• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4

2.6. Teknologi Pengomposan

Pengomposan adalah dekomoposisi bahan organik tanpa oksigen.Hasil metebolisme dari proses ini adalah metan, CO2, dan berbagai produk intermediet (metabolit) seperti alkohol, asam organik berberat molekul rendah, residu mineral, dan bahan sulit terurai. Metabolit menyebabkan bau yang lebih keras dibandingkan kompos aerobik sehingga

cara ini agak kurang diminati. Selain itu pada pengomposan aerobik sebagian energi yang dikeluarkan dalam bentuk limbah, yaitu panas pada timbunan kompos.

2.6.1. Teknologi Pengomposan Aerobik

Pengomposan aerobik adalah dekomposisi bahan organik dalam keberadaan oksigen. Produk metabolisme yang dihasilkan adalah CO2 dan panas. Itulah penyebab pada proses aerobik suhu bisa meningkat sampai 80oC. Adapun proses aerobik secara kimia sebagai berikut.

C6H12O6 + 6 O2 6 H2O + 6 CO2

Mikroba yang berperan dalam perombakan bahan organik berasal dari kingdom protista, terutama bakteri dan fungi (jamur). Bakteri termasuk tipe dari kelompok sel prokariot (tidak memiliki membran). Selain bakteri dan jamur, ada jenis lain yang berperan penting dalam proses pengomposan yaitu actinomicetes. Jenis ini termasuk bakteri tetapi memiliki sifat transisi antara bakteri dan jamur. Actinomicetes berperan penting dalam degradasi bahan organik bermolekul tinggi. Bahan organik tidak dapat langsung dimanfaatkan atau digunakan oleh tanaman karena perbandingan C/N dalam bahan tersebut relatif tinggi atau tidak sama dengan C/N tanah, dimana nilai C/N tanah sekitar 10 sampai 12. Umumnya bahan organik segar mempunyai C/N yang tinggi, seperti jerami padi 50-70, cabang tanaman 15-60 (tergantung jenis tanamannya), kayu yang sudah tua dapat mencapai 400.

Prinsip pengomposan adalah menurunkan rasio bahan organik hingga sama dengan C/N tanah. Demikian semakin tingginya C/N bahan maka proses pengomposan tanah semakin lama karena C/N bahan harus diturunkan. Waktu yang dibutuhkan untuk menurunkan C/N tersebut sangat bervariasi mulai dari 3 bulan sampai tahunan. Hal ini terlihat dari

proses terjadinya humus dialam , dari bahan organik menjadi humus diperlukan waktu bertahun-tahun (humus merupakan hasil proses lebih lanjut dari pengomposan).

Selama proses dekomposisi bahan organik menjadi kompos akan terjadi berbagai perubahan hayati yang dilakukan oleh mikroorganisme sebagai aktivator. Adapun perubahannya sebagai berikut:

a. Penguraian karbohidrat, sellulosa, hemisellulosa, lemak, dan lilin menjadi CO2

dan H2O.

b. Protein menjadi ammonia, CO2 dan air.

c. Pembebasan unsur hara dari senyawa-senyawa organik menjadi senyawa yang dapat diserap oleh tanaman.

d. Terjadi pengikatan beberapa jenis unsur hara didalam sel mikroorganisme, terutama Nitrogen, Pospor dan Kalium.

Dengan perubahan tersebut maka kadar karbohidrat akan hilang atau turun dan senyawa nitrogen akan meningkat, dengan demikian C/N semakin mendekati C/N tanah.

2.6.2. Teknologi Pengomposan Anaerobik.

Pengomposan dengan proses anaerobik dihasilkan gas metana yang sangat bermanfaat. Adapun reaksi proses anaerobik sebagai berikut:

C6H12O6 3 CH4 + 3 CO2

Selain kompos, produk komesial yang diperoleh dari proses pengomposan anaerobik yaitu biogas. Biogas adalah campuran gas metan dengan gas-gas lain seperti CO2 dan H2S yang dapat digunakan untuk berbagai tujuan pemanfaatan. Dengan pengomposan anaerobik seluruh potensi yang ada di dalam bahan organik dapat dimanfaatkan seperti energi dan nutrisi yang ada dalam kompos. Kelemahan dari proses ini adalah biayanya mahal karena harus membuat reaktor tertutup. Selain itu komposnya sangat basah karena

prosesnya tertutup sehingga perlu perlakuan lanjutan seperti pengepresan dan proses pengeringan kompos yang sangat intensif untuk mengeluarkan air.

1. Prinsip proses

Dialam, proses anaerobik terjadi secara spontan ketika adanya timbunan bahan organik dengan suplai oksigen yang terbatas. Pada situasi tersebut kegiatan dekomposisi beralih dari proses aerobik menjadi anaerobik, seperti produksi metan di dasar danau dan sungai. Proses pengomposan anaerobik dapat dipercepat dengan mengatur berbagai kondisi proses yang bisa memacu dekomposisi bahan organik lebih cepat dan sempurna sehingga waktu lebih cepat, produksi metan lebih besar.

Proses pengomposan anaerobik berlangsung dalam 4 tahap sebagai berikut:

a. Proses hidrolisa, yaitu dekomposisi bahan organik polimer menjadi monomer yang mudah larut, dilakukan oleh sekelompok bakteri fakultatif. Pada proses hidrolisa, lemak diuraikan oleh enzim lipase yang diproduksi oleh bakteri lipolitik. Sementara karbohidrat diuraikan oleh enzim sellulase yang diproduksi oleh bakteri sellulolitik dan protein diuraikan oleh enzim protease yang diproduksi oleh bakteri proteolitik menjadi monomer yang mudah larut. Pada proses hidrolisa ini dihasilkan pula asam amino, asam volatil, gliserol, dan lain-lain.

b. Proses asidogenesis, yaitu dekomposisi monomer organik menjadi asam-asam organik (asam lemak) dan alkohol. Pada proses asidogenesis, monomer organik diuraikan lebih lanjut oleh bakteri asidogenik menjadi asam-asam organik seperti asam format, asetat, butirat, propionat, valeriat, serta dihasilkan juga CO2, H2O dan metanol.

c. Proses asetogenesis, yaitu perubahan asam organik dan alkohol menjadi asam asetat. Pada proses ini senyawa organik dan metanol diuraikan bakteri asetogenik menjadi asam format, asetat, dan CO2.

d. Proses metanogenesis, yaitu perubahan dari asam asetat menjadi metana. Pada proses ini asam asetat diuraikan oleh bakteri metanogenik menjadi CH4, CO2 dan H2O.

3. Faktor yang berpengaruh\

Agar proses pengomposan anaerobik berlangsung optimal maka diperlukan pengetahuan tentang faktor yang berpengaruh dalam produktifitas serta kualitas biogas dan kompos yang dihasilkan. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:

a. Jenis bahan

Kriteria penting yang biasa digunakan untuk menilai kelayakan bahan baku pada pengomposan anaerobik adalah nilai rasio C/N/P. rasio yang ideal adalah 150:50:1. Karbon diperlukan oleh bakteri untuk tenaga, sedangkan nitrogen untuk membangun protein sel. Kadar nitrogen yang terlalu tinggi akan meningkatkan produksi ammonia yang bersifat racun bagi bakteri. Kebutuhan P berkaitan dengan suplai nitrogen dan jarang menimbulkan masalah dalam proses anaerobik. Bila rasio bahan kurang bagus maka perlu dicampur dengan bahan lain sehingga rasio C/N/P mendekati nilai ideal.

b. Suhu.

Pada pengomposan anaerobik, proses dapat berlangsung pada variasi suhu yaitu 5-75oC. Aktivitas mikrobanya meningkat seiring dengan meningkatnya suhu. Namun umumnya bakteri aktif pada selang suhu mesofilik antara 30-35oC, sebagian lagi aktif pada suhu 50-55oC. Namun, bakteri metanogenik yang bekerja pada suhu termofilik hanya sedikit.

c. Derajat keasaman (pH)

Terdapat perbedaan yang mencolok antara pH yang diperlukan oleh bakteri asidogenik dengan bakteri metanogenik. Bakteri asidogenik memerlukan pH antara 4,5-7 dan bekerja optimum pada pH 6-7. Sementara itu bakteri metanogenik bekerja pada kisaran 6,2-7,8 dan bekerja optimum pada kisaran pH 7-7,2.

d. Toksisitas

Keberadaan oksigen tidak begitu berpengaruh terhadap proses anaerobik karena oksigen yang terakumulasi akan segera dihabiskan oleh bakteri anaerobik yang fakultatif. Yang potensial merugikan adalah adanya logam berat yang masuk kedalam reaktor, ion alkali juga akan menghambat proses anaerobik, yang lebih berbahaya adalah bahan kimia seperti klor, ion sianida serta sulfat.(Sudrajat.H.R.2006)

2.7. Effective Microorganisme 4 (EM4)

Effective microorganisme 4 merupakan kultur campuran dari mikroorganisme yang menguntungkan yang bermafaat bagi kesuburan tanah maupun pertumbuhan dan produksi tanaman, serta ramah lingkungan. Mikroorganisme yang ditambahkan akan membantu memperbaiki kondisi biologi tanah dan dapat membantu penyerapan unsur hara. EM4 mengandung mikroorganisme fermentasi dan sintetik yang terdiri dari bakteri asam laktat (lactobasillus sp.), bakteri fotosintetik (Rhodopseudomonas sp.),

actinomycetes sp, streptomyces sp, dan ragi (yeast).

Efek EM4 bagi tanaman tidak terjadi secara langsung. Penggunaan EM4 akan lebih efisien bila terlebihdahulu ditambahkan bahan organik yang berupa pupuk organik kedalam tanah. EM4 akan mempercepat fermentasi bahan organik sehingga unsur hara yang tekandung akan cepat terserap dan tersedia bagi tanaman. Selain bermanfaat bagi peningkatan kesuburan tanah dan tanaman , EM4 juga sangat efektif digunakan sebagai pestisida hayati yang bermanfaat untuk meningkatkan kesehatan tanaman, EM4 juga bermanfaat untuk sektor perikanan dan peternakan.(Marsono.2005)

2.7.1. Fungsi Effective Microorganisme (EM)

1. Bakteri Fotosintetik

Bakteri ini merupakan bakteri bebas yang dapat mensintesis senyawa nitrogen, gula, dan substansi bioaktif lainnya. Hasil metabolit yang diproduksi dapat diserap secara

langsung oleh tanaman dan tersedia sebagai substrat untuk perkembangbiakan yang menguntungkan

2. Lactobacillus sp. (Bakteri asam laktat)

Bakteri yang memproduksi asam laktat sebagai hasil penguraian gula dan karbohidrat lain yang bekerjasama dengan bakteri fotosintesis dan ragi. Asam laktat ini merupakan bahan sterilisasi yang kuat yang dapat menekan mikroorganisme berbahaya dan dapat menguraikan bahan organik dengan cepat.

3. Sterptomyces sp.

Streptomyces sp. Mengeluarkan enzim streptomisin yang bersifat racun terhadap hama

dan penyakit yang merugikan.

4. Ragi/Yeast

Ragi memproduksi substansi yang berguna bagi tanaman dengan cara fermentasi. Substansi bioaktif yang dihasilkan oleh ragi berguna untuk pertumbuhan sel. Ragi ini juga berperan dalam perkembangbiakan atau pembelahan mikroorganisme.

5. Actinomycetes

Actinomycetes merupakan organisme peralihan antara bakteri dan jamur yang

mengambil asam amino dan zat serupa yang diproduksi bakteri fotosintesis dan mengubahnya menjadi antibiotik untuk mengendalikan patogen, menekan jamur dan bakteri berbahaya dengan cara menghancurkan khitin yaitu zat esensial untuk pertumbuhannya. Actinomycetes juga dapat menciptakan kondisi yang baik bagi perkembangan mikroorganisme lain. (Yovita, 2005)

2.8. Penentuan Nitrogen dengan metode Kjeldahl

Nitrogen kjeldahl adalah jumlah N organik dan N ammonia bebas. Analisa kjeldahl pada umumnya hanya dilaksanakan pada sampel yang diduga mengandung zat organik seperti air buangan industri, air buangan penduduk serta sungai yang tercemar. Zat

organik yang mengandung N dirubah menjadi ammonia, nitrogen ammonia akan menjadi ammonium sulfat setelah pemanasan sampel didalam larutan asam sulfat. Zat organik tersebut berubah menjadi CO2 dan H2O serta melepaskan ammonia yang dalam suasana asam kuat terikat menjadi ammonium sulfat. Kemudian tambahan basa serta zat pereduksi yaitu campuran NaOH dan Natrium tiosulfat akan melepaskan NH4+ sekaligus mengubahnya sampai menjadi NH3. Seluruh ammonia tersebut dan air dapat didestilasi dari sampel. Disamping ammonia yang berasal dari zat organik tersebut, air buangan juga mengandung ammonia bebas dan ammonia tersebut ikut tersuling bersama NH3 yang dilepaskan oleh zat organik dan semuanya disebut N Kjeldahl. Jadi N kjeldahl adalah N organik dan N ammonia bebas. Setelah lenyap dari alat pendingin, NH3 tersebut diserap oleh larutan asam borat H3BO3. (Alaerts,G.1984)

Penentuan Nitrogen dengan metode Kjeldahl merupakan hal yang sangat penting. Pada dasarnya, bahan dioksidasi dengan asam sulfat pekat panas hingga hancur. Tahap ini disebut tahap digestion. Disini Nitrogen diubah menjadi ion ammonium. Pada tahap berikutnya, larutan ditambah basa kuat sehingga bereaksi basa lalu didestilasi. Hasil destilasi ditampung dengan HCl baku yang tertentu jumlahnya untuk mengikat NH3

tersebut, kemudian destilat dititrasi dengan NaOH baku untuk menentukan kelebihan asam.

Selisih HCl yang ditambahkan dengan yang dititrasi merupakan jumlah yang diikat NH3 sehingga dapat dihitung sebagai NH3 yang terdestilasi dan dengan demikian N di dalam analit dapat ditentukan.

Reaksi – reaksi

a. Protein + oksidator katalis NH4+ + CO2 + H2O + lain – lain (destruksi ) b. NH4+ + OH- NH3 + H2O ( destilasi )

c. NH3 + HCl berlebih NH4Cl ( penampungan ) d. HCl sisa + NaOH NaCl + H2O ( titrasi ) atau :

e. NH3 + H3BO3 NH4H2BO3 ( penampungan ) f. NH4H2BO3 + HCl H3BO3 + NH4Cl ( titrasi ) ( W. Harjadi, 1993 ).

2.9. Penentuan Kadar C-Organik dengan Metode Walkley dan Black

Material organik tanah merupakan sisa tumbuhan, hewan, dan organisme tanah, baik yang telah maupun yang sedang mengalami dekomposisi. Material organik tanah yang tidak terdekomposisi menjadi humus yang berwarna coklat sampai hitam dan bersifat koloidal. Pengukuran kandungan bahan organik tanah berdasarkan jumlah organik yang mudah teroksidasi akan mereduksi Cr2O72- yang diberikan secara berlebihan. Reaksi ini terjadi karena adanya energi yang dihasilkan oleh reaksi H2SO4 pekat dan K2Cr2O7. Keadaan ini menyebabkan Cr5+ direduksi oleh C-organik menjadi warna hijau dari Cr3+.(Nurdin, M.Suin, 2002)

Teknik penetapan C – organik yang paling standar adalah oksidasi bahan organik oleh dikromat yang mana metode ini lebih sering disebut metode Walkley dan Black. Dalam prosedurnya Kalium dikromat ( K2CrO7 ) dan asam sulfat pekat ( H2SO4 ) ditambahkan kedalam bahan organik, dimana larutan tersebut harus didinginkan terlebih dahulu sebelum ditambahkan dengan air. Penambahan asam pospat ( H3PO4 ) kedalam larutan tersebut berguna untuk mengurangi interferensi dari Fe3+ yang mungkin sering terjadi. Persamaan reaksinya adalah sebagai berikut :

2 Cr2O72- + 3 C + 16 H+ 4 Cr3+ + 3 CO2 + 8 H2O

Prosedur dari Walkley dan black ini sangat luas digunakan sederhana, cepat dan tidak memerlukan peralatan yang mahal, akan tetapi prosedur ini hasil oksidasi tidak dapat mencapai hasil yang optimal, yang mana prosedur tersebut hanya mampu mengoksidasi bahan organik antara 60% - 75% .( Zimmerman, 1997 )

BAB 3

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1. Alat-alat yang digunakan

Alat-alat yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah:

- Buret 25 mL Pyrex

- Statif

- Klemp

- Alat destilasi Quickfit

- Labu Kjeldahl Pyrex

- Neraca analitis Mettler PM 400

- Labu Erlenmeyer Pyrex

- Gelas beaker 250 mL Pyrex - Pipet volumetri 10 mL Pyrex - Pipet volumetri 5 mL Pyrex - Labu takar 100 mL Pyrex - Pipet Skala 5 mL Pyrex

3.2. Bahan-bahan yang digunakan

Bahan-bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah: - Tumbuhan Hidrilla

- Sekam kayu - Dedak

- H2SO4 (p) p.a E. Merck

- (NH4)2Fe(SO4)2 .6H2O p.a E. Merck - K2Cr2O7 p.a E. Merck

- NaOH p.a E. Merck

- Fenolftalein p.a E. Merck - Metil Merah p.a E. Merck

- Metil Biru p.a E.Merck - H2C2O4. 2H2O p.a E. Merck

- HCl p.a E. Merck

- H3BO3 p.a E. Merck

- H3PO4 p.a E. Merck

- Indikator difenilamin p.a E. Merck

- Selenium p.a E. Merck

- Akuades - Bakteri EM4

3.3. Prosedur Penelitian

3.3.1. Penyediaan sampel Hidrilla

Hidrilla yang diambil secara acak, dikeringkan dibawah sinar matahari selama 3 hari, kemudian dirajang menjadi potongan – potongan kecil.

3.3.2. Pembuatan Starter Effective Microorganism 4 (EM4)

Kedalam gelas beaker dimasukkan bakteri EM4 sebanyak 5 mL, kemudian ditambahkan akuades sebanyak 1 L, selanjutnya ditambahkan gula pasir sebanyak ½ sendok makan, diaduk sampai homogen dan dibiarkan selama 24 jam.

3.3.3. Pembuatan kompos Hidrilla

Disediakan sebanyak 6 kg sampel (Hidrilla yang telah kering) dan dihaluskan,1 kg dedak, 0,1 kg sekam kayu, dimasukkan kedalam ember, ditentukan rasio C/N masing – masing sampel sebelum pengomposan, lalu dicampurkan, kemudian ditambahkan starter EM4 yang telah diencerkan ( 5 mL dalam 1000 mL akuades ), diaduk sampai rata, ditutup, dan dibiarkan selama 2 , 4, 8 , 12 , 16 dan 20 hari.

3.3.4. Pembuatan Pereaksi dan Larutan Standar

a. Larutan Kalium Dikromat (K2Cr2O7)1 N

Ditimbang secara kuantitatif kristal K2Cr2O7 sebanyak 4,90 g, dimasukkan kedalam labu takar 100 mL lalu dilarutkan dengan akuades, diencerkan hingga garis tanda, kemudian dihomogenkan.

b. Larutan Ferro Amonium Sulfat (NH4)2Fe(SO4)2. 6 H2O 1 N

Ditimbang secara kuantitatif kristal (NH4)2Fe(SO4)2. 6H2O sebanyak 39,20 g lalu dilarutkan dalam labu takar 100 mL dengan 80 mL akuades. Kedalam larutan itu ditambahkan 5 mL H2SO4(p) dan kemudian diencerkan sampai garis tanda.

c. Larutan Indikator Difenilamin 1 %

Ditimbang secara kuantitatif kristal difenilamin sebanyak 1,00 g lalu dilarutkan dengan H2SO4(p) dalam labu takar 100 mL sampai garis tanda, kemudian diaduk hingga larut seluruhnya.

3.3.4.2. Pembuatan Pereaksi untuk Penentuan Nitrogen ( Metode Kjeldahl )

a. Larutan NaOH 40 %

Ditimbang secara kuantitatif kristal NaOH sebanyak 40,00 g, lalu dimasukkan kedalam labu takar 100 mL, kemudian dilarutkan dengan akuades, diaduk sampai homogen dan diencerkan sampai garis tanda sambil diaduk

b. Larutan indikator Fenolftalein 1 %

ditimbang secara kuantitatif kristal fenolftalein sebanyak 1,00 g lalu dimasukkan kedalam labu takar 100 mL, kemudian dilarutkan dengan akuades, diaduk sampai homogen dan diencerkan sampai garis tanda sambil diaduk

c. Larutan H3BO3 3 %

Ditimbang secara kuantitaf asam borat sebanyak 3,00 g lalu dimasukkan kedalam labu takar 100 mL, kemudian dilarutkan dengan akuades, diaduk sampai homogen dan diencerkan sampai garis tanda sambil diaduk.

d. Larutan indikator campuran

Dicampurkan 2 bagian indikator metil biru 0,1 % (b/v) dan 1 bagian indikator metil merah 0,2 % (b/v) dalam etanol.

e. Larutan H2C2O4 0,01 N

Ditimbang secara kuantitatif kristal H2C2O4.2H2O sebanyak 0,63 g lalu dimasukkan kedalam labu takar 1000 mL, kemudian dilarutkan dengan akuades, diaduk sampai homogen dan diencerkan sampai garis tanda sambil diaduk.

f. Larutan NaOH 0,01 N

Ditimbang secara kuantitatif kristal NaOH sebanyak 0,40 g lalu dimasukkan kedalam labu takar 1000 mL, kemudian dilarutkan dengan akuades, diaduk sampai homogen dan diencerkan sampai garis tanda sambil diaduk

g. Larutan HCl 0,01 N

Sebanyak 0,83 mL HCl 37 % dipipet ke dalam labu takar 1000 mL, diencerkan dengan akuades sampai garis tanda, kemudian dihomogenkan.

h. Standarisasi Larutan NaOH 0,01 N

- Dipipet 10 mL larutan H2C2O4 0,01 N di masukkan dalam gelas erlenmeyer - Ditambah 3 tetes indikator fenolftalein

- Dtitrasi dengan NaOH hingga terjadi perubahan warna menjadi merah lembayung - Dilakukan hal yang sama sebanyak 3 kali

i. Standarisasi Larutan HCl 0,01 N

- Dipipet 10 mL larutan HCl 0,01 N lalu dimasukkan dalam gelas erlenmeyer - Ditambah 3 tetes indikator fenolftalein

- Dititrasi dengan NaOH yang telah distandarisasi hingga terjadi perubahan warna menjadi merah lembayung

3.3.4.3. Penentuan kadar C-Organik pada Sampel

- Ditimbang secara kuantitatif sebanyak 0,025 g sampel yang telah dihaluskan dan kering udara dimasukkan kedalam Erlenmeyer 250 mL

- Ditambahkan 10 mL K2Cr2O7 1 N

- Ditambahkan 10 mL H2SO4(p) secara perlahan - Dikocok sampai homogen

- Didiamkan selama 30 menit agar proses oksidasi sempurna - Ditambah 100 mL akuades

- Ditambah 5 mL H3PO4 85 %

- Ditambah 3 tetes indikator difenilamin 1 % - Disaring dengan kertas whatman 41

- Dikocok, kemudian dititrasi dengan larutan ferro ammonium sulfat 1 N hingga warna berubah dari hijau kotor menjadi hijau terang

- Dicatat volume ferro ammonium sulfat yang terpakai - Dilakukan hal yang sama sebanyak 3 kali

3.3.4.4 Penentuan Nitrogen

- Ditimbang secara kuantitatif sebanyak 0,1 g sampel dan dimasukkan dalam labu Kjeldahl

- Ditambahkan 0,3 g selenium dan 25 mL H2SO4 pekat

- Sampel didestruksi dalam tabung reaksi menggunakan Kjeldahl term pada suhu 400oC, sehingga larutan yang ada dalam tabung menjadi kuning jernih

- Dipindahkan sampel tersebut ke dalam tabung destilasi, ditambah 50 mL akuades, ditambah 3 tetes indikator fenolftalein dan juga NaOH 40 % sehingga berwarna merah lembayung

- Disediakan penampung hasil destilat berupa gelas Erlenmeyer yang berisi 50 mL H3BO3 3 % dan 3 tetes indikator campuran

- Dipasang tabung destilasi pada alat destilasi, kemudian diletakkan penampung destilat pada ujung kondensor

- Destilat kemudian dititrasi dengan HCl 0,01 N sampai terbentuk warna merah lembayung

- Dicatat volume titran dan ditentukan % N - Dilakukan hal yang sama sebanyak 3 kali

3.4. Bagan Penelitian

3.4.1. Pembuatan Starter EM4

dimasukkan kedalam gelas beaker 1 L

ditambahkan 1 L akuades ditambahkan ½ sendok makan gula pasir

diaduk sampai homogen dibiarkan selama 24 jam Starter EM4

3.4.2. Penyediaan Sampel dan Tahap Fermentasi dengan EM4

Sekam Kayu 0,1 kg Dedak 1 kg Hidrilla kering 6 kg

dirajang

Campuran Hidrilla, dedak, dan sekam kayu

difermentasi dengan bakteri EM4 dimasukkan ke dalam ember

dibuat variasi waktu fermentasi 2, 4, 8, 12, 16,dan 20 hari diaduk sekali dalam sehari Hasil Fermentasi

ditentukan kadar C dan N setelah fermentasi dengan variasi waktu 2, 4, 8,12, 16, dan 20 hari Hasil ditentukan kadar Karbonnya ditentukan kadar Nitrogennya ditentukan kadar Karbonnya ditentukan kadar Karbonnya ditentukan ka ditentukan kadar Nitrogennya dar Nitrogennya

dimasukkan kedalam oven pada suhu 80oC selama 2 jam

dihitung rasio C/N

ditentukan rasio C/N campuran sebelum fermentasi ( 0 hari )

3.4.3. Bagan Penentuan kadar Karbon Metode Walkley dan Black

Catatan : Prosedur dilakukan untuk masing-masing sampel sebelum dan sesudah

pengomposan

Pengukuran dilakukan sebanyak 3 kali dan disajikan sebagai nilai rata-rata Campuran homogen Filtrat 0,025 g sampel kering ditambahkan 10 ml K2Cr2O7 ditambah 10 ml H2SO4(p) dihomogenkan

didiamkan selama 30 menit agar proses oksidasi sempurna

ditambah 100 ml akuades ditambah 5 ml H3PO4 85 %

ditambah 3 tetes indikator difenilamin 1 % disaring dengan kertas saring whatman 41

dikocok, kemudian di titrasi dengan larutan ferro ammonium sulfat 1 N hingga warna berubah dari hijau kotor menjadi hijau terang dicatat volume ferro ammonium sulfat yang terpakai

3.4.4. Bagan Penentuan Nitrogen Metode Kjeldahl destilat dititrasi dengan HCl 0,01 N 0,1 g sampel kering ditambah 0,3 g selenium ditambah 25 ml H2SO4(p) Larutan kuning

didestruksi pada suhu 400oC dengan kjeldahl term sampai larutan kuning jernih

dipindahkan kedalam labu destilasi ditambah 50 ml akuades

ditambah 3 tetes indikator fenolftalein ditambah NaOH 40% sampai

berwarna merah lembayung

ditampung dalam labu erlenmeyer yang berisi 50 ml asam boraks 3% dan 3 tetes indikator campuran

Larutan merah muda

Dicatat volume HCl 0,01 N yang terpakai didestilasi

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil dan Pengolahan Data 4.1.1. Hasil Penelitian

Data hasil penentuan C – Organik dengan metode Walkley Black dapat dilihat pada tabel 4.1, Penentuan Nitrogen dengan metode Kjeldahl dapat dilihat pada tabel 4.2

Tabel 4.1 Data Volume (NH4)2Fe(SO4)2 0,9433 N yang terpakai dalam Penentuan C – Organik dengan Metode Walkley Black

No Perlakuan Berat Kering sampel (g) Volume(NH4)2Fe(SO4)2 0,9433 N ( mL ) 1 Blangko - 10,55 10,60 10,65 2 Sekam Kayu 0,025 7,50 7,40 7,60 3 Dedak 0,025 7,80 7,60 7,65 4 Hidrilla 0,025 8,10 7,80 7,95 5 Tanpa Pengomposan 0,025 7,80 7,70 7,70 6 Pengomposan 2 hari 0,025 7,75 7,90 7,90 7 Pengomposan 4 hari 0,025 8,25 8,30 8,15 8 Pengomposan 8 hari 0,025 8,55 8,35 8,70

9 Pengomposan 12 hari 0,025 8,70 8,95 8,85 10 Pengomposan 16 hari 0,025 9,40 9,25 9,10 11 Pengomposan 20 hari 0,025 9,60 9,45 9,80

Tabel 4.2 Data Volume HCl 0,0112 N yang terpakai dalam Penentuan Nitrogen dengan Metode Kjeldahl

No Perlakuan Berat kering sampel ( g ) Volume HCl 0,0112N ( mL ) 1 Blangko 0,1 0,3 0,3 0,3 2 Sekam Kayu 0,1 1,10 0,95 1,00 3 Dedak 0,1 5,00 5,20 4,85 4 Hidrilla 0,1 13,25 13,40 13,60 5 Tanpa Pengomposan 0,1 9,90 9,95 9,80 6 Pengomposan 2 hari 0,1 9,80 9,95 9,70 7 Pengomposan 4 hari 0,1 9,70 9,50 9,85 8 Pengomposan 8 hari 0,1 9,30 9,10 9,45 9 Pengomposan 12 hari 0,1 9,25 9,10 9,00

10 Pengomposan 16 hari 0,1 9,20 9,10 8,95 11 Pengomposan 20 hari 0,1 8,90 9,15 9,00 4.1.2. Penentuan % C – Organik

Penentuan Normalitas (NH4)2Fe(SO4)2 standar yang digunakan untuk menentukan % C – Organik : 2 4 2 4 7 2 2 7 2 2 2 4 2 4 ) ( ) (NH K V x SO Fe V O Cr O Cr N K ) Fe(SO ) (NH N

N (NH4)2Fe(SO4)2 = Normalitas (NH4)2Fe(SO4)2 standar

V (NH4)2Fe(SO4)2 = mL (NH4)2Fe(SO4)2 yang terpakai untuk blangko

N K2Cr2O = Normalitas K2Cr2O7yang digunakan sebagai larutan standar primer

V K2Cr2O7 = mL K2Cr2O7 yang digunakan untuk menstandarisasi

mL 60 , 10 mL 10 x N 1 ) ( ) (NH N 4 2Fe SO4 2  = 0,9433 N

Penentuan % C – Organik dalam sampel dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

 

0,77 x ) g ( sampel kering berat 0,33 x ] ) (SO ) (NH V x ) (SO ) (NH N -[10 ) % ( Organik 4 2Fe 4 2 4 2Fe 4 2 C  Dimana :

N (NH4)2Fe(SO4)2 = Normalitas (NH4)2Fe(SO4)2 standar

Catatan : Nilai 0,33 menyatakan bahwa 1 grek K2Cr2O7 dapat mengoksidasi 3 grek (NH4)2Fe(SO4)2 dan nilai 0,77 menyatakan bahwa sebanyak 77% senyawa

organik yang dapat dioksidasi K2Cr2O7

Berdasarkan data volume (NH4)2Fe(SO4)2 0,9433 N yang terpakai dalam penentuan C- Organik dengan metode Walkley Black ( tabel 4.1 ) maka dapat ditentukan % C- Organik pada sampel yaitu:

Untuk Hidrilla sebelum dikomposkan

Pengukuran I 0,77 x g 025 , 0 0,33 x 8,10)] x (0,9433 -[10 Organik -  C = 38,972 %

Untuk data hasil pengukuran C – Organik II dan III pada Hidrilla sebelum dikomposkan ditunjukkan pada tabel 4.3 pada lampiran demikian juga untuk data hasil pengukuran C – Organik pada Dedak dan Sekam kayu sebelum dan setelah pengomposan dengan variasi pengomposan 2 sampai 20 hari dengan interval waktu 4 hari ( setiap pengukuran C – Organik masing-masing dilakukan sebanyak 3 kali ).

4.1.3. Penentuan % Nitrogen

Penentuan Normalitas HCl standar yang digunakan untuk menentukan % Nitrogen :

HCl NaOH V x NaOH N HCl V N

N NaOH = Normalitas NaOH standar

V NaOH = mL NaOH yang terpakai dalam standarisasi

Dokumen terkait