OPTIMASI PENGELOLAAN SUMBERDAYA RUMPUT LAUT
DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN BANTAENG
PROVINSI SULAWESI SELATAN
HASNI YULIANTI AZIS
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Kabupaten Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2011
ABSTRACT
HASNI YULIANTI AZIS. Optimized seaweed resources management in the coastal region of Bantaeng Regency, South Sulawesi Province. Supervised by FREDINAN YULIANDA, DIETRIECH G. BENGEN and WIDODO FARID MA’RUF.
Seaweed culture has been growing fast in Bantaeng Regency as it creates benefits with small capital and low risks, making fishermen and fish farmers change their works to be seaweed farmers. Main problem in seaweed culture management is high enthusiasm of coastal community cause the uncontrolled seaweed culture development without concerning suitability principles and capacity region for seaweed culture. Besides un-optimum harvesting. The aims of the study were to evaluate suitability and carrying capacity of region; to study sustainability of seaweed culture management; to optimize seaweed culture management. The study was conducted in two disctricts within Bantaeng Regency, namely Bantaeng District and Bissapu District. Survey method was applied to evaluate biophysic characteristic of seaweed culture region as a basis for suitability and capacity determination of seaweed culture. Region suitability was analyzed by GIS and carrying capacity was measured based on two approaches, that are region capacity approach and N assimilation approach; optimized utilization with dynamic system and sustainability analysis with RAP-RL, modification of RAPFISH. Results of the study revealed that suitable region for seaweed culture in the study area was 2 313.29 ha, consisted of highly suitable region of 415.31 ha and conditional suitable region of 1 897.99 ha. Aquatic carrying capacity with marine waters capacity approach was 1 203.23 ha, which was equal to 5 942 units. Meanwhile, with assimilation capacity approach was 1 650.64 ha or 6 603 units for brown Kappaphycu alvarezii (doty) and 2 073.72 ha or 8 295 culture units for green Kappaphycu alvarezii (doty). Optimization analysis showed in optimistic scenario was anthropogenic waste input to the coastal waters environment of Bantaeng and Bissapu Districts increased 50% from beginning condition (current condition), and this provided best result compared to increased 10% and 25% anthropogenic waste input from beginning condition, either in production, income, income contribution to the government, and labour use aspects. Analysis results from RAP-RL showed that sustainability value index of ecology dimension was 67.95% and economy dimension was 67.95% (enough sustainable); socio-culture dimension was 56.47% (enough sustainable); technology dimension was 32.42% and institution dimension was 39.83% (less sustainable). While, index value of sustainable multidimensions was 54.11% (enough sustainable).
RINGKASAN
HASNI YULIANTI AZIS. Optimasi Pengelolaan Sumberdaya RL di Wilayah Pesisir Kabupaten Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh FREDINAN YULIANDA, DIETRIECH G BENGEN, dan WIDODO FARID MA’RUF.
Potensi budidaya rumput laut wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng tidaklah terlalu besar jika dibandingkan dengan potensi beberapa Kabupaten lain di Provinsi Sulawesi Selatan. Namun mempunyai kontribusi yang besar bagi masyarakat pesisir khususnya dan masyarakat umumnya bahkan Pemda Kabupaten Bantaeng dan Provinsi Sulawesi Selatan sebagai salah satu produsen Kappaphycus alvarezii. Panjang garis pantainya secara keseluruhan hanya 21 km dan khusus untuk wilayah kajian panjang garis pantainya hanya 10.6 km.
Permasalahan utama dalam pengelolaan usaha budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng adalah antusiasme masyarakat yang sangat tinggi. Hal ini menyebabkan pengembangan usaha budidaya rumput laut sangat pesat sehingga tidak terkendali akibatnya hampir semua wilayah pesisir telah ditanami rumput laut, menjorok ke laut hingga 3-4 km. Dan yang mengkhawatirkan bagi keberlanjutan usaha budidaya rumput laut ini adalah pengelolaan yang tidak memperhitungkan azas kesesuaian dan daya dukung kawasan budidaya.
Hal ini dapat diatasi dengan pemanfaatan lahan yang optimal dan pengelolaan budidaya rumput laut lebih ke arah peningkatan produktivitas. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan lahan yang sesuai untuk pengembangan budidaya rumput laut, menentukan daya dukung lingkungan, optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut untuk keberlanjutan usaha budidaya rumput laut. Metoda dalam penelitian meliputi : (i) survei lapang untuk menilai kelayakan biofisik wilayah kajian; (ii) kesesuaian lahan dengan Sistem Informasi Geografis (GIS); (iii) daya dukung kawasan menggunakan 2 pendekatan; (iv) optimasi dengan sistem dinamik; dan (v) keberlanjutan dengan Rapfish. Hasil pengukuran parameter kualitas air masih layak atau mendukung untuk kegiatan budidaya rumput laut. Sementara kondisi oseanografi (kec.arus dan gelombang) hanya layak pada musim Barat dan musim Transisi.
Berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut dengan masing-masing kategori kesesuaian diperoleh hasil sebagai berikut: lahan yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1 (sangat sesuai) = 415.31 ha dan S2 (sesuai bersyarat) = 1 897.99 ha. Kawasan perairan yang sesuai untuk budidaya rumput laut pada lokasi kajian telah dikelola seluas 1 214.7 ha atau sekitar 52.5 % dari 2 313.29 ha.
rumput laut berwarna coklat dan berwarna hijau karena nelayan rumput laut membudidayakan kedua jenis rumput laut tersebut.
Untuk analisis kelayakan usaha budidaya rumput laut digunakan Net Present Value (NPV)dan Benefit Cost Ratio (BC Ratio). Biaya investasi Rp19 135 457; biaya operasional Rp3 324 764; biaya pemeliharaan Rp382 052; Pendapatan Rp33 659 130. Perhitungan analisis NPV menggunakan asumsi discount rate 7.75% memberikan nilai Rp18 040 887. Hasil perhitungan BCR memberikan nilai 9.58
Skenario yang paling optimal adalah skenario ke 4. Hasil simulasi menunjukkan, masukan limbah antropogenik ke lingkungan perairan pesisir wilayah kajian mulai hari ke-1 sampai akhir pemeliharaan sebesar 757.28 ton. Luas rumput laut yang dapat dikembangkan pada batasan baku mutu N (minimal – maksimal) untuk K.alvarezii jenis coklat seluas 1 978.03 ha–2 815.16 ha atau 7 912 unit– 11 261 unit sedangkan untuk jenis hijau seluas 2 485.03 ha–3 536.73 ha atau 9 940 unit–14 147 unit. Luas rumput laut ini dapat meningkatkan kapasitas asimilasi perairan menjadi 1 312.94 ton/hari–1 868.59 ton N/hari. Produksi biomassa rumput laut K.alvarezii jenis coklat yang dihasilkan pada kondisi kapasitas asimilasi untuk jarak tanam 25 cm sebesar 11 216.59–16 013.12 ton, jarak tanam 35 cm sebesar 12 45304–17 778.21 ton, dan jarak tanam 45 cm sebesar 13 098.29–18 699.37 ton. Sedangkan untuk K.alvarezii jenis hijau dengan jarak tanam 25 cm sebesar 14 091.57–20 117.39 ton, jarak tanam 35 cm sebesar 15 644.94–22 335.02 ton, dan jarak tanam 45 cm sebesar 16 455.57–23 492.29 ton.
Tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya rumput laut
K.alvarezii jenis coklat: jarak tanam 25 cm sebesar Rp7 217 626 176.22–Rp10 272 233 877.83; jarak tanam 35 cm sebesar Rp7 278 792 499.74–Rp10 359 286 707.30; jarak tanam 45 cm sebesar Rp7 274 921 213.44–Rp10 353 777 034.55 dengan kontribusi pendapatan ke daerah masing-masing sebesar Rp721 762 617.62–Rp1 027 223 387.78; Rp727 879 249.97–Rp1 035 928 670.73; Rp727 492 121.34–Rp1 035 377 703.45
Tingkat keuntungan yang diperoleh untuk K.alvarezii hijau: jarak tanam 25 cm sebesar Rp9 067 611 041.88; jarak tanam 35 cm sebesar Rp9 144 455 203.25–
Rp13 014 525 862.06; jarak tanam 45 cm sebesar Rp9 139 591 648.73 – Rp13 007 603 978.30 dengan kontribusi pendapatan ke daerah masing-masing
sebesar Rp906 761 104.19–Rp1 290 516 009.85; Rp914 445 520.32– Rp1 301 452 586.21; dan Rp913 959 164.87–Rp1 300 760 397.83
Tingkat serapan tenaga kerja untuk K.alvarezii jenis coklat sebanyak 23 736–33 781 orang atau 569 672–810 766.44 HOK/th. Sedangkan K.alvarezii jenis hijau sebanyak 29 820–42 440 orang atau 715 688–1 018 577 HOK/th.
Hasil analisis Rap-RP (adaptasi dari Rapfish) diperoleh nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekologi sebesar 67.95%, ekonomi sebesar 67.95%, sosial-budaya 56.47% dengan status cukup berkelanjutan, teknologi sebesar 32.42% dan kelembagaan 39.84% dengan status kurang berkelanjutan. Sedangkan nilai indeks multi-dimensi sebesar 54.11 % dengan status cukup berkelanjutan.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang – Undang
OPTIMASI PENGELOLAAN SUMBERDAYA RUMPUT LAUT DI
WILAYAH PESISIR KABUPATEN BANTAENG,
PROVINSI SULAWESI SELATAN
HASNI YULIANTI AZIS
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Ujian Tertutup Tanggal 22 November 2010 Penguji Luar Komisi:
1. Dr. Ir. Etty Riani, MS
(Staf Pengajar Departemen MSP IPB) 2. Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si
(Staf Pengajar Departemen MSP IPB)
Ujian Terbuka Tanggal 24 Januari 2011 Penguji Luar Komisi:
1. Dr. Ir. Etty Riani, MS
(Staf Pengajar Departemen MSP IPB) 2. Prof. Ir. Nurdin Abdullah, MSc., Ph.D
Judul Disertasi : Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah Pesisir Kabupaten Bantaeng,
Provinsi Sulawesi Selatan Nama : Hansi Yulianti Azis
NIM : C261050101
Disetujui
Komisi Pembimbing
Ketua Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc.
Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA
Anggota Anggota
Ir. Widodo Farid Ma’ruf, M.Sc. Ph.D
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Pengelolaan Sumberdaya Pesisir
dan Lautan
Prof.Dr.Ir. Mennofatria Boer, DEA. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya sehingga Disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi ini berjudul ” Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput laut di Wilayah Pesisir Kabupaten Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan”.
Disertasi ini memuat 9 bab yang terdiri atas pendahuluan; tinjauan pustaka; metodologi penelitian; kondisi lingkungan, sosial-budaya dan ekonomi; kesesuaian dan daya dukung kawasan budidaya; optimasi pemanfaatan wilayah pesisir; keberlanjutan usaha budidaya rumput laut; arahan pengelolaan sumberdaya rumput laut dan kesimpulan dan saran. Bagian dari disertasi ini akan dimuat pada buletin penelitian Seri Sosial Budaya dan Humaniora serta jurnal Nusa Esda.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
o Bapak Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc., selaku ketua komisi pembimbing serta
Prof.Dr.Ir.Dietriech G. Bengen, DEA dan Bapak Ir. Widodo Farid Ma’ruf, M.Sc., Ph.D masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing atas segala kebaikan dan kesabarannya dalam membimbing dan mengarahkan penulis sehingga penelitian dan penulisan disertasi ini dapat diselesaikan.
o Keluarga Bapak Drs.H.Nurland/Prof. Dr. Ir. Hj. Farida Nurland, MSi, Ketua
Pusat Studi Gender Universitas Hasanuddin dan Keluarga Prof. Dr. Ir. H. Restu, Msi. Dekan Fak. Kehutanan Universitas Hasanuddin atas segala doa, semangat dan bantuan materi selama penulis dalam proses pendidikan Doktoral.
o Bapak Prof. Dr. Ir. Nurdin Abdullah, M.Sc. sekeluarga, Bupati Bantaeng atas
segala fasilitas dan bantuan dana selama penulis melaksanakan penelitian di Kabupaten Bantaeng.
o Bapak Ir. Muh. Kasang, Msi, mantan Kepala Dinas Perikanan dan Kelauatan
Kabupaten Bantaeng; Bapak Ir. Edy Wahyudi, KaSubdin Perikanan Kabupaten Bantaeng, atas segala bantuan dan kemudahan yang penulis alami selama penelitian.
o Dirjen DIKTI yang telah memberikan beasiswa BPPS selama tiga tahun. o Coremap yang telah memberikan bantuan penulisan disertasi
o Pimpinan Universitas Hasanuddin dan Dekan FIKP Unhas yang telah
memberikan izin studi.
o Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan atas perkenannya sehingga saya
bisa kuliah di sini.
o Ketua Departemen MSP dan Ketua Program Studi SPL serta seluruh staf
Program Studi SPL atas segala pelayanan akademik yang bersahabat selama penulis mengikuti perkuliahan di Program Studi SPL.
o Rekan-rekan di FIKP Unhas yang selalu menyemangati supaya cepat selesai.
perahunya sehingga penulis tetap bisa mengukur dan mengambil sampel di tengah gelombang.
o Rekan – rekan pada Program Studi SPL dan terkhusus kepada Pak David
Hermawan, Ibu Fatmawati, dan Ibu Nirmala atas segala persaudaraan, persahabatan dan kebersamaan selama mengikuti pendidikan di SPL serta adik Awir, Ir. Muh Yusuf Halim, MSi, Dr. Rahman Kurniawan, Dr. Muhammad Hery Riyadi Alauddin, Dr. Alimuddin Laapo, Ir. Dori Rachmawani, MSi atas segala bantuannya selama proses analisis data serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah membantu selama kuliah dan pelaksanaan penelitian dan penyelesaian penulisan disertasi ini.
o Kepada Ibu Nadiarti, Kel. Bapak Haris Bahrun, Kel. Bapak Arif Nasution, Kel.
Ibu Rosmawaty Anwar, teman dalam suka dan duka selama pendidikan.
o Khusus kepada “Pahlawanku” dan “Teladanku”, Ibundaku tercinta, Hanisa
(almarhumah), yang single parent, dalam kondisi ekonomi yang sangat jauh dari mencukupi, berjuang dengan sekuat tenaga agar anak-anaknya bisa menempuh pendidikan tinggi semoga semuanya menjadi amal ibadah Ibunda disisiNya; untuk Ayahanda tercinta Abd. Azis (almarhum) yang telah pergi mendahului sejak kami kecil, atas semangat juang yang diwariskan kepada anak-anaknya; kepada Bapaknya anak-anak Ir. Syamsul Holiq dan anak-anakku tersayang Arga Probowisesa, Sudewo Were ri Langi dan Rio Priantoro, adik-adikku Ir. Muh. Natsir Azis sekeluarga dan Haslinda Azis, SE sekeluarga; keluarga besar Bapak Mayor (Purnawirawan) H.P. Jaya dan seluruh keluarga yang lain atas dukungan moril/materil, pengertian, kesabaran, doa, dan kasih sayang selama penulis mengikuti pendidikan di IPB serta yang tak kalah besar peranannya, Bi Tinah, yang setia membantu membereskan segala urusan rumah tangga sejak kami di Bogor.
Saya menyadari bahwa penelitian dan disertasi ini masih jauh dari sempurna, karena itu saran untuk perbaikannya sangat kami hargai. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan bisa diaplikasikan oleh masyarakat nelayan rumput laut umumnya dan khususnya nelayan rumput laut Kabupaten Bantaeng.
Bogor, Januari 2011
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kabupaten Soppeng, Provinsi Sulawesi Selatan pada 27 Juli 1964. Merupakan sulung dari tiga bersaudara, putri pasangan Hanisa (almarhumah) dan Abd. Azis (almarhum).
xv DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR ...
DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN ...
ix xvii xix xxvii
I PENDAHULUAN………...…………
1.1 Latar Belakang ……….…..……….. 1.2 Rumusan Masalah ……….……...………… 1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ……….……… 1.3.1 Tujuan Penelitian ……….……… 1.3.2 Kegunaan Penelitian ……….………… 1.4 Kerangka Pikir ………
2.1 Pengertian Wilayah Pesisir ……….. 2.2 Konsep Pembangunan Berkelanjutan dalam Pengelolaan
Wilayah Pesisir Secara Terpadu ……… 2.4 Kesesuaian Kawasan Budidaya Rumput Laut …….…………. 2.5 Daya Dukung Kawasan Budidaya Rumput Laut….……… 2.6 Pemodelan Sistem Dinamik ………
9
III METODOLOGI PENELITIAN ………
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ……… 3.2 Tahapan Penelitian ……… 3.3 Metode Penelitian ………
xvi
KONDISI LINGKUNGAN, SOSIAL-BUDAYA DAN EKONOMI KABUPATEN BANTAENG ………
4.1 Aspek Lingkungan (Ekologi) ... 4.1.1 Administrasi ... 4.1.2 Topografi ... 4.1.3 Iklim ... 4.1.4 Kondisi Oseanografi ... 4.1.5 Parameter Kualitas Air ... 4.2 Aspek Sosial-Budaya ... KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT ………. 5.1 Kesesuaian Kawasa Budidaya Rumput Laut...
xvii VI
VII
OPTIMASI PEMANFAATAN WILAYAH PESISIR
KABUPATEN BANTAENG ……….…… 6.1 Sub Model Produksi Budidaya Rumput Laut ………. 6.2 Sub Model Daya Dukung Budidaya Rumput Laut ……… 6.3 Sub Model Ekonomi ……… 6.4 Sub Model Tenaga Kerja ………. 6.5 Simulasi Skenario Pemanfaatan Wilayah Pesisir Secara Optimal Sebagai Dasar Pengambilan Kebijakan Pengelolaan
Budidaya Rumput Laut ………. KEBERLANJUTAN USAHA BUDIDAYA RUMPUT LAUT …… 7.1 Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi ... 7.2 Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi ... 7.3 Status Keberlanjutan Dimensi Sosial-Budaya... 7.4 Status Keberlanjutan Dimensi Teknologi... 7.5 Status Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan... 7.6 Status Keberlanjutan Multi-Dimensi...
99 101 102 103 104
104 129 129 132 135 137 141 144
VIII
IX
ARAHAN PENGEMBANGAN USAHA BUDIDAYA RUMPUT LAUT……….. KESIMPULAN DAN SARAN ……… 5.1 Kesimpulan ………. 5.2 Saran ………
xviii
Kondisi dan persyaratan tumbuh Kappaphycus alvarezii... Proyeksi pengembangan rumput laut tahun 2006-2009 ... Perkembangan produksi, volume ekspor dan nilai ekspor rumput laut
Indonesia Tahun 2001-2004 ... Produksi dan luas lahan budidaya rumput laut di Kabupaten. Bantaeng
Tahun 2001-2008 ... Jenis, alat/cara analisis dan sumber data dalam rencana penelitian... Matriks kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut metode
longline. ... Analisis kebutuhan stakeholders dalam pengelolaan sumberdaya rumput
laut di Kab. Bantaeng ... Pedoman penilaian prospektif dalam pengelolaan sumberdaya rumput laut
yang optimal di Kabupaten Bantaeng ... Pengaruh antar faktor dalam optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng... Keadaan yang mungkin terjadi di masa depan dari faktor-faktor dominan pada optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng ... Hasil analisis skenario optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng ... Kriteria pembuatan skor atribut usaha rumput laut yang berkelanjutan ….. Nilai indeks keberlanjutan usaha rumput laut ……….. Luas Wilayah Daratan dan Pembagian Wilayah administrasi Pemerintahan Kabupaten Bantaeng 2007 ... Penduduk usia 10 tahun ke atas menurut status pendidikan dan jenis kelamin di Kabupaten Bantaeng 2007 ... Penduduk usia 10 tahun ke atas menurut kemampuan membaca dan jenis kelamin di Kabupaten Bantaeng 2007... Tingkat pendidikan nelayan rumput laut yang menjadi responden, 2009...
xix 18
19 20
21 22
23
24
Keluarga pra-sejahtera dan sejahtera menurut Kecamatan di Kabupaten Bantaeng 2007 ... Produksi perikanan di Kabupaten Bantaeng Tahun 2001-2008... Lahan potensial dan yang sudah dikelola di Kabupaten Bantaeng 2008 ...
Hasil analisis usaha budidaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng 2009 …. Nilai atau informasi dasar yang digunakan dalam sistem dinamik
pengembangan budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng ………..……… Perbedaan nilai indeks keberlanjutan antara hasil analisis MDS dan Monte Carlo..... Hasil analisis Rap-RL untuk nilai stress dan Koefisin determinasi (R²)…..
84 85
87 96
100
xx
Alur Pikir Optimasi Pengelolaanan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah Pesisir Kabupaten Bantaeng………. Bentuk segitiga pembangunan berkelanjutan (Charles, 2001)...
Kappaphycus alvarezii (doty) (Doty, 1985) ... Kawasan yang potensial untuk budidaya rumput laut K.alvarezii di Indonesia (Sumber gambar: Ma’ruf 2010)... Produsen dan produksi rumput laut dunia Tahun 2002-2007... Peta lokasi penelitian ... Tahapan rencana penelitian ... Skema unit budidaya rumput laut. ………. Diagam causal loop optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut di
Kabupaten Bantaeng... Diagram input-output (Hartrisari, 2007)... Tahapan analisa sistem (Eriyatno, 1998) ... Penentuan faktor kunci optimasi pengelolaan sumberdaya rumput lautdi Kabupaten Bantaeng... Ilustrasi penentuan indeks keberlanjutan pengelolaan sumberdaya
rumput laut ……….. Ilustrasi indeks keberlanjutan setiap dimensi usaha rumput lautn di Kabupaten Bantaeng………. Jumlah curah hujan setiap bulan pada Tahun 2002-2007 di Kabupaten Bantaeng... Jumlah hari hujan setiap bulan pada Tahun 2002-2007 di Kabupaten
Bantaeng... Peta gelombang di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng ……… Peta arus di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng………. Peta kecerahan perairan pada wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng…. Peta salinitas perairan di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng…….. Peta suhu perairan pada wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng………..
xxi
Peta pH perairan pada wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng……….. Peta substrat dasar perairan di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng… Peta kedalaman perairan pada wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng… Jumlah penduduk Kabupaten Bantaeng menurut jenis kelamin Tahun 2003-2007 ... Persentase penduduk usia 10 ke atas menurut status pendidikannya di Kabupaten Bantaeng ………
Persentase mata pencaharian masyarakat pesisir yang menjadi responden……….. Persentase kisaran usia responden. ……… Peta kesesuaian lahan budidaya rumput Laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng………. Sub Model Produksi Budidaya Rumput Laut ……… Sub Model Daya Dukung Budidaya Rumput Laut ……….... Sub Model Ekonomi Rumput Laut ………..….… Sub Model Tenaga Kerja budidaya Rumput Laut ………..….. Penurunan kapasitas asimilasi akibat masukan limbah antropogenik
selama masa pemeliharaan (45 hari) ………... Peningkatan kapasitas asimilasi perairan pesisir akibat pengembangan
budidaya rumput laut pada kondisi daya dukung di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng……… Luas/unit rumput laut jenis coklat dan hijau yang dapat diusahakan
(minimal – maksimal) sampai akhir pemeliharaan (45 hari pemeliharaan) pada kondisi kapasitas asimilasi perairan pesisir Kabupaten Bantaeng ………..…….. Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan ………. Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan ……….. Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan ………..
xxii
Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam ( 25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan ……….. Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal-maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 25 cm)……….. Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal - maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 35 cm) ……….. Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal - maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 45 cm) dan kontibusi pendapatan ke daerah ……… Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (min–
maks.)………. Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis hijau pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal –
maksimal) ……… Penurunan kapasitas asimilasi akibat masukan limbah antropogenik
selama masa pemeliharaan (45 hari) ………... Luas/unit rumput laut jenis coklat dan hijau yang dapat diusahakan (minimal–maksimal) sampai akhir pemeliharaan (45 hari
pemeliharaan) pada kondisi kapasitas asimilasi perairan pesisir
Kabupaten Bantaeng ……….. Peningkatan kapasitas asimilasi perairan pesisir akibat pengembangan budidaya rumput laut pada kondisi daya dukung di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng ………. Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan ………. Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan ……….. Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan ……….
xxiii
Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam ( 25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan ……….. Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal-maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 25cm) Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal-maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 35 cm) ………... Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal - maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 45 cm) dan kontibusi pendapatan ke daerah ………. Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut 5jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal) ……… Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis hijau pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal) ……… Penurunan kapasitas asimilasi akibat masukan limbah antropogenik
selama masa pemeliharaan (45 hari) ………... Luas/unit rumput laut jenis coklat dan hijau yang dapat diusahakan (minimal – maksimal) sampai akhir pemeliharaan (45 hari
pemeliharaan) pada kondisi kapasitas asimilasi perairan pesisir Kabupaten Bantaeng ……… Peningkatan kapasitas asimilasi perairan pesisir akibat pengembangan budidaya rumput laut pada kondisi daya dukung di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng ……….. Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan ………. Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan ……….. Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan ………... Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam
xxiv
( 25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan ……… Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi min - maks selama pemeliharaan (jarak tanam 25 cm)…… Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi min- maks selama pemeliharaan (jarak tanam 35 cm)……… Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal - maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 45 cm) dan kontibusi pendapatan ke daerah ……… Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal) ……… Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis hijau pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal) ……… Penurunan kapasitas asimilasi akibat masukan limbah antropogenik
selama masa pemeliharaan (45 hari) ………... Luas/unit rumput laut jenis coklat dan hijau yang dapat diusahakan (minimal – maksimal) sampai akhir pemeliharaan pada kondisi kapasitas asimilasi peraira pesisir Kabupaten Bantaeng ………... Peningkatan kapasitas asimilasi perairan pesisir akibat pengembangan budidaya rumput laut pada kondisi daya dukung di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng ……….. Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan ……….. Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan ……….. Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan ……….. Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam ( 25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan ……….………..
xxv
Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitasasimilasi minimal-maksimal selama pemeliharaan
(jarak tanam 25 cm) ………...……….. Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal - maksimal selama pemeliharaan
(jarak tanam 35 cm) ………. Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal - maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 45 cm) dan kontibusi pendapatan ke daerah ………. Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal) ……… Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis hijau pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal) ……… Indeks keberlanjutan dimensi ekologi usaha budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng ..……… Peran masing-masing atribut dimensi ekologi yang dinyatakan dalam bentuk nilai Root Mean Square (RMS)... Indeks keberlanjutan dimensi ekonomi usaha budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng ………. Peran masing-masing atribut dimensi ekonomi yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS)... Indeks keberlanjutan dimensi sosial-budaya usaha budidaya rumput
laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng ……… Peran masing-masing atribut dimensi sosial-budaya yang dinyatakan
dalam bentuk nilai root mean square (RMS)... Indeks keberlanjutan dimensi teknologi usaha budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng ………. Peran masing-masing atribut dimensi teknologi yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS)... Indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan usaha budidaya rumput
laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng……….. Peran masing-masing atribut dimensi kelembagaan yang dinyatakan
xxvi 92
93
94
dalam bentuk nilai root mean square (RMS)... Diagram layang-layang (kite diagram) nilai indeks keberlanjutan dari lima dimensi usaha budidaya rumput laut di wilayah pesisir
Kabupaten Bantaeng ... Indeks keberlanjutan multidimensi usaha budidaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng ……… Peran masing-masing atribut multi-dimensi yang dinyatakan dalam
bentuk nilai root mean square (RMS)...
144
145
146
xxviii
Produsen dan jumlah produksi K.alvarezii dunia... Jumlah curah hujan setiap bulan pada Tahun 2002-2007 di
Kabupaten Bantaeng ... Jumlah hari hujan setiap bulan pada Tahun 2002-2007 di Kabupaten
Bantaeng ... Data oseanografi dan kualitas air wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng 2009 ………... Unit pelayanan kesehatan menurut Kecamatan di Kabupaten.
Bantaeng, 2007 ……… Perkembangan personil lingkup kesehatan di Kabupaten Bantaeng
2002-2007 ………..……….. Produksi Subsektor Rumput Laut Provinsi Sulawesi Selatan Tahun
2000-2004 ...
Identitas nelayan budidaya rumput laut (responden) ... Luas lahan budidaya rumput laut per responden di Kabupaten
Bantaeng 2009 ……….
Layer/peta tematik analisis kesesuaian kawasan budidaya rumput alut di wilayah pesisir Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan
Bissapu………... Analisis daya dukung perairan untuk budidaya rumput laut dengan pendekatan kapasitas perairan ………. Estimasi luas kawasan budidaya ruput laut berdasarkan kapasitas asimilasiperairan pesisir Kabupaten Bantaeng………. Biaya investasi budidaya rumput laut ………..……… Biaya operasional budidaya rumput laut ……….…… Biaya pemeliharaan budidaya rumput laut per panen ………..
xxix 16
17
Analisis Biaya usaha budidaya rumput laut ……….……… Analisis B/C Ratio budidaya rumput laut……….…
188 189 18
19 20 21
Model matematis sub produksi rumput laut... Model matematis sub daya dukung rumput laut... Model matematis sub ekonomi rumput laut... Model matematis sub tenaga kerja usaha budidaya rumput laut...
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Wilayah pesisir merupakan wilayah yang sangat produktif jika ditinjau
dari berbagai macam peruntukannya (Supriharyono 2000) dan sumberdaya yang
dimilikinya (Dahuri 2001). Kegiatan pembangunan yang dilakukan di wilayah
pesisir antara lain; pemukiman, industri, pengilangan minyak, rekreasi dan
pariwisata, perikanan budidaya dan perikanan tangkap (Bengen 2005), dan
sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil meliputi sumberdaya hayati,
sumberdaya nir-hayati, sumberdaya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumberdaya
hayati terdiri dari berbagai jenis ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove
dan biota laut lain; sumberdaya nir-hayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar
laut; sumberdaya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan
dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar
laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta
energi gelombang laut yang terdapat di wilayah pesisir (Undang undang Republik
Indonesia Nomor 27 Tahun 2007).
Realitas sebagaimana dikemukakan di atas juga dijumpai di wilayah
pesisir Kabupaten Bantaeng, diantaranya saat ini masyarakat memanfaatkan
wilayah pesisir untuk kegiatan budidaya rumput laut. Kegiatan budidaya rumput
laut berkembang seiring dengan semakin menurunnya hasil tangkapan serta
mahalnya biaya operasional akibat harga bahan bakar minyak (BBM) yang terus
naik. Perkembangan kegiatan rumput laut yang terjadi di wilayah pesisir
Kabupaten Bantaeng bisa dilihat dari produksi dan area budidaya yang terus
meningkat. Pada tahun 2001, luas area yang dimanfaatkan sebesar 505.2 ha
dengan total produksi rumput laut yang dihasilkan sebesar 120.1 ton, sedangkan
pada tahun 2008 luas areal yang dimanfaatkan telah bertambah menjadi 3 792 ha
dengan produksi 7 677.55 ton (Dinas Perikanan dan Kelautan, Kabupaten
Bantaeng 2009). Dengan demikian, dalam kurun waktu dari tahun 2001-2008
untuk luas areal budidaya telah bertambah menjadi 3 286.8 ha (657%) dan untuk
produksi rumput laut yang dihasilkan telah bertambah menjadi 7 557.44 ton
2
Terjadinya peningkatan budidaya rumput laut diantaranya diakibatkan oleh
meningkatnya permintaan pasar dunia terhadap karagenan (Ma’ruf 2005).
Karagenan dihasilkan dari rumput laut jenis Kappaphycus alvarezii (K.alvarezii).
Permintaan pasar karagenan pada tahun 2005 adalah 260 571.05 ton dan
diproyeksikan pada tahun 2008 permintaan akan mencapai 1 643 561 ton.
Karagenan diperlukan sebagai stabilizer (penstabil), thickener (bahan pengental),
pembentuk gel, pengemulsi pada industri makanan, obat-obatan, kosmetik, tekstil,
cat, pasta gigi dan industri lainnya (Winarno 1996) dan menurut Ma’ruf (2005),
dari jumlah kebutuhan tersebut pada saat ini produsen rumput laut dunia baru
dapat memenuhi sekitar 70%. Dengan demikian, seiring dengan pertambahan
penduduk dunia, yang tentunya diikuti dengan peningkatan kebutuhkan pangan,
obat-obatan dan industri lainnya, maka pasar karagenan semakin terbuka lebar
baik untuk kebutuhan ekspor maupun domestik.
Indonesia merupakan produsen rumput laut K.alvarezii terbesar ke dua di
dunia setelah Filipina (Ma’ruf 2010). Adapun Provinsi Sulawesi Selatan
merupakan Provinsi penyumbang rumput laut K.alvarezii terbesar di Indonesia,
memiliki luas lahan yang potensial untuk budidaya rumput laut sekitar 250 000 ha
dengan prediksi produksi mencapai 1 250 000 ton berat kering/tahun (Dinas
Perikanan dan Kelautan Sulsel 2003). Produksi pada tahun 2003 mencapai 21 581
Ton berat kering. Menurut Subdin Perikanan dan Kelautan, Kabupaten Bantaeng
2006, dari produksi Provinsi Sulawesi Selatan tersebut, Kabupaten Bantaeng
menyumbang sekitar 720.4 ton berat kering yang diproduksi dari lahan seluas
1 875 ha Hasil penelitian Crawford (2002) di Sulawesi Utara dan Filipina,
mendapatkan kegiatan budidaya rumput laut telah menjadi mata pencaharian
alternatif bagi masyarakat pesisir dan nelayan skala kecil. Demikian halnya
dengan masyarakat pesisir Kabupaten Bantaeng. Saat ini kegiatan rumput laut
bukan lagi hanya sekedar pekerjaan sampingan untuk mendapatkan penghasilan
tambahan, akan tetapi telah menjadi salah satu mata pencaharian utama. Bahkan
kegiatan rumput laut menjadi tumpuan harapan baru untuk memperbaiki kondisi
ekonomi serta meningkatkan kesejahteraan mereka yang selama ini identik
3
Kegiatan budidaya rumput laut K.alvarezii dipilih oleh masyarakat karena
beberapa kelebihannya, antara lain: 1) masa panen relatif singkat yaitu 45 hari,
tanpa menggunakan pupuk dan bibit yang khusus, mempunyai nilai ekonomis
yang tinggi tanpa merusak lingkungan, 2) budidaya mudah dan biaya rendah, dan
3) pasar tersedia, terutama melalui ponggawa (Ma’ruf 2005).
Selain itu, antusiasme masyarakat terhadap kegiatan rumput laut juga
dipacu dengan tingginya harga rumput laut. Pada bulan Juli 2008, harga rumput
laut kering di tingkat petani Kabupaten Bantaeng, mencapai Rp8 000,- /kg berat
kering dan naik lagi menjadi sekitar Rp12 000,-/kg berat kering pada Mei 2010
(komunikasi pribadi).
Kondisi tersebut di atas, mengakibatkan kegiatan rumput laut di pesisir
Kabupaten Bantaeng, menjadi tidak terkendali. Masyarakat memanfaatkan setiap
jengkal laut pesisir untuk budidaya rumput laut, sehingga sepanjang garis pantai
Kabupaten Bantaeng, telah ditanami rumput laut hingga lebih 3 km ke arah laut
yang diduga tanpa memperhitungkan azas kesesuaian lahan dan daya dukung
lingkungan. Apabila hal ini terus berlanjut maka kemungkinan akan terjadi
degradasi lingkungan yang bisa menurunkan produktivitas dan kualitas rumput
laut yang dihasilkan sehingga kegiatan rumput laut yang saat ini telah menjadi
harapan baru bagi masyarakat pesisir untuk meningkatkan kesejahteraannya,
diduga bisa terancam keberlanjutannya. Karena itu, penelitian tentang kesesuaian
lahan dan daya dukung lingkungan untuk optimasi pengelolaan sumberdaya
rumput laut, perlu dilakukan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah
utama dalam upaya optimasi pengelolaan budidaya rumput laut di wilayah pesisir
Kabupaten Bantaeng, sebagai berikut:
1. Pengembangan yang tidak terencana dengan baik
2. Meningkatnya harga rumput laut akibat permintaan pasar
4
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, maka tujuan
penelitian yang dilakukan adalah:
1. Mengevaluasi kesesuaian dan daya dukung kawasan untuk pengembangan
rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng
2. Mengoptimasi pengelolaan budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten
Bantaeng.
3. Menelaah keberlanjutan pengelolaan kegiatan rumput laut di wilayah pesisir
Kabupaten Bantaeng.
1.3.2 Kegunaan Penelitian.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi:
1. Ilmu Pengetahuan. Selama ini penelitian tentang kegiatan rumput laut
dilakukan secara parsial, sedangkan penelitian ini dilakukan dengan melihat
berbagai dimensi secara menyeluruh, yaitu dimensi ekologi, ekonomi,
sosial-budaya, teknologi dan kelembagaan. Karena itu, diharapkan dapat menjadi
acuan yang lebih komprehensif bagi penyelesaian permasalahan yang terjadi
dalam pengembangan kegiatan rumput laut yang berkelanjutan.
2. Nelayan rumput laut. Pengembangan kegiatan rumput laut oleh masyarakat
akan disesuaikan dengan daya dukung lahan, sehingga kegiatan mereka dapat
optimal dan berkelanjutan.
3. Pengusaha. Akan diperoleh bahan baku yang memiliki kualitas, kuantitas dan
kontinyuitas yang terjamin untuk industri pengolahan rumput laut.
4. Pemerintah. Pertama, suatu referensi tentang tata ruang terkait dengan
pengelolaan wilayah pesisir dan lautan; kedua, mendukung pemerintah di
dalam penentuan produk unggulan daerah; dan ketiga, sebagai bahan acuan
dalam merumuskan kebijakan pada pengembangan kegiatan rumput laut agar
menjadi basis yang dapat diandalkan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat pesisir, utamanya bagi petani rumput laut yang selama ini masih
5
1.4 Kerangka Pikir
Kegiatan rumput laut telah berkembang dengan pesat di Kabupaten
Bantaeng. Hal ini dapat dilihat dari pertambahan luas lahan budidaya rumput laut
setiap tahun, yakni pada tahun 2001 baru 505.2 ha; tahun 2002 menjadi 885.2 ha;
tahun 2003, 1 875 ha; tahun 2004, 1952 ha; dan pada tahun 2005 telah mencapai
1965 ha (Subdin Perikanan dan Kelautan 2006). Akan tetapi pengelolaannya
belum optimal, baik dilihat dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologinya
maupun kelembagaannya.
Penanaman rumput laut yang dilakukan di sepanjang wilayah pesisir yang
lebarnya mencapai 3-5 km ke arah laut tidak memperhatikan unsur kesesuaian
lahan dan daya dukung lingkungan sehingga bisa berakibat terjadinya degradasi
lahan budidaya jika dilihat dari dimensi ekologi. Efek selanjutnya kemungkinan
produktivitas dan kualitas bisa menurun yang berarti akan mempengaruhi dimensi
ekonomi dengan menurunnya pendapatan yang diperoleh petani rumput laut.
Menurunnya tingkat pendapatan akan mempengaruhi kesejateraan keluarga petani
sehingga sulit memenuhi kebutuhan terhadap pendidikan anak-anaknya dan
kesehatan keluarga. Budidaya yang memanfaatkan wilayah pesisir secara
maksimal tanpa menyisakan jalur lalu lintas perahu dan ruang untuk kegiatan
memancing kadang-kadang menimbulkan konflik diantara stakeholder. Sampai
saat ini, belum ada kelembagaan yang bisa memfasilitasi petani rumput laut dalam
mengakses modal, keterampilan budidaya, peningkatan kualitas produk dan
informasi pasar.
Permasalahan rumput laut sampai saat ini di Kabupaten Bantaeng adalah
pemanfaatan lahan yang tidak terkendali akibat antusiasme masyarakat yang
sangat tinggi terhadap kegiatan rumput laut. Apabila hal ini terus berlanjut tanpa
adanya pengaturan, dikhawatirkan akan mengakibatan terlampauinya daya
dukung perairan terhadap budidaya rumput laut yang bisa menyebabkan degradasi
lahan yang pada akhirnya bisa berpengaruh terhadap produktivitas, kualitas dan
kontinuitas produksi rumput laut. Lebih ke belakang lagi, faktor-faktor penyebab
permasalahan ini disebabkan karena para stakeholder belum terkoordinir serta
belum mempunya visi yang sama pada pengelolaan kegiatan rumput laut, mulai
6
pedagang besar hingga ke pengusaha pengolah chip dan powder serta semua jasa
pendukungnya dalam rangka kemajuan bersama.
Gambar 1 Alur Pikir Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah Pesisir Kabupaten Bantaeng
Kawasan Pesisir Kabupaten Bantaeng
Analisis Pengelolaan RL di Kawasan pesisir Kab. Bantaeng
Kesesuaian Biofisik
1. Teknologi BD 2. Pascapanen 3. SDM
4. Kelembagaan
Akar Permasalahan
1. Antusiasme masyarakat
2. Pengelolaan belum tepat
1. Konflik Pemanfaatan Tata Ruang 2. Pencemaran
Analisis: 1. Kelayakan
Kegiatan
2. Teknologi BD
3. Kelembagaan
4. Kebutuhan
Daya Dukung Kawasan
Keberlanjutan
Kesesuaian Oseanografi
Kesesuaian Kualitas Air
Analisis Kesesuaian
MODEL OPTIMASI PENGELOLAAN SUMBEDAYA RUMPUT LAUT
DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN BANTAENG
7
Pengelolaan yang optimal dan terpadu diantara semua stakeholder,
merupakan salah satu konsep yang bisa mengatasi permasalahan tersebut dari
akarnya. Dan agar semua stakeholder bisa dikoordinir maka konsep pengelolaan
tersebut harus bisa memberikan keuntungan secara proporsional kepada setiap
stakeholder. Konsep pengelolaan yang terpadu dan bisa memberikan keuntungan
secara proporsional kepada setiap stakeholder, dengan dukungan data dari
berbagai hasil analisis seperti hasil analisis kesesuaian lahan, daya dukung
lingkungan, ekonomi, sosial budaya, supply-demand, teknologi budidaya dan
pasca panen, diharapkan akan bisa menjamin keberlanjutan kegiatan budidaya
rumput laut masyarakat, baik dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi
maupun kelembagaan.
1.5 Novelty Penelitian:
Hasil penelusuran pustaka yang telah dilakukan, diperoleh informasi
bahwa penelitian rumput laut yang telah dilakukan sudah sangat banyak, seperti
yang telah dilakukan oleh Syahputra (2005) tentang pertumbuhan dan kandungan
karaginan rumput laut K.alvarezii yang dibudidayakan pada kondisi lingkungan
dan jarak tanam yang berbeda; tentang pengelolaan sumberdaya perairan Teluk
Tamiang Kabupaten Kotabaru untuk pengembangan budidaya rumput laut
K.alvarezii (Amarullah 2007); Kajian pertumbuhan, produksi dan kandungan
karaginan rumput laut K.alvarezii pada berbagai bobot bibit dan asal tallus di
perairan desa Guruaping Oba Maluku Utara (Kusdi HI Iksan 2005); Kajian
ekologis dan biologi untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii di
kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang NTT (Kamlasi 2008); Kajian
ekologi-ekonomi kegiatan pembudidayaan rumput laut di kawasan terumbu
karang pulau Nain kabupaten Minahasa Sulawesi Utara (Lukas Lotharius Jansen
Josef Mondoringin 2005); Kajian pertumbuhan dan tentang kandungan karagenan
rumput laut K.alvarezii yang terkena penyakit ice-ice di perairan pulau Pari
Kepulauan Seribu (Amiluddin 2007) serta Kajian potensi sumberdaya untuk
pengelolaan budidaya rumput laut dan ikan kerapu di wilayah pesisir kecamatan
Ampibabo Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah (Sallata 2007).
Penelitian yang telah dilakukan tersebut, adalah penelitian aspek-aspek
8
yang dilaksanakan secara parsial pada setiap aspek. Belum dilakukan secara
menyeluruh pada setiap aspek. Lokasi dari setiap penelitian di atas merupakan
daerah terlindung, seperti teluk, sesuai dengan referensi bahwa salah satu
kriteria/persyaratan lokasi budidaya rumput laut adalah wilayah yang terlindung
atau perairan pulau-pulau kecil yang tidak terlalu dipengaruhi oleh gelombang dan
arus kuat, pencemaran antropogenik dan limpasan air tawar dari aliran sungai.
Berbeda dengan wilayah kajian yang merupakan peraian terbuka yang berada
pada wilayah pesisir pulau besar.
Ditinjau dari aspek produksi rumput laut yang dihasilkan, produksi pada
perairan terbuka pada musim timur sama atau bahkan lebih tinggi bila
dibandingkan dengan perairan terlindung. Produktivitas pada wilayah kajian
adalah 2-3 ton//ha/panen sementara hasil penelitian Kamlasi 2008, menemukan
1.5 ton/ha/panen; Budiyono 2003, mendapatkan 40-60 ton berat basah/ha/Tahun;
Mondoringi 2005, mendapatkan 3 093 ton berat kering/ha/panen
Novelty dari penelitian ini adalah:
1. Dilakukan secara terpadu dan menyeluruh dari berbagai aspek yaitu aspek
ekologi, ekonomi, sosial-budaya, teknologi dan kelembagaan mulai dari tahap
budidaya sampai tahap pemasaran.
2. Lokasi penelitian yang merupakan perairan terbuka menurut panduan teknis
budidaya tidak memenuhi syarat untuk kegiatan budidaya rumput laut ternyata
produktivitasnya sama bahkan lebih besar dibandingkan dengan perairan yang
terlindung
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Wilayah Pesisir
Menurut Dahuri et al. (1996), hingga saat ini belum ada definisi wilayah
pesisir yang baku. Namun demikian, berdasarkan beberapa literatur terdapat
kesepakatan bahwa wilayah pesisir adalah suatu daerah peralihan antara daratan
dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coast line), maka wilayah pesisir
mempunyai dua macam batas (boundaries) yaitu batas yang sejajar garis pantai
(long shore) dan batas yang tegak lurus pantai (cross shore). Dalam Undang
Undang No. 27 Tahun 2007, disebutkan bahwa Wilayah Pesisir adalah daerah
peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di
darat dan laut. Hampir sama dengan yang telah didefinisikan oleh Bengen
(2004a), yakni wilayah pesisir adalah wilayah peralihan antara daratan dan lautan.
Dari daratan, batasnya meliputi daerah-daerah yang tergenang air dan yang tidak
tergenang tetapi masih dipengaruhi proses-proses laut seperti pasang surut, angin
laut dan intrusi air laut. Adapun batas di laut berupa daerah-daerah yang
dipengaruhi proses-proses laut seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke
laut, serta daerah-daerah laut yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di
daratan. Demikian juga menurut Carter (1988) dalam Haslett (2000) bahwa
wilayah pesisir adalah area arah ke darat yang masih dipengaruhi laut dan batas ke
arah laut yang masih dipengaruhi daratan serta menurut Beatley et al. (1994)
dalam Dahuri (2001) yang menyatakan bahwa wilayah pesisir didefinisikan
sebagai wilayah peralihan antara laut dan daratan, ke arah darat mencakup daerah
yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang surut dan ke arah laut
meliputi daerah paparan benua (continental shelf). Kay dan Alder (2005)
melaporkan bahwa ada beberapa definisi yang digunakan oleh berbagai
organisasi/pemerintahan internasional dan nasional, yanng secara garis besar
dapat dipilah dalam dua kecenderungan, yaitu: definisi berdasarkan pendekatan
biofisika dan definisi berdasarkan pendekatan kebijakan.
Ditinjau dari berbagai macam peruntukannya, wilayah pesisir merupakan
wilayah yang sangat produktif (Supriharyono 2000). Menurut Rokhmin (2001),
10
daerah dan nasional untuk meningkatkan penerimaan devisa, lapangan kerja, dan
pendapatan penduduk. Sumberdaya pesisir tersebut mempunyai keunggulan
komparatif karena tersedia dalam jumlah yang besar dan beraneka ragam serta
dapat dimanfaatkan dengan biaya eksploitasi yang relatif murah sehingga mampu
menciptakan kapasitas penawaran yang kompetitif. Di sisi lain, kebutuhan pasar
masih terbuka sangat besar karena kecenderungan permintaan pasar global yang
terus meningkat.
Kekayaan sumberdaya tersebut mendorong berbagai pihak terkait
(stakeholders) seperti instansi pemerintah, dunia usaha dan masyarakat untuk
meregulasi dan memanfaatkannya. Masing-masing pihak terkait tersebut
menyusun perencanaannya tanpa mempertimbangkan perencanaan yang disusun
pihak lain. Perbedaan fokus rencana tersebut memicu kompetisi pemanfaatan dan
tumpang tindih perencanaan yang bermuara pada konflik pengelolaan. Bila
konflik ini berlangsung terus akan mengurangi efektivitas pengelolaannya
sehingga sumberdaya pesisir akan mengalami degradasi biofisik.
Degradasi biofisik sumberdaya pesisir dibeberapa tempat, telah mencapai
tingkat yang mengkhawatirkan, antara lain: deforestasi hutan mangrove, rusaknya
terumbu karang, merosotnya kualitas taman bawah laut, tangkap ikan lebih
(overfishing), terancamnya berbagai spesies biota laut seperti penyu dan dugong;
meningkatnya laju pencemaran, berkembangnya erosi pantai, meluasnya
sedimentasi serta intrusi air laut (Kepmen Kelautan dan Perikanan No.10 Tahun
2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu). Sebab
itu, untuk mengeliminir degradasi biofisik di kawasan pesisir yang terus
berlangsung diperlukan suatu pengelolaan yang terpadu.
2.2 Konsep Pembangunan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu
Pengelolaan adalah suatu upaya agar suatu perairan tetap memiliki
fungsi/kemampuan memproduksi secara berkelanjutan secara alami maupun
melalui pemanfaatan. Sedangkan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan
pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara
11
ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
(Undang undang Republik Indonesia No. 27 Tahun 2007). Selanjutnya, Dahuri
(2001) mendefinisikan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu sebagai suatu
pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih
ekosistem, sumberdaya dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu
(integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan.
Dalam konteks ini, keterpaduan mengandung tiga dimensi, yaitu: sektoral, bidang
ilmu dan keterkaitan ekologis.
Untuk mengelola wilayah pesisir sangat diperlukan batas wilayah yang
akan dikelola. Batas wilayah dipertimbangkan atas dasar biogeofisik kawasan
didalamnya termasuk faktor hidrologi, ekologis, maupun administratif. Batas
hidrologi dibutuhkan karena aliran air yang berasal dari daratan akan
mempengaruhi kawasan perairan. Batas ekologis diperlukan agar dalam
pengelolaan wilayah pesisir tidak memotong siklus hewan perairan, sedangkan
batas administratif dibutuhkan agar daerah yang terkena peraturan dapat diketahui
dengan jelas.
Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu, didefinisikan oleh Cicin-Sain
dan Knecht (1998), sebagai suatu proses dinamis dan kontinu dalam membuat
keputusan untuk pemanfaatan, pembangunan, dan perlindungan kawasan pesisir
dan lautan beserta sumberdaya alamnya secara berkelanjutan. Jadi pada dasarnya
pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah bertujuan agar pemanfaatan
sumberdaya bisa berkelanjutan, yakni pemanfaatan (pembangunan) yang dapat
memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi
yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Secara ringkas Munasinghe
(2002) menyatakan bahwa Konsep pembangunan berkelanjutan adalah
pembangunan yang mengintegrasikan masalah ekologi, ekonomi, dan sosial.
Konsep pembangunan berkelanjutan pertama kali diperkenalkan oleh the
World Commission on Environment and Development (WCED) pada tahun 1987
dengan laporannya yang berjudul Our Common Future (Cicin-Sain dan Knecht,
1998; Kay dan Alder, 2005; Chua, 2006). Laporan ini sering disebut Laporan
Brundtland (The Brundtland Report) karena dibuat oleh tim ahli yang dipimpin
12
pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan
saat ini tanpa mengurangi peluang generasi mendatang untuk memenuhi
kebutuhannya. Banyak definisi tentang pembangunan berkelanjutan dalam
literatur, mencakup dimensi sosial, ekonomi, lingkungan dan kebijakan (Pizzey,
1989; Daly, 1994; Dixon dan Fallon, 1989; Turner et al., 1993; Tiesdal, 1991;
Cicin-Sain, 1993 dalam Haq, 1997).
Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan keserasian antara laju
kegiatan pembangunan dengan daya dukung (carrying capacity) lingkungan
alam, untuk menjamin tersedianya aset sumber daya alam dan jasa-jasa
lingkungan (environmental services) yang minimal sama untuk generasi
mendatang (Bengen 2003). Atau Pembangunan berkelanjutan adalah perubahan
sosioekonomi secara positif yang tidak merusak atau mengurangi sistem ekologi
dan sosial dimana masyarakat bergantung (Rees 1988 dalam Charles 2001).
Pembangunan berkelanjutan dalam konteks pengelolaan pembangunan
pesisir dan lautan secara teknis didefinisikan sebagai berikut: Suatu upaya
pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam
kawasan pesisir dan lautan untuk kesejahteraan manusia (terutama stakeholders)
sedemikian rupa, sehingga laju (tingkat) pemanfaatan sumberdaya alam dan
jasa-jasa lingkungan termaksud tidak melebihi daya dukung (carrying capacity)
kawasan pesisir dan lautan untuk menyediakannya (Dahuri 2001).
Debat tentang pengertian Pembangunan berkelanjutan melahirkan ratusan
definisi. Saat ini telah diterima secara luas bahwa konsep pembangunan
berkelanjutan adalah saling ketergantungan antara sosial, ekonomi dan lingkungan
(Chua 2006). Young (1992) dalam Key dan Alder (2005) mengemukakan adanya
3 tema yang mendasari konsep keberlanjutan, yang disarikan sebagai: 1) Integritas
lingkungan; 2) Efisiensi ekonomi; dan 3) keadilan, yang didefinisiskan sebagai
mencakup generasi kini dan masa datang serta mempertimbangkan dimensi
budaya selain dimensi ekonomi.
Dalam pembangunan berkelanjutan terdapat tiga komponen utama yang
sangat diperhitungkan yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan. Setiap komponen
tersebut saling berhubungan dalam satu sistem yang dipicu oleh kekuatan dan
13
khususnya melalui peningkatan konsumsi barang-barang dan jasa pelayanan.
Sektor lingkungan difokuskan pada perlindungan integritas sistem ekologi.
Sedangkan sektor sosial bertujuan untuk meningkatkan hubungan antar manusia,
pencapaian aspirasi individu dan kelompok, dan penguatan nilai serta institusi
(Munasinghe 2002).
Budiharsono (2006) juga berpendapat sama, bahwa pembangunan
berkelanjutan pada dasarnya mencakup tiga dimensi penting, yakni ekonomi,
sosial (budaya), dan lingkungan. Dimensi ekonomi, antara lain berkaitan dengan
upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, memerangi kemiskinan, serta
mengubah pola produksi dan konsumsi ke arah yang lebih seimbang. Dimensi
sosial bersangkutan dengan upaya pemecahan masalah kependudukan, perbaikan
pelayanan masyarakat, peningkatan kualitas pendidikan, dan lain-lain. Adapun
dimensi lingkungan, diantaranya mengenai upaya pengurangan dan pencegahan
terhadap polusi, pengelolaan limbah, serta konservasi/preservasi sumberdaya
alam. Adapun tujuan pembangunan berkelanjutan terfokus pada ke tiga dimensi
yaitu, keberlanjutan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi (economic growth),
keberlanjutan kesejahteraan sosial yang adil dan merata (social progress), serta
keberlanjutan ekologi dalam tata kehidupan yang serasi dan seimbang (ecological
balance). Sangat sesuai dengan pendapat Bengen dan Rizal (2002) bahwa dimensi
sosial, ekonomi dan lingkungan merupakan tiga dimensi yang harus seimbang
dalam pembangunan berkelanjutan.
Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) secara
garis besar memiliki empat dimensi, yaitu: ekologis, sosial ekonomi budaya,
sosial politik serta hukum–kelembagaan (Dahuri 2001).
1) Dimensi ekologis. Terdapat 3 (tiga) persyaratan yang dapat menjamin
tercapainya pembangunan berkelanjutan, yaitu: (i) keharmonisan spasial;
(ii) Kapasitas asimilasi; (iii) Pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan
spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan hendaknya
tidak seluruhnya diperuntukkan bagi zona pemanfaatan, tetapi harus
dialokasikan juga untuk zona preservasi dan konservasi. Dimensi ekologis
14
suplay) sistem alam wilayah pesisir dalam menopang segenap kegiatan
pembangunan dan kehidupan manusia (Dahuri et al., 1996).
2) Dimensi sosial ekonomi. Secara sosial ekonomi, pembangunan berkelanjutan
mensyaratkan bahwa manfaat (keuntungan) yang diperoleh dari kegiatan
penggunaan suatu wilayah pesisir serta sumberdaya alamnya harus
diprioritaskan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk sekitar kegiatan
tersebut, terutama mereka yang termasuk ekonomi lemah, guna menjamin
kelangsungan pertumbuhan ekonomi wilayah itu sendiri.
3) Dimensi sosial politik. Dalam konteks ini, pembangunan berkelanjutan hanya
akan dapat dilaksanakan dalam sistem dan suasana politik yang demokratis
dan transparan. Tanpa kondisi politik yang demokratis dan transparan ini,
maka niscaya laju kerusakan lingkungan akan melangkah lebih cepat
ketimbang upaya pencegahan dan penanggulangannya.
4) Dimensi hukum dan kelembagaan . Pelaksanaan pembangunan berkelanjutan
mensyaratkan pengendalian diri dari setiap masyarakat untuk tidak merusak
lingkungan. Persyaratan yang bersifat personal dapat dipenuhi melalui
penerapan sistem peraturan dan perundang–undangan yang berwibawa dan
konsisten serta dibarengi dengan penanaman etika pembangunan
berkelanjutan
Munasinghe (2002) menyatakan konsep pembangunan berkelanjutan harus
berdasarkan pada empat faktor yaitu (1) terpadunya konsep ”equity ’ lingkungan
dan ekonomi dalam pengambilan keputusan; (2) dipertimbangkan secara khusus
dimensi ekonomi; (3) dipertimbangkan secara khusus dimensi lingkungan; dan (4)
dipertimbangkan secara khusus dimensi sosial budaya.
Selanjutnya Reid (1995) dalam Key dan Alder (2005) mengemukakan
persyaratan agar pembangunan berkelanjutan dapat terwujud, yaitu:
1) integrasi antara konservasi dan pengembangan;
2) pemenuhan kebutuhan dasar manusia;
3) peluang untuk memenuhi kebutuhan manusia yang bersifat non-materi;
4) berkembang ke arah keadilan sosial dan kesejahteraan;
15
6) memberikan peluang penentuan identitas diri secara sosial dan menumbuhkan
sikap percaya diri; dan
7) memelihara integritas ekologi.
Pitcher dan Preikshot (2001) membagi komponen pembangunan
berkelanjutan dalam lima dimensi, yaitu ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan
etika. Sedangkan Charles (2001) mengemukakan konsep pembangunan
berkelanjutan mengandung dimensi :1) Keberlanjutan ekologi, yaitu: memelihara
keberlanjutan stok/biomass sehingga melewati daya dukungnya, serta
meningkatkan kapasitas dan kualitas ekosistem sebagai perhatian utama, 2)
Keberlanjutan sosio-ekonomi, yaitu: memperhatikan keberlanjutan kesejahteraan
pelaku perikanan pada tingkat individu. Mempertahankan atau mencapai tingkat
kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi merupakan perhatian keberlanjutan. 3)
Keberlanjutan komunitas, yaitu: keberlanjutan kesejahteraan dari sisi komunitas
atau masyarakat haruslah menjadi perhatian pembangunan perikanan yang
berkelanjutan, dan 4) Keberlanjutan kelembagaan, yakni: menyangkut
pemeliharaan dimensi finansial dan administrasi yang sehat, seperti digambarkan
pada Gambar 2.
KEBERLANJUTAN EKOLOGI
KEBERLANJUTAN KEBERLANJUTAN SOSIAL EKONOMI KOMUNITAS
Gambar 2 Bentuk segitiga pembangunan berkelanjutan (Charles, 2001)
Pendekatan dalam pembangunan berkelanjutan terus berkembang seiring
kemajuan jaman, sehingga perlu adanya perubahan-perubahan yang disesuaikan
dengan tempat. Secara ideal pembangunan berkelanjutan tujuannya sangat tidak KEBERLANJUTAN
16
tersentuh. Karena itu, berdasarkan konsep-konsep pembangunan berkelanjutan,
pemanfaatan sumber daya pesisir dan lautan harus memperhatikan dimensi
ekonomi, sosial, lingkungan, dan hukum. Hal ini berguna untuk menjamin
keberlanjutan sumber daya pesisir dan lautan yang efisien dan efektif
(Munasinghe 2002).
Bengen dan Rizal (2002) mengusulkan 6 hal yang perlu dikerjakan dalam
pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan secara berkelanjutan di Indonesia,
yaitu:
1) rehabilitasi kawasan pesisir dan lautan yang telah mengalami kerusakan;
2) internalisasi biaya eksternalitas ke dalam setiap kegiatan pembangunan;
3) penetapan retribusi atas setiap pemanfaatan sumberdaya kelautan;
4) laut dikelola secara co-management;
5) reorientasi laut sebagai milik negara ke milik rakyat;
6) laut harus dianggap sebagai bagian dari ekosistem global.
Kesimpulan umum yang dapat diambil dari diskusi-diskusi yang sedang
berlangsung saat ini bahwa penggunaan berkelanjutan terhadap barang dan
jasa-jasa lingkungan tidak dapat dipisahkan dari keberlanjutan dimensi sosial dan
ekonomi (Haq 1997).
Berbagai pendapat tentang dimensi keberlanjutan yang dijelaskan di atas
disarikan menjadi lima dimensi sesuai dengan kebutuhan untuk budidaya rumput
laut, yaitu ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan. Dimensi ekologi
merupakan dimensi kunci karena arahan pembangunan berkelanjutan
mensyaratkan kesinambungan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa lingkungan
bagi generasi mendatang. Atribut-atribut dipilih dari setiap dimensi yang
mewakili dimensi tersebut secara kuat, tidak tumpang-tindih dengan atribut yang
lain dan mudah mendapatkan datanya, yang selanjutnya digunakan sebagai
indikator tingkat keberlanjutan.
Secara umum, kelima dimensi tersebut (diadaptasi dari Susilo 2003)
diuraikan sebagai berikut:
Atribut ekologis mencerminkan bagaimana pemanfaatan sumberdaya alam
dan lingkungan berdampak secara ekologis terhadap keberlanjutan sumberdaya
17
misalnya untuk usaha budidaya rumput laut, dapat berkelanjutan pula. Sebab
praktek pemanfaatan sumberdaya yang melebihi daya dukungnya akan mengarah
kepada ketidakberlanjutan aktifitas tersebut. Tingkat ekploitasi atau tekanan
ekploitasi akan membatasi peluang pengembangan pemanfaatan sumberdaya
tersebut. Tingkat pemanfaatan yang melebihi daya dukung lingkungannya akan
membahayakan keberlanjutan sumberdaya tersebut yang ditandai dengan
menurunnya produktivitas rumput laut dan timbulnya penyakit ice-ice. Karena itu
penurunan produktifitas rumput laut dan penyakit ice-ice yang muncul dalam
kondisi lingkungan yang jelek dapat dijadikan indikator ekologis negatif tentang
keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya tersebut.
Atribut ekonomis mencerminkan bagaimana pemanfaatan sumberdaya
alam dan lingkungan pesisir berdampak secara ekonomi terhadap keberlanjutan
usaha rumput laut yang pada akhirnya juga berdampak pada keberlanjutan secara
ekologis. Suatu kegiatan yang menimbulkan kerugian secara ekonomis, misalnya
karena rendahnya produktifitas ataupun karena penyakit ice-ice, pasti tidak akan
berlanjut. Hal ini, berpotensi untuk merusak lingkungan sehingga juga berpotensi
mengancam keberlanjutan ekologis. Penurunan produktifitas dapat menjadi
indikator dimensi ekonomi, juga penyerapan tenaga kerja dan kontribusi terhadap
pendapatan asli daerah (PAD).
Atribut sosial mencerminkan bagaimana kegiatan budidaya rumput laut
berdampak terhadap keberlanjutan sosial budaya komunitas setempat yang pada
akhirnya juga akan berdampak terhadap keberlanjutan ekologis. Pemahaman
masyarakat yang tinggi terhadap lingkungan, tingkat pendidikan yang tinggi,
tingkat kesehatan yang baik, bekerja dalam kelompok akan mendorong ke arah
keadilan sosial dan kemudahan pengelolaan pemanfaatan yang mengarah ke
keberlanjutan dimensi sosial. Tingkat pendidikan dan kesehatan yang baik serta
tingkat pendapatan yang memadai pada akhirnya juga akan berpengaruh positif
terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya lingkungan (ekologis).
Sebaliknya, frekuensi konflik yang tinggi baik dalam sektor yang sama maupun
dengan sektor lain akan mengancam keberlanjutan sosial.
Atribut kelembagaan mencerminkan seberapa jauh tersedia perangkat