• Tidak ada hasil yang ditemukan

PESISIR KECAMATAN AMPIBABO, KAB PARIG

D. Metode jalur

2.4. Lokasi Budidaya Laut dan Kualitas Perairan 1 Lokasi Budidaya

Perairan laut yang digunakan untuk kegiatan budidaya umumnya merupakan perairan yang relatif terlindungi seperti teluk, selat, dan shallaow sea (laut dangkal). Keterlindungan lokasi budidaya terutama dari gempuran ombak besar, badai, dan angin kencang. Lebih lanjut dalam Efendi (2004) terdapat tiga jenis lokasi di perairan laut yang memiliki sifat keterlindungan adalah sebagai berikut :

1. Teluk

Teluk merupakan perairan laut yang menjorok masuk ke dalam daratan. Oleh karena itu, perairan teluk relatif terlindungi dari ombak besar, badai, dan angin. Sirkulasi air yang masuk banyak dipengaruhi oleh arus akibat pasang surut air laut. Arus laut relatif lambat pada perairan dengan kisaran pasut yang kecil (0,01 – 0,10 m/detik) sehingga sirkulasi air di perairan akan relatif keci.

2. Selat

Merupakan perairan laut di antara dua pulau atau beberapa pulau. Keberadaan pulau yang berada mengapit dan mengelilingi perairan laut tersebut menyebabkan selat realif terlindungi dari angin dan ombak badai. Keberadaan pulau di yang mengapit perairan laut tersebut dapat memecah dan membelokkan air dan arah massa air laut sehingga tidak merusak. Lebih lanjut, selat yang relatif sempit dan memiliki kisaran pasit yang sangat lebar (3 – 5 m) ada kalanya perairan memiliki arus laut yang sangat kuat hingga mencapai >0.5 m/detik. 3. Shallow water

Shallow water atau perairan laut dangkal umumnya di temukan di dekat pantai. Perairan ini memiliki lebar beberapa meter hingga bebeberapa kilometer dari pantai. Di dalam kawasan perairan laut dangkal terdapat beberapa bagian seperti reef flat dan mud flat (0 – 5 m) dan yang dikenal dengan laguna atau goba (7 – 15 m), serta karang pelindung atau barrier reef yang melindungi dari gempuran ombak laut terbuka. Ombak dan arus laut yang besifat turbulen (mangaduk) ketika mencapai dan menghantam karang pelindung berubah menjadi ombak dan arus laut yang bersifat lamininer (mengendapkan) sehingga baik untuk lokasi budidaya laut.

2.4.2. Kualitas Perairan

Kualitas air merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam kegiatan budidaya perikanan. Kondisi perairan laut dapat dijadikan sebagai salah satu indikator kelayakan suatu perairan untuk kegiatan budidaya laut. Salah satu acuan yang digunakan untuk analisis data parameter kualitas perairan yaitu Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia No.15 Tahun 2004, tentang Baku Mutu Air Laut, terutama baku mutu untuk Biota Laut. Adapaun kriteria kualitas air sesuai dengan KEPMEN LH No. 15 tahun 2004 dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Baku Mutu Kualitas Air Laut terutama untuk biota laut menurut KEPMEN LH No. 5 Tahun 2004

No Parameter Satuan Baku Mutu No. Parameter Satuan Baku mutu

FISIKA 6 Fosfat (PO4-P) mg/l 0.015

1 Kecerahan m karang : > 5 7 Nitrat (NO3-N) mg/l 0.0008

mangrove : - 8 Sianida (CN-) mg/l 0.5

lamun : > 3 9 Sulfida (H2S) mg/l 0.01

2 Kebauan - alami 10

Senyawa fenol

total mg/l 0.003

3 Kekeruhan NTU < 5 11 PCB total µg/l 0.01

4 Padatan tersuspensi mg/l karang : 20 12

Surfaktan (Deterjen)

mg/l

MBAS 1

Total mangrove : 80 13 Minyak & lemak mg/l 1

lamun : 20 14 Pestisida µg/l 0.01

5 Sampah - nihil 15 TBT (Tribulintin) µg/l 0.01

6 Suhu oC coral : 28 -30

mangrove :

28-32 LOGAM BERAT mg/l

lamun : 28-30 1 Raksa (Hg) mg/l 0.001

7 Lapisan Minyak - nihil 2 Arsen (As) mg/l 0.005

3 Kadmium (Cd) mg/l 0.012

KIMIA 4 Tembaga (Cu) mg/l 0.001

1 pH - 7 - 8.5 5 Tombal (Pb) mg/l 0.008

2 Salinitas o/oo alami 6 Seng (Zn) mg/l 0.005

coral : 33-34 7 Nikel (Ni) mg/l 0.005

mangrove : s/d

34

lamun : 33-34 BIOLOGI

3 Oksigen Terlarut mg/l > 5 1 Coliform (total)

MPN/100 ml 1000 4 BOD5 mg/l 20 2 Patogen Sel/100 ml nihil 5 Amonia Total (NH3-N) mg/l 0.3 3 Plankton Sel/100 ml tidak bloom

2.5. Sistem Informasi Geografis (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan salah satu media yang baik untuk menyampaikan hasil analisis bagi para pengambil keputusan, pengelola, dan pemerintahan. O’Callaghan dan Garner (1991), mengatakan bahwa teknologi SIG banyak digunakan terutama untuk pengelolaan sumberdaya alam seperti perencanaan industri pertanian, konservasi sumberdaya alam, eksploitasi sumberdaya mineral, pengelolaan taman nasional dan pengelolaan wilayah pesisir.

Secara umum keuntungan penggunaan SIG pada perencanaan dan pengelolaan sumber daya alam adalah:

• Mampu mengintegrasikan data dari berbagai format data (grafik, teks, digital dan analog) dari berbagai sumber dan memiliki kemampuan yang baik dalam pertukaran data diantara berbagai macam disiplin ilmu dan lembaga terkait

• Mampu memproses dan menganalisis data lebih efisien dan efektif daripada pekerjaan manual dan memiliki kemampuan pembaharuan data yang efisien.

• Mampu melakukan permodelan, pengujian dan pembandingan beberapa alternatif kegiatan.

SIG pada dasarnya adalah suatu sistem informasi (perangkat lunak) yang bereferensi dan berbasis komputer yang mampu menampung, menyimpan, mengolah, dan mensimulasi data spasial, sehingga menghasilkan output sesuai tujuan. Dalam Prahasta (2001), di jelaskan bahwa dalam SIG menggabungkan dari tiga unsur pokok yaitu sistem, informasi, dan geografis. Dari pengertian ketiga unsur pokok ini, dapat dipahami bahwa SIG merupakan salah satu sistem informasi yang menekankan pada informasi geografis, yang merupakan bagian dari keruangan (spatial). Penggunaan kata “geografis” mengandung pengertian suatu persoalan mengenai bumi secara tiga dimensi. Termaksud didalamnya tempat-tempat yang terletak di permukaan bumi, pengetahuan mengenai posisi dimana suatu obyek terletak, dan informasi mengenai keterangan-keterangan (atribut) yang terdapat dipermukaan bumi yang posisinya diketahui

SIG bermanfaat untuk melakukan perencanaan agar karakteristik dan potensi suatu wilayah dapat digambarkan dengan baik, karena mampu mengintegrasikan beberapa data/peta dan mempunyai kemampuan sebagai pangkalan data yang selalu dapat diperbaharui dan ditambah isinya sedemikian

rupa, sehingga data tersebut dapat dipilih dan dipergunakan bagi berbagai kepentingan dalam suatu perencanaan dan pengambilan keputusan. Dalam SIG data disimpan dalam dua bentuk, yaitu : data spasial dan data atribut. Untuk keperluan analisis data spasial, data atribut disimpan secara terpisah ini, kemudian diintegrasikan (Macgure dan Goodchild 1991). Dengan menggunakan data yang diperoleh dari fasilitas citra satelit, dan foto udara yang dapat dihubungkan secara langsung, maka data diperoleh dari periode tertentu pada area yang sama, dipakai untuk mengetahui perubahan yang terjadi di rona muka bumi.

2.6. Analisis Biaya Manfaat

Budidaya laut merupakan sistem produksi yang mencakup input produksi (prasarana dan sarana produksi), proses produksi (sejak persiapan hingga pemanenan) dan output produksi (penananganan pascapanen dan pemasaran). Orientasi budidaya laut adalah medapatkan keuntungan, sehingga merupakan kegiatan bisnis (aquacultural business atau akuabisnis, sebagai padanan agribisnis dalam bidang pertanian). Sistem akuabisnis terdiri dari beberapa subsistem (sebagaimana berlaku di agribisnis), yakni 1) subsitem pengadaan sarana dan prasarana produksi, 2) subsistem proses produksi, 3) subsistem penanganan pascapanen dan pemasaran dan 4) subsistem pendukung.

Analisis biaya manfaat (Benefit-Cost Analysis, BCA) dikembangkan untuk memberi sebuah cara sistematik untuk membandingkan keuntungan dan kerugian ekonomi dari berbagai alternatif kegiatan. Dalam bentuk yang paling sederhana, analisis biaya manfaat meliputi identifikasi semua manfaat dan biaya selama jangka waktu kegiatan/proyek, menjabarkan nilai-nilai manfaat dan biaya pada periode-periode tertentu dalam satu rentang waktu, serta menghitung perbandingan antara manfaat dan biaya (Mitchell 1997). Menurut Field (1994), terdapat empat langkah dasar dalam melakukan BCA yakni:

1. Spesifikasikan secara jelas proyek atau kegiatan yang akan dilakukan;

2. Berikan gambaran secara kuantitatif input dan output kegiatan; 3. Estimasi biaya dan manfaat sosial dari input dan output tersebut; 4. Bandingkan manfaat dan biaya tersebut.

Alternatif-alternatif kegiatan dari hasil langkah-langkah di atas, kemudian disusun berdasarkan rasio manfaat-biaya (Benefit-Cost Ratio). Pada umumnya para pengambil kebijakan hanya tertarik pada alternatif yang mempunyai rasio yang lebih dari satu. Dengan kata lain, agar secara ekonomi layak, sebuah alternatif kegiatan diharapkan memberikan lebih banyak manfaat daripada biaya yang harus dikeluarkan. Dari semua alternatif yang rasionya lebih besar dari satu (B/C > 1), biasanya alternatif dengan rasio tertinggi cenderung dipilih.

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian meliputi wilayah pesisir kecamatan Ampibabo, Kabupaten Parigi Moutong yang secara administrasi terdiri dari 11 Desa pesisir (Gambar 2). Adapun batas laut disesuaikan dengan kondisi lingkungan perairan serta aksebilitas yang terkait dengan kegiatan budidaya laut. Pengambilan data lapang dilakukan pagi hingga siang hari pada musim peralihan yakni pada bulan Mei 2006. Lebih lanjut, kegiatan pengumpulan data sekunder, pengolahan, analisa dan interpretasi data dilakukan pada bulan Juni 2006 sampai November 2006.

3.2. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengetahui kondisi lokasi penelitian maka dilakukan pengumpulan data yang terdiri dari data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer mengenai potensi sumberdaya lingkungan melalui pendugaan kualitas fisik, kimia, dan biologi perairan. Data mengenai kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat dikumpulkan melalui studi dokumen, kuisioner, dan wawancara mendalam. Sedangkan untuk data sekunder dikumpulkan dari berbagai sumber yang memberikan informasi yang relevan terhadap penelitian seperti BAKOSURTANAL, BPS, BAPPEDA Kabupaten Parigi Moutong, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Parigi Moutong, Kecamatan, dan Desa.

3.2.1. Potensi Sumberdaya Lingkungan di Wilayah Pesisir Kecamatan Ampibabo

Kualitas Perairan

Data yang diambil untuk mengetahui potensi sumberdaya lingkungan meliputi pengukuran kondisi fisik, kimia dan biologi perairan. Dalam hal ini, pengamatan kondisi fisik, kimia dan biologi perairan dilakukan pada beberapa lokasi pengamatan. Pengukuran kualitas air dilakukan dengan pengambilan contoh air laut pada beberapa stasiun. Penentuan titik pengamatan menggunakan teknik Sistem random sampling, dengan jarak antara stasiun pengamatan menyesuaikan lokasi (Clark dan Hosking 1986; Morain 1999). Setip lokasi

pengamatan di pilih berdasarkan keterwakilannya dari segi ekosistem maupun pemanfaatan lingkungan perairan tersebut. Alat yang digunakan sebagai penanda di lapangan adalah Global Positioning System (Tabel 2 dan Gambar 2).

Tabel 2. Stasiun pengamatan di perairan pesisir Kecamatan Ampibabo Stasiun Pengamatan Koordinat (UTM) Keterangan St1 0173929 9949250

Perairan pesisir dekat kawasan pemukiman penduduk di Desa Ampibabo

St2 0174093

9950442

Perairan pesisir di tempat bekas budidaya rumput laut di Desa Lemo

St3 0173165

9953503

Muara sungai buranga di Desa Buranga

St4 0173216

9947708

Perairan pesisir dekat pelabuhan perikanan di Desa Paranggi

St5 0171616 9944614

Perairan pesisir dekat kawasan pemukiman penduduk di Desa Lemo

St6 0171490 9941585

Muara sungai Towera di Desa Towera St7 0171582

9940751

Perairan pesisir di tempat bekas budidaya rumput laut di Desa Towera

St8 0172951 9930171

Perairan pesisir di lokasi budidaya ikan kerapu sistem KJA, Desa Marantale

St9 0170026 9960730

Perairan pesisir Desa Tomoli

Pengambilan contoh air pada pengukuran parameter fisika, kimia dan biologi di perairan diambil menggunakan alat vandorn water sampler yang dilakukan mulai pukul 10.00 sampai 15.00 WITA. Kedalaman perairan yang diambil sebagai sampel yaitu pada lapisan permukaan (0.2 D), lapisan tengah (0.6 D) dan lapisan dasar (0.8 D). Dimana D adalah kedalaman perairan. Lebih lanjut, sampel air dianalisis di Laboratorium Limnologi, Manajemen Sumberdaya Perikanan, FPIK, IPB. Adapun beberapa parameter fisik, kimia dan biologi lingkungan perairan yang diamati disajikan pada Tabel 3.

Temperatur air pada beberapa contoh air diukur dengan menggunakan thermometer digital dengan satuan oC. Pengukuran di lakukan pada permukaan, tengah dan dasar perairan.

Tabel 3. Parameter fisika, kimia dan biologi perairan yang diamati

No Parameter Parameter Lingkungan Alat yang digunakan Keterangan II Fisik Suhu (oC) Kecerahan (%) Kekeruhan (NTU) Muatan Padatan Tersuspensi (MPT) Kedalaman Pasang Surut Arus Laut (m/dtk) Gelombang Substrat Dasar Thermometer Secchi disk Tubiditymeter Software ER Mapper Tali Penduga Peta Batimetri - - - Pengukuran insitu Pengukuran insitu Laboratorium Landsat-TM Pengukuran insitu Data sekunder Data sekunder Data sekunder Data sekunder Pengambilan insitu dan data sekunder

III Kimia PH Salinitas (o/oo) DO (mg/l) BOD5 Fosfat (mg/l) Nitrit (mg/l) Nitrat (mg/l) Amonia (mg/l) pH meter Refraktometer DO meter Alat titrasi Spektrofotometer Spektrofotometer Spektrofotometer Spektrofotometer Pengukuran Insitu Pengukuran Insitu Pengukuran Insitu Insitu&Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium

I Biologi Plankton Mikroskop Laboratorium

b. Kecerahan

Kecerahan perairan pada beberapa lokasi pengamatan diukur dengan menggunakan secchi disk dalam satuan persen (%).

c. Kekeruhan

Kekeruhan (turbidity) merupakan gambaran sifat optik air dari suatu perairan yang ditentukan berdasarkan banyaknya sinar (cahaya) yang dipancarkan dan diserap oleh partikel-partikel yang ada di dalam air. Terutama dipengaruhi bahan-bahan tersuspensi seperi lumpur, pasir, bahan organik dan anorganik, plankton, serta organisme mokroskopik lainnya. Secara langsung kekeruhan mempengaruhi proses pernafasan organisme perairan seperti menutupi insang ikan, selain itu juga dapat mengurangi penetrasi cahaya ke dalam air. Pada penelitian ini kekeruhan diukur dengan alat turbiditymeter. Satuan yang di gunakan adalah NTU (Nephelometric Turbidity Unit).

d. Muatan Padatan Tersuspensi (MPT)

Untuk menduga konsentrasi muatan padatan tersuspensi di gunakana aplikasi penginderaan jauh dengan Landsat-TM. Oleh Hasyim dan Bidawi (1997), bahwa keberadaan materi-materi organik dan anorganik yang tersuspensi mempengaruhi nilai pantulan (reflektansi) dari suatu badan air. Informasi tentang nilai pantulan pada cahaya tampak dari badan air dapat digunakan untuk memberi gambaran kondisi dan kualitas perairan. Kekeruhan yang disebabkan oleh muatan padatan tersuspensi (MPT) adalah salah satu faktor yang mempengaruhi sifat spektral suatu badan air. Air yang keruh mempunyai nilai reflektansi yang lebih tinggi daripada air jernih. Puncak reflektansi pada air keruh memiliki kisaran nilai panjang gelombang yang lebih besar daripada air jernih.

Algoritma yang digunakan adalah algoritma hasil penelitian Hasyim dan Bidawi (1997) :

MPT (mg/l)= (100.6678)+(5.5085*TM3)+0.4563*(TM32)+0.9775*(TM2*TM3)

Keterangan : MPT = Muatan Padatan Tersuspensi (mg/l) TM2 = Band 2 Satelit LANDSAT ETM TM3 = Band 3 Satelit LANDSAT ETM

e. Substrat Dasar

Substrat dasar laut dapat menjadi indikator kualitas air diatasnya. Substrat dasar laut biasanya dibedakan atas karang, pasir, lumpur dan terdapat kombinasi antara ketiganya. Substrat dasar karang dan pasir atau karang berpasir atau pasir karang mengindikasikan perairan tersebut cocok untuk budidya rumput laut dan kerapu.

b. Parameter kimia perairan a. pH

Pada setiap stasiun pengamatan diukur pH perairan diukur dengan menggunakan pH meter.

b. Salinitas

Informasi mengenai salinitas sangat diperlukan untuk kegiatan budidaya laut, karena perubahan salinitas yang drastis akan berakibat fatal terhadap organisme yang dipelihara. Di samping itu, informasi tentang salinitas diperlukan pula untuk pengelolaan perairan, terutama yang berkaitan dengan distribusi dan luas sebaran dampak yang mungkin terjadi. Pengukuran salinitas perairan dilakukan dengan mengambil sampel air pada setiap stasiun pengamatan, untuk kemudian diukur dengan menggunakan alat refraktometer.

b. Oksigen Terlarut (DO)

Oksigen terlarut adalah jumlah mg/l gas oksigen yang terlarut dalam air. Oksigen terlarut dalam air dapat berasal dari hasil fotosintesa oleh fitoplankton atau tanaman air lainnya, dan difusi dari udara. Pada penelitian ini untuk mengetahui kadar oksigen dalam air dilakukan dengan menggunakan alat ukur yang disebut DO-meter.

c. BOD5

Kebutuhan Oksigen Biologis atau yang lebih dikenal BOD5 (biochemical oxygen demand) didefinisikan sebagai banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk menguraikan bahan organik selama 5 hari penyimpanan.

BOD yang dimaksudkan dalam hal ini adalah banyaknya oksigen terlarut yang dibutuhkan mikroorganisme untuk menguraikan bahan organik yang mudah terurai, sebagai contoh bahan organik limbah domestik.

d. Fosfat

Contoh sebanyak 25 ml disaring dengan kertas saring Whatman no 42 kemudian ditambahkan dengan larutan 2,5 ml antara molybdate dan potassium antimonyltartrate. Larutan tersebut di baca dengan spectrofotometer dengan panjang gelombang 543 nm.

e. Nitrit (NO2-)

Contoh yang telah disaring dengan kertas saring whatman no. 42 diambil sebanyak 25 ml. Contoh tersebut ditambahkan dengan larutan sulfamida 0.3 ml dan larutan NED 0.3 ml, kemudian diamkan selama 10 menit. Larutan tersebut dibaca dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 543 nm.

f. Amoniak (NH3)

Senyawa amoniak yang terdapat dalam air laut merupakan hasil reduksi senyawa nitrat (NO3-) atau senyawa nitrit (NO2) oleh mikroorganisme Peningkatan kadar amoniak di laut berkaitan erat dengan masuknya air laut yang mudah di urai. Penguraian bahan organik yang mengandung unsur nitrogen akan menghasilkan senyawa nitrat, nitrit dan seterusnya menjadi amoniak. Metode yang paling umum dipake untuk mengukur kadar amoniak dalam air laut adalah metode spektrofotometer.

Contoh air yang di peroleh dari setiap stasiun pengamatan tidak dapat dianalisis secepatnya, oleh karena itu contoh air di usahakan pada keadaan dinginkan pada suhu 4oC. Setelah tiba di laboratorium dibekukan pada suhu -20oc atau diberi larutan fenol atau H2SO4.

b. Parameter biologi perairan Fitoplankton

Pengambilan sampel untuk mengoleksi plankton di lakukan dengan menggunakan alat berbentuk jaring atau disebut juga dengan jaring plankton. Adapun jaring yang digunakan berukuran 30 – 50 µm. Selanjutnya identifikasi jenis dilakukan dengan bantuan mikroskop dan buku identifikasi plankton seperti Sachlan (1972), Davis (1955), dan Yamaji (1979). Penghitungan plankton menggunakan Sedgewig Rafter Counting Cell di bawah mikroskop (APHA, 1989).

Analisis data fitoplankton dilakukan dengan menghitung kelimpahan, keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi, yang adalah sebagai berikut : 1. Kelimpahan fitopalankton

Kelimpahan plankton adalah jumlah sel plankton jenis ke-i pada volume air tertentu. Rumus yang digunakan adalah :

N = n x E 1 x D C x B A Keterangan:

N = Kelimpahan plankton (sel/liter)

n = Rataan jumlah total sel per lapangan pandang

A = luas permukaan Sedgewig-Rafter Counting Cell (mm2) B = luas satu lapangan pandang (mm2)

C = volume air sampel hasil saringan (ml) D = volume air sampel yang disaring (l)

E = volume air di Sedgewig -Rafter Counting Cell (ml) 2. Indeks keanekaragaman fitoplankton

Indeks ini merupakan perhitungan berdasarkan informasi mengenai keteracakan dalam sebuah sistem. Indeks yang digunakan adalah indeks keanekaragaman Shannon-Wiener dengan rumus :

= ⎥⎦ ⎤ ⎢⎣ ⎡ = s i i i N n N n H 1 log '

Keterangan :

H’ = Indeks Keanekaragaman S = Jumlah jenis yang ditemukan ni = jumlah individu jenis ke-i N = jumlah total individu

Nilai indeks keanekaragaman ini kemudian dikelompokkan menjadi : H < 1 : keanekaragaman rendah, komunitas tidak stabil 1 < H < 3 : keanekaragaman sedang

H > 3 : keanekaragaman tinggi, komunitas stabil

3. Indeks keseragaman

Keseragaman yang diwujudkan dalam indeks regularitas (equitability index) adalah suatu penggambaran mengenai sebaran individu setiap spesies dalam komunitas. Indeks Keseragaman (E) plankton dihitung berdasarkan persamaan berikut: atau Maks H H E ' ' = Logs H E= ' Keterangan : E = Keseragaman H’ = indeks keanekaragaman s = jumlah genera (plankton)

Dari perbandingan ini didapat suatu nilai yang besarnya antara 0 dan 1, artinya : Semakin kecil nilai E akan semakin kecil pula keseragaman suatu populasi, artinya penyebaran jumlah individu setiap spesies mendominasi populasi tersebut.

• Semakin besar nilai E, maka populasi menunjukkan keseragaman, bahwa jumlah individu setiap spesies dapat dikatakan sama atau tidak jauh berbeda (Odum, 1971)

4. Indeks Dominansi

Untuk menghitung dominansi jenis digunakan indeks Simpson yang dihitung dengan menggunakan persamaan berikut :

s D = [Pi]2 i=1 Keterangan : D = Indeks Dominansi Pi = ni/N

ni = jumlah individu spesies ke-i

N = jumlah total individu semua spesies i = 1,2,3,…,

S = jumlah genera

Nilai D berkisar antara 0 sampai 1, artinya :

Jika nilai D mendekati 0, berarti hampir tidak ada individu yang mendominasi Jika nilai D mendekati 1, berati ada salah satu genera yang mendominasi (Odum, 1971).

3.2.2. Pendekatan Sosial Ekonomi dan BudayaMasyarakat

Penelitian ini memerlukan kajian yang mencakup aspek sosial budaya dan ekonomi masyarakat. Hal ini memiliki tujuan agar pengelolaan kawasan budidaya rumput laut dan ikan kerapu yang dilakukan di Kecamatan Ampibabo, Kabupaten Parigi moutong tidak semata mata mengejar tingkat produktivitas, namun juga didasarkan pada pertimbangan kepentingan yang lebih luas yaitu terjaganya keselarasan kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakat. Data-data dan informasi yang diperlukan adalah sebagai berikut:

A. Data sosial dan budaya

(1)Data kependudukan

(2)Pola pemanfaatan sumberdaya

(3)Identifikasi adanya konflik pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir (4)Kelembagaan sosial yang ada

B. Data ekonomi

(1)Investasi Bisnis perikanan yang ada di Kabupaten Parigi Moutong (2)Produksi hasil perikanan

(3)Sistem dan rantai pemasaran produk perikanan

(4)Kelembagaan ekonomi yang mendukung pengembangan perikanan

Data-data tersebut berasal dari data primer yang diperoleh melalui investigasi langsung yaitu wawancara dengan masyarakat, maupun data sekunder yang berasal dari BPS, Bappeda, Dinas perikanan dan kelautan, Dinas Koperasi, LSM setempat dan dari berbagai sumber yang terkait.

3.3. Analisis Data

3.3.1. Analisis secara spasial dengan SIG

Bertujuan untuk menentukan kesesuaian lokasi budidaya rumput laut sistem tali panjang dan ikan kerapu dengan sistem keramba jaring apung (KJA) Menurut Ismail, dkk (2002), bahwa usaha kegiatan budidaya laut tidak dapat dilakukan disemua daerah pesisir karena membutuhkan beberapa persyaratan seperti persyaratan teknis, biologis, non teknis (sosial budaya dan ekonomi). Data yang berhubungan dengan persyaratan tersebut harus dapat dikelola dengan baik, sehingga dapat memberikan hasil analisis yang maksimal. Sejak banyaknya data dan informasi ini dalam bentuk spasial, Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan salah satu aplikasi yang sangat relevan dalam melakukan analisis ini. Data-data yang diperoleh untuk kemudian dikelompokkan berdasarkan tahapan analisis yaitu analisis spasial dengan SIG menggunakan perangkat Arcview 3.3.

A. Penyusunan basis data spasial

Proses analisis awal dari pembuatan peta dasar digital di Kecamatan Ampibabo, dimulai dari scan atau proyeksi peta rupa bumi ke dalam peta dasar. Peta dasar yang diperoleh bersumber dari hasil digitasi citra satelit. Adapun Informasi yang diambil dari peta rupa bumi dan peta batimetri meliputi garis pantai, sungai, garis batas wilayah, sungai, jaringan transportasi (jalan), mangrove, penggunaan lahan, sebaran penduduk (pemukiman), letak dan nama

lokasi, garis kontur, ketinggian daratan, dan kedalaman laut. Kemudian dilakukan registrasi memindahkan titik koordinat peta rupa bumi ke dalam peta dasar.

Untuk mendapatkan kondisi tata guna lahan terkini dilakukan pemindahan peta citra ke dalam peta dasar dengan program er-mapper. Setelah itu, dilakukan digitasi dan topologi yaitu mendigitasi dan mengidentifikasi peta dasar dengan informasi yang telah diambil dari peta rupa bumi dan citra. Selanjutnya diperoleh hasil peta dasar digital kawasan pesisir kecamatan Ampibabo yang menjadi objek proses analisis spasial selanjutnya.

Data kualitas perairan yang dikumpulkan berasal dari titik-titik pengamatan yang penyebarannya mewakili lokasi penelitian. Untuk menganalisis secara spasial, terlebih dahulu dilakukan interpolasi, yang merupakan suatu metode pengolahan data titik menjadi area (polygon). Cara interpolasi titik menjadi area menggunakan metode Nearest Neighbor (Burrough & McDonnell, 1998; Morain, 1999). Dari hasil interpolasi masing-masing parameter kualitas

Dokumen terkait