• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

2. Teknologi Fermentasi Anaerob

Proses daur hidup di alam oleh semua makhluk hidup berlangsung melalui berbagai tahapan panjang yang dapat dibedakan menjadi dua arah yaitu, pembentukan (biosintesa) dan pemecahan (biolisa). Kedua proses tersebut dikenal dengan istilah biokonversi.

Pada hakekatnya, energi yang terkandung dalam bahan organik merupakan energi matahari yang diikat oleh tanaman melalui proses fotosintesis. Pemanfaatan kembali energi tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung adalah pengambilan kembali energi matahari yang terikat biomassa. (Judoamidjojo et a l., 1989).

Limbah rumah makan memiliki kandungan organik cukup tinggi. Sangat dimungkinkan jika di dalam limbah tersebut masih terkandung energi yang masih diikat oleh biomassa selama proses daur hidupnya. Dengan teknologi perombakan (biokonversi) anaerob, energi yang masih terkandung dalam biomassa limbah makanan dapat dimanfaatkan.

Proses fermentasi anaerobik merupakan proses pemecahan bahan organik oleh aktivitas metanogen dan bakteri asidogenik pada kondisi tanpa oks igen dengan memanfaatkan bahan organik tersebut sebagai sumber karbon atau energi. Produk akhir biokonversi anaerob adalah biogas, yaitu campuran metana dan karbon dioksida yang dapat dimanfaatkan sebagai energi terbarukan. Proses anaerobik dapat berlangsung di bawah kondisi lingkungan yang luas meskipun proses yang optimal hanya terjadi pada kondisi yang terbatas (Tabel 2) (de Mez et al., 2003 dan Haryati, 2006).

Tabel 2. Kondisi pengoperasian pada proses fermentasi anaerob Parameter Nilai Temperatur Mesofilik 35ºC Termofilik 54ºC pH 7 - 8 Alkalinitas 2500 mg/L minimum Waktu retensi 10 - 30 hari

Laju terjenuhkan 0,15 – 0,35 kg VS/m3/hari Hasil biogas 4,5 – 11 m3kg VS Kandungan metana 60-70 % Sumber : Engler et al., (2000)

Penerapan teknologi ini selain murah dan praktis untuk buangan dengan beban organik dan berat molekul tinggi, mampu mereduksi energi terkandung dalam limbah untuk pengolahan lingkungan dan mampu mendegradasi senyawa-senyawa senobiotik maupun rekalsitran (Bitton, 1999).

2.1 Prinsip-prinsip proses fermentasi anaerob

Senyawa kompleks organik tidak dapat digunakan secara langsung oleh bakteri di dalam proses metabolismenya karena membran sel bakteri hanya dapat dilewati oleh senyawa organik sederhana seperti glukosa, asam amino dan asam lemak volatil.

Tahap Hidrolisis Tahap Asidifikasi Tahap Pembentukan Metana bakteri

bakteri Bahan

organik,

karbohidrat, Gas

lemak dan Metana

protein bakteri CO2

Bakteri fermentasi Bakteri Asetogenik Metanogen

Gambar 3. Proses pembentukan biogas (Sufyandi, 2001) Asam asetat, H2 dan CO2 Asam Propionik Asam Butirik Alkohol Senyawa lainnya Asam Asetat

Proses fermentasi anaerob terdiri dari tiga tahap berikut, masing-masing dengan karakteristik kelompok mikroorganisme yang berbeda.

1). Tahap Hidrolisis : adalah proses penguraian senyawa kompleks organik menjadi senyawa sederhana agar dapat diserap membran sel mikroba, dilakukan oleh kelompok bakteri hidrolitik. Bahan organik didegradasi/dicerna secara eksternal oleh enzim ekstraselular mikroorganisme (selulase, amilase, protease dan lipase). Hidrolisis mencakup hidrolisis karbohidrat menjadi monomer-monomernya, protein menjadi asam-asam amino, dan lemak atau minyak menjadi asam-asam lemak rantai panjang ataupun alkohol. Hidrolisis akan mempengaruhi kinetika proses keseluruhan karena tahap yang berlangsung paling lambat dapat mempengaruhi laju keseluruhan (Adrianto et al., 2001).

2). Tahap Asidifikasi dan Asetogenesis (Pengasaman) : pada tahap asidifikasi, bakteri menghasilkan asam dengan mengubah seyawa rantai pendek hasil proses pada tahap hidrolisis menjadi asam asetat, hidrogen (H2) dan karbondioksida. Bakteri tersebut merupakan bakteri anaerob yang dapat tumbuh dan berkembang pada keadaan asam. Pembentukan asam pada kondisi anaerob penting untuk pembentukan gas metana oleh mikroorganisme pada proses selanjutnya. Bakteri tersebut juga mengubah senyawa yang bermolekul rendah menjadi alkohol, asam organik, asam amino, karbondioksida, H2S, dan sedikit gas metana (tahap asetogenesis).

3). Tahap akhir dalam proses fermentasi anaerob adalah pembentukan gas metana. Metanogen mendekomposisikan senyawa dengan berat molekul rendah menjadi senyawa dengan berat molekul tinggi. Sebagai contoh kelompok archaea ini

menggunakan hidrogen, CO2, dan asam asetat untuk membentuk metana dan CO2. Bakteri asam dan metan bekerjasama secara simbiosis. Bakteri asam membentuk keadaan atmosfir yang id eal untuk metanogen. Sedangkan metanogen menggunakan asam yang dihasilkan bakteri asam. Tanpa adanya proses simbiotik tersebut, akan menciptakan kondisi toksik bagi mikroorganisme penghasil asam (Werner et al.,1989 dan Khasristya, 2004).

Menurut Suyati (2006), 3 kelompok bakteri yang berperan dalam proses pembentukan biogas, antara lain :

1. Kelompok bakteri fermentatif : Streptococci, Bactero ides, dan beberapa jenis

Enterobacteriaceae

2. Kelompok bakteri asetogenik : Desulvofibrio

3. Kelompok metanogen : Methanobacterium, Methanobacillus,

Methanosarcina, dan Methanococcus.

2.2 Faktor-faktor yang berpengaruh pada fermentasi anaerob

Di dalam proses pembentukan biogas digunakan alat untuk memfermentasikan substrat, yang disebut sebagai bioreaktor atau biodigester. Berdasarkan cara pengisian bahan bakunya, biodigester dibedakan menjadi dua, yaitu sistem pengisian curah (batch) dan kontinyu (Loebis & Tobing, 1992; Metcalf & Eddy, 2003).

Sistem pengisian curah (SPC) adalah cara penggantian bahan yang dilakukan dengan mengeluarkan sisa bahan yang sudah dicerna dari biodigester setelah produksi biogas terhenti, dan selanjutnya dilakukan pengisian bahan baku yang baru. Umumnya, sistem ini didesain untuk limbah padatan seperti sayuran

atau hijauan. Isi dari digester biasanya dihangatkan dan dipertahankan temperaturnya. Selain itu kadangkala diaduk untuk melepaskan gelembung-gelembung gas dari sludge (Khasristya, 2004) .

Tipe batch digunakan untuk mengetahui kemampuan bahan yang diproses sebelum unit yang besar dibangun (Meynell, 1976). Sistem ini terdiri dari dua komponen, yaitu tangki pencerna dan tangki pengumpul gas. Tangki dapat dibuka dan slurry buangan proses dapat dikeluarkan dan digunakan sebagai pupuk kemudian bahan baku yang baru dimasukkan lagi. Tangki ditutup dan proses fermentasi diawali kembali (Khasristya, 2004 & Haryati, 2006).

Tergantung dari jenis bahan limbah dan temperatur yang dipakai, sistem

batch akan mulai berproduksi setelah minggu kedua sampai minggu keempat. Sistem batch biasanya dibuat dalam beberapa set sekaligus sehingga paling tidak ada yang beroperasi dengan baik (Haryati, 2006). Untuk memperoleh biogas yang banyak, sistem ini perlu dibuat dalam jumlah yang banyak agar kecukupan dan kontinyuitas hasil biogas tercapai (Abdullah, 1991; GTZ, 1997; Widodo, 2005; UN, 1980 dalam Nurhasanah et al., 2006).

Masing-masing sistem memiliki kelebihan maupun kekurangannya. Sistem pengisian curah (batch) memiliki konstruksi yang lebih sederhana namun biogas yang dihasilkan lebih sedikit dibandingkan dengan pengisian kontinyu. Keuntungan lain dari tipe batch adalah bila bahan berserat atau sulit diproses, tipe

batch akan lebih cocok dibanding tipe aliran kontinyu. Bila selama proses terjadi kesalahan, misalnya karena bahan beracun maka proses dapat dihentikan dan dimulai dengan yang baru (Meynell, 1976). Sedangkan sistem kontinyu, sifatnya

lebih efisien, lumpur dihasilkan setiap hari karena selalu diisi dengan substrat yang baru (kontinyu), laju produksi gas lebih tinggi per volume bahan atau substrat, namun desain digester lebih kompleks. Potensi biogas yang dihasilkan dari biodigester bergantung pada: jenis substrat, kuantitas substrat, persentase kandungan bahan organik, dan total padatan (Werner et al., 1989).

Selain pengaruh substrat, fermentasi anaerob juga dipengaruhi oleh faktor -faktor lingkungan (de Mez et al., 2003). Proses fermentasi anaerob dipengaruhi oleh dua faktor yaitu biotik dan abiotik. Faktor biotik berupa mikroorganisme dan jasad aktif, sedangkan faktor abiotik terdiri dari suhu, pH, pengadukan (agitasi), substrat, kadar air substrat, rasio C/N dan P dalam substrat dan adanya bahan toksik (Wellinger, 1999).

1 . Suhu

Suhu merupakan faktor penting yang mempengaruhi aktifitas mikroorganisme. Suhu optimal proses fermentasi anaerob dibedakan menjadi tiga yaitu suhu tinggi (45-60oC) untuk penghancuran cepat dan produksi tinggi (m3 gas/m3 bahan per hari) serta waktu retensi pendek dan bebas dari desinfektan, suhu sedang (27-40oC) (suhu kamar ruang/lingkungan), dan suhu rendah (< 22oC) (banyak dipe ngaruhi udara musim sedang) (Metcalf & Eddy, 2003). Pada kondisi rendah, proses perombakan berjalan lambat, kondisi sedang, perombakan berlangsung cukup baik dan terjadi percepatan proses perombakan dengan kenaika n suhu, serta kondisi tinggi untuk bakteri termofil dengan perombakan optimal pada 55oC (NAS, 1981 dan B itton, 1999). Proses fermentasi anaerob sangat peka terhadap perubahan suhu, umumnya suhu optimal termofil pada

kisaran 52-58 oC, namun dampak negatif dapat terjadi pada suhu lebih tinggi dari 60 oC. Hal ini diseba bkan oleh toksisitas ammonia yang semakin meningkat dengan meningkatnya suhu, tetapi pengenceran substrat pada suhu tinggi memudahkan difusi bahan terlarut (Wellinger & Lindeberg, 1999).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Khasristya (2004) dan Haryati (2006) bahwa temperatur yang optimal untuk biodigester adalah 30-35ºC. Temperatur ini mengkombinasikan kondisi terbaik untuk pertumbuhan bakteri dan produksi metana di dalam biodigester dengan lama proses yang pendek. Temperatur yang tinggi jarang digunakan karena sebagian besar bahan sudah dicerna dengan baik pada range temperatur sedang, selain itu bakteri termofilik mudah mati karena perubahan temperatur. Sedangkan bakeri mesofilik adalah bakteri yang tetap aktif pada perubahan temperatur yang kecil, khususnya bila perubahan berjalan perlahan.

Menurut Haryati (2006), jika temperatur turun menjadi 10ºC, produksi gas akan terhenti. Produksi gas yang memuaskan berada pada daerah mesofilik yaitu antara 25-35ºC. Biogas yang dihasilkan pada kondisi diluar temperatur tersebut mempunyai kandungan karbondioksida yang lebih tinggi. Sedangkan menurut Fry (1974), pada temperatur yang rendah 15ºC laju aktivitas bakteri sekitar setengahnya dari laju aktivitas pada temperatur 35ºC. Apabila bakteri bekerja pada temperatur 40ºC produksi gas akan berjalan dengan cepat hanya beberapa jam dan untuk selanjutnya hanya akan diproduksi gas yang sedikit.

Massa bahan yang sama akan dicerna dua kali lebih cepat pada suhu 35ºC dibanding pada suhu 15ºC dan menghasilkan hampir 15 kali lebih banyak gas pada waktu proses yang sama. Pada Gambar 4 dapat dilihat perbedaan jumlah gas yang diproduksi ketika digester dipertahankan pada suhu 15ºC dibanding suhu 35ºC. Seperti halnya proses secara biologi tingkat produksi metana berlipat untuk tiap peningkatan temperatur sebesar 10ºC-15ºC. Jumlah total dari gas yang diproduksi pada jumlah bahan yang tetap, meningkat seiring dengan meningkatnya temperatur (Meynell, 1976).

Gambar 4. Perbandingan tingkat produksi gas pada 15ºC dan 35ºC (F ry, 1973) Pada kondisi operasi yang sama, perombakan termofil lebih efisien dari pada perombak mesofil (Lusk, 1991). Beberapa keuntungan yang diperoleh dari proses termofil dibandingkan dengan proses mesofil adalah:

• Waktu tinggal organik dalam biodigester lebih singkat karena laju pertumbuhan ba kteri termofil lebih tinggi dibandingkan dengan laju pertumbuhan bakteri mesofil.

• Degradasi asam lemak rantai panjang lebih baik • Meningkatkan kelarutan substrat.

Kerugian-kerugian penting proses termofil antara lain: • Derajat ketidakstabilan tinggi

• Jumlah konsumsi energi lebih besar

• Risiko hambatan ammonia tinggi (Wellinger & Lindeberg, 1999). 2 . pH

Nilai pH pada awal proses menunjukkan penurunan karena terjadi hidrolisis yang umumnya terjadi dalam suasana asam, tetapi nilai ini cenderung stabil pada tahap selanjunya, yaitu range 6,7-7,7 (Kresnawaty dkk., 2008). pH pada proses fermentasi anaerob biasa berlangsung antara 6,7-7,6; bakteri metanogen tidak dapat toleran pada pH di luar 6,7-7,4; sedangkan bakteri non metanogen mampu hidup pada pH 5-8,5 (NAS, 1981). Nilai pH di luar interval ini dapat menyebabkan ketidakseimbangan dalam proses fermentasi anaerob. Parameter pH berpengaruh pada pertumbuhan bakteri dan mempengaruhi dis osiasi ammonia, sulfida dan asam-asam organik, yang merupakan senyawa penting untuk proses fermentasi anaerob.

Beberapa senyawa seperti asam organik dan karbon dioksida menyebabkan penurunan nilai pH, sebaliknya senyawa seperti ammonia akan meningkatkan nilai pH. Jika nilai pH menurun maka akumulasi asetat yang terbentuk selama proses perombakan tidak dapat diketahui. Pembentukan asetat berlangsung selama degradasi substrat dalam proses fermentasi anaerob. Karena itu, jika pH dalam reaktor turun menunjukkan konsentrasi tinggi asetat dalam

proses perombakan dan proses menjadi terhambat (Reith et al., 2002). Ketika nilai pH turun, maka yang terjadi adalah perubahan substrat menjadi biogas terhambat sehingga mengakibatkan penurunan kuantitas biogas. Sedangkan jika nilai pH terlalu tinggi maka dapat menyebabkan produk akhir yang dihasilkan adalah CO2 sebagai produk utama (Hermawan et al., 2007). Umumnya penambahan Ca(OH)2 digunakan untuk meningkatkan pH limbah cair menjadi netral. Nilai pH pada reaktor termofil lebih t inggi daripada reaktor mesofil (Bitton, 1999).

3 . Mikroorganisme dan Nutrien

Selain suhu dan pH, fermentasi anaerob juga dipengaruhi oleh kehidupan mikroorganisme yang ada dalam biodigester. Semua mikroorganisme memerlukan nutrien yang akan menyediakan : a) energi, biasanya diperoleh dari substansi yang mengandung karbon, b) nitrogen untuk sintesis protein, c) vitamin dan yang berkaitan dengan faktor pertumbuhan, dan d) mineral (Sherrington, 1981). Nutrien tersebut antara lain : a) Hydrogen H, nitrogen N, oxygen O, da n carbon C sebagai bahan utama penyusun bahan organik b) Sulfur: kebutuhan untuk sintesis asam amino c) Phosphor: komponen penting dalam asam nukleat d) Kalium (K), kalsium (Ca), magnesium (Mg), dan besi (Fe): dibutuhkan untuk aktifitas enzim dan komponen-komponen logam kompleks.

Sepuluh unsur di atas sebaiknya terdapat dalam konsentrasi sekitar 10-4 M. Unsur lain yang sebaiknya terdapat dalam konsentrasi lebih kecil, misalnya Nikel (Ni) penting untuk pertumbuhan bakteri anaerob. Konsentrasi tinggi Ca, Mg, K dan Na dapat menjadi faktor penghambat, sementara konsentrasi rendah

(0,01-0,005 M) kation-kation sel tersebut dapat aktif dan meningkatkan proses perombakan (Werner et al., 1989).

Seperti yang telah dijelaskan di atas, mikroba metanogen ju ga membutuhkan garam-garam anorganik dalam jumlah mikro. Garam-garam anorganik tersebut digunakan untuk mengendalikan tekanan osmosis internal dan sebagai kofaktor enzim (Adam, 1980). Penambahan seperti kalsium, kobalt, besi, magnesium, molibdenum, nikel, baik secara tunggal maupun kombinasi dengan logam lain dapat meningkatkan produksi biogas karena kondisi tersebut dapat meningkatkan populasi bakteri metanogen dalam biodigester (Kresnawaty et al., 2008).

4 . Agitasi (pengadukan)

Faktor lain yang juga berpenga ruh terhadap fermentasi anaerob adalah proses pengadukan (agitasi). Pengadukan dilakukan untuk mendapatkan campuran substrat yang homogen dengan ukuran partikel yang kecil. Selain itu, untuk mencegah terjadinya partikel-partikel terapung pada permukaan cairan dan berfungsi mencampur metanogen dengan substrat. Pengadukan memberikan temperatur yang seragam dalam biodigester (Suyati, 2006).

5 . Starter

Pengaruh starter juga penting karena starter mengandung metanogen yang diperlukan untuk mempercepat proses fermentasi anaerob. Beberapa jenis starter antara lain : Starter alami; yaitu lumpur aktif seperti lumpur kolam ikan, air selokan atau cairan septic tank, sludge, timbunan kotoran, dan timbunan sampah organik. Starter semi buatan; yaitu dari fasilitas biodigester dalam stadium aktif.

Starter buatan; yaitu bakteri yang dibiakkan secara laboratorium dengan media buatan (Suyati, 2006).

2.3 Faktor ketidakseimbangan proses fermentasi anaerob

Fermentasi anaerob bergantung pada keseimbangan antara senyawa-senyawa dan unsur-unsur berbeda dalam biodigester. Selain itu, bergantung pada interaksi antara kelompok bakteri dan senyawa organik yang ada, sebagai sumber makanan diantara beberapa jenis mikroorganisme agar diperoleh hasil biogas yang optimal. Jika terjadi ketidakseimbangan selama proses perombakan maka fermentasi anaerob secara total dapat terhenti atau menurun (Werner et al., 1989). Ketidakseimbangan dapat disebabkan karena beberapa faktor berikut:

Beban hidraulik berlebih. Hal ini terjadi jika waktu tinggal bakteri dalam biodigester lebih singkat dibandingkan laju pertumbuha nnya. Bakteri tidak mendapatkan waktu yang cukup untuk tumbuh di dalam biodigester dan akan tercuci (wash -out). Beban hidraulik berlebih dapat terjadi apa bila volume efektif digester menurun oleh karena terjadi beban substrat yang ber lebih terhadap digester.

Beban organik berlebih dapatmuncul ketika biomassa dengan kandungan organik tinggi dimasukkan ke dalam digester secara berlebihan. Pada keadaan ini bakteri tidak mampu memecah senyawa organik yang ada sehingga proses fermentasi anaerob berjalan lamban.

Bahan racun dapat berupa senyawa yang sudah ada dalam bioma ssa substrat atau senyawa yang dihasilkan selama proses fermentasi anaerob. Hal ini dapat terjadi jika biomassa yang kaya protein dicerna kemudian menghasilkan sejumlah

besar ammonia berlebih yang dapat menghambat proses fermentasi. Fermentasi juga dapat terhambat jika biomassa yang tercerna mengandung konsentrasi tinggi lemak yang akan didegradasi menjadi senyawa beracun (asam lemak rantai panjang).

Penelitian mengenai proses perombakan anaerob yang telah dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa indikator ketidakseimbangan proses perombakan terjadi karena susbstrat asetogenik berlebih meskipun tidak bersifat toksik. Kenaikan konsentrasi asam or ganik merupakan indikasi bahwa produksi asam sudah berlebih daripada yang dikonsumsi. Pemberian bahan organik yang tidak seimbang ke dalam reaktor dapat menyebabkan kenaikan konsentrasi asam organik (Wellinger & Lindeberg, 1999).

Sesuai dengan hasil penelitian Haryati (2006) yang menunjukkan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan kegagalan proses fermentasi anaerob dalam biodigester adalah dikarenakan tidak seimbangnya populasi bakteri metanogen terhadap bakteri asam yang menyebabkan lingkungan menjadi sa ngat asam (pH < 7) yang selanjutnya menghambat kelangsungan metanogen. Laju fermentasi akan menurun pada kondisi pH yang lebih tinggi atau rendah dari kisaran pH 6,8-8.

2.4 Keuntungan fermentasi anaerob

Pengolahan limbah secara anaerob memberi banyak keuntungan antara lain: energi yang bermanfaat, keuntungan lingkungan dan keuntungan ekonomi, yang secara keseluruhan dapat dijelaskan sebagai berikut:

a) Memberikan sumber energi bersih yaitu biogas, merupakan bahan bakar yang tidak mengeluarkan asap sehingga memberikan emisi yang rendah (terutama kandungan CO2). Hal ini sesuai dengan persetujuan dalam Protokol Kyoto. b) Mengurangi jumlah padatan, yaitu dapat mengurangi volume maupun beban limbah organik yang digunakan sebagai substrat dalam fermentasi anaerob. c) Mengurangi bau dan tidak merusak nilai estetika lingkungan. Selain itu, bahan yang telah terfermentasi dapat digunakan sebagai pupuk organik karena selama fermentasi, senyawa-senyawa biodegradab le efektif dihilangkan, dan meninggalkan senyawa tereduksi seperti ammonium, senyawa N organik, sulfida, senyawa P orga nik yang dapat dimanfaatkan sebagai campuran pupuk.

d) Biaya pembangunan relatif terjangkau (Reith et al., 2002 & Werner et al., 1989) .

Dokumen terkait