• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Teknologi Pengolahan LCPKS

Berdasarkan potensi perkebunan dan PKS yang cukup besar maka kontribusi pencemaran terhadap area sekeliling cukup besar sehingga perlu dilakukan perkiraan emisi yang dikeluarkan oleh perkebunan dan PKS (Indriyati, 2008). Produksi rata-rata PKS dan limbahnya disajikan pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Produksi Rata-rata per Tahun Kelapa Sawit dan Limbahnya Tahun 2000-2005 (Indriyati, 2008) Jenis Limbah Rata-rata ton/tahun Konversi Limbah (%) Total Limbah ton/tahun Emisi CH4 ton CH4/tahun Emisi CO2 ton CO2/tahun Produksi kelapa sawit 9.816.393 Tandan Kosong (ton/tahun) 23 2.257.770 27.093,24 568.958,14 Cangkang (ton/tahun) 8 785.311 9.423,74 197.898,48 Serat (ton/tahun) 12 1.177.967 14.135,61 296.847,72 LCPKS (m3/ton FFB) 0,66 6.478.819 1.285.721.706 27.000.155.825 Sumber data:

1. Statistika Indonesia, 2004. Badan Pusat Statistik. Jakarta Indonesia

2. Metode Perhitungan Emisi menurut; 2006 IPCC Guidelines for National

Greenhouse Gas Inventory, vol 5.

2.2.1 Aplikasi LCPKS ke Lahan (Land Application)

Land application atau aplikasi lahan adalah pemanfaatan LCPKS untuk

digunakan sebagai bahan penyubur atau pupuk cair tanaman kelapa sawit dalam areal 9

perkebunan kelapa sawit karena mengandung unsur-unsur yang dapat menyuburkan

tanah. Unsur-unsur tersebut adalah nitrogen, phosphor dan kalium. Jumlah nitrogen

dan kalium dalam LCPKS sangat besar, sehingga dapat bertindak sebagai nutrisi

untuk tumbuh-tumbuhan.

LCPKS yang dapat digunakan untuk land application adalah limbah cair yang

sudah diolah sedemikian rupa sehingga kadar BOD-nya berkisar antara 3.500 mg/l

sampai 5.000 mg/l karena pada kisaran ini komposisinya kaya akan hara (N, P dan

K). LCPKS mempunyai potensi yang baik untuk menggantikan peran pupuk

anorganik dan dapat menurunkan biaya pengolahan limbah sekitar 50% hingga 60%.

Sejauh ini telah dikenal dua sistem land application, yaitu long bed untuk

lahan yang rata dan flat bed untuk lahan yang landai. Penggunaan land application ini

harus disesuaikan dengan sifat tanah dan kondisi curah hujan dilokasi perkebunan.

Tetapi pada kenyataannya di PKS, untuk mendapatkan baku mutu land application

sesuai dengan baku mutu KepMen LH No. 23 Tahun 2003 sangatlah susah (Rahardjo,

2006).

2.2.2 Konversi LCPKS menjadi Biogas

Saat ini umumnya PKS menampung limbah cair tersebut di dalam kolam-kolam terbuka (lagoon) kemudian diolah dalam beberapa tahap sebelum digunakan untuk land application dan dibuang ke sungai/parit. Secara alami, limbah cair di dalam kolam akan melepaskan emisi gas rumah kaca yang berbahaya bagi lingkungan

10

seperti gas metan (CH4) dan karbon dioksida (CO2). Kedua gas ini sebenarnya adalah biogas yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Penelitian pemaanfaatan LCPKS untuk menghasilkan biogas saat ini menjadi perhatian banyak pihak. Selain sebagai sumber energi, teknologi biogas ini juga dapat mengurangi dampak emisi gas rumah kaca yang berbahaya bagi lingkungan (Litbang Deptan, 2006).

Lang dan Ling (2007) dalam penelitiannya menghasilkan metana sebesar

50-80% dan karbondioksida 20-50%. Tetapi secara umum rentang komposisi biogas

dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Komposisi Biogas (Hermawan dan Beni, 2007)

Komponen %

Metana (CH4) 55-75

Karbon dioksida (CO2) 25-45 Hidrogen sulfida (H2S) 0-3

Dalam aplikasinya biogas digunakan sebagai gas alternatif untuk menghasilkan

energi listrik. Biogas dengan volume 250 liter bertekanan 8 bar di dalam kompresor

dapat digunakan untuk menghidupkan mesin sekaligus menggerakkan generator selama 30 menit dan menghasilkan listrik sebesar 500 Ampere. Energi listrik yang dihasilkan telah berhasil dicoba untuk menyalakan lampu (Irvan dkk., 2011).

2.3 Sedimentasi (Pengendapan)

Sedimentasi adalah suatu proses yang bertujuan untuk memisahkan/ mengendapkan zat-zat padat atau tersuspensi non koloidal dalam air. Pengendapan

dapat dilakukan dengan memanfaatkan gaya gravitasi. Cara yang sederhana adalah dengan membiarkan padatan mengendap dengan sendirinya. Setelah partikel-partikel mengendap maka air yang jernih dapat dipisahkan dari padatan yang semula tersuspensi di dalamnya. Cara lain yang lebih cepat dengan melewatkan air pada sebuah bak dengan kecepatan tertentu sehingga padatan terpisah dari aliran air tersebut dan jatuh ke dalam bak pengendap. Kecepatan pengendapan partikel yang terdapat di air tergantung pada berat jenis, bentuk dan ukuran partikel, viskositas air dan kecepatan aliran dalam bak pengendap (Garrido dkk, 2000).

Klasifikasi sedimentasi didasarkan pada konsentrasi partikel dan kemampuan partikel untuk berinteraksi. Klasifikasi ini dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu:

1. Discrete (free settling). Partikel mengendap bebas secara individu dan tidak

ada interaksi antar partikel. Sebagai contoh untuk pemisahan lumpur kasar pada bak prasedimentasi pengolahan air permukaan. Pengendapan terjadi karena adanya interaksi gaya-gaya disekitar partikel, yaitu gaya drag dan gaya

impelling.

2. Flocculent. Terjadi interaksi antar partikel sehingga ukuran meningkat dan

kecepatan pengendapan bertambah. Selama dalam operasi pengendapan, ukuran partikel flokulent bertambah besar sehingga kecepatannya juga meningkat.

3. Hindered/Zone settling. Pengendapan partikel dengan konsentrasi yang lebih

pekat, dimana antar partikel secara bersama-sama saling menahan

12

...(2.1)

...(2.2)

...(2.3) pengendapan partikel lain disekitarnya. Karena itu pengendapan terjadi secara bersama-sama sebagai sebuah zona dengan kecepatan yang konstan. Pada bagian atas zona terdapat interface yang memisahkan antara massa partikel yang mengendap dengan air jernih. Kompresi (pemanpatan) massa partikel mengakibatkan konsentrasi lumpur makin tinggi. Sebagai contoh pemisahan lumpur biomassa untuk recycle (Stanley M. Walas dkk., 2005).

2.3.1 Jenis-jenis Sedimentasi 2.3.1.1 Sedimentasi Kontinu

Pada proses sedimentasi kontinu waktu detensi (t) adalah sebesar volume basin (v) dibagi dengan laju alir (Q).

=

Overflow rate (Vo) menggambarkan besarnya kecepatan pengendapan adalah fungsi

dari laju alir (Q) dibagi dengan luas permukaan basin (Ap).

=

Laju linier (V) mengambarkan besarnya kecepatan horizontal adalah fungsi dari laju alir (Q) dibagi dengan luas area tegak lurus aliran.

=

2

Ketinggian tangki sedimentasi (H) adalah:

H = V0.t …....(2.4)

...(2.5) 2.3.1.2 Sedimentasi Batch

Besarnya nilai koefisien Drag (CD) bergantung pada pola aliran sekitar partikel, apakah laminar atau turbulen. Hal ini ditunjukkan dengan besarnya nilai CD sebagai fungsi dari nilai bilangan Reynolds (Nre).

=

Aliran laminar (Nre < 2.100), Aliran Transien (2.100 < Nre < 4.000) dan Aliran Turbulen (Nre > 4.000).

2.3.2 Model Pengendapan

Salah satu indikator yang berpengaruh dalam menentukan kecepatan pengendapan adalah sludge level. Percobaan untuk pengendapan sederhana secara

bacth menunjukkan bahwa sludge level dapat menentukan kecepatan pengendapan.

Dalam pengembangannya percobaan juga perlu dilakukan untuk menunjukkan analisa yang lebih detail untuk menunjukkan pengaruh sludge level pada pengendapan tipe hindered dan memperkirakan banyaknya supernatant yang terpisahkan dari padatannya pada sebuah gravity thickener (Gladman dkk, 2006).

Dokumen terkait