• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEKS LONTAR ISTRI SASANA: ANALISIS STRUKTUR MAKRO

I Ketut Ngurah Sulibra Ni Ketut Ratna Erawati

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

Abstrak

Bali banyak menyimpan naskah-naskah lontar. Sampai saat ini sebagian masyarakat di Bali masih melakukan tradisi salin-menyalin naskah lontar, baik yang bersifat naratif maupun yang bersifat praktis. Naskah lontar Bali mengandung berbagai macam nilai kearifan lokal Bali yang perlu terus dipertahankan. Dari berbagai jenis lontar Bali, jenis tutur merupakan salah satu klasifikasi lontar yang mendapat perhatian sangat baik karena mengandung makna filosofis yang sangat dalam. Dalam tulisan ini, dibahas salah satu naskah lontar berbetuk jenis tutur (dari segi isi) yang berjudul

Istri Sasana. Naskah ini tersimpan dengan baik di Fakultas Ilmu Budaya.

Secara kontekstual, naskah ini layak dibaca dan dipahami sebagai perbandingan dalam kehidupan sehari-hari terutama untuk kalangan perempuan dan juga harus menjadi perhatian bagi kaum laki-laki atau suami agar rumah tangga harmonis. Ada beberapa hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh para gadis kemudian berlanjut dalam hubungannya dengan kehidupan suami istri. Teks Istri Sasana ini akan dibahas secara makrostruktural. Teks ini lebih banyak menekankan pada konsep kangkang, yakni dominasi perilaku dengan perbuatan atau tindakan yang tidak dapat ditahan.

Kata kunci: lontar, kearifan lokal, struktur, kangkang

Pendahuluan

Bagi masyarakat Bali, istilah tutur tidak asing dan menjadi kosa kata sehari-hari. Dalam Kamus Bali-Indonesia (Tim Penyusun, 2016: 1065), istilah tutur berarti nasihat, cerita. Dari bentuk tutur ini lalu didapatkan bentuk derivasi nutur ‘bercerita, mengobrol’,

Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana

[ 140 ]

tuturang ‘ceritakan’, nuturang ‘menceritakan’, tuturin ‘nasihati, diceritai’, nuturin ‘menasihati, menceritai’, dan bentuk-bentuk derivasi lainnya dengan makna lainnya juga. Pengertian yang berbeda dideskripsikan dalam Kamus Jawa Kuna-Indonesia (Zoetmulder dan Robson, 1997: 1307) bahwa istilah tutur diberi makna (I) ingatan, kenang-kenangan, kesadaran,, lubuk jiwa mahluk yang paling dalam, (tempat persatuan dengan Yang Mutlak), tradisi suci, teks berisi doktrin religi, doktrin religi; (II) berarti ikut, misalnya dalam bentuk derivasi tumutur ‘mengikuti, menyertai’. Haryati Soebadio memberikan pengertian tutur sebagai pelajaran dogmatis yang diteruskan kepada murid-murid yang memenuhi syarat. Sebagaimana pengertian tutur dengan berbagai bentuk derivasinya, istilah tutur dalam bahasa Bali yang lebih mengedepankan aspek kegiatan atau sebagai kata kerja. Pengertian tutur dalam bahasa Jawa Kuna diberikan makna lebih dalam menyangkut aspek filosifis serta hati nurani. Walaupun diberikan makna yang berbeda-beda, namun dalam masyarakat Bali istilah tutur yang berkaitan dengan aspek filosofis sebagaimana dideskripsikan dalam bahasa Jawa Kuna tidak menjadi persoalan karena masyarakat Bali sangat memahami tentang teks-teks yang berisi tentang hal demikian. Senyatanya bahwa masyarakat Bali tidak asing dengan Tutur Sundarigama, Tutur Wariga Gemet, dan teks-teks tutur lainnya, salah satunya termasuk teks-teks Istri Sasana.

Naskah Istri Sasana yang dikoleksi di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana tersimpan dan dirawat dengan baik. Oleh karena itu, tulisannya dalam aksara Bali mudah untuk dibaca. Teks atau naskah ini disajikan dalam bentuk prosa dengan jumlah 13 lembar lontar. Teks ini sangat menarik selain hanya menggunakan satu jenis pupuh yakni pupuh durma sehingga secara bentuk dapat dimasukkan ke dalam bentuk geguritan. Isi teks ini juga sangat menarik. Secara umum isinya berkisar tentang perilaku yang wajib diketahui untuk dilakukan oleh seorang perempuan. Tidak itu saja,

āna

āna

[ 140 ]

Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana

[ 141 ]

bahkan kaum laki-laki pun wajib memahaminya agar kelak tidak terjadi sesuatu yang kurang baik dalam menata rumah tangga. Apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan, bagaimana seharusnya menjadi seorang gadis dalam menjaga diri agar tidak terjadi hal buruk sehingga mendapatkan penghargaan yang sepantasnya.

Berdasarkan pengelompokan naskah-naskah lontar yang dilakukan oleh Gedong Kirtya, naskah-naskah jenis tutur dikelompokkan ke dalam kelompok Wariga (wariga, tutur, kanda, usada). Pigeaud mengelompokkan tutur sebagai naskah-naskah keagamaan (tutur, kalpasastra, weda, mantra, puja, sasana, niti). Selanjutnya, naskah milik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana naskah lontar Istri Sasana dikelompokkan ke dalam kelompok geguritan dengan nomor kropak no 297 Rt 523 panjang 55 cm lebar 3 cm. Namun ditinjau dari segi isinya, teks ini dapat digolongkan ke dalam kelompok tutur.

Pembahasan

Menurut Hasan (1994: 72) yang dimaksud dengan struktur teks adalah keseluruhan dari teks, struktur global bentuk pesannya. Dengan demikian pandangannya didasarkan atas makna dari struktur teks itu sendiri. Kesatuan teks tersebut juga harus menyangkut kesatuan tekstur. Van Dijk (dalam Eriyanto, 2009: 225) menyatakan bahwa teks terdiri atas tiga tingkatan. Pertama, struktur makro, yakni makna global atau umum dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang dikedepankan dalam suatu berita. Kedua, super struktur, yakni struktur wacana yang berhubungan dengan kerangka suatu teks tersusun ke dalam berita secara utuh. Ketiga, struktur mikro, adalah makna wacana yang dapat diamati dari bagian kecil dari suatu teks, yakni kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase, dan gambar. Dengan maksud yang sama tetapi

Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana

[ 142 ]

dengan ungkapan yang berbeda, Brown dan Yule (1996: 133) mengatakan struktur teks dengan istilah penahapan. Penahapan yang dimaksudkan itu adalah sesuatu yang lebih bersifat inklusif dari tematisasi (yang hanya mengacu pada pengaturan teks secara linear. Tematisasi diberikan arti bahwa setiap klausa, kalimat, paragraf, episode, dan wacana diatur di sekitar unsur tertentu yang dianggap sebagai titik tolaknya. Ini seakan-akan penutut mengemukakan apa yang ingin dikatakannya dari perspektif tertentu. Atau lebih singkatnya bahwa penahapan adalah suatu dimensi struktur prosa yang mengidentifikasikan penonjolan relatif yang diberikan kepada berbagai segmen wacana prosa. Dengan demikian, penahapan teks adalah sangat penting dalam struktur wacana, sebab sebuah wacana ditahapkan pasti mempunyai pengaruh yang berarti, baik pada proses penafsiran maupun pada proses pengingatan kembali sesudahnya. Untuk lebih mudahnya, dapat dikatakan bahwa sebuah teks terdiri atas tiga tahapan atau episode, yakni adanya teks pembuka, bagian inti atau isi teks, dan bagian penutup.

Secara keseluruhan, teks Istri Sasana terdiri dari 146 bait yang semuanya menggunakan pupuh durma (salah satu tembang macapat yang sangat populer di Bali lazim digunakan dalam geguritan atau pun parikan). Ada dua bait sebagai teks pembuka, 142 bait bagian isi, dan dua bait teks penutup. Berikut disajikan kutipannya.

Pertama, teks pembuka diawali dengan kutipan berikut ini.

Sampurayang munyi Bali têmbang durma, saking pangkah mangawi, mangikêt carita, tani nawang bêbasan, sok pongah kêdekin, sastra buricêk, pupuhe salah gênding (Durma, 1).

Terjemahnnya:

‘Maafkan (dengan) bahasa Bali menggunakan tembang durma, dengan memberanikan diri mengarang, merajut cerita, tidak tahu

āna

āna

[ 142 ]

Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana

[ 143 ]

bahasa, tidak malu ditertawakan, tulisannya juga jelek, (dengan) tembang durma yang banyak salah’

Mamurnayang manah katindihan lara, ngêbêkin tanah langit, satata prapanca, twi tan palipuran, jabaning ucapan aji, anggen pamurna, rasa tong ada malih (Durma, 2).

Terjemahannya:

‘Menghilangkan kesedihan karena duka lara, memenuhi bumi dan langit (jagat raya), selalu bingung, yang tidak dapat dihibur, kecuali hanya dengan ilmu pengetahuan, untuk menghilangkan semua nestapa, rasanya tidak ada lagi yang lain’

Struktur inti atau bagian isi dan oleh Brown dan Yule disebut dengan istilah tema (1996: 125) dimulai dari bait ketiga sebagai berikut.

Sastra pawarah Bhagawan Kamandaka, ring sisia nira sami, buat istri sasana, yatna ngamong sarira, kapasukan Sanghyang Ratih, tinut brahmatya, papaning dadi istri (durma, 3).

Terjemahannya:

‘Pelajaran sastra di Bhagawan Kamandaka, kepada semua muridnya, sebagai pegangan bagi kaum perempuan, agar berhati-hati menjaga diri, (karena) disemayami Sanghyang Ratih, (jika) mengikuti kemarahan, akan menjadi perempuan yang papa’

Krana jani patibratane jalanang, apang matoya sai, nyapuh dasa mala, mangun gunaning awak, purnama tilêm mabrêsih, mamatut payas, nrapang sarwa wêwangi. (durma, 4).

Terjemahannya:

‘Itulah sebabnya sekarang berpantangan harus taat, agar selalu mandi, (untuk) menghilangkan dasa mala (sepuluh noda), (untuk) menghidupkan potensi diri, melakukan pembersihan setiap bulan purnama dan tilem (paro gelap), berhias, mengolesi dengan wewangian’

Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana

[ 144 ]

Minakadi nyalukang mantra kaistrian, maphala drêman bangkit, utamaning kendran, ayu tan patandingan, papupulan sarwa manis, mangde prapanca, tarunane buduh paling (Durma, 5).

Terjemahannya:

‘Termasuk juga menguasai mantra tentang kewanitaan, sehinggan berbuah sayang, (ibarat) keutamaan sorga, cantik tiada banding, kumpulan serba indah, agar gundah semua laki-laki’

Kutipan teks (3 – 5) di atas merupakan petunjuk awal sebelum masuk pada materi teks yang sesungguhnya. Teks (3 – 5) mengarahkan pentingnya bagi seorang wanita untuk melakukan sesuatu, apa yang boleh apa yang tidak boleh dilakukan sehingga betul-betul menjadi seorang perempuan yang berkepribadian, yang bermartabat ibarat keutamaan seorang perempuan di sorga (kendran). Menjadi seorang perempuan sangat berat, diibaratkan sekuntum bunga yang sedang mekar dengan aroma wangi yang semerbak. Di sisi lain, seorang laki-laki diibaratkan sebagai seekor kumbang yang tiada henti mencari dan menikmati aroma harumnya kembang, terlebih lagi bunga yang baru mekar yang menawarkan kesegaran untuk menikmati manisnya madu. Hal yang demikian digambarkan dalam kutipan teks (6) dan (7).

Apan jatu karma tong dadi pilihang, srêsti Hyang Pasupati,i luh mawak bunga. bawu manêdêng kêmbang, ngaleyog ampêhang angin, panêdêng kapat, miik mambêkin gumi (Durma, 6).

Terjemahan.

‘Sebab jodoh (kelahiran?) tidak dapat dipilih, anugerah Hyang Pasupati, perempuan ibaratbunga, yang sedang mekar, bergoyang ditiup angin, saat bulan keempat (sekitar September – Oktober), harumnya memenuhi dunia’

āna

āna

[ 144 ]

Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana

[ 145 ]

Tarunane maawak tambulilingan, tan mari ngalih miik, ngisêp sari bunga, asing bawu mêkar, yogya mamilih-milihin, asing bajangan, jangkutin sai-sai (Durma, 7).

Terjemahan.

‘Laki-laki ibarat kumbang, tiada henti mencari bunga, (untuk) mengisap sarinya (madunya), setiap yang baru mekar, dapat memilih-milih, setiap yang lebih muda untuk dikeloni setiap hari’.

Teks (8 – 19) tentang tata cara memilih waktu untuk menikah atau melakukan persenggamaan. Jika dilakukan pada bulan pertama (Kasa, sekitar bulan Juni – Juli) akibatnya anak akan mati, meninggal dalam kandungan karena keracunan plasenta. Jika pernikahan dilakukan di bulan Karo (kedua, sekitar bulan Juli – Agustus) akibatnya miskin, banyak utang, tidak dipercaya orang, pakaian hanya yang melekat di badan. Jika menikah dilakukan di bulan Katiga (sekitar bulan Agustus – September) pahalanya cepat punya anak, mudah lahir laki-laki maupun perempuan. cukup sandang, pangan, dan papan. Jika dilakukan di bulan Kapat (sekitar bulan September – Oktober) pahanya menjadi orang kaya, menjadi pengusaha, banyak barang mewah, menguasai perdagangan seluruh Jawa, kampung muslim, Arab, Cina, Bugis. Jika pernikahan dilakukan pada bulan Kalima (sekitar bulan Oktober – November) pahalanya sang istri penuh pengabdian, pintar mengatur rumah tangga, pandai melayani suami, tak ingin berpisah karena sangat cinta. Jika pernikahan dilakukan di bulan Kanêm (sekitar bulan November – Desember) akibatnya aura panas sang istri sangat dominan, seringkali menyebabkan kematian suaminya, bisa mati mendadak karena tidak mendapat pertolongan orang lain. Jika pernikahan dilakukan di bulan Kapitu (sekitar bulan Desember – Januari) pahalanya sangat disukai warga sekitar, handai taulan, tidak pernah kehilangan, setiap yang dicari pasti didapatkan, jika berjualan pasti mendapat untung. Jika pernikahan dilakukan di bulan Kaulu (Kedelapan, sekitar bulan Januari – Februari) akibatnya berujung

Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana

[ 146 ]

kematian, kematian pada seluruh anggota keluarga, jika tidak mati bisa menjadi gila, membakar rumah, menimpa enam larangan (sad tatayi). Jika pernikahan dilakukan di bulan Kasanga (Kesembilan, sekitar bulan Februari – Maret) akibatnya seperti orang gila, sering kali menjadi kambing hitam (dituduh), didenda, sakit menahun, tidak pernah sehat bahkan hampir-hampir mati, kurus karena penderita koh (batuk-batuk), badan kurus kering. Pernikahan yang dilaksanakan bulan Kadasa (Kesepuluh, sekitar bulan Maret – April) pahalanya sangat baik, selamat, semua orang mencintai dan menyayangi, raja memberi kekayaan, pendeta dengan senang hati memberi pelajaran, nasihat yang baik-baik, semuanya didapatkan. Jika pernikahan dilakukan di bulan Jyesta (sekitar bulan April – Mei) pahalanya menjadi orang kaya, kekayaan datangnya tidak disangka-sangka entah dari mana asalnya, setiap hari bisa berfoya-foya, setiap yang dikerjakan berhasil, sangat disegani, hidup bahagia. Jika pernikahan dilakukan pada bulan Asadha (sekitar bulan Mei – Juni) akan berdampak pada kesulitan hidup, banyak kerjaan tapi tidak menghasilkan, kelaparan setiap hari, tidak sempat mengurus diri, sibuk kesana kemari tidak karuan, selain itu sibuk berobat kesana kemari.

Teks (20 - 25) menegaskan agar selalu taat berpantangan termasuk menghormati dan melayani suami sepenuh hati. Seorang suami diibaratkan kedudukannya sama seperti ayah yang dapat menentukan hidup matinya atau menentukan masa depannya (maguru laki). Jika berhasil melakukan itu semua, pahalanya memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Jika pantangan itu dilanggar lebih-lebih kualat terhadap leluhur, melakukan perbuatan tercela dengan ilmu hitam, niscaya akan tersiksa dunia akhirat, seluruh dunia akan mencemooh, jika meninggal rohnya bukan tinggal di sorga melainkan di dasar neraka. Jika kelak menjelma ke dunia, akan lahir menjadi binatang menjijikkan, menjadi serangga, menjadi sumber penyakit. Oleh karena itu, semuanya harus sesuai

āna

[ 147 ]

engah’

āna

[ 146 ]

Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana

[ 147 ]

dengan ajaran (sastra), jangan menuruti hawa nafsu, pikirkan masak-masak, renungkan dalam hati, jangan melecehkan orang lain yang akhirnya membuat sakit hati sendiri atau menyakiti diri sendiri.

Tema atau isi yang paling banyak dibahas dalam lontar Istri Sasana adalah tentang kangkang yang tidak boleh dilakukan oleh seorang perempuan. Kangkang dalam pemahaman masyarakat sehari-hari adalah hegemoni, yakni ingin menguasai, mau menang sendiri, kaku, keras, egois, dan sejenisnya. Terhadap istri/madu juga tidak boleh kangkang. Kepada istri/madunya diibaratkan sepasang sapi ketika membajak, harus saling menghargai dan bekerja sama yang baik karena satu beban dan harus dipikul berdua, segala perilaku harus seirama, anggaplah itu sebagai sebuah yoga dengan satu tujuan. Walaupun kuat ibarat seekor kuda yang ingin mendapat perhatian, sendirian memikul beban. Barangkali sang suami sayang kepada madunya itu karena memang sudah jodoh, mempunyai kelebihan, lebih cantik. Namun, cantik bukanlah satu-satunya ukuran dalam memberikan kasih sayang kepada istri (-istri yang lain). Walaupun berwajah tidak terlalu cantik, bagi seorang suami yang terpenting adalah perilaku (Durma, 41 dan 42). sebagai berikut.

Kangkang dalam konteks cemburuan terhadap suami juga tersurat dalam teks (47 - 48) sebagai berikut.

“Ada kangkang somahe ngêlah pamitra, kêbus idêpe sai, satata

masambang, nyêlêhin ngalih orta, di pisaga suba jati, kroda majalan, angkihane daas-diis (Durma, 47).

‘Ada kangkang (karena) suami mempunyai selingkuhan,setiap hari

hati terasa panas, selalu meronda,mencari-cari berita, di tetangga, (karena) marah, nafasnya terengah-engah’

“Awak ngêtor pusung kles magambahan, ngaba bunga kawangi,

idêpe nyapihan, mulih ngibukang nyama, anake nguda ayahin, tong taen jumah, nyen bani padidian” (Durma, 48).

Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana

[ 148 ]

‘Badan gemetar rambut lepas tergerai, membawa kawangi (bunga), ibarat (sudah) janda, pulang (ke rumah) sanak saudara, melayani keluarga, tidak pernah di rumah, siapa yang berani sendirian’

Demikian ibarat orang yang cemburuan, tidak percaya kepada suami, akhirnya bingung sendiri.

Ada yang disebut kangkang botoh pangêdangan (hegemoni seperti periuk atau bejana), yang cirinya sebagai berikut.

“Ada kangkang tingkah botoh pangêdangan, yening mênang

ujurin,yan kalah selselang, di pêdêm tuara tunayan, macara mrêngas-mrêngis, managih upah, tuara dadi puyungin” (Durma,

52).

‘Ada yang disebut kangkang ibarat penjudi bersifat seperti periuk, jika menang senang (dimintai uang), jika kalah disesalkan, di tempat tidur juga tidak mau kurang, merengek-rengek, minta upah (jatah), tidak bisa tidak harus diberi (sepuasnya)’.

Teks (55) adalah kangkang tipe yang tidak boleh kurang satu apa pun yang selalu mengutakan nafsu yang akhirnya seperti orang gila.

“Ada buin kangkang tong dadi tunayan, awak mula kapering,

buddhine ngpakang, masih tuara kasidan, dadi buduh uyang paling, sai ngulanjar, ka pisaga mlali” (Durma, 55).

‘Ada yang disebut kangkang yang tidak boleh kekurangan (apa pun), diperbudak oleh nafsu, karena pikiran, juga tidak berhasil, akhirnya seperti orang gila, setiap hari bepergian, bermain-main ke rumah tetangga’

”Mamuduh mangonyang isin paumahan, tani dusin mangulisting,

anggo mêli guna, mangde dadi drêman, masangang gtih ngaweci, kasuna nunggal, pamugug sarwa mandi” (Durma, 57).

āna

[ 149 ]

di arêp somah, pada baan cacarin”

āna

[ 148 ]

mrêngis, managih upah, tuara dadi puyungin”

paling, sai ngulanjar, ka pisaga mlali”

kasuna nunggal, pamugug sarwa mandi”

Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana

[ 149 ]

‘(Menjadi) gila menghabiskan harta kekayaan, akhirnya miskin, untuk membeli guna-guna, agar terlihat menarik, menerapka ilmu hitam, kasuna nunggal, serta pamugpug yang mujarab’.

Teks (65 – 72) berisikan tentang kangkang yang sifatnya pura-pura dengan maksud tersembunyi. Perkataan atau pun perbuatan yang dilakukan sebenarnya dimaksudkan untuk mengelabui suami atau orang lain. Semua yang dilakukan itu walaupun secara tidak langsung akhirnya akan diketahui juga, ibarat pepatah sepandai-pandai melompat akhirnya terjatuh juga dan dalam budaya Bali ada ungkapan sing nyidaang nêkêpin andus ‘tidak bisa menutup asap’.

“Mangupaya dayan bakane jalanang, êda takut mangasurin,

ngulahang mabahan, ngamapi-mapi darma, dulurin baan manis, di arêp somah, pada baan cacarin” (Durma, 66).

‘Menjalankan tipu muslihat baka (cerita si burung bangau yang berpura-pura alim), tidak malu untuk merendah, berpenampilan apik, berpura-pura alim, disertai senyum manis, di depan suami dan orang lain’

“Tui ririh mabaan ngalih dalihan, madune pada kaukin, pilihin ne

sayang, mapi barêng nyayangang, damping da mbahang magêdi, pêtêng lêmah tangarin” (Durma, 67).

‘Sungguh sangat pandai mencari alasan, madunya dipanggil, pura-pura sayang, berdampingan dan tidak boleh pergi, takutnya siang malam’.

Teks (68 dan 69) menyarankan seorang istri harus hati-hati berkata-kata kepada suami, berpura-pura baik menawarkan kawin lagi kepada suami, agar terlihat sayang, cinta, hormat, dan sejenisnya yang akhirnya merugikan diri sendiri. Sang suami akhirnya lebih memilih istri mudanya dan tidak dapat dipisahkan.

Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana

[ 150 ]

“Len ada mapi darma nanjenin somah, misêrang nunden ngalih,

anak luh bajang, lasya tusing kabehan, ne muani polos nututin, mangalih somah, mabaan bajang cênik” (Durma, 68).

‘Ada lagi yang berpura-pura baik menawari suami, agar mencari, perempuan muda, (dikiranya) pasti menolak, (ternyata) sang suami menurut, mencari istri muda, didapatinya masih remaja’

“Kalantasan atêp tong dadi bêlasang, pêtêng lêmah makilit,

ngalilintah kedokan, nêgên tuara ngalebang, ne luh pinah kêcut kuning, tuara rerenan, nêmuang lêgan ati” (Durma, 69).

‘Akhirnya bersatu tidak dapat dipisahkan, siang malam tidur-tiduran, ibarat lintah yang kelaparan, tidak akan dilepaskan, yang perempuan sampai pucat pasi, tiada henti, bercinta’.

“Jani uyang paling mamangênang awak, kadung san mananjenin,

kaden tuara nyak, ulate calunutan, tong madaya buka jani, nyiêp sêpekang, buka tuara manolih” (Durma, 70).

‘Sekarang menyesali diri ibarat orang gila, terlanjur menawari, dikira tidak mau, kelihatannya alim (polos, culun), siapa sangka sekarang seperti ini, seperti orang tidak kenal, tidak mau menoleh’.

Kangkang dalam Istri Sasana juga ada disebutkan dengan istilah bêlog kangkan katuukan sebagai berikut.

“Buin ada bêlog kangkang katuukan, mangêlah pianak cênik, ne

muani mamitra, tuara pati di jumah, ne luh manguel sai, makakrencongan, tuara ada nulungin” (Durma, 73).

‘Ada lagi yang disebut belog kangkang katuukan, mempunyai anak kecil, si suami suka selingkuh, jarang di rumah, si ibu setiap hari marah-marah, sibuk sendirian, tidak ada yang menolong’.

Selain seperti yang disebutkan dalam (73) di atas, sifat kangkang ini kelakuannya juga seperti tidak waras, berpakaian / kain tidak semestinya, jika berjalan kainnya dinaikkan, awut-awutan, rambut acak-acakan, jika berjalan tidak menoleh kiri kanan, mencari

āna

[ 151 ]

pasangkan, tan pasingkêban, kênêhe suba mamêsik”

maêkin, tui ucapan, sing bikasan êmasin”

gêntong jasi, tunggal pêkênan, tuara suud mamêli”

āna

[ 150 ]

mangalih somah, mabaan bajang cênik”

kuning, tuara rerenan, nêmuang lêgan ati”

a tuara manolih”

makakrencongan, tuara ada nulungin”

Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana

[ 151 ]

suaminya (yang selingkuh) ke tetangga bahkan sampai malam-malam, setelah ditemukan (suaminya) di tengah jalan dimarahi.

“Ada kabinawa kangkang katuhukang, malingêb ne muani, sasolah

nuutang, tong bani magantangan, ri rês sirêp têtêhin langit, tan pasangkan, tan pasingkêban, kênêhe suba mamêsik” (Durma, 89).

‘ Ada yang disebut kangkang katuhukang luar biasa, si suami takut (sama istri), setiap perkataannya dituruti, tidak berani menolak, tidak bisa bergerak ibarat langit runtuh, tidak tahu sebabnya, hati sudah menyatu’

“Ngulurin indria tong taen papasah, tan mari tuah masanding,

ngamanying macanda, madune buka nyenyeh, tong dadi angan maêkin, tui ucapan, sing bikasan êmasin” (Durma, 90).

‘Menuruti hawa nafsu tidak pernah terlepaskan, selalu ingin berduaan, bercengkerama, istri muda terlihat seperti nanah, yang tidak dapat (berani) mendekat, juga perkataan, semua yang dilakukan dianggap salah.’

Sifat kangkang yang lain ada disebutkan sebagai kangkang badohos. Tipe kangkang seperti ini emosional, ringan tangan, pemarah dan sejenisnya.

“Ada kangkang badohos kêrêng macara, mamugpug sai-sai,

jêmbung piring pinggan, gêmpung tuling caratan, pane paso

Dokumen terkait