• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teknologi Penyulingan

Teknologi penyulingan di Jawa Barat pada dasarnya sama dengan teknologi yang dipergunakan di Nagroe Aceh Darussalam karena perintis usaha minyak pala di Bogor dan Sukabumi berasal dari Aceh. Metode penyulingan yang dipergunakan umumnya metode uap langsung, namun ada beberapa usaha menggunakan kombinasi sistem kukus dan uap atau dengan metode sistem kukus saja.

Pada semua usaha penyulingan, peralatan penyulingan terbuat dari stainless steel, umumnya dirakit sendiri atau memesan kepada perusahaan alat pertanian dengan modifikasi sesuai keinginan pemesan dan terdiri dari empat komponen yaitu:

1) Ketel uap (steam boiler)

Bahan bakar yang digunakan untuk ketel uap berupa minyak tanah dan beberapa usaha menggunakan kayu bakar untuk efisiensi biaya. Dalam proses penyulingan diperlukan waktu yang lama sehingga penggunaan minyak tanah dapat meningkatkan biaya produksi. Oleh karena itu, penggunaan sumber energi yang lebih murah seperti batu bara seperti yang dilakukan CV Mitra Muda Mandiri memodifikasi ketel uap berbahan bakar batu bara tersebut.

2) Ketel suling (retort)

Kapasitas ketel suling bervariasi mulai dari 250 kg (PD Rempah sari) sampai 600 kg (UD Cinta Damai).

3) Pendingin (condensor)

PT. Pavetsia menggunakan kondensor berbentuk spiral yang dibungkus dengan aluminium berbentuk tabung sedangkan yang lain menggunakan kondensor yang berada didalam bak berisi air.

4) Pemisah minyak

Pemisah minyak terletak dalam suatu kamar terpisah dan dalam kondisi terkunci kecuali PT Pavetsia untuk menghindari hilang/berkurangnya jumlah minyak yang dihasilkan. Pada beberapa penyuling, bahan baku terkadang merupakan milik orang lain yang menyewa peralatan penyulingan dengan biaya Rp. 25.000/kg minyak pala yang dihasilkan. Dalam kondisi demikian kunci dipegang oleh pemilik bahan baku.

Kegiatan penyulingan diawali dengan mengecilkan biji pala kering menjadi ukuran tertentu (0,5-1cm) dengan menggunakan grinder. Bahan baku yang terdiri atas campuran biji pala yang sudah dihaluskan dan fuli pala dengan perbandingan tertentu dimasukan kedalam ketel penyulingan dan disusun rapi menggunakan rak. Selanjutnya boiler dihidupkan, untuk penyulingan dengan cara kohobasi, uap yang dihasilkan oleh boiler dihembuskan ke bagian atas ketel penyulingan sedangkan dari bawah berupa uap yang berasal dari air mendidih yang berada di bagian bawah ketel suling. Untuk proses penyulingan uap, uap dihembuskan dari bagian samping bawah ketel suling. Proses penyulingan dilakukan pada tekanan 1 atm selama 24-30 jam dengan rendemen yang dihasilkan berkisar 11-16 % tergantung kepada bahan baku yang disuling. Penyulingan akan memberikan keuntungan jika rendemen minyak yang dihasilkan minimal 9%. Minyak pala selanjutnya dijernihkan dan dipisahkan dari kotoran melalui proses penyaringan dan disimpan didalam jerigen.

5.6. Pemasaran

Para penyuling umumnya menjual langsung minyak pala yang dihasilkan kepada pedagang pengumpul. Terkadang, karena keterbatasan modal pedagang pengumpul menjual lagi kepada pedagang perantara sebelum sampai ke tangan eksportir. Harga minyak pala ditingkat penyuling bervariasi antara Rp. 270.000- Rp. 290.000 tergantung kualitas minyak pala yang dihasilkan. Minyak pala yang diperoleh eksportir dari pedagang perantara biasanya masih mengandung kotoran dan terdiri atas beberapa kelas mutu sehingga memerlukan penanganan lebih lanjut antara lain proses penjernihan, pengelompokkan (grading), pencampuran

50 Harga minyak pala untuk luar negeri ditetapkan berdasarkan kadar miristisin (minimal 10%) disamping aroma, warna dan kandungan isabinen intern. Harga ditetapkan berdasarkan kesepakatan penjual dan pembeli. Harga eksport minyak pala sebesar US$ 36/kg CNF (Cost on Freight/harga terima di pelabuhan importir). Pembeli biasanya telah menentukan terlebih dahulu kriteria/standar mutu minyak pala yang dibutuhkan. Persyaratan mutu yang ditentukan pembeli tergantung pada tujuan penggunaan minyak pala tersebut. Untuk keperluan industri kosmetik dan parfum, maka yang dipersyaratkan adalah kandungan komponen aromanya karena komponen aroma tersebut akan memberi aroma khas dan kesan yang khusus sedangkan untuk keperluan industri farmasi (obat-obatan) kandungan miristisin merupakan hal yang sangat penting.

5.7. Pengujian Mutu

Pengujian mutu umumnya tidak dilakukan oleh penyuling tetapi oleh pihak pembeli/eksportir. Eksportir akan membeli minyak dari pedagang pengumpul jika memenuhi standar mutu perdagangan yang ditetapkan masing-masing eksportir. Standar yang ditetapkan antara lain kadar miristisin (minimal 10%), uji organoleptik (aroma tidak gosong/hangus dan warna jernih), putaran optik (+8) keatas dan kadar sabinen (20%) serta tidak ada cemaran dalam minyak pala (kerosin, terpentin, minyak lemak dan lain-lain). Untuk memenuhi permintaan ekspor, masing-masing eksportir mengirim contoh minyak pala ke negara pemesan beserta certificate of analysis. Jika contoh minyak diterima maka eksportir akan mengirim minyak pala ke negara pemesan.

Hasil wawancara dengan pelaku usaha minyak pala di Propinsi Jawa Barat maka terindentifikasi keunggulan industri minyak pala sebagai berikut : (1) pelaku usaha minyak pala sebagian besar berusia muda, idealis dengan latar belakang pendidikan yang cukup tinggi, (2) pengembangan industri minyak atsiri merupakan salah satu fokus kebijakan pemerintah, (3) iklim Indonesia sesuai untuk pengembangan komoditas tanaman pala, (4) tanaman pala berumur s.d 70 tahun dan berbuah sepanjang tahun sehingga sangat sesuai untuk dikembangkan menjadi tanaman pekarangan untuk membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari rumahtangga petani.

Hasil wawancara dengan pelaku usaha minyak pala di Propinsi Jawa Barat juga terindentifikasi kelemahan industri minyak pala sebagai berikut: (1) pengurusan perizinan, rantai tataniaga yang panjang serta adanya kartel yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi, (2) bisnis bersaing sehat belum sepenuhnya diterapkan pelaku usaha minyak pala khususnya pada saat munculnya pendatang baru usaha penyulingan, (3) kebun/tanaman pala umumnya masih diusahakan secara turun temurun dan belum menerapkan sistem budidaya tanaman pala yang baik, (4) kepemilikan lahan/tanaman pala umumnya sangat kecil sehingga kurang memberikan produktivitas dan efisiensi yang memadai, (5) ketersediaan bahan baku tidak kontinyu karena ekspor biji pala destilasi terus berlangsung disebabkan belum adanya larangan pemerintah untuk ekspor biji pala destilasi, (6) peralatan produksi berupa ketel suling dan alat pembangkit uap masih pada tingkat teknologi sederhana, (7) perusahaan alat penyulingan belum tersedia, (8) pada aspek permodalan, sebagian besar petani, penyuling maupun pedagang memiliki modal kerja yang terbatas, (9) fungsi kelembagaan, pembiayaan, bengkel, supplier, sistem informasi pasar dan la in-lain masih belum berkembang, (10) alat pengukur kadar air biji pala belum tersedia, (11) komunikasi antar sesama pelaku usaha masih kurang, (12) teknologi masih tertinggal.

5.8. Pembentukan Nilai Tambah Usaha

Setiap kegiatan produksi atau pengolahan terhadap bahan baku (produk pertanian) akan menghasilkan nilai tambah. Besarnya nilai tambah tersebut merupakan selisih antara komoditi hasil proses perubahan dengan nilai pengorbanan yang digunakan dalam proses tersebut. Secara umum nilai tambah yang diperoleh dari proses pengolahan adalah pengurangan biaya bahan baku dan input lainnya terhadap nilai produk yang dihasilkan. Dalam metode Hayami analisis nilai tambah produk pertanian dapat dilakukan secara sederhana, yaitu perhitungan nilai tambah per unit satuan bahan baku untuk satu kali proses pengolahan yang menghasilkan satu produk tertentu. Metode ini sangat tepat untuk penilaian proses pengolahan produk-produk pertanian, serta dapat mencakup semua jenis pengolahan yang berbeda dalam satu badan usaha.

52 Usaha penyulingan minyak pala sebagai salah satu usaha pengolahan produk pertanian dengan bahan baku tanaman pala (biji pala dan fuli), juga membentuk nilai tambah buah pala. Berdasarkan metode Hayami tersebut, nilai tambah usaha penyulingan minyak pala kasus di Kabupaten Bogor dan Sukabumi dari 7 (tujuh) kelompok usaha kecil terlihat bahwa manajemen usaha sangat berpengaruh terhadap pembentukan nilai tambah tersebut. Pemanfaatan sumberdaya untuk pembentukan nilai tambah diperlukan pengorbanan berupa biaya-biaya untuk pengadaan bahan baku, tenaga kerja, bahan penunjang (bahan bakar) serta investasi (Lampiran 16). Dengan bentuk pengeluaran input tersebut, kecenderungannya usaha informal seperti kelompok usaha D dan F yang dikelola perorangan (keluarga) tidak memperoleh nilai tambah atau mengalami kerugian, sedangkan kelompok usaha informal cenderung memperoleh nilai tambah. Kelompok usaha A dalam bentuk usaha dagang memperoleh nilai tambah sebesar Rp. 3,489,306.-. Kelompok usaha yang berbentuk PT memperoleh nilai tambah untuk satu kali proses sebesar Rp. 9,179,444.-, demikian juga untuk bentuk lain seperti CV dan PD mencapai lebih dari dua juta rupiah per proses (Tabel 10).

Tabel 10 Nilai tambah usaha penyulingan minyak pala (untuk 1 kali proses)

Parameter Kelompok Usaha

A B C D E F Bahan Baku (kg) 1.200 750 800 1.200 500 1.000 Bahan Baku (Rp) 41.400.000 27.000.000 28.800.000 41.400.000 18.000.000 31.100.000 Tenaga Kerja (Rp) 270.000 300.000 300.000 160.000 280.000 160.000 Bahan bakar (Rp) 100.000 1.320.000 605.000 550.000 687.500 75.000 Pemakaian alat Penyulingan (Rp) 100.694 121.528 555.556 100.694 100.694 100.694 Jumlah Input (Rp) 41.870.694 28.741.528 30.260.556 42.210.694 19.068.194 31.435.694 Rendemen 14% 15% 17% 13% 16% 12% Output (kg) 168 113 136 156 80 120 Harga output (Rp) 270.000 280.000 290.000 270.000 270.000 260.000 Total output (Rp) 45.360.000 31.500.000 39.440.000 42.120.000 21.600.000 31.200.000 Nilai tambah (Rp) 3.489.306 2.758.472 9.179.444 (90.694) 2.531.806 (235.694)

Keterangan: (A) UD Cinta Damai; (B) CV. MMM; (C) PT PAI; (D) P.Iwan; (E) PD Rempah Sari; (F) P. Jajang

Pembentukan nilai tambah tersebut dapat diperoleh dengan peningkatan rendemen proses pengolahan dengan penggunaan alat dan mesin yang efektif dan efisien. Kelompok usaha yang tidak memperoleh nilai tambah sebagian besar tidak memiliki manajemen pengelolaan alat dan mesin serta keterbatasan modal untuk investasi dan pengadaan bahan baku (modal kerja). Kendala lain usaha perorangan (petani) tidak memiliki kekuatan dalam pemasaran untuk mengakses informasi harga, sehingga posisi tawarnya juga lemah.

Pada kondisi tersebut usaha mengalami penurunan dayasaing dan cenderung gagal. Namun, dengan asumsi mengurangi faktor input tenaga kerja usaha mikro (petani) dapat memperoleh nilai tambah yang dapat digunakan untuk keberlangsungan usahanya. Salah satu faktor pembentukan dayasaing adalah keberlangsungan usaha yang konsisten. Alternatif lainnya dayasaing usaha mikro (petani) untuk mencapai keberhasilan dilakukan upaya pengembangan klaster dan jejaring bisnis dengan partisipasi aktif semua stakeholders. Penguatan usaha mikro dalam klaster industri harus memeperhatikan keterkaitan pasar yang dinamis, keterampilan spesifik masyarakat (khas), kemampuan manajerial yang mandiri, serta dukungan pemerintah lokal dan atau regional dalam penumbuhan inovasi dan jejaring bisnis pengembangan klaster tersebut.

VI. HASIL IDENTIFIKASI DAN MODEL STRUKTUR

FAKTOR PENENTU DAYASAING

Identifikasi sub faktor penentu dayasaing dilakukan berdasarkan pada teori Diamond Porter melalui interview mendalam kepada pakar yang kompeten dalam bidang akademis, birokrasi, pengusaha dan praktisi (Lampiran 7). Hasil identifikasi dianalisis menggunakan metode ISM yang didukung dengan perangkat lunak Mathlab 7 (The Mathwork). Logika analisis dibangun dalam Mathlab 7 dengan kode pemrograman dan hasil SSIM final disajikan pada Lampiran 8 dan 9. Hasil identifikasi keseluruhan diperoleh 37 (tiga puluh tujuh) sub faktor penentu dayasaing minyak pala Indonesia dengan rincian faktor sebagai berikut:

Dokumen terkait