuda laut. Adapun komoditas tersebut selain berpotensi sebagai pemenuhan kebutuhan masyarakat lokal akan protein bersumber dari laut, juga merupakan komoditas yang bernilai ekonomi tinggi.
Ikan kerapu misalnya, saat ini menjadi salah satu komoditi unggulan budidaya laut karena memiliki peluang eksport yang menjanjikan terutama untuk tujuan pasar Hongkong dan Singapura. Volume produksi komoditas ikan kerapu untuk eksport mencapai 35.000 ton per tahun. Jenis ikan kerapu yang telah banyak dikembangkan antara lain kerapu bebek (Cromileptes altivelis) dan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus). Di pasar dunia, harga ikan kerapu bebek rata-rata Rp. 300.000,00 per kilogram (Kompas 2005), sedangkan untuk kerapu macan di tingkat pengumpul di Indonesia berkisar antara Rp. 80.000,00 sampai Rp 100.000,00 dan berkisar antara US$ 12-17 di Pasar Asia, tergantung ukuran ikan (DKP 2006). Keunggulan lain yang dimiliki dalam budidaya ikan kerapu yaitu penguasaan teknologi. Teknologi pembenihan dan pembesaran telah banyak berkembang dan sebagian besar sudah dikuasai dengan baik. Di Indonesia sendiri, pembesaran ikan kerapu terutama dengan sistem keramba jaring apung (KJA) telah banyak dikembangkan di beberapa propinsi di Indonesia untuk skala besar, menengah maupun kecil.
ekonomi yang relatif tinggi. Di Propinsi Sulawesi Selatan khususnya Kabupaten Takalar, Jeneponto, Bulukumba dan Sinjai misalnya, harga rumput laut kering di tingkat petani berkisar antara Rp. 3.800,00 – Rp. 4.000,00 per kilogram, sedangkan di tingkat pabrik harga rumput laut sebesar Rp. 4.700,00 – Rp. 5000,00 per kilogram (Kompas 2004). Keberadaan usaha budidaya rumput laut sangat membantu masyarakat nelayan dan pembudidaya di wilayah pesisir sebagai salah satu sumber pendapatan tambahan keluarga. Menurut DKP (2006), di Indonesia rumput laut di eksport umumnya dalam bentuk kering dengan jenis Gracillarta spp. Euchema cotonii dan E. spinosum dengan tujuan China, Hong Kong, Spanyol, Jepang dan Philippina. Lebih lanjut diketahui bahwa, nilai ekspor rumput laut baru berkontribusi sekitar 1 % dari total ekspor hasil perikanan.
Sebagaimana diketahui Indonesia memililiki potensi sumberdaya alam yang mendukung untuk dikembangkannya budidaya laut. Menurut DKP (2006), potensi perairan untuk budidaya ikan kerapu dan rumput laut di Indonesia masing-masing sekitar 1.1 juta ha.Kecamatan Ampibabo adalah salah satu dari 10 Kecamatan yang berada di Kabupaten Parigi Moutong. Kecamatan ini mempunyai panjang garis pantai mencapai 56,25 km dan luas wilayah secara keseluruhan ± 589,99 Km2. Secara Topografi Kecamatan Ampibabo terbagi atas 15 Desa yang sebagian besar berada di wilayah pesisir atau sebanyak 14 desa pesisir.
Kondisi wilayah terutama pesisir dan laut yang ada di Kecamatan Ampibabo, Kabupaten Parigi Moutong dinilai dari luas wilayah perairan pesisirnya, cukup mendukung untuk dikembangkannnya perikanan budidaya khususnya budidaya laut. Kondisi tersebut juga didukung dengan kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Parigi Moutong untuk mulai membangun potensi sumberdaya alam yang dimiliki untuk dapat meningkatkan nilai produksi perikanan daerah. Bagi sektor perikanan budidaya laut hal tersebut diatas menjadi suatu langkah maju untuk mulai mengembangkan sektor ini. Karena diharapkan, dengan berkembangnya sektor perikanan budidaya laut, dimasa akan datang akan dapat memberikan kontribusi yang berarti terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat pesisir melalui lapangan kerja baru.
untuk komoditi rumput laut dan ikan kerapu, haruslah didasarkan pada elemen-elemen pendukung. Faktor lingkungan merupakan salah satu elemen-elemen utama yang mendukung keberlangsungan kegiatan usaha budidaya. Adapun beberapa faktor pendukung lainnya yang juga penting meliputi teknologi, aset sosial budaya dan ekonomi masyarakat, infrastruktur, dan sumberdaya manusia. Dengan adanya interaksi dari faktor-faktor tersebut di harapkan dapat diperoleh pemanfaatan kawasan yang optimal.
Pemanfaatan kawasan perairan pesisir haruslah di lakukan pada suatu lokasi yang sesuai untuk setiap komoditinya. Oleh karena itu untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam pesisir Kecamatan Ampibabo, penelitian mengenai kajian potensi sumberdaya terutama untuk budidaya rumput laut dan ikan kerapu sangatlah diperlukan. Lebih lanjut, untuk mendapatkan suatu kegiatan budidaya yang berkelanjutan dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi, diperlukan juga suatu pengelolaan kawasan. Dari hasil kajian ini, diharapkan dapat menjadi petunjuk dalam pengembangannya, sehingga dapat dijadikan bahan acuan bagi berbagai pihak terkait seperti pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat.
1.2. Perumusan Masalah
Wilayah pesisir Kecamatan Ampibabo merupakan bagian dari perairan Teluk Tomini yang dikenal kaya akan sumberdaya alam pesisir dan lautnya. Pemanfaatan kawasan pesisir Kecamatan Ampibabo untuk kegiatan budidaya rumput laut dan ikan kerapu diharapkan dapat memberikan kontribusi yang berarti dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir. Akan tetapi kondisi yang dirasakan saat ini adalah belum optimalnya pemanfaatan kawasan untuk budidaya laut baik dari segi produksi maupun keberlanjutan usaha budidaya.
adanya keberlanjutan usaha. Untuk budidaya ikan kerapu dengan sistem keramba jaring apung (KJA), investasi terutama dari pihak swasta sangat dibutuhkan karena besarnya modal yang dalam menjalankan kegiatan ini. Beberapa faktor penyebabnya masih belum banyaknya investasi untuk kegiatan ini adalah masih belum adanya informasi yang jelas akan potensi wilayah perairan yang dapat dijadikan dasar untuk pengembangan budidaya ikan sistem KJA.
Lingkungan perairan merupakan faktor utama dalam mendukung keberlanjutan usaha budidaya. Kualitas lingkungan perairan yang baik akan berpengaruh pada kualitas produk yang dihasilkan. Pemilihan lokasi yang tepat untuk menjadi tempat di lakukan kegiatan budidaya dalam hal ini budidaya rumput laut dan ikan kerapu penting untuk diketahui, sehingga menghasilkan suatu arahan yang menjadi pedoman dalam pelaksanaan kegiatan usaha. Selain itu dapat juga memberikan informasi mengenai seberapa besar potensi yang ada sehingga optimalisasi dalam pemanfaatan wilayah dapat di realisasikan.
Beberapa faktor lain yang menjadi pendukung keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya lingkungan perairan bagi usaha budidaya rumput laut dan ikan kerapu antara lain teknologi produksi budidaya, kondisi sosial dan budaya masyarakat, ketersediaan infrastruktur dan permodalan. Beberapa faktor pendukung tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan, akan tetapi belum mendapat kajian yang lebih mendalam. Hal tersebut dapat dilihat dari perencanaan terutama oleh pemerintah daerah setempat yang telah dilaksanakan, akan tetapi hasil yang diinginkan dalam pemanfaatan untuk mendapat hasil produksi yang berkelanjutan tidak diperoleh.
1.3. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah :
1. Mengkaji potensi sumberdaya lingkungan yang diperuntukkan bagi pengembangan budidaya rumput laut dan ikan kerapu
Adapun manfaat penelitian adalah :
1. Memberikan masukan kepada pemerintah daerah dalam rencana pengelolaan kawasan budidaya laut yang juga terkait dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW) di pesisir Kecamatan Ampibabo, Kabupaten Parigi Moutong.
2. Memberikan informasi kepada masyarakat dan swasta mengenai potensi pengembangan kegiatan budidaya laut di pesisir Kecamatan Ampibabo, Kabupaten Parigi Moutong.
1.4. Kerangka Pemikiran
Salah satu pemanfaatan wilayah pesisir yang dirasakan dapat memberikan kontribusi yang berarti terhadap produksi perikanan yaitu perikanan budidaya laut. Budidaya rumput laut dan ikan kerapu merupakan dua komoditi yang banyak dikembangkan karena permintaan pasar yang cukup besar. Untuk mengoptimalkan pemanfaatan wilayah pesisir khususnya bagi kegiatan budidaya rumput laut dan ikan kerapu maka haruslah bertumpu pada keberadaan sumberdaya lingkungan khususnya lingkungan perairan pesisir. Sumberdaya lingkungan perairan pesisir erat kaitannya dengan kualitas fisik, kimia, dan biologi yang menjadi parameter utama untuk kesesuaian lokasi budidaya.
Sistem budidaya yang menjadi pilihan juga menjadi bagian penting dalam penetapan suatu lokasi budidaya laut. Budidaya dengan metode tali panjang atau longline dan keramba jaring apung (KJA) menjadi pilihan dalam sistem yang akan dikembangkan, sehingga kriteria yang di tetapkan di sesuaikan dengan jenis komoditi dan sistem tersebut. Oleh karena itu, untuk mewujudkan suatu konsep pengelolaan kawasan budidaya laut yang berkelanjutan, maka dilakukan suatu kajian yang meliputi potensi sumberdaya lingkungan bagi pengembangan budidaya rumput laut dan ikan kerapu. Potensi sumberdaya lingkungan juga didukung dengan aspek sosial ekonomi dan budaya masyarakat, ketersediaan prasarana dan sarana pendukung, serta kebijakan pemerintah daerah (Gambar 1).
Gambar 1. Kerangka pikir kajian potensi sumberdaya untuk pengelolaan kawasan budidaya rumput laut dan ikan kerapu di Kecamatan Ampibabo, Kabupaten Parigi Moutong
Kebijakan Pembangunan Pemerintah Daerah (RTRW wilayah Kabupaten Parigi
Moutong) SUMBERDAYA DI WILAYAH
PESISIR KECAMATAN AMPIBABO, KAB. PARIGI
MOUTONG
Aspek Sosial Ekonomi daBudaya Masyarakat
Sarana dan Prasarana Pendukung Kegiatan Budidaya Laut Budidaya Ikan Kerapu
Sistem KJA
Kesesuaian Lingkungan Perairan Untuk Kegiatan
Budidaya Laut
Kelayakan Usaha Budidaya Laut
Rencana Pengelolaan Kawasan BudidayaRumput
Laut dan Ikan Kerapu Budidaya Rumput
Laut Sistem Longline
Kondisi fisik, kimia dan biologi perairan
Potensi Sumberdaya Lingkungan Bagi
2.1. Budidaya Perikanan di Wilayah Pesisir dan Laut
Perikanan budidaya atau akuakultur merupakan bagian dari perikanan dan kelautan mempunyai arti penting dalam memberikan kontribusinya, walaupun diakui perikanan tangkap masih memberikan kontribusi yang lebih pada sektor perikanan. Akan tetapi, berdasar data dari FAO (2002), produksi perikanan tangkap dunia cenderung mengalami penurunan akibat eksploitasi dan menurunnya sumberdaya ikan di laut, sedangkan akuakultur mempunyai kecenderungan peningkatan yang cukup signifikan. Ditambahkan bahwa, aquakultur juga mampu menciptakan peluang usaha dan penyerapan tenaga kerja. Hal ini dapat dilihat bahwa akuakultur dapat dilakukan di setiap lapisan masyarakat mulai dari pedesaan sampai dengan perkotaan; mempunyai karakteristik usaha yang cepat menghasilkan (quick yielding) dengan margin keuntungan yang cukup besar; mempunyai cakupan usaha yang luas, sehingga dapat memacu pembangunan industri hulu maupun hilir (seperti pabrik pakan, hatchery/pembenihan, industri jaring, industri pengolahan, cold storage, pabrik es dsb.); dapat mengatasi kemiskinan penduduk; sudah tersedia teknologi terapan. Lebih lanjut, Muir dan Roberts (1985) menambahkan bahwa budidaya perikanan diharapkan mengisi kekurangan kebutuhan protein akibat stagnasi dan menurunnya produksi perikanan sementara populasi manusia bertambah dengan cepat
Budidaya laut atau marikultur adalah suatu kegiatan pemeliharaan organisme akuatik laut dalam wadah dan perairan terkontrol dalam rangka mendapatkan keuntungan. Budidaya laut merupakan bagian dari kegiatan budidaya perikanan (akuakultur) yang didefinisikan sebagai intervensi yang terencana dan sengaja oleh manusia dalam proses produksi organisme akuatik (Shell dan Lowell 1993), untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dan sosial (Shang 1990). Selain memproduksi makanan, budidaya laut juga bertujuan untuk meningkatkan stok ikan di laut (stock enhancement).
dan komoditas unggulan. Berdasarkan hasil kajian Ditjen Perikanan Budidaya tahun 2004, diperkirakan terdapat 8,36 juta ha perairan laut yang secara indikatif dapat dimanfaatkan untuk pengembangan kawasan budidaya laut. Dari luasan tersebut, untuk budidaya ikan bersirip (fin fish) 20%, kekerangan 10%, rumput laut 60% dan lainnya 10%. Tingkat pemanfaatan sebagian besar provinsi baru mencapai kurang dari 1%, namun sebagian lainnya telah mencapai di atas 1% sampai 25%, yaitu DKI Jakarta sekitar 24%, Bali sekitar 8%, Sulawesi Tenggara sekitar 6%, dan NTT sekitar 2%.
Di kabupaten Situbondo misalnya, telah mengembangkan usaha budidaya laut seperti budidaya ikan kerapu, lobster dan rumput laut. Jenis ikan yang dipelihara di KJA antara lain; ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis), kerapu sunu (Plectropomus leopardus; P. maculatus ), kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), dan udang lobster. Hasil produksi dari KJA pada umumnya diperdagangkan dalam keadaan hidup. Sedangkan untuk pengembangan budidaya rumput laut jenis yang sudah dikembangkan adalah Eucheuma cottoni. Produksi rumput laut di Kabupaten Situbondo di perkirakan sekitar 2.534 ton pertahun dengan nilai penjualan 1.7 milyar rupiah. Aktivitas ini pada tahun 2005 diusahakan oleh 385 pembudidaya (pengusaha) dengan ancak pertahun sekitar 770 buah (Pemda Situbondo 2005).
komoditas-komoditas tersebut, yang teknologinya betul-betul telah mantap dikuasai barulah teknologi budidaya kakap putih dan kerapu.
2.2. Komoditas Budidaya Laut 2.2.1. Rumput Laut
Rumput Laut dengan jenis-jenisnya yang beragam merupakan salah satu sumberdaya perikanan yang cukup potensial karena mempunyai nilai ekonomis penting. Beberapa jenis rumput laut merupakan komoditas yang menjadi komoditi ekspor Indonesia. Jenis-jenis tersebut mengandung senyawa polisakarida, seperti keraginan yang berasal dari Eucheuma spp., agar-agar yang berasal dari Gracilaria spp., Gelidium spp., dan alginat dari Sargassum spp., Turbinaria spp., dan Laminaria spp. Karaginan berperan sebagai pengatur keseimbangan dan pengemulsi yang banyak digunakan pada industi instant, makanan, farmasi dan kosmetik (Mubarak dkk 1990; DKP 2004).
Rumput laut tumbuh hampir diseluruh bagian hidrosfer sampai batas kedalaman sinar matahari masih dapat mencapainya. Selain itu, hidup sebagai fitobentos dengan menancap atau melekatkan dirinya pada substrat lumpur, pasir, karang, fragmen karang mati, batu, kayu, dan benda keras lainnya, serta ada pula yang menempel pada tumbuhan lain. Jenis seperti Eucheuma sp. dan Gracilaria sp. merupakan jenis-jenis yang telah banyak di budidayakan. Secara taksonomi jenis tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Phylum : Rhodophyta
Class : Rhodophyceae (Rumput laut merah) Ordo : Gigartinales
Family : Solieriaceae; Gracilariaceae
Genus : Eucheuma
Spesies : Eucheuma cottonii
Eucheuma cottonii sebagai penghasil Karaginan
permukaan licin, cartilogeneus, warna tidak terlalu tetap kadang-kadang hijau, hijau kuning, abu-abu dan merah tergantung pada kualitas pencahayaan. Oleh Aslan (1998), mengatakan bahwa Eucheuma cottonii mempunyai habitat khas berupa daerah yang memperoleh aliran air laut yang tetap, variasi suhu yang kecil dan substrat batu karang mati.
Karaginan merupakan ekstrak rumput laut yang tidak lain adalah senyawa kompleks polisakarida yang dibangun dari sejumlah unit galaktosa dan 3,6-anhydro-galaktosa baik mengandung sulfat maupun tidak dengan ikatan alfa-1,3-D-Galaktosa dan beta-1,4-3,6-ahnydro-galaktosa secara bergantian. Eucheuma cottonii terutama dimanfaatkan dalam bentuk kappa-carrageenan. Hellebust and Cragie (1978), karaginan terdapat dalam dinding sel rumput laut dan merupakan bagian penyusun yang besar dari berat kering rumput laut dibandingkan komponen lain. Lebih lanjut oleh Glicksman (1983), bahwa karaginan merupakan getah rumput laut dari hasil ekstraksi rumput laut merah menggunakan air panas. Oleh Wilkinson and Moore (1982), bahwa dalam industri pangan karaginan dimanfaatkan untuk memperbaiki penampilan produk kopi, beer, sosis, salad, ice cream, susu kental manis, coklat, coklat, jeli, dll. Untuk industri farmasi digunakan dalam pembuatan obat berupa syrup, tablet, dsb, sedangkan dalam industri kosmetik digunakan sebagai gelling agent atau binding agent dengan tujuan mempertahankan suspensi padatan yang stabil seperti pada pembuatan shampo, pelembab, dsb.
semakin tinggi kadar karaginan sampai batas tertentu atau minggu keempat, kemudian menurun seiiring dengan kenaikan bobot basah.
2.2.2. Ikan Kerapu
Ikan kerapu yang merupakan salah satu jenis ikan yang habitat hidupnya di terumbu karang (ikan karang) banyak terdapat di perairan Indonesia. Ikan jenis ini potensial dibudidayakan karena pertumbuhannya relatif cepat, mudah dipelihara, mempunyai toleransi yang tinggi terhadap perubahan lingkungan dan tahan terhadap ruang terbatas atau dapat dikembangkan pada keramba jaring apung (Aditya dkk. 2001). Dalam SEAFDEC (2001), bahwa di dunia Internasional ikan kerapu dikenal dengan nama grouper dan merupakan jenis ikan yang diperdagangkan dalam keadaan hidup serta paling populer di daerah Asia-Pacifik. Ikan ini telah dibudidayakan secara luas di Asia Tenggara. Harga kerapu macan hidup di tingkat pengumpul di Indonesia berkisar antara Rp. 80.000,00-Rp. 100.000,00/kg dan sekitar US$ 12-17 di Hong Kong tergantung ukuran ikan.
Pengetahuan tentang biologi ikan kerapu sangat mendukung keberhasilan usaha budidaya ikan kerapu, terutama morfologi, penyebaran atau distribusi, habitat, pakan dan kebiasaan makannya. Secara umum kerapu mempunyai bentuk badan yang gemuk pipih dengan kulit bersisik, hidup di perairan karang yang bersih, dan beruaya atau migrasi terbatas pada kisaran lingkungan perairan dengan kadar garam 31-34 ppt, pH 7,0 - 8,5, oksigen terlarut > 5 ppm, Nitrite nitrogen 0 – 0,05 ppm dan amonia (NH3-N ) < 0,02 ppm (DKP, 2006)
Ikan kerapu adalah termasuk jenis ikan carnivora atau pemakan daging. Pada fase larva, dibutuhkan pakan berupa zooplankton seperti Brachionus sp. dan mikro organisme lainnya. Untuk fase benih dibutuhkan artemia (brine shrim) kemudian udang-udang kecil (jambret) dan ikan kecil, lalu pada tingkat dewasa adalah ikan, cumi dan lainnya (Anonim, 2006).
(Epinephelus fuscoguttatus), tikus (Chromileptes altivelis), dan lumpur (Epinephelus suillus), serta diperkuat oleh tinggi dan stabilnya harga jual kerapu hidup tersebut terutama permintaan ekspor. Adapun dalam Randall (1987), klasifikasi ikan kerapu adalah sebagai berikut :
Phylum : Chordata
Class : Osteichtyes Sub-Class : Actinopterygii Ordo : Percomorphii Sub-Ordo : Percoide Family : Serramidae
Genus : Epinephelus; Cromileptes; Plectropomus; Piectropus
Spesies : Epinephelus fuscoguttatus (kerapu macan), Chromileptes altivelis (kerapu tikus), Epinephelus bleckeri (kerapu lumpur), Epinephelus coloides (kerapu lumpur), Cromileptes polyphekadion (kerapu batik), Plectropomus leopanchus (kerapu sunu), Piectropus maculatus (kerapu sunu)
2.3. Sistem Budidaya
2.3.1. Budidaya Kerapu Sistem Keramba Jaring Apung
Jaring apung (cage culture) atau keramba jaring apung (KJA) adalah sistem budidaya dalam wadah berupa jaring yang mengapung (floating net cage) dengan bantuan pelampung yang ditempatkan di perairan. Sistem ini ditempatkan di perairan pada kedalaman 7 – 40 m, dengan kecepatan arus optimal sekitar 0,15 sampai 0,35 m/detik (Efendi 2004). Selain kedalaman dan kecepatan arus, faktor keterlindungan juga penting untuk diperhatikan yang erat kaitannya dengan keberadaan konstruksi keramba di laut. Perairan yang berupa teluk dan selat sangat cocok untuk menjadi lokasi KJA.
pakan yang cukup. Sistem budidaya ini seyogyanya dilakukan oleh Sumber Daya manusia (SDM) dengan kemampuan pembudidayaan yang relatif tinggi. Sistem ini digunakan untuk budidaya kelompok ikan, udang lobster dan ikan hias (PKSPL 2005).
2.3.2. Sistem Budidaya Rumput Laut
Metode budidaya yang akan dilakukan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan rumput laut itu sendiri. Sampai saat ini telah dikembangkan 5 metode budidaya rumput laut berdasarkan pada posisi tanaman terhadap dasar perairan. Metoda-metoda tersebut meliputi : metoda lepas dasar, metoda rakit apung, metode long line dan metode jalur serta metode keranjang (kantung). Adapun metoda budidaya rumput laut yang telah direkomendasikan oleh Direktorat Jenderal Perikanan, meliputi: metoda lepas dasar, metoda apung (rakit), metode long line dan metode jalur. Namun dalam penerapannya, keempat macam metoda tersebut harus disesuaikan dengan kondisi perairan di mana lokasi budidaya rumput laut akan dilaksanakan (Dit. Perikanan Budidaya-DKP 2006).
A. Metode lepas dasar
B. Metode rakit apung
Metode rakit apung adalah cara membudidayakan rumput laut dengan menggunakan rakit yang terbuat dari bambu/kayu. Metode ini cocok diterapkan pada perairan berkarang dimana pergerakan airnya didominasi oleh ombak. Penanaman dilakukan dengan menggunakan rakit dari bambu/kayu. Ukuran setiap rakit sangat bervariasi tergantung pada ketersediaan material. Ukuran rakit dapat disesuaikan dengan kondisi perairan tetapi pada prinsipnya ukuran rakit yang dibuat tidak terlalu besar untuk mempermudah perawatan rumput laut yang ditanam.
Untuk menahan agar rakit tidak hanyut terbawa oleh arus, digunakan jangkar (patok) dengan tali PE yang berukuran 10 mm sebagai penahannya. Untuk menghemat areal dan memudahkan pemeliharaan, beberapa rakit dapat digabung menjadi satu dan setiap rakit diberi jarak sekitar 1 meter. Bibit 50 -100 gr diikatkan di tali plastik berjarak 20-25 cm pada setiap titiknya. Pertumbuhan tanaman yang menggunakan metode apung ini, umumnya lebih baik daripada metode lepas dasar, karena pergerakan air dan intensitas cahaya cukup memadai bagi pertumbuhan rumput laut. Metode apung memiliki keuntungan lain yaitu pemeliharaannya mudah dilakukan, terbebas tanaman dari gangguan bulu babi dan binatang laut lain, berkurangnya tanaman yang hilang karena lepasnya cabang-cabang, serta pengendapan pada tanaman lebih sedikit. Kerugian dari metode ini adalah biaya lebih mahal dan waktu yang dibutuhkan untuk pembuatan sarana budidayanya relatif lebih lama. Sedangkan bagi tanaman itu sendiri adalah tanaman terlalu dekat dengan permukaan air, sehingga tanaman sering muncul kepermukaan air, terutama pada saat laut kurang berombak. Munculnya tanaman kepermukaan air dalam waktu lama, dapat menyebabkan cabang-cabang tanaman menjadi pucat karena kehilangan pigmen dan akhimya akan mati.
C. Metode tali panjang
25 meter diberi pelampung utama yang terbuat dari drum plastik atau styrofoam. Pada setiap jarak 5 meter diberi pelampung berupa potongan styrofoam/karet sandal atau botol aqua bekas 500 ml.
Pada saat pemasangan tali utama harus diperhatikan arah arus pada posisi sejajar atau sedikit menyudut untuk menghindari terjadinya belitan tali satu dengan lainnya. Bibit rumput laut sebanyak 50 - 100 gram diikatkan pada sepanjang tali dengan jarak antar titik lebih kurang 25 Cm. Jarak antara tali satu dalam satu blok 0,5 m dan jarak antar blok 1 m dengan mempertimbangkan kondisi arus dan gelombang setempat. Dalam satu blok terdapat 4 tali yang berfungsi untuk jalur sampan pengontrolan (jika dibutuhkan). Dengan demikian untuk satu hektar hamparan dapat dipasang 128 tali, di mana setiap tali dapat di tanaman 500 titik atau diperoleh 64.000 titik per ha. Apabila berat bibit awal yang di tanaman antara 50 - 100 gram, maka jumlah bibit yang dibutuhkan sebesar antara 3.200 kg - 6.400 kg per ha areal budidaya. Menurut Sudjatmiko dan Angkasa (2006), bahwa keuntungan metode ini antara lain: tanaman cukup menerima sinar matahari; tanaman lebih tahan terhadap perubahan kualitas air; terbebas dari hama yang biasanya menyerang dari dasar perairan; pertumbuhannya lebih cepat; cara kerjanya lebih mudah; biayanya lebih murah; dan kualitas rumput laut yang dihasilkan baik.
D. Metode jalur
2.4. Lokasi Budidaya Laut dan Kualitas Perairan 2.4.1. Lokasi Budidaya
Perairan laut yang digunakan untuk kegiatan budidaya umumnya merupakan perairan yang relatif terlindungi seperti teluk, selat, dan shallaow sea (laut dangkal). Keterlindungan lokasi budidaya terutama dari gempuran ombak besar, badai, dan angin kencang. Lebih lanjut dalam Efendi (2004) terdapat tiga jenis lokasi di perairan laut yang memiliki sifat keterlindungan adalah sebagai berikut :
1. Teluk
Teluk merupakan perairan laut yang menjorok masuk ke dalam daratan. Oleh karena itu, perairan teluk relatif terlindungi dari ombak besar, badai, dan angin. Sirkulasi air yang masuk banyak dipengaruhi oleh arus akibat pasang surut air laut. Arus laut relatif lambat pada perairan dengan kisaran pasut yang kecil (0,01 – 0,10 m/detik) sehingga sirkulasi air di perairan akan relatif keci.
2. Selat
Merupakan perairan laut di antara dua pulau atau beberapa pulau. Keberadaan pulau yang berada mengapit dan mengelilingi perairan laut tersebut menyebabkan selat realif terlindungi dari angin dan ombak badai. Keberadaan pulau di yang mengapit perairan laut tersebut dapat memecah dan membelokkan air dan arah massa air laut sehingga tidak merusak. Lebih lanjut, selat yang relatif sempit dan memiliki kisaran pasit yang sangat lebar (3 – 5 m) ada kalanya perairan memiliki arus laut yang sangat kuat hingga mencapai >0.5 m/detik. 3. Shallow water
2.4.2. Kualitas Perairan
Kualitas air merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam kegiatan budidaya perikanan. Kondisi perairan laut dapat dijadikan sebagai salah satu indikator kelayakan suatu perairan untuk kegiatan budidaya laut. Salah satu acuan yang digunakan untuk analisis data parameter kualitas perairan yaitu Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia No.15 Tahun 2004, tentang Baku Mutu Air Laut, terutama baku mutu untuk Biota Laut. Adapaun kriteria kualitas air sesuai dengan KEPMEN LH No. 15 tahun 2004 dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Baku Mutu Kualitas Air Laut terutama untuk biota laut menurut KEPMEN LH No. 5 Tahun 2004
2.5. Sistem Informasi Geografis (SIG)
Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan salah satu media yang baik untuk menyampaikan hasil analisis bagi para pengambil keputusan, pengelola, dan pemerintahan. O’Callaghan dan Garner (1991), mengatakan bahwa teknologi SIG banyak digunakan terutama untuk pengelolaan sumberdaya alam seperti perencanaan industri pertanian, konservasi sumberdaya alam, eksploitasi sumberdaya mineral, pengelolaan taman nasional dan pengelolaan wilayah pesisir.
Secara umum keuntungan penggunaan SIG pada perencanaan dan pengelolaan sumber daya alam adalah:
• Mampu mengintegrasikan data dari berbagai format data (grafik, teks, digital dan analog) dari berbagai sumber dan memiliki kemampuan yang baik dalam pertukaran data diantara berbagai macam disiplin ilmu dan lembaga terkait • Mampu memproses dan menganalisis data lebih efisien dan efektif daripada
pekerjaan manual dan memiliki kemampuan pembaharuan data yang efisien. • Mampu melakukan permodelan, pengujian dan pembandingan beberapa
alternatif kegiatan.
SIG pada dasarnya adalah suatu sistem informasi (perangkat lunak) yang bereferensi dan berbasis komputer yang mampu menampung, menyimpan, mengolah, dan mensimulasi data spasial, sehingga menghasilkan output sesuai tujuan. Dalam Prahasta (2001), di jelaskan bahwa dalam SIG menggabungkan dari tiga unsur pokok yaitu sistem, informasi, dan geografis. Dari pengertian ketiga unsur pokok ini, dapat dipahami bahwa SIG merupakan salah satu sistem informasi yang menekankan pada informasi geografis, yang merupakan bagian dari keruangan (spatial). Penggunaan kata “geografis” mengandung pengertian suatu persoalan mengenai bumi secara tiga dimensi. Termaksud didalamnya tempat-tempat yang terletak di permukaan bumi, pengetahuan mengenai posisi dimana suatu obyek terletak, dan informasi mengenai keterangan-keterangan (atribut) yang terdapat dipermukaan bumi yang posisinya diketahui
rupa, sehingga data tersebut dapat dipilih dan dipergunakan bagi berbagai kepentingan dalam suatu perencanaan dan pengambilan keputusan. Dalam SIG data disimpan dalam dua bentuk, yaitu : data spasial dan data atribut. Untuk keperluan analisis data spasial, data atribut disimpan secara terpisah ini, kemudian diintegrasikan (Macgure dan Goodchild 1991). Dengan menggunakan data yang diperoleh dari fasilitas citra satelit, dan foto udara yang dapat dihubungkan secara langsung, maka data diperoleh dari periode tertentu pada area yang sama, dipakai untuk mengetahui perubahan yang terjadi di rona muka bumi.
2.6. Analisis Biaya Manfaat
Budidaya laut merupakan sistem produksi yang mencakup input produksi (prasarana dan sarana produksi), proses produksi (sejak persiapan hingga pemanenan) dan output produksi (penananganan pascapanen dan pemasaran). Orientasi budidaya laut adalah medapatkan keuntungan, sehingga merupakan kegiatan bisnis (aquacultural business atau akuabisnis, sebagai padanan agribisnis dalam bidang pertanian). Sistem akuabisnis terdiri dari beberapa subsistem (sebagaimana berlaku di agribisnis), yakni 1) subsitem pengadaan sarana dan prasarana produksi, 2) subsistem proses produksi, 3) subsistem penanganan pascapanen dan pemasaran dan 4) subsistem pendukung.
Analisis biaya manfaat (Benefit-Cost Analysis, BCA) dikembangkan untuk memberi sebuah cara sistematik untuk membandingkan keuntungan dan kerugian ekonomi dari berbagai alternatif kegiatan. Dalam bentuk yang paling sederhana, analisis biaya manfaat meliputi identifikasi semua manfaat dan biaya selama jangka waktu kegiatan/proyek, menjabarkan nilai-nilai manfaat dan biaya pada periode-periode tertentu dalam satu rentang waktu, serta menghitung perbandingan antara manfaat dan biaya (Mitchell 1997). Menurut Field (1994), terdapat empat langkah dasar dalam melakukan BCA yakni:
1. Spesifikasikan secara jelas proyek atau kegiatan yang akan dilakukan;
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian meliputi wilayah pesisir kecamatan Ampibabo,
Kabupaten Parigi Moutong yang secara administrasi terdiri dari 11 Desa pesisir
(Gambar 2). Adapun batas laut disesuaikan dengan kondisi lingkungan perairan
serta aksebilitas yang terkait dengan kegiatan budidaya laut. Pengambilan data
lapang dilakukan pagi hingga siang hari pada musim peralihan yakni pada bulan
Mei 2006. Lebih lanjut, kegiatan pengumpulan data sekunder, pengolahan, analisa
dan interpretasi data dilakukan pada bulan Juni 2006 sampai November 2006.
3.2. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengetahui kondisi lokasi penelitian maka dilakukan pengumpulan
data yang terdiri dari data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer
mengenai potensi sumberdaya lingkungan melalui pendugaan kualitas fisik,
kimia, dan biologi perairan. Data mengenai kondisi sosial ekonomi dan budaya
masyarakat dikumpulkan melalui studi dokumen, kuisioner, dan wawancara
mendalam. Sedangkan untuk data sekunder dikumpulkan dari berbagai sumber
yang memberikan informasi yang relevan terhadap penelitian seperti
BAKOSURTANAL, BPS, BAPPEDA Kabupaten Parigi Moutong, Dinas
Perikanan dan Kelautan Kabupaten Parigi Moutong, Kecamatan, dan Desa.
3.2.1. Potensi Sumberdaya Lingkungan di Wilayah Pesisir Kecamatan Ampibabo
Kualitas Perairan
Data yang diambil untuk mengetahui potensi sumberdaya lingkungan
meliputi pengukuran kondisi fisik, kimia dan biologi perairan. Dalam hal ini,
pengamatan kondisi fisik, kimia dan biologi perairan dilakukan pada beberapa
lokasi pengamatan. Pengukuran kualitas air dilakukan dengan pengambilan
contoh air laut pada beberapa stasiun. Penentuan titik pengamatan menggunakan
pengamatan di pilih berdasarkan keterwakilannya dari segi ekosistem maupun
pemanfaatan lingkungan perairan tersebut. Alat yang digunakan sebagai penanda
di lapangan adalah Global Positioning System (Tabel 2 dan Gambar 2).
Tabel 2. Stasiun pengamatan di perairan pesisir Kecamatan Ampibabo
Stasiun
Perairan pesisir dekat kawasan pemukiman penduduk di Desa Ampibabo
St2 0174093 9950442
Perairan pesisir di tempat bekas budidaya rumput laut di Desa Lemo
St3 0173165 9953503
Muara sungai buranga di Desa Buranga
St4 0173216 9947708
Perairan pesisir dekat pelabuhan perikanan di Desa Paranggi
St5 0171616 9944614
Perairan pesisir dekat kawasan pemukiman penduduk di Desa Lemo
St6 0171490 9941585
Muara sungai Towera di Desa Towera
St7 0171582 9940751
Perairan pesisir di tempat bekas budidaya rumput laut di Desa Towera
St8 0172951 9930171
Perairan pesisir di lokasi budidaya ikan kerapu sistem KJA, Desa Marantale
St9 0170026 9960730
Perairan pesisir Desa Tomoli
Pengambilan contoh air pada pengukuran parameter fisika, kimia dan
biologi di perairan diambil menggunakan alat vandorn water sampler yang dilakukan mulai pukul 10.00 sampai 15.00 WITA. Kedalaman perairan yang
diambil sebagai sampel yaitu pada lapisan permukaan (0.2 D), lapisan tengah (0.6
D) dan lapisan dasar (0.8 D). Dimana D adalah kedalaman perairan. Lebih lanjut,
sampel air dianalisis di Laboratorium Limnologi, Manajemen Sumberdaya
Perikanan, FPIK, IPB. Adapun beberapa parameter fisik, kimia dan biologi
Temperatur air pada beberapa contoh air diukur dengan menggunakan
thermometer digital dengan satuan oC. Pengukuran di lakukan pada permukaan,
tengah dan dasar perairan.
Tabel 3. Parameter fisika, kimia dan biologi perairan yang diamati
No Parameter Parameter
Lingkungan
I Biologi Plankton Mikroskop Laboratorium
b. Kecerahan
Kecerahan perairan pada beberapa lokasi pengamatan diukur dengan
c. Kekeruhan
Kekeruhan (turbidity) merupakan gambaran sifat optik air dari suatu perairan yang ditentukan berdasarkan banyaknya sinar (cahaya) yang dipancarkan
dan diserap oleh partikel-partikel yang ada di dalam air. Terutama dipengaruhi
bahan-bahan tersuspensi seperi lumpur, pasir, bahan organik dan anorganik,
plankton, serta organisme mokroskopik lainnya. Secara langsung kekeruhan
mempengaruhi proses pernafasan organisme perairan seperti menutupi insang
ikan, selain itu juga dapat mengurangi penetrasi cahaya ke dalam air. Pada
penelitian ini kekeruhan diukur dengan alat turbiditymeter. Satuan yang di
gunakan adalah NTU (Nephelometric Turbidity Unit).
d. Muatan Padatan Tersuspensi (MPT)
Untuk menduga konsentrasi muatan padatan tersuspensi di gunakana
aplikasi penginderaan jauh dengan Landsat-TM. Oleh Hasyim dan Bidawi (1997),
bahwa keberadaan materi-materi organik dan anorganik yang tersuspensi
mempengaruhi nilai pantulan (reflektansi) dari suatu badan air. Informasi tentang
nilai pantulan pada cahaya tampak dari badan air dapat digunakan untuk memberi
gambaran kondisi dan kualitas perairan. Kekeruhan yang disebabkan oleh muatan
padatan tersuspensi (MPT) adalah salah satu faktor yang mempengaruhi sifat
spektral suatu badan air. Air yang keruh mempunyai nilai reflektansi yang lebih
tinggi daripada air jernih. Puncak reflektansi pada air keruh memiliki kisaran nilai
panjang gelombang yang lebih besar daripada air jernih.
Algoritma yang digunakan adalah algoritma hasil penelitian Hasyim dan
Bidawi (1997) :
MPT (mg/l)= (100.6678)+(5.5085*TM3)+0.4563*(TM32)+0.9775*(TM2*TM3)
Keterangan : MPT = Muatan Padatan Tersuspensi (mg/l)
TM2 = Band 2 Satelit LANDSAT ETM
e. Substrat Dasar
Substrat dasar laut dapat menjadi indikator kualitas air diatasnya. Substrat
dasar laut biasanya dibedakan atas karang, pasir, lumpur dan terdapat kombinasi
antara ketiganya. Substrat dasar karang dan pasir atau karang berpasir atau pasir
karang mengindikasikan perairan tersebut cocok untuk budidya rumput laut dan
kerapu.
b. Parameter kimia perairan a. pH
Pada setiap stasiun pengamatan diukur pH perairan diukur dengan
menggunakan pH meter.
b. Salinitas
Informasi mengenai salinitas sangat diperlukan untuk kegiatan budidaya
laut, karena perubahan salinitas yang drastis akan berakibat fatal terhadap
organisme yang dipelihara. Di samping itu, informasi tentang salinitas diperlukan
pula untuk pengelolaan perairan, terutama yang berkaitan dengan distribusi dan
luas sebaran dampak yang mungkin terjadi. Pengukuran salinitas perairan
dilakukan dengan mengambil sampel air pada setiap stasiun pengamatan, untuk
kemudian diukur dengan menggunakan alat refraktometer.
b. Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut adalah jumlah mg/l gas oksigen yang terlarut dalam air.
Oksigen terlarut dalam air dapat berasal dari hasil fotosintesa oleh fitoplankton
atau tanaman air lainnya, dan difusi dari udara. Pada penelitian ini untuk
mengetahui kadar oksigen dalam air dilakukan dengan menggunakan alat ukur
yang disebut DO-meter.
c. BOD5
BOD yang dimaksudkan dalam hal ini adalah banyaknya oksigen terlarut yang
dibutuhkan mikroorganisme untuk menguraikan bahan organik yang mudah
terurai, sebagai contoh bahan organik limbah domestik.
d. Fosfat
Contoh sebanyak 25 ml disaring dengan kertas saring Whatman no 42 kemudian ditambahkan dengan larutan 2,5 ml antara molybdate dan potassium antimonyltartrate. Larutan tersebut di baca dengan spectrofotometer dengan panjang gelombang 543 nm.
e. Nitrit (NO2-)
Contoh yang telah disaring dengan kertas saring whatman no. 42 diambil sebanyak 25 ml. Contoh tersebut ditambahkan dengan larutan sulfamida 0.3 ml dan larutan NED 0.3 ml, kemudian diamkan selama 10 menit. Larutan tersebut
dibaca dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 543 nm.
f. Amoniak (NH3)
Senyawa amoniak yang terdapat dalam air laut merupakan hasil reduksi
senyawa nitrat (NO3-) atau senyawa nitrit (NO2) oleh mikroorganisme
Peningkatan kadar amoniak di laut berkaitan erat dengan masuknya air laut yang
mudah di urai. Penguraian bahan organik yang mengandung unsur nitrogen akan
menghasilkan senyawa nitrat, nitrit dan seterusnya menjadi amoniak. Metode
yang paling umum dipake untuk mengukur kadar amoniak dalam air laut adalah
metode spektrofotometer.
Contoh air yang di peroleh dari setiap stasiun pengamatan tidak dapat
dianalisis secepatnya, oleh karena itu contoh air di usahakan pada keadaan
dinginkan pada suhu 4oC. Setelah tiba di laboratorium dibekukan pada suhu -20oc
b. Parameter biologi perairan Fitoplankton
Pengambilan sampel untuk mengoleksi plankton di lakukan dengan
menggunakan alat berbentuk jaring atau disebut juga dengan jaring plankton.
Adapun jaring yang digunakan berukuran 30 – 50 µm. Selanjutnya identifikasi
jenis dilakukan dengan bantuan mikroskop dan buku identifikasi plankton seperti
Sachlan (1972), Davis (1955), dan Yamaji (1979). Penghitungan plankton
menggunakan Sedgewig Rafter Counting Cell di bawah mikroskop (APHA, 1989).
Analisis data fitoplankton dilakukan dengan menghitung kelimpahan,
keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi, yang adalah sebagai berikut :
1. Kelimpahan fitopalankton
Kelimpahan plankton adalah jumlah sel plankton jenis ke-i pada volume
air tertentu. Rumus yang digunakan adalah :
N = n x
N = Kelimpahan plankton (sel/liter)
n = Rataan jumlah total sel per lapangan pandang
A = luas permukaan Sedgewig-Rafter Counting Cell (mm2) B = luas satu lapangan pandang (mm2)
C = volume air sampel hasil saringan (ml)
D = volume air sampel yang disaring (l)
E = volume air di Sedgewig -Rafter Counting Cell (ml) 2. Indeks keanekaragaman fitoplankton
Indeks ini merupakan perhitungan berdasarkan informasi mengenai keteracakan
dalam sebuah sistem. Indeks yang digunakan adalah indeks keanekaragaman
Shannon-Wiener dengan rumus :
Keterangan :
H’ = Indeks Keanekaragaman
S = Jumlah jenis yang ditemukan
ni = jumlah individu jenis ke-i
N = jumlah total individu
Nilai indeks keanekaragaman ini kemudian dikelompokkan menjadi :
H < 1 : keanekaragaman rendah, komunitas tidak stabil
1 < H < 3 : keanekaragaman sedang
H > 3 : keanekaragaman tinggi, komunitas stabil
3. Indeks keseragaman
Keseragaman yang diwujudkan dalam indeks regularitas (equitability index) adalah suatu penggambaran mengenai sebaran individu setiap spesies dalam komunitas. Indeks Keseragaman (E) plankton dihitung berdasarkan
persamaan berikut:
atau Maks H
H E
' '
=
Logs H E= '
Keterangan :
E = Keseragaman
H’ = indeks keanekaragaman
s = jumlah genera (plankton)
Dari perbandingan ini didapat suatu nilai yang besarnya antara 0 dan 1, artinya :
Semakin kecil nilai E akan semakin kecil pula keseragaman suatu populasi,
artinya penyebaran jumlah individu setiap spesies mendominasi populasi tersebut.
• Semakin besar nilai E, maka populasi menunjukkan keseragaman, bahwa
jumlah individu setiap spesies dapat dikatakan sama atau tidak jauh berbeda
4. Indeks Dominansi
Untuk menghitung dominansi jenis digunakan indeks Simpson yang dihitung
dengan menggunakan persamaan berikut :
s D = ∑ [Pi]2
i=1
Keterangan :
D = Indeks Dominansi
Pi = ni/N
ni = jumlah individu spesies ke-i
N = jumlah total individu semua spesies
i = 1,2,3,…,
S = jumlah genera
Nilai D berkisar antara 0 sampai 1, artinya :
Jika nilai D mendekati 0, berarti hampir tidak ada individu yang mendominasi
Jika nilai D mendekati 1, berati ada salah satu genera yang mendominasi
(Odum, 1971).
3.2.2. Pendekatan Sosial Ekonomi dan BudayaMasyarakat
Penelitian ini memerlukan kajian yang mencakup aspek sosial budaya dan
ekonomi masyarakat. Hal ini memiliki tujuan agar pengelolaan kawasan budidaya
rumput laut dan ikan kerapu yang dilakukan di Kecamatan Ampibabo, Kabupaten
Parigi moutong tidak semata mata mengejar tingkat produktivitas, namun juga
didasarkan pada pertimbangan kepentingan yang lebih luas yaitu terjaganya
keselarasan kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakat. Data-data dan
informasi yang diperlukan adalah sebagai berikut:
A. Data sosial dan budaya
(1)Data kependudukan
(2)Pola pemanfaatan sumberdaya
(3)Identifikasi adanya konflik pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir
(4)Kelembagaan sosial yang ada
B. Data ekonomi
(1)Investasi Bisnis perikanan yang ada di Kabupaten Parigi Moutong
(2)Produksi hasil perikanan
(3)Sistem dan rantai pemasaran produk perikanan
(4)Kelembagaan ekonomi yang mendukung pengembangan perikanan
Data-data tersebut berasal dari data primer yang diperoleh melalui
investigasi langsung yaitu wawancara dengan masyarakat, maupun data sekunder
yang berasal dari BPS, Bappeda, Dinas perikanan dan kelautan, Dinas Koperasi,
LSM setempat dan dari berbagai sumber yang terkait.
3.3. Analisis Data
3.3.1. Analisis secara spasial dengan SIG
Bertujuan untuk menentukan kesesuaian lokasi budidaya rumput laut
sistem tali panjang dan ikan kerapu dengan sistem keramba jaring apung (KJA)
Menurut Ismail, dkk (2002), bahwa usaha kegiatan budidaya laut tidak dapat
dilakukan disemua daerah pesisir karena membutuhkan beberapa persyaratan
seperti persyaratan teknis, biologis, non teknis (sosial budaya dan ekonomi). Data
yang berhubungan dengan persyaratan tersebut harus dapat dikelola dengan baik,
sehingga dapat memberikan hasil analisis yang maksimal. Sejak banyaknya data
dan informasi ini dalam bentuk spasial, Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan salah satu aplikasi yang sangat relevan dalam melakukan analisis ini.
Data-data yang diperoleh untuk kemudian dikelompokkan berdasarkan tahapan
analisis yaitu analisis spasial dengan SIG menggunakan perangkat Arcview 3.3.
A. Penyusunan basis data spasial
Proses analisis awal dari pembuatan peta dasar digital di Kecamatan
Ampibabo, dimulai dari scan atau proyeksi peta rupa bumi ke dalam peta dasar.
Peta dasar yang diperoleh bersumber dari hasil digitasi citra satelit. Adapun
Informasi yang diambil dari peta rupa bumi dan peta batimetri meliputi garis
pantai, sungai, garis batas wilayah, sungai, jaringan transportasi (jalan),
lokasi, garis kontur, ketinggian daratan, dan kedalaman laut. Kemudian dilakukan
registrasi memindahkan titik koordinat peta rupa bumi ke dalam peta dasar.
Untuk mendapatkan kondisi tata guna lahan terkini dilakukan pemindahan
peta citra ke dalam peta dasar dengan program er-mapper. Setelah itu, dilakukan
digitasi dan topologi yaitu mendigitasi dan mengidentifikasi peta dasar dengan
informasi yang telah diambil dari peta rupa bumi dan citra. Selanjutnya diperoleh
hasil peta dasar digital kawasan pesisir kecamatan Ampibabo yang menjadi objek
proses analisis spasial selanjutnya.
Data kualitas perairan yang dikumpulkan berasal dari titik-titik
pengamatan yang penyebarannya mewakili lokasi penelitian. Untuk menganalisis
secara spasial, terlebih dahulu dilakukan interpolasi, yang merupakan suatu
metode pengolahan data titik menjadi area (polygon). Cara interpolasi titik
menjadi area menggunakan metode Nearest Neighbor (Burrough & McDonnell, 1998; Morain, 1999). Dari hasil interpolasi masing-masing parameter kualitas
perairan yang diperoleh, disusun dalam bentuk peta tematik. Luasan perairan yang
layak bagi kegiatan budidaya laut dihasilkan setelah seluruh data parameter utama
pembobotan dalam bentuk peta tematik di overlay (tumpangsusunkan).
B. Pembobotan dan skoring
Penilaian secara kuantitatif terhadap tingkat kelayakan perairan dilakukan
melalui pembobotan dan skoring. Pembobotan pada setiap faktor pembatas di
tentukan berdasarkan pada dominannya parameter tersebut terhadap peruntukan
budidaya kerapu sistem KJA dan rumput laut. Untuk menentukan nilai akhir
(skor) dari setiap faktor-faktor tersebut, maka dihitung perkalian bobot dengan
skala penilaian, kemudian dihitung skor total semua faktor pembatas dari setiap
kolom skala penilaian mulai dari sesuai (S1), cukup sesuai (S2) dan tidak sesuai
(S3). Adapun pengertian skala penilaian pada setiap kolom adalah sebagai
berikut :
S1 (sesuai) : lahan/perairan tidak mempunyai pembatas yang berat
untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari.
S2 (sesuai) : perairan mempunyai pembatas agak berat untuk
penggunaan tertentu secara lestari. Pembatas tersebut
akan mengurangi produktivitas dan keuntungan yang
diperoleh.
N (tidak sesuai) : perairan mempunyai pembatas sangat berat / permanen,
sehingga tidak mungkin untuk digunakan terhadap
penggunaan yang lestari.
Untuk mendapatkan selang nilai pada setiap kategori ditentukan dari nilai
persentase dari hasil perhitungan yang telah dilakukan. Kisaran persentase skala
penilaian pada setiap kolom yaitu :
Kategori sangat sesuai (S1) : Y ≥ 85%
Kategori sesuai (S2) : Y ≤ 50 – 84%
Kategori tidak sesuai (S3) : Y ≤ 50%
Hasil akhir dari analisis SIG melalui pendekatan index overlay akan
diperoleh dari ranking kelas kesesuaian lahan budidaya, dengan rumus :
∑
∑
= n
i n
i
Wi SijWi S
Dimana :
S = Indeks terbobot area/polygon
Sij = Skor/nilai kelas ke-j dari coverage atau peta ke-i
Wi = Bobot untuk input peta (coverage ke-i)
N = Jumlah peta
3.3.2. Analisis Sosial Ekonomi
Analisis yang dilakukan dalam kajian sosial ekonomi dan budaya
masyarakat dalam studi pengelolaan kawasan budidaya kerapu sistem KJA dan
budidaya Rumput Laut di Kecamatan Ampibabo adalah analisis deskriptif.
Analisis deskriptif yang dibutuhkan terutama informasi mengenai kependudukan,
sumberdaya manusia, sarana dan prasarana serta kelembagaan yang ada di
3.3.3. Analisis Kelayakan Usaha Budidaya
Metode ini digunakan untuk menganalisis kawasan dengan memasukkan
unsur biaya dan manfaat yang disesuaikan dengan kawasan daerah penelitian.
Analisis biaya dan manfaat telah banyak digunakan untuk menilai kelayakan suatu
kegiatan usaha, dimaksudkan agar para investor, nelayan pembudidaya dan
masyarakat mendapatkan gambaran mengenai kelayakan suatu rencana usaha
yang akan dilakukan dari segi sosial maupun ekonomi.
A. Net Present Value (NPV)
Analisis ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keuntungan yang
diperoleh selama umur ekonomis kegiatan. NPV merupakan selisih antara nilai
sekarang dari penerimaan dengan nilai sekarang dari pengeluaran, yang
dinyatakan dengan rumus sebagai berikut :
NPV =
∑
NPV > 0, berarti budidaya laut layak diusahakan
NPV = 0, berarti budidaya laut mengembalikan sebesar biaya yang
dikeluarkan
NPV < 0, berarti budidaya laut tidak layak diusahakan/rugi
B. Benefit Cost Ratio (BCR)
Analisa ini bertujuan untuk mengetahui ratio jumlah nilai sekarang dari
BCR =
(
)
B/C > 1, berarti budidaya laut layak diusahakan
B/C = 1, berarti budidaya laut berada pada titik tidak untung dan rugi
B/C < 1, berarti budidaya laut tidak layak diusahakan/rugi
3.3.4. Pendekatan Keberlanjutan Mata Pencaharian (Sustainable Livelihood Approach-SLA)
Dalam Campbell (1999), bahwa SLA merupakan salah satu cara penilaian
yang objektifitas dalam menentukan prioritas pembangunan. Adapun kerangka
kerja yang digunakan dalam pendekatan Sustainable Livelihood untuk implementasi perencanaan adalah sebagai berikut :
Aset livelihood
Gambar 3. Kerangka kerja dalam Sustainable Livelihood Approach (SLA)
4.1. Gambaran Umum Kecamatan Ampibabo 4.1.1. Letak Geografis dan Administrasi
Kecamatan Ampibabo adalah salah satu dari 10 Kecamatan yang berada di Kabupaten Parigi Moutong. Secara Geografis Kecamatan Ampibabo terletak pada Posisi Koordinat 119o53’11” – 120o04’12” BT dan 0o02’48” – 0o37’55” LS. Luas wilayah Kecamatan Ampibabo secara keseluruhan ± 589,99 Km2, Letak Geografis Kecamatan Ampibabo berbatasan Langsung dengan :
Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Kasimbar
Sebelah Timur berbatasan dengan Teluk Tomini
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Parigi
Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Sirenja, Kabupaten Donggala Secara Topografi Kecamatan Ampibabo terbagi atas 15 Desa dengan Luas desa seperti yang termuat dalam Tabel 3 di bawah ini :
Tabel 4. Jumlah dan luas desa di Kecamatan Ampibabo
Desa Luas (km2)
1 Marantale 45,35
2 Silanga 42,55
3 Siniu 31,62
4 Towera 27,00
5 Tolole 23,54
6 Toga 5,54
7 Sidole 45,01
8 Paranggi 6,92
9 Ampibabo 45,71
10 Lemo 51,93
11 Buranga 41,55
12 Tomoli 89,39
13 Toribulu 55,40
14 Sienjo 39,47
15 Pinotu 36,01
4.1.2. Musim
Secara umum, cuaca di Indonesia mengalami dua musim yakni musim basah (hujan) dan kering (kemarau), yang dipisahkan oleh periode-periode peralihan. Musim kering terjadi mulai Juni hingga September yang dipengaruhi oleh massa udara di benua Australia saat berlangsungnya muson tenggara. Musim hujan, yang dimulai dari bulan Desember sampai Maret di pengaruhi oleh massa udara di samudera pasifik dan benua asia ketika berlangsung musim muson timur laut. Pada musim-musim itu angin bertiup mantap dengan kecepatan rendah hingga sedang. Periode peralihan terjadi April hingga Mei dan Oktober hingga November, ditandai dengan kondisi angin melemah dan tidak stabil. Lebih lanjut, di jelaskan bahwa musim hujan dan musim kemarau tidak benar-benar terjadi pada saat yang sama di seluruh pelosok kepulauan. Secara umum, musim hujan mempunyai sedikit lebih banyak air dan lebih sedikit sinar matahari dibandingkan musim kemarau (Tomaschik et al 1997).
Di kawasan Teluk Tomini sendiri, Bulan basah berlangsung selama 7 sampai 9 bulan dan bulan kering 1 sampai 3 bulan. Curah hujan berlangsung secara merata yaitu tertinggi terjadi pada bulan Desember sampai Januari dan bulan Juni sampai Juli. Suhu udara berkisar antara 29,4oC hingga 30oC (BRKP, 2003).
4.1.3. Morfologi
Kondisi Morfologi Pesisir Kecamatan Ampibabo di lihat dari system lahan yang terbentuk Dataran, Kipas dan Lahar, Pantai, Perbukitan dan Rawa Pasut.
Morfologi Dataran di kelompokan kedalam Dataran Karstik berbukit kecil; meliputi 6 Desa Pesisir (Tomoli, Buranga, Lemo, Ampibabo, Toga dan Tolole).
Morfologi Kipas dan Lahar, dikelompokkan kedalam; Kipas Aluvial non vulkanik yang melereng landai. Dari 15 desa yang berada di pesisir Kecamatan Ampibabo, terdapat 82% desa yang masuk dalam kelompok morfologi ini, kecuali desa Toga. Morfologi Perbukitan, dikelompokan kedalam; Punggung bukit sedimen asimetrik tak terorientasi, meliputi 6 desa di wilayah pesisir Kecamatan Ampibabo (Toribulu, Buranga, Paranggi dan Toga). Morfologi Rawa Pasut
meliputi 4 Desa di wilayah pesisir Kecamatan Ampibabo (Toribulu, Buranga, Lemo dan Ampibabo).
4.1.4. Litologi
Topologi wilayah daratan, terdiri dari batu gamping tersebar di Desa Tomoli, Buranga, Lemo, Ampibabo, Toga, dan Tolole. Wilayah Kipas dan Lahar, terdiri Aluvium endapan kipas aluvial dan kolovium, terdapat pada 82% dari jumlah 14 Desa yang berada di pesisir Kecamatan Ampibabo. Wilayah Perbukitan, terdiri dari batu pasir, konglomerat, batu lumpur, dan serpih, tersebar di Desa Toribulu, Buranga, Lemo, dan Ampibabo.
4.2. Potensi Sumberdaya Lingkungan 4.2.1. Kondisi Fisik, Kimia dan Biologi
Perairan pantai Kecamatan Ampibabo merupakan bagian dari perairan Teluk Tomini, Pulau Sulawesi. Salah satu teluk terbesar di Indonesia ini mempunyai luas 59.500 km2, pada bagian timur berbatasan dengan Laut Maluku dan bagian timur laut berbatasan dengan Laut Sulawesi. Teluk Tomini merupakan perairan yang dikenal relatif subur dan memiliki sumberdaya perikanan yang potensial untuk dikembangkan.
Pemanfaatan lingkungan perairan pantai Kecamatan Ampibabo, Kabupaten Parigi Moutong untuk kegiatan budidaya laut merupakan salah satu bagian dari pengelolaan wilayah pesisir. Oleh karena itu diperlukan suatu bentuk pengelolaan kawasan yang didukung dengan data-data terutama kondisi perairan baik fisik, kimia, dan biologi. Budidaya laut khususnya rumput laut dan ikan kerapu, merupakan komoditi-komoditi unggulan untuk dikembangkan. Diharapkan dengan dukungan data kondisi perairan yang cukup lengkap dalam pemanfaatannya kelak dapat berlangsung dengan baik.
A. Parameter fisik perairan a. Kedalaman
dilakukan oleh kegiatan Survei dan Pemetaan Lokasi MCRMP (Marine and Coastal Resources Management Project) dalam rangka penyediaan data dasar spasial wilayah pesisir Sulawesi Tengah Tahun 2004. Pada kegiatan survey tersebut memperlihatkan bahwa kedalaman laut di perairan pantai Kecamatan Ampibabo berkisar antara 0 – 60 meter. Sedangkan berdasarkan hasil pengukuran lapang yang dilakukan pada Bulan Mei 2005, di peroleh beberapa variasi kedalaman sebagaimana tercantum dalam Tabel 5 berikut ini :
Tabel 5. Variasi kedalaman di perairan pantai Kecamatan Ampibabo
Stasiun Kedalaman
St1 3
St2 10
St3 2
St4 6
St5 5
St6 0
St7 10
St8 15
St9 20
Kedalaman perairan sangat berpengaruh bagi kegiatan budidaya laut.
Untuk budidaya ikan kerapu sistem keramba jaring apung idealnya pada kedalaman antar 7 - 40 m (Effendi 2004). Selain pengaruhnya terhadap intensitas cahaya matahari yang masuk, kondisi dimana perairan dengan kedalaman < 7 meter dapat mempengaruhi kualitas perairan terutama dari sisa kotoran ikan yang membusuk didasar perairan, sedangkan pada kedalaman > 40 meter berdampak kepada perubahan faktor lingkungan dan juga pengaruhnya terhadap besarnya biaya terutama untuk memperkokoh konstruksi keramba.
Lokasi MCRMP (2004), pada stasiun pengamatan Marantale-Ampibabo, diketahui tipe pasut yang ada adalah tipe campuran cenderung ke semi diurnal. Pasang surut tipe ini umum terjadi di perairan Indonesia Timur yaitu dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut, tetapi tinggi dan periodenya berbeda. Tipe pasut suatu perairan ditentukan oleh frekuensi air pasang dan surut per hari. Tipe pasut dapat ditentukan secara kuantitatif, yaitu dengan membandingkan amplitudo (tinggi gelombang) dari komponen-komponen pasut tunggal utama dengan amplitudo komponen pasut ganda utama, menggunakan persamaan Formzahl (Gambar 5).
PASANG SURUT
6/29/04 7/4/04 7/9/04 7/14/04 7/19/04 7/24/04 7/29/04 8/3/04
Tanggal
Sumber : MCRMP, 2004
Gambar 5. Tipe pasang surut di Kecamatan Ampibabo
Hasil data yang dipelajari menunjukkan muka air tertinggi yang dicapai pada saat pasang dalam satu siklus pasut mencapai 285.80 cm dengan muka air rerata (MSL) sebesar 0.00. Sedangkan, kedudukan air terendah yang dicapai pada saat surut mencapai - 152.96 cm. Lebih lanjut dalam Wyrtki (1961) dalam BRKP (2003), menyatakan bahwa di perairan Teluk Tomini tipe pasutnya adalah campuran cenderung ke semi diurnal. Pada daerah sekitar mulut teluk mempunyai pasang tertinggi sekitar +2,50 meter dan air surut terendah -2.64 m meter.
c. Arus
pola arus yang terjadi di perairan laut maluku. Arus permukaan bergerak dari arah laut seram menuju barat yang sebagian memasuki Teluk Tomini dan Teluk Tolo, juga ada yang menuju Laut maluku. Kecepatan arus yang bergerak dari Laut Maluku berkisar antara lebih dari 0.05 m/detik hingga lebih dari 0.20 m/detik, dan ketika masuk perairan Teluk Tomini kecepatan berkurang hingga berkisar antara 0.05 m/detik hingga 0.01 m/detik.
Lebih lanjut, kondisi arus di perairan Kecamatan Ampibabo hasilnya di pelajari dari data kegiatan Survei dan pemetaan Lokasi MCRMP (Marine and Coastal Resources Management Project) di Kabupaten Parigi Moutong (Tabel 6). Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa, kecepatan arus yang masuk ke perairan pantai kecamatan Ampibabo umumnya relatif kecil. Pada kondisi arus menuju surut purnama, kecepatan arus maksimum terjadi hingga 0.1904 m/dtk, sedangkan kecepatan arus maksimum yang terukur pada kondisi arus menuju pasang tertinggi purnama sebesar 0.0770 m/dtk.
Tabel 6. Kecepatan arus di perairan kecamatan Ampibabo
Arus Kecepatan Arus Maksimum (m/dtk) i arus menuju surut purnama 0.1904
i arus pasang tertinggi purnama 0.0770
kecepatan arus yang ideal untuk kegiatan budidaya rumput laut yaitu antara 0.2 – 0.4 m/dtk.
d. Gelombang
Berdasarkan hasil analisis data ketinggian gelombang laut yang dilakukan oleh BRKP (2002), gelombang di perairan Teluk Tomini secara umum tingginya 1 - 2 meter. Selama Musim Barat (Desember-Februari), Musim Peralihan Barat ke Timur (Maret-Mei), dan Musim Peralihan Timur ke Barat (September-November), tinggi gelombang maksimum sekitar 1,5 meter. Sedangkan tinggi gelombang pada musim Timur (Juni-Agustus) adalah sekitar 2 meter. Perairan pantai kecamatan Ampibabo terletak di wilayah barat Teluk Tomini yang merupakan bagian dalam teluk, sehingga gelombang yang masuk ke dalam akan mengalami penurunan dan akan di jumpai yang jauh lebih kecil dari pada yang di dekat mulut teluk. Lebih lanjut, berdasarkan hasil Survei dan pemetaan Lokasi MCRMP (Marine and Coastal Resources Management Project) tahun 2004 di perairan Kecamatan Ampibabo (Tabel 6), di peroleh tinggi gelombang maksimum pada musim timur sebesar 0.5 m dan pada musim barat setinggi 0.2700.
Untuk kegiatan budidaya laut khususnya budidaya dengan sistem keramba jaring apung pengetahuan mengenai kondisi gelombang di calon lokasi budidaya penting untuk diketahui. Hal tersebut terutama untuk menjaga agar konstruksi keramba tetap kokoh atau kuat. Oleh karena itu di sarankan perairan dengan tinggi gelombang < 1 meter sesuai untuk kegiatan budidaya sistem keramba apung (FAO, 1986). Lebih lanjut oleh Moller (1997) dalam Beverage (1987), bahwa sebaiknya keramba dirancang dan dibangun untuk tahan terhadap kisaran perubahan cuaca yang menyebabkan perubahan tinggi gelombang permukaan air laut. Oleh karena itu, sebaiknya keramba apung dirancang untuk tahan terhadap perubahan tinggi gelombang yang mencapai 1-1.5 m.
Tabel 6. Tinggi gelombang di perairan pantai Kecamatan Ampibabo
Gelombang Tinggi Gelombang
Maksimum
Tinggi Gelombang Minimum
Gelombang musim timur 0.5000 m 0.3100 m
e. Suhu
Berdasarkan hasil pengamatan lapang yang dilakukan pada bulan Mei 2006 di stasiun 1 sampai 9, suhu di perairan pantai kecamatan Ampibabo berkisar antara 30.5 – 32oC. Suhu permukaan perairan pada setiap stasiun berkisar antara 31 – 32oC dengan rerata 31.7oC, untuk suhu bagian tengah perairan berkisar antara 31 – 31.8oC dengan rerata 31.2oC, sedangkan suhu di dekat dasar perairan berkisar antara 30.5 – 32oC. Kisaran suhu pada setiap stasiun jelasnya dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Suhu di perairan pantai kecamatan Ampibabo pada musim peralihan
Kisaran suhu berdasarkan strata vertikal kolom air diketahui tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar kedalaman. Hal ini disebabkan karena variasi kedalaman pengambilan sampel air yang tidak terlalu signifikan yaitu antara 0 – 20 m. Perbedaan suhu antar stasiun juga tidak berada pada kisaran yang lebar. Kondisi ini terjadi karena lokasi pengamatan merupakan wilayah perairan yang hampir memiliki kesamaan terutama dalam hal paparan terhadap sinar matahari.
Suhu dalam kegiatan budidaya perairan memiliki peran yang sangat penting, karena diperlukan suhu yang optimal untuk perkembangan dan pertumbuhan biota budidaya. Suhu yang optimal meningkatkan nafsu makan dan intake pakan sehingga mempercepat pertumbuhan biota karena akan memberikan kelancaran dan kemudahan dalam metabolisme. Dalam FAO (1989), bahwa suhu optimum untuk budidaya ikan dalam keramba jaring apung (KJA) bagi sebagian besar wilayah tropis berkisar 27 – 31°C, dan akan mampu tumbuh serta menyesuaikan diri pada lingkungan dengan temperatur antara 20 – 35oC. Bagi kegiatan budidaya rumput laut, suhu air yang optimal bagi pertumbuhannya berkisar antara 20 – 28oC (Dirjenperbud-DKP 2005), sedangkan dalam Luning (1990), menyatakan bahwa di daerah tropis rumput laut dapat tumbuh pada kisaran suhu 20oC-30oC, lebih lanjut Johanes dalam Hutagalung (1998), menetapkan batas ambang suhu untuk pertumbuhan alga hijau, coklat, dan merah adalah 34, 5oC dan alga biru hijau 37oC.
f. Substrat dasar perairan
Beberapa tipe substrat yang dikenal mulai dari berbatu sampai pasir halus, tentunya harus dipilih sebagai tempat untuk menempatkan keramba. Substrat berbatu tentunya akan bermanfaat untuk mengurangi resiko limbah yang ada di dasar perairan karena kecepatan arusnya yang relatif cepar, akan tetapi perlu juga diingat bagaimana dampaknya terhadap pertumbuhan ikan dan konstruksi keramba. Untuk kegiatan budidaya rumput laut dan ikan keramba jaring apung, tipe substrat yang baik dipilih menjadi lokasi budidaya yaitu lokasi dengan substrat dasar pasir kasar dan pecahan karang. Tipe tersebut selain sebagai indikator gerakan air laut yang cukup besar, sedangkan dasar perairan yang terdiri dari lumpur umumnya mempunyai gerakan air yang kurang. Hasil pengamatan lapangan yang di lakukan pada beberapa lokasi di pantai Ampibabo di ketahui beberapa tipe substrat yaitu pasir kasar dan pecahan karang, pasir, pasir berlumpur banyak, pasir halus dan pecahan karang, pasir sedikit berlumpur, dan berlumpur (Tabel 7).
Tabel 7. Tipe substrat perairan di perairan pantai Di Kecamatan Ampibabo
St1 Pasir dan pecahan karang St2 Pasir
St3 Pasir, berlumpur banyak
St4 Pasir, dan pecahan karang St5 Pasir, sedikit berlumpur St6 Berbatu St7 Pasir, sedikit berlumpur
St8 Pasir dan pecahan karang
St9 Pasir dan pecahan karang
g. Kecerahan, Kekeruhan (NTU) dan Padatan Tersuspensi TSS
Kecerahan perairan erat hubungannya dengan sejauh mana penetrasi cahaya matahari dapat masuk ke perairan yang dibutuhkan untuk proses fotosintesis. Hasil pengukuran tingkat kecerahan perairan untuk setiap stasiun pengamatan di ketahui bahwa kecerahan perairan terendah berada pada lokasi yang dekat dengan muara-muara sungai. Selain itu, pada lokasi dengan substrat dasar terdiri dari pasir berlumpur dan berlumpur seperti pada stasiun 3 dan 7, juga mempunyai nilai kecerahan yang rendah. Akan tetapi untuk beberapa lokasi pengukuran nilai kecerahan berkisar antara 80 – 100%.
Nilai kekeruhan di perairan pantai Kecamatan Ampibabo pada bulan Mei 2006 berkisar antara 0.340 – 0.850 NTU (Gambar 7). Nilai tertinggi diperoleh pada permukaan perairan stasiun 4, tepatnya di dekat pelabuhan perikanan desa Paranggi, sedangkan nilai kekeruhan terendah diperoleh pada permukaan perairan stasiun 2 atau di desa Lemo. Nilai kekeruhan yang di peroleh masih jauh dari yang di syaratkat oleh KEPMEN LH No. 15 Tahun 2004 tentang baku mutu tentang baku air laut bagi biota yaitu < 5 NTU.
Kekeruhan disebabkan oleh masuknya bahan organik tersuspensi ke dalam perairan yang berasal dari erosi tanah, limbah tambang, dan kegiatan budidaya. Masuknya padatan tersuspensi di perairan pantai kecamatan Ampibabo terutama berasal dari sungai yang bermuara di sekitarnya. Dalam Lind et.al (1997), bahwa sumber kekeruhan di perairan selain disebabkan oleh padatan tersuspensi, juga akibat dari keberadaan phytoplankton.
Untuk mengetahui muatan padatan tersuspensi (MPT) secara spasial di gunakan data Citra satelit Landsat ETM untuk akuisisi bulan Februari Tahun 2002 (Gambar 8). Berdasarkan data tersebut diperoleh kadar TSS tertinggi umumnya di daerah-daerah pantai dekat muara sungai. Nilai TSS tertinggi terhitung antara 20-22.5 mg/l, dan semakin ke arah laut nilai TSS berkurang hingga menjadi < 15 mg/l. Menurut Alabaster dan Llyod (1982), nilai TSS < 25 mg/l tidak membawa pengaruh terhadap kegiatan perikanan.
Gambar 8. Nilai Muatan Padatan Tersuspensi (MPT) di Kecamatan Ampibabo h. Debit Air Sungai