• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PENGELOLAAN SAMPAH DOMESTIK

DAFTAR LAMPIRAN

2.6 Teknologi Pengelolaan Sampah

Hadiwiyoto (1989) menyebut bahwa penanganan sampah adalah perlakuan terhadap sampah untuk memperkecil atau menghilangkan masalah- masalah yang dalam kaitannya dengan lingkungan dapat ditimbulkan. Penanganan ini dilakukan oleh manusia secara sengaja.

Manajemen pengelolaan sampah di kota besar seperti Jakarta masih berorientasi pada bagaimana membuat kota yang bersih dengan cara membersihkan produksi sampah sebesar 25.824 m3/hari. Kebijakan yang dilakukan Pemkot hanya mengatur bagaimana memindahkan sampah dari bak sampah sementara ke TPA, dimana hal ini bergantung pada banyaknya truk, gerobak dan petugas kebersihan. Tidak ada kebijakan dari pemerintah yang bersifat mensosialisasikan pemilahan sampah apalagi mengurangi volume sampah. Kalaupun ada hanya dengan melakukan pembakaran, inipun tidak dapat mengurangi jumlah timbunan sampah secara signifikan. Jumlah dan kapasitas TPA juga menjadi tumpuan pemerintah dalam menangani pertambahan volume sampah. Padahal selama ini pembukaan TPA baru justru sering kalau menimbulkan masalah, terutama yang sering terjadi adalah konflik dengan warga sekitar TPA baru yang akan dibuka. Selain itu, sering kali adanya sarana dan prasarana sampah menjadikan masyarakat terlalu bergantung, sehingga ketika tidak ada tempat membuang sampah, masyarakat akan membuang sembarang atau

ketika truk transport sampah tidak mengambil sampah, maka sampah akan menumpuk di TPS.

Menurut beberapa ahli, penimbunan sampah yang biasa dilakukan di TPS atau TPA dalam beberapa waktu ke depan sudah tidak lagi relevan. Hal ini dikarenakan lahan kota yang sempit ditambah dengan pertambahan penduduk yang pesat. Solusi dari masalah tersebut adalah penanganan yang mampu mengolah sampah kembali.

Menurut Apriadji (1980), dalam menangani sampah, banyak cara yang dapat dilakukan, seperti berikut:

1. Penimbunan tanah (land fill), sampah yang terkumpul dari rumah tangga dan pasar dimanfaatkan untuk menimbun tanah rendah, kemudian diratakan dan dipadatkan hingga ketinggian yang diinginkan. Cara ini yang masih dominan dilakukan di kota-kota Indonesia.

2. Penimbunan tanah secara sehat (sanitary land fill), sampah diperlakukan seperti cara land fill, namun setelah mencapai ketinggian yang diinginkan, permukaan atasnya segera ditimbun tanah minimal setebal 60 cm. Dibandingkan dengan teknik land fill, teknik ini dapat mengurangi dampak dari timbunan sampah seperti bau tak sedap.

3. Pembakaran sampah (incineration), teknik ini memerlukan pengawasan lebih, agar sampah yang dibakar tidak bersisa dan minim asap.

4. Penghancuran (pulverisation), sampah dihancurleburkan menjadi potongan kecil sehingga lebih ringkas dan dapat dimanfaatkan untuk menimbun tanah rendah serta dibuang ke laut tanpa menimbulkan pencemaran.

5. Pengomposan (composting), sampah kelompok rubbish disisihkan dan

garbage dihancurleburkan sampai lumat agar proses pembusukan sampah (decomposition) oleh mikroorganisme berlangsung baik, ditimbun secara teratur dalam hamparan hingga membusuk sempurna, dikeringkan, kemudian digiling dan siap digunakan.

6. Makanan ternak (hogfeeding) memanfaatkan garbage. 7. Pemanfaatan ulang (recycling), untuk jenis sampah rubbish.

8. Pembuatan briket arang sampah dengan memanfaatkan sampah jenis

rubbish.

Departemen Kehutanan (2007) juga mengemukakan bahwa terdapat berbagai cara dalam mengelola sampah, yakni dengan:

a. Pencegahan dan pengurangan sampah dari sumbernya. Pada tahap ini dilakukan pemilahan sampah dan pembuatan tempat sampah khusus organik dan anorganik.

b. Pemanfaatan kembali, yaitu; (1). Pemanfaatan sampah organik, seperti composting (pengomposan). Sampah yang mudah membusuk dapat diubah menjadi pupuk kompos yang ramah lingkungan untuk melestarikan fungsi kawasan wisata. Berdasarkan hasil, penelitian diketahui bahwa dari kegiatan

composting sampah organik yang komposisinya mencapai 70 persen, dapat direduksi hingga mencapai 25 persen, (2) pemanfaatan sampah anorganik, dengan cara dijual langsung seperti botol plastik atau diolah terlebih dahulu menjadi kerajinan seperti ukiran kayu.

c. Tempat pembuangan Sampah akhir

Sisa sampah yang tidak dapat dimanfaatkan jumlahnya mencapai ± 10 persen, harus dibuang ke Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA). Kegiatan ini tentu saja akan menurunkan biaya pengangkutan sampah, mengurangi luas lahan yang dibutuhkan tempat untuk lokasi TPS.

Solusi serupa dikemukakan oleh Krinandar, Dadan (2007), yakni diperlukan penyelesaian masalah yang dilakukan secara sistematik dan terintegrasi dalam menangani masalah sampah di Indonesia, dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Dalam hal ini kita tidak hanya berpangku tangan pada pemerintah. Beberapa langkah yang bisa diambil adalah: (1) Mengurangi timbunan sampah dengan konsep 3 R (reduce/mengurangi jumlah sampah,

reuse/menggunakan kembali sampah yang masih bisa digunakan, recycle/mendaur ulang sampah agar bisa dimanfaatkan kembali); (2) Peningkatan peran masyarakat dan dunia usaha; (3) Peningkatan peran pemerintah daerah dalam pengelolaan sampah seperti regionalisasi pengelolaan sampah khususnya kota-kota besar; (4) Pengembangan teknologi baru dan tepat guna yang masih terjangkau oleh masyarakat dan dunia usaha; (5) Perbaikan struktur kelembagaan dan peningkatan profesionalisme pengelola sampah; (6) Peningkatan kampanye hidup bersih dan sehat.

Berkaitan dengan langkah pertama di atas, diperlukan upaya dalam mengelola sampah agar tidak lagi menjadi sampah. Perlunya sosialisasi kepada masyarakat tentang konsep 3 R tersebut. Hal ini diperlukan agar masyarakat dilibatkan dalam penanganan sampah dimulai dari sampah yang berasal dari rumah tangga mereka sendiri. Pembangunan berwawasan lingkungan harus

dilakukan dengan peran serta semua pihak. Keharusan berperan serta dari asas lingkungan hidup sebagai milik bersama (common property), yang berarti bahwa pemeliharaannya bukan hanya pemanfaatannya saja harus dilaksanakan bersama.

Peningkatan peran masyarakat dalam menangani sampah menurut Djajadiningrat (1997), dapat dilaksanakan melalui jalur sektor formal dan informal. Pada sektor formal peran serta masyarakat tidak terlampau sulit. Peran serta masyarakat pada jalur formal dapat berbentuk;

1. Penyediaan sarana: Institusi pemerintah dan swasta dapat diikutsertakan dalam penyediaan sarana, seperti tempat sampah dan lainnya.

2. Pemilahan limbah rumah tangga: Limbah dipisah berdasarkan kelompoknya.

3. Gerakan masyarakat peduli lingkungan: Melakukan berbagai gerakan peduli lingkungan seperti gerakan konsumen hijau, kerja bakti membersihkan lingkungan dan lainnya.

4. Gerakan lingkungan melalui RT/RW: Pengembangan upaya kebersihan lingkungan yang berkelanjutan dengan melibatkan masyarakat.

5. Sistem insentif untuk gerakan kebersihan: Agar gairah berpartisipasi meningkat perlu dikembangkan insentif. Pemerintah dapat bekerja sama dengan ORMAS (KADIN, Asosiasi, Lembaga Masyarakat peduli lingkungan, dan Karang Taruna) untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan perkotaan

Sama seperti Krisnandar, Nezar (2007) juga mengajukan pendekatan 3R dalam menangani sampah dengan konsep zero waste, yang artinya sampah dikurangi hingga jumlah yang seminimal mungkin. Konsep ini juga menuntut

adanya peran serta dan pemberdayaan masyarakat dalam mengelola sampah. Inti dari zero waste yang diajukan adalah pertama memisahkan limbah sampah organik dengan yang non-organik. Kemudian sampah organik diproses menjadi kompos, sedangkan yang non-organik dijadikan bahan daur ulang, misalnya plastik, kaleng, dan kertas. Sisanya dibakar di instalasi pembakaran menggunakan incinerator kemudian dibuang ke landfill. Dengan cara ini mampu mereduksi sampah menjadi 3,6 persen. Jika dari 100 ton sampah perkotaan diduga 80 persen sampah organik maka bisa dijadikan bahan baku kompos sekitar 20 ton. Sisanya 20 persen non-organik bisa didaur ulang menghasilkan 1 ton produk dan sisa proses 6 ton. Kemudian sisanya tersebut diolah menggunakan incinerator hingga tinggal 3,6 ton.

Proyek ini juga membutuhkan pendekatan non-teknologi, misal aspek sosial dan budaya. Masalah sumberdaya, sangat sulit mencari tenaga kerja yang mau berurusan dengan sampah. Pendekatan budaya juga diperlukan, agar masyarakat menjadi disiplin terhadap sikap membuang sampah. Dukungan dari pemerintah berupa kebijakan juga diperlukan, salah satunya harus mendukung pemasaran hasil produksi kompos, yakni dengan merubah kebijakan pupuk nasional agar tidak berorientasi pada pupuk kimia (Nezar, 2007).

Pengelolaan sampah dengan pendekatan 3R yang dilakukan berbasis komunitas ini selain dapat mereduksi sampah sebanyak 3,6 persen, juga dapat mengurangi biaya transportasi truk sampah yang biasa digunakan untuk mengangkut sampah, mengurangi biaya perawatan dan kegiatan di TPA, dan mengurangi biaya penggunaan pupuk kimia dan menambah pendapatan jika mampu menjual pupuk organik yang dibuat. Namun yang perlu diperhatikan, dari

semua metode yang telah disebutkan di atas takkan tercapai jika tidak adanya upaya pemilahan sampah di tingkat rumah tangga itu sendiri. Kegiatan pemilahan sampah ini merupakan dasar dalam melakukan pengelolaan sampah berbasis komunitas. Secara umum sampah di tingkat rumahtangga dipisahkan menjadi dua kelompok, sampah organik dan non-organik. Dewasa ini upaya pemilahan hanya dilakukan oleh pemulung, namun sampah yang dipisahkan sesuai keperluan pemulung itu sendiri.

Dokumen terkait