• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRABHAJÑĀNA: MOZAIK KAJIAN PUSTAKA LONTAR UNIVERSITAS UDAYANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PRABHAJÑĀNA: MOZAIK KAJIAN PUSTAKA LONTAR UNIVERSITAS UDAYANA"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

[ i ]

PRABHAJÑĀNA:

MOZAIK KAJIAN PUSTAKA LONTAR

(3)

[ ii ]

PRABHAJÑĀNA:

MOZAIK KAJIAN PUSTAKA LONTAR

UNIVERSITAS UDAYANA

PENULIS

I Wayan Suardiana Sri Jumadiah Komang Puteri Yadnya Diari

Putu Eka Guna Yasa Made Reland Udayana Tangkas

Putu Reland Dafincy Tangkas I Made Wijana Ida Bagus Rai Putra Luh Putu Puspawati I Ketut Ngurah Sulibra Ni Ketut Ratna Erawati

I Wayan Juliana I Nyoman Suwana I Nyoman Sukartha I Nengah Juliawan PENYUNTING

Ni Ketut Ratna Erawati I Ketut Ngurah Sulibra

Putu Eka Guna Yasa

DESAIN SAMPUL

I Made Agus Atseriawan Hadi Sutresna

Diterbitkan oleh:

SWASTA NULUS

Jl. Tukad Batanghari VI.B No. 9 Denpasar-Bali Telp. (0361) 241340

Email: swastanulus@yahoo.com

Cetakan Keempat:

2019, xx + 254 hlm, 14.8 x 21 cm, Times New Roman 11 ISBN 978-602-5742-96-5

---

Isi diluar tanggung jawab percetakan

Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini, Tanpa ijin tertulis dari Penerbit

(4)

[ ii ]

PRABHAJÑĀNA

ISBN 978-602-5742-96-5

[ iii ]

DAFTAR ISI

Sambutan Rektor Universitas Udayana ~ v

Sambutan Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana ~ vii Sambutan Ketua Pusat Kajian Lontar Universitas Udayana ~ ix

Teks-Teks Lontar sebagai Acuan dalam Budaya Bercocok Tanam Padi Secara Holistik ~ 1

I Wayan Suardiana

Penggunaan Kata Magis dalam Mantra Lontar Pangujanan ~14

Sri Jumadiah

Visi Kebudayaan Hindu:Tokoh Mpu Kuturan dalam Naskah Lontar Bali ~ 38

Komang Puteri Yadnya Diari

Kisah Pemuja dan Penjelajah Sarira dalam Lontar Bali ~ 52

Putu Eka Guna Yasa

Lontar Usada Patengeran Wong Agering: Ilmu Diagnosis Klasik Khas Bali Berbasis Ekologi ~ 74

Made Reland Udayana Tangkas dan Putu Reland Dafincy Tangkas

Fungsi Pohon Dadap dalam Beberapa Teks Lontar Usadha ~ 93

I Made Wijana

Peran Sirarya Kubon Tubuh Memunculkan Trah Adipati Majapahit dan Zaman Gelgel ~ 114

(5)

[ iv ]

Menelusuri Jejak-Jejak Dalang Tangsub dari Bongkasa ~ 124

Luh Putu Puspawati

Teks Lontar Istri Sasana: Analisis Struktur Makro ~ 139

I Ketut Ngurah Sulibra dan Ni Ketut Ratna Erawati

Sikap Beryadnya dalam Geguritan Yadnya ring Kuruksetra ~ 158

I Wayan Juliana

Proses Pembalian Kakawin Siwaratrikalpa Menjadi Geguritan Siwaratrikalpa ~ 175

I Made Suastika

Wacana Puja Bhakti: dalam Kakawin Rāja Patni Mokta ~ 199

I Nyoman Suwana

Nilai Pendidikan Moral dalam Cerita Lisan di Bali ~ 219

I Nyoman Sukartha

Wong Angendok dalam Lontar Awig-Awig Tenganan Pegringsingan ~ 239 I Nengah Juliawan [ v ] ñāna ñāna ñāna

(6)

[ iv ]

Wacana Puja Bhakti: dalam Kakawin Rāja Patni Mokta

[ v ] SAMBUTAN

REKTOR UNIVERSITAS UDAYANA

Buku Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana Hal ini terwujud sebagai bentuk kesungguhan hati dan kerja keras para pengelola Pusat Kajian Lontar dalam melakukan penulisan dan kajian-kajian naskah lontar yang penting untuk masyarakat. Sebagai salah satu pusat unggulan Universitas, Pusat Kajian Lontar Universitas Udayana mempunyai peran penting dalam memasyarakatkan kekayaan pengetahuan yang ada dalam naskah-naskah lontar. Naskah lontar di samping sebagai dokumentasi budaya juga merupakan warisan budaya yang sangat berharga karena memuat nilai-nilai yang masih relevan dengan kehidupan sekarang sehingga menjadi sebuah tanggung jawab kita untuk mengungkap 'mutiara' yang terkandung di dalamnya.

Terbitan buku Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana ini memuat 14 tulisan mengenai kajian naskah lontar Bali yang dikemas sedemikian rupa agar mudah dipahami oleh para pembaca. Secara akademis, kajian naskah lontar dapat dijadikan sebagai objek pengajaran untuk mengambil nilai-nilai dan kandungan di dalamnya. Tulisan-tulisan terbitan buku Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana membicarakan tentang budaya Bali yang terekam dalam naskah lontar. Kandungan pengetahuan di dalamnya dapat dijadikan pedoman kehidupan, guna meningkatkan pemahaman dan persepsi tentang kebudayaan semakin dalam dan meningkat. Nilai-nilai adi luhung lontar sangat dibutuhkan dalam penelitian-penelitian invensi sebagai wujud

(7)

[ vi ]

hilirisasi lontar untuk produk inovatif produktif di Universitas Udayana.

Sebagai salah satu warisan budaya, naskah lontar mampu memberi informasi mengenai berbagai aspek kehidupan masyarakat, antara lain pengobatan, hukum, politik, peternakan, pertanian, astronomi, arsitektur, pariwisata, ekonomi dan sosial budaya. Terbitan ilmiah tekstologi lontar Pusat Kajian Lontar Universitas Udayana perlu dan penting dilakukan. Alasan ini tidak akan menjadi stereotif semata akan tetapi menjadi semakin perlu dan penting terbitan pengkajian dilakukan. Betapa tidak, karena ke depan aktivitas ilmiah Tim Lontar Unud semakin mengedepan menjadi pendukung utama program unggulan dan pengembangan batang-batang keilmuan yang dikelola pada setiap fakultas di Universitas Udayana. Terbitan buku Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana ini semakin bermakna karena para penulisnya adalah para ahli dan juga Stakeholders tekstologi lontar Bali sendiri, yaitu para pewaris budaya Bali berlatar belakang akademik yang baik.

Kepada para penulis dan Tim Lontar Universitas Udayana yang telah berusaha dengan sebaik-baiknya dalam mempersiapkan buku kajian ini sehingga menjadi seperti sekarang ini, saya ucapkan terima kasih.

Rektor Unud

Anak Agung Raka Sudewi

[ vii ] ñāna

(8)

[ vi ] ñāna

[ vii ] SAMBUTAN

DEKAN FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA

Pusat Kajian Lontar Universitas Udayana (sebelumnya UPT Perpustakaan Lontar) yang berada di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana merupakan tempat penyimpanan naskah lontar terbesar ketiga di Bali (setelah Gedong Kirtya dan Dinas Kebudayaan Provinsi Bali). Keberadaan Pusat Kajian Lontar Universitas Udayana merupakan aset penting yang diwariskan oleh para pendiri bangsa dan pantas dijadikan unggulan Universitas Udayana sehingga patut dikembangkan secara berkesinambungan.

Dalam upaya untuk meneruskan amanat pendirian Fakultas Ilmu Budaya sebagai kunci wasiat sesuai harapan pendiri, pengkajian naskah-naskah lontar yang dilakukan oleh Pusat Kajian Lontar merupakan terobosan ilmiah yang penting dan harus selalu dikembangkan. Pada era sebelumnya, naskah-naskah lontar hanya dimanfaatkan oleh para mahasiswa, dosen, dan peneliti-peneliti yang menaruh perhatian pada khazanah pernaskahan Bali. Dengan demikian, pengkajian dan penelitian naskah lontar harus tetap dilakukan berkesinambungan agar pelestarian, pemaknaan, pendalaman, dan pengembangan nilai-nilai budaya dapat dilakukan agar dapat diketahui dan digunakan oleh masyarakat. Oleh karena itu, buku Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana ini diharapkan mampu membuka wawasan masyarakat mengenai kekayaan ilmu pengetahuan lokal Bali yang terkandung dalam naskah-naskah lontar memiliki nilai-nilai universal.

(9)

[ viii ]

Pengkajian naskah lontar sebagai upaya pelestarian warisan pengetahuan kebudayaan menjadi sejalan dengan cita-cita pendirian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana maupun penerapan Pola Ilmiah Pokok Universitas Udayana yaitu "Kebudayaan". Berbagai sistem pengetahuan, ajaran, kepercayaan, dan tradisi berisikan nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung dalam naskah lontar sangat perlu dikaji dan dikembangkan sehingga betul-betul menjadi Prabhajñāna atau "penerang pikiran", serta dapat amangun harṣaning citta "membangun kebahagiaan batin" bagi masyarakat Bali. Dengan diterbitkannya buku Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana ini sekaligus memberikan sumbangan pemikiran dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi berlandaskan nilai-nilai kebudayaan.

Akhir kata, semoga Pusat Kajian Lontar Universitas Udayana menjadi pusat pelestarian, pengembangan, dan informasi naskah lontar semakin berkembang.

Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

Ni Luh Sutjiati Beratha

[ ix ] ñāna

Prabhajñāna ñāna

(10)

[ viii ] rabhajñāna ñāna [ ix ] SAMBUTAN

KETUA PUSAT KAJIAN LONTAR UNUD

Puji syukur kami haturkan ke hadiran Ida Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Mahaesa, karena atas rahmat-Nya buku Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana, sebagai terbitan tahunan dari Pusat Kajian Lontar Universitas Udayana dapat diterbitkan kembali. Terbitan Prabhajñāna dibiayai dari dana DIPA PNBP 2019.

Buku Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana diisi para penulis yang memiliki ideliasme kuat untuk mengkaji, melestarikan, dan memperkenalkan kandungan naskah lontar kepada masyarakat luas. Sebagaimana diketahui, naskah lontar merupakan salah satu wahana penting dalam proses transmisi sistem pengetahuan masyarakat Bali, yang terwariskan dari generasi satu ke generasi berikutnya. Karya lontar merupakan media pembendaharaan klasik yang dapat dipelajari di zaman ini dan mendatang. Pustaka lontar sejak berabad-abad silam telah menjadi ‘tubuh’ penampang filosofik-historik sistem pengetahuan yang ditemukan oleh para leluhur di masa lampau. Kajian, publikasi, pengadaan dan pengembangan, pelayanan dan konservasi lontar dapat dimaknai sebagai usaha sungguh-sungguh penyelamatan warisan pengetahuan para leluhur. Apabila naskah lontar mengalami kerusakan, dan kandungannya tidak pernah ditulis atau dikaji maka dapat dipastikan sistem pengetahuan yang ada di dalamnyapun akan lenyap seiring perjalanan waktu.

Mempelajari isi naskah lontar sesungguhnya kita masuk pada dunia masa lampau tanpa harus “memutar mesin waktu”. Ungkapan ini sesungguhnya tidak akan menjadi aneh, manakala kemauan dan kemampuan kuat untuk hal ini selalu digelorakan dan diusahakan dengan sungguh-sungguh. Sebagai halnya Pusat Kajian Lontar Unud, berusaha terus memprogramkan terbitan Prabhajñāna

(11)

[ x ]

agar aneka dan keragaman genre pengetahuan yang terekam dalam lontar dapat diketahui dan dipelajari masyarakat luas dan terlebih lagi generasi milenial yang diramalkan akan menentukan perjalanan sejarah kebudayaan kita di waktu-waktu mendatang.

Berdasarkan pengalaman yang didapatkan baik secara tradisi maupun dalam proses belajar-mengajar berkaitan dengan tekstologi lontar, kami para pewaris lontar telah memiliki pemahaman dan persepsi yang baik terhadap peradaban lontar. Tesis keilmuan kami menyatakan, bahwa lontar Bali adalah wahana literal menuliskan khazanah keunggulan sistem ilmu pengetahuan masyarakat Bali pada zaman dahulu dan terwariskan hingga saat ini. Lontar menjadi perekam jagat pemikiran (jagat pikayunan) masyarakat Bali sampai dalam bentuknya sekarang adalah saksi sejarah dan menjadi penampang historik keberaksaraan dan peradaban berkarakter. Manuskrip lontar Bali dalam sejarah peradaban Bali menunjukkan kemajuan dan kecerdasan pengetahuan masyarakat atau tradisi Nyastra dalam masyarakat Bali. Rasa bangga dan syukur atas kinerja tim lontar patut dikedepankan. Terbitan Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana tahun 2019 ini terhitung terbitan IV. Berdasarkan catatan dan file kearsipan terwariskan di Pusat Kajian Lontar Universitas Udayana, semenjak berdirinya 29 September 1958, bersamaan dengan peresmian Fakultas Sastra Universitas Udayana, (perkembangan nama lembaga: dari Perpustakaan Lontar Fakultas Sastra Unud, Pustaka Lontar Fakultas Sastra Unud, UPT Perpustakaan Lontar Universitas Udayana, dan Pusat Kajian Lontar UNUD hari ini) baru empat kali dapat diusahakan dan akan terus untuk dilanjutkan secara berkala pada tahun-tahun mendatang.

Terbitan ini terselenggara berkat kerja keras Tim dan digarap anak-anak muda visioner stap Pusat Kajian Lontar Unud yaitu: Putu Widhi Kurniawan, S.S., M.Hum, dan I Nyoman Suwana, S.S., M.Hum, Ida Bagus Anom Wisnu Pujana, S.S., dan I Made

[ xi ] Prabhajñāna

(12)

[ x ]

Prabhajñāna:

[ xi ]

Agus Atseriyawan Hadi Sutresna, S.S. Kepada Tim saya mengucapkan terima kasih dan rasa bangga. Terlebih lagi patut saya menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam kepada Ibu Dekan, Prof. Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha, M.A dan Staf Wakil Dekan FIB Unud, karena atas kebaikan dan kebijakannya selama ini menghembuskan aroma akademis terasa pada semua civitas akademika FIB Unud. Asa akademis yang kondusif ini kami tangkap dan maknai dengan terbitan. Tujuannya memuliakan dan ikut berkontribusi mengimplementasikan visi-misi Universitas Udayana menjadi lembaga perguruan tinggi yang Unggul, Mandiri, dan Berbudaya. Cita-cita dan segala damba ini selalu diusahakan dan dijadikan inspirasi dan implentasi gerakan oleh Ibu Rektor, Prof. Dr. dr. Anak Agung Raka Sudewi, Sp.S (K) dan Wakil Rektor. Harus pula sudah menjadi gerakan pada semua lini civitas akademika Unud. Sebagai pribadi dan Tim Lontar Unud, kami menghaturkan terima kasih. Terbitan ini akan terus bergulir dan tetap menjadi kebanggaan, karena kami tahu Koordinator Prodi Jawa Kuna dan Bali telah mengkondisikan tenaga dosen secara terpadu tergabung dalam Tim Lontar Unud. Para dosen berkelas Profesor dan ahli lontar baik fisik maupun contens seperti: Prof. Dr. I Made Suastika, M.S, Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum, dan Drs. I Gede Nala Antara, M.Hum memberi ruang dan kontribusi untuk penerbitan Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana. Semoga di tahun-tahun mendatang kebaikan Bapak dan Ibu, terutama pimpinan kami baik di tingkat, Fakultas, dan Universitas semakin dapat kami wujudnyatakan. Om Santih.

Ketua Pusat Kajian Lontar Unud

(13)

[ xii ] PENGANTAR

Buku Prabhajnyāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana ini mengulas berbagai sistem pengetahuan yang terdokumentasi dalam pustaka lontar Bali. Terdapat empat belas tulisan yang akan membuka cakrawala pembaca tentang pentingnya lontar sebagai sumber literasi Bali.

I Wayan Suardiana membahas mengenai sejumlah pustaka lontar yang dapat dijadikan acuan dalam bercocok tanam di Bali. Lontar-lontar tersebut adalah Aji Pari, Dharmaning Pamaculan, Usadha Carik, dan Usadha Sawah. Berdasarkan lontar-lontar tersebut ia meyakini bahwa cara bercocok manusia Bali telah holistik, sebab mereka mengolah lahan pertanian (terutama sawah basah) dengan melakukan rangkaian upacaya yang ketat, sesuai dengan tempat dan besarnya upakara secara berjenjang (dari yang difungsikan sebagai pusat Pura Besakih Sad Kahyangan, Dang Kahyangan, Tri Kahyangan sampai ke tempat bercocok tanam (sawah). Dalam upaya menangkal hama penyakit tanaman (padi), diamanatkan untuk melawannya dengan sarana yang ramah lingkungan, dengan menggunakan bahan-bahan yang ada di sekitaran mereka. Perpaduan antara upacara di setiap langkah bercocok tanam dengan teknik mengolah lahan yang baik, pemilihan iklim

[ xiii ]

(14)

[ xii ] Prabhajnyāna:

[ xiii ]

(kretamasa), dan pemakaian bahan-bahan pengusir hama yang ramah lingkungan menyebabkan alam Bali tetap lestari.

Usaha melakukan harmonisasi dengan alam dilakukan pula oleh masyarakat Bali untuk mengendalikan hujan. Dengan memanfaatkan pustaka-pustaka lontar yang disebut pangujanan, Sri Jumadiah menulis artikel dengan judul “Penggunaan Kata Magis dalam Mantra Lontar Pangujanan”. Dalam artikel tersebut diinventarisasi sejumlah ajian tentang pengujanan seperti Ajian Pangujanan Sanghyang Acintya Widhi, Pangujanan Rawana, Ajian Pangujanan Sanghyang Klapa, Ajian Pangujanan Sungsang Sakti, Ajian Pangujanan I Kebo Dongol, Ajian Pangujanan I Kokokan Putih, Ajian Pangujanan Balibis Putih, Ajian Pangujanan Sasirep Geni, Ajian Pangujanan Sanghyang Asu Gaplong, dan Ajian Pangujanan Sanghyang Jawuh. Bertitik tolak dari ajian-ajian itu, penulis menemukan khazanah leksikon khas yang terklasifikasi dalam interjeksi atau kata seru. Kata interjeksi tersebut dibedakan menjadi dua yaitu interjeksi utuh dan interjeksi sebagian. Leksikon khas yang menjadi contoh interjeksi utuh dalam lontar pengujanan gwĕr, gwyer, ah, grung, mrĕng, weng, grĕh, hug, mrang, sryang, byar, byur, byor, ih, hêg, gryong, bryong, breh, nyam, Ang, Ung, Mang,dan interjeksi sebagian seperti karêbyak, kalêpug, krebek, krug, grudug, Ong, Tang, Yang,dan hurip. Penggunaan kata interjeksi tersebut diyakini sebagai sebuah unsur seni yang bermuatan magis dalam pustaka Lontar Pengujanan.

Penelusuran terhadap khazanah lontar tutur yang diwarisi di Bali saat ini juga menunjukkan ketokohan seorang pendeta bergelar Mpu Kuturan. Memaknai salampah laku Mpu Kuturan seperti yang tercitra dalam pustaka-pustaka lontar Bali, Komang Puteri Yadnya Diari menulis artikel yang berjudul “Visi Kebudayaan Hindu:Tokoh Mpu Kuturan dalam Naskah Lontar Bali”. Pustaka-pustaka lontar Bali menunjukkan bahwa Mpu Kuturan memiliki visi kebudayaan yang sudah terbukti menjadi landasan kokoh dalam pelestarian,

(15)

[ xiv ]

pengembangan dan pemajuan kebudayaan. Pemajuan kebudayaan tersebut meliputi sistem pengetahuan seperti sistem kemasyarakatan yang dibagi menjadi catur warna yaitu brahmana, ksatria, wesya dan sudra. Visi kebudayaan dalam sistem religi tercermin dari Mpu Kuturan yang mengembangkan konsep Trimurti untuk menyatukan seluruh sekte yang ada, hal tersebt membuat meningkatnya kehidupan agama Hindu di Bali. Semua sekte diakomodasikan dan satupun tidak ada yang dilenyapkan sehingga untuk saat ini tidak ada sekte yang terpisah-pisah secara tegas, seluruhnya telah menyatu dalam konsep Tri Murti. Konsep Tri Murti ini kemudian menjadi sistem religi yang hingga saat ini masih diyakini dan diwarisi oleh masyarakat Hindu khususnya di Bali. Sistem sosioreligius yang menjadi visi Kebudayaan Mpu Kuturan, dalam teks juga dibahas mengenai tata cara pengabenan yang juga menjadi sistem pengetahuan atiwa-tiwa yang diwarisi masyarakat.

Sistem pengetahuan tentang kehidupan dan kematian menjadi tema inti dalam pustaka-pustaka lontar Bali. Bertitik tolak dari sejumlah pustaka lontar seperti Sang Hyang Kamahayanikan, Dharma Caruban, Kakawin Niti Sastra, Candra Bhairawa, Ngatep Barong, Japatuan, dan Dewa Ruci, Putu Eka Guna Yasa menulis artikel dengan judul “Pemuja dan Penjelajah Sarira”. Uraian tentang jelajah sarira di atas menunjukkan spirit ajaran Tantra yang kuat dalam khazanah pustaka lontar Bali. Pendalaman tentang sarira sangat penting dalam ajaran-ajaran bernafas tantra karena tesis yang dibangun dalam ajaran tersebut menyatakan bahwa apabila jiwa jatuh ke dalam sarira, maka dengan sarira pula jiwa dibebaskan. Dengan demikian, sarira memang ditempatkan sebagai laboratorium yang tak henti-hentinya diteliti untuk mendapatkan pembebasan akhir, sama seperti kerinduan udara yang ada dalam bambu untuk bertemu dengan udara bebas di alam semesta.

Memuja sarira secara fisikal dapat dilakukan dengan menjaga kesehatan secara preventif. Sementara itu, jika telah terkena

(16)

[ xiv ] [ xv ]

penyakit tertentu maka peranan pengobat menjadi sangat penting baik secara tradisional maupun modern. Kearifan lokal mengenai cara mendiagnosis penyakit diulas oleh Made Reland Udayana Tangkas dan Putu Reland Dafincy Tangkas dalam artikel “Lontar Usada Patengeran Wong Agering: Ilmu Diagnosis Klasik Khas Bali Berbasis Ekologi”. Naskah lontar Usada Patengeran Wong Agering secara mendasar menjelaskan metode membaca ciri-ciri suatu penyakit dan obat-obat yang manjur untuk penyembuhannya. Sebagai rujukan dalam tahap diagnosis, naskah usada ini menjadi sumber dasar dalam mempelajari ilmu pengobatan tradisional Bali. Tahap diagnosis menjadi tahap yang penting dan sangat menentukan kesembuhan dalam dunia pengobatan baik tradisional maupun modern. Jika tahap diagnosis penyakit dilakukan dengan benar oleh seorang pengobat atau tabib maka penentuan bahan obat akan tepat sesuai dengan penyakit yang diderita. Naskah lontar tersebut menjelaskan ciri-ciri segala penyakit di setiap anggota tubuh. Beberapa istilah pertanda sakit hanya ditemukan di lontar tersebut menjadi kekhasan dan rujukan penting bagi penekun usada. Dalam hal metode pengobatan yang memanfaatkan hasil alam, lontar tersebut juga mengemukakan system pengetahuan ekologi yang menjadi bidang yang dikuasai betul oleh para balian usada di Bali. Kekayaan ekologi tanaman obat sangat penting untuk tetap dilestarikan baik oleh penekun usada maupun masyarakat yang peduli dengan budaya pengobatan tradisional Bali.

Salah satu sarana pengobatan terpenting dalam khazanah tumbuhan di Bali adalah dedap. I Made Wijana mengangkat satu artikel yang berjudul “Fungsi Pohon Dadap dalam Beberapa Teks Lontar Usadha”. Berdasarkan tulisan tersebut dapat diketahui bahwa seluruh bagian dari pohon ini dapat dimanfaatkan untuk sarana atau bahan obat-obatan tradisional. Pohon ini memiliki sifat kandungan yang menyejukkan atau tis. Daun dan akarnya paling banyak dimanfaatkan untuk keperluan pengobatan, diolah dalam berbagai

(17)

[ xvi ]

bentuk. Mulai dari yang berbentuk loloh (jamu), Simbuh (sembar), Boreh (parem), Uap (balur), Oles, Tutuh (tetes). Selain itu, difungsikan sebagai sarana penolak bala dan menghidupkan cakra.

Dimensi sejarah dalam pustaka lontar Bali juga menginspirasi Ida Bagus Rai Putra untuk mengangkat artikel yang berjudul “Peran Sirarya Kubon Tubuh Memunculkan Trah Adipati Majapahit dan Zaman Gelgel”. Lontar-lontar yang dijadikan sumber di antaranya adalah Babad Dalem, Babad Arya Kutawaringin, Dwijendra Tattwa, dan Babad Pararya Tattwa. Berpijak pada pustaka-pustaka lontar tersebut, trah Sira Arya Kubon Tubuh-Kuthawaringin dalam perjalanan sejarah sebagaimana dikisahkan dalam karya babad di Bali memiliki peran penting dalam menegakkan kepemimpinan di Bali. Arya Kutawaringin juga bersama-sama dengan para pemimpin kerajaan di Bali berhasil mengatasi ancaman yang hendak menenggelamkan kerajaan dan sistem peradaban yang ada, yang diwariskan sebagai swadharma (kewajiban hidup) untuk mengatur prilaku agar manusia berakhlak mulia. Ajaran Asta Brata dan Sad Guna merupakan ajaran yang dijadikan panutan bagi seorang pemimpin, manakala ingin menjadikan dirinya seorang pemimpin yang diteladani.

Dilihat dari aspek estetik dalam khazanah lontar Bali, terdapat tiga artikel yang membahas pustaka lontar tentang geguritan. Salah satu tokoh pengarang Bali yang produktif mengarang karya sastra berbentuk geguritan adalah Ki Dalang Tangsub. Jejak perjalanan kepengaranan dan pemikiran Ki Dalang Tangsub ditulis dalam satu artikel oleh Luh Putu Puspawati berjudul “Menelusuri Jejak-Jejak Dalang Tangsub dari Bongkasa”. Dari sumber-sumber lontar yang ditelusuri menunjukkan bahwa Ki Dalang Tangsub adalah seorang dalang pada zamannya sangat dinamis menceritakan karya sastra sebagai penguat profesinya. Karya sastra geguritan yang dibuat untuk mengoptimalkan profesinya sebagai dalang. Perjalanan Dalang Tangsub dari asalnya

(18)

[ xvi ] [ xvii ]

di Manuaba Gianyar sampai tempat beliau terakhir di daerah Bongkasa menjadikan perjalanan luar biasa dalam menghadapi tantangan zaman ketika itu terutama profesinya baik sebagai seorang dalang dan mendalami berbagai ajaran agama Hindu. Karya sastra Ketut Bongkling dan karya-karya lainnya merupakan karya sastra yang berisi berbagai kritik dan perlawanan hegemoni penguasa ketika zaman itu. Ia tetap terbebas dan dapat melewati tantangan itu. Ide besar Dalang Tangsub setelah beliau meninggal lama tidak muncul, baru keturunan ke 8 aktivitas keagamaan di geria tumbuh. Tampak berbagai kegiatan keagamaan lahir di Geria Bongkasa sampai kini.

Karya sastra geguritan yang membahas tentang aspek etika perempuan dikaji oleh I Ketut Ngurah Sulibra dengan Ni Ketut Ratna Erawati dalam satu artikel berjudul. Teks tutur dalam masyarakat Bali memiliki kedudukan tersendiri sebagai salah satu dasar filosofi perilaku budaya Bali. Teks tutur Istri Sasana secara makrostruktural terdiri atas tiga bagian utama, yakni pembukaan, struktur isi, dan penutup. Teks Istri Sasana dibangun hanya dengan satu pupuh saja, yakni pupuh durma dengan 146 bait. Secara umum, isinya berkisar tentang hal-hal yang baik atau buruk, boleh dan tidak boleh dilakukan oleh seorang perempuan terutama untuk seorang gadis.

Tidak hanya membahas mengenai aspek etika perempuan, khazanah geguritan Bali juga menyimpan mutiara pemikiran berupa konsep keikhlasan yang disebut lascarya. I Wayan Juliana, mengangkat aspek “Sikap Beryadnya dalam Geguritan Yadnya Ring Kuruksetra”. Melalui kajian terhadap karya sastra tersebebut, Ia menegaskan bahwa lascarya sebagai landasan yadnya diaktualisasikan dalam Tri Kerangka Agama Hindu. Konsepsi yadnya menjadi esensial dipahami dalam pelaksanaan yadnya (pengorbanan) yang tujuannya adalah kedamaian dunia dan kesatuan dengan pencipta. Kehadiran GYRK yang terlahir dari seorang dokter merupakan suatu fenomena yang unik dan menarik. Pada masa itu

(19)

[ xviii ]

Dokter Rai berusaha memberikan penyegaran terhadap pelaksanaan yadnya dan pemahaman hakikat yadnya kepada pembacanya, agar senantiasa bares dan jauh dari maksud pamrih saat ber-yadnya. Dari ke-lascaryan dalam ber-yadnya, akan tampak secara transparan, mana yadnya yang mulia dan mana yadnya yang hanya menampilkan ego.

Itulah sejumlah lontar yang terikat oleh metrum geguritan, sedangkan khazanah lontar yang diikat oleh konvensi Jawa Kuno berupa kakawin dikaji oleh dua orang penulis dalam buku ini. Pertama, I Made Suastika membahas mengenai “Proses Pembalian Kakawin Siwaratrikalpa menjadi Geguritan Siwaratrikalpa”. Berdasarkan pengkajian terhadap Kakawin Siwaratri Kalpa dan Geguritan Siwaratri Kalpa didapatkan suatu simpulan bahwa meskipun kedua karya sastra tersebut memakai judul sama tetapi dapat dibedakan sebagai karya sastra yang mandiri dari segi bahasa, sastra dan budaya, dan memiliki eksistensi sendiri sebagai genre puisi. Proses perubahan tampak lewat penyaduran dengan meringkas (memperpendek) alur, bahasa, dan tokoh-tokohnya serta memasukkan budaya Bali dalam karya sastra Geguritan Siwaratrikalpa, di samping sebagai pedoman dalam perayaan Siwaratri di Bali. Dilihat dari tokoh tampak Kakawin Siwaratrikalpa banyak jumlahnya dan Geguritan Siwaratrikalpa tokoh-tokohnya terbatas. Kedua, I Nyoman Suwana mengangkat aspek puja bakti dalam Kakawin Rajapatni Mokta. Puja bhakti adalah penghormatan yang dilaksanakan untuk mengenang jasa-jasa Ibu Tien Soeharto dalam KRPM. Bhakti dan penyerahan total pengarang diungkapkan dalam gubahan KRPM sehingga melalui KRPM pengarang mampu mengenang, menghormati, dan mengabadikan sosok Ibu Negara dalam bentuk kakawin. Seluruh cinta, kesetiaan, dan pengabdian dituangkan dalam KRPM. Tokoh-tokoh dimuat sedemikian hidup sehingga mampu menggerakkan alur cerita dari awal keberangkatan jenazah, tanda-tanda alam, serta rangkaian upacara penghormatan

(20)

[ xviii ] [ xix ]

yang dilaksanakan untuk mengenang dan memperingati hari kepergian seorang Ibu Negara.

Dimensi lain dari pustaka lontar yang juga menarik dalam buku ini adalah keberadaan sastra lisan yang kemudian ditulis di atas daun lontar. I Nyoman Sukarta dalam artikelnya yang berjudul “Nilai Pendidikan Moral” membuktikan bahwa cerita lisan memiliki fungsi hiburan dan pendidikan karakter. Ceritera lisan seperti kegiatan masatua di Bali sudah sangat langka ditemukan karena tergerus oleh perkembangan teknologi informasi. Cerita lisan memiliki kandungan nilai pendidikan moral yang sangat berguna untuk diterpakan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Bertalian dengan awig-awig yang ditulis di atas daun lontar. I Nengah Juliawan menulis artikel yang berjudul “Wong Angendok dalam Lontar Awig-Awig Tenganan Pegringsingan”. Berkaitan dengan hal tersebut ia berpendapat bahwa perkembangan penduduk di Desa Adat Tenganan Pegringsingan, telah dilaksanakan pendataan penduduk secara rutin setiap tahunnya, karena Desa Adat Tenganan Pegringsingan merupakan Desa Bali Aga yang penduduknya merupakan warga Bali asli dan tidak menerima warga pendatang sejak datangnya Wong Angendok sebagai pendatang sah yang diakui oleh Krama Desa atau warga asli orang Desa Adat Tenganan Pegringsingan, jadi pendataan di laksanakan ketika ada penduduk yang meninggal, anak lahir serta yang menikah. Desa Adat Tenganan Pegringsingan juga memiliki 1 istilah dalam kemasyarakatan yang disebut dengan Krama Gumi Pemaksan, dimana seluruh warga Adat Tenganan Pegringsingan merupakan bagian dari Krama Gumi Pemaksan, kecuali Krama Gumi Pulangan. Wong Angendok merupakan bagian masyarakat yang memiliki peranan penting dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan desa baik secara upacara maupun kemasyarakatan sehingga keberadaan Wong Angedok diakui sah dan tertera dalam Awig-awig Desa Adat Tenganan Pegringisingan.

(21)

[ xx ]

Demikianlah seluruh artikel yang tersaji dalam Buku Prabhajnyāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana ini. Selamat membaca.

Editor

āna

(22)

āna

[ 138 ]

Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana

[ 139 ]

TEKS LONTAR ISTRI SASANA: ANALISIS STRUKTUR MAKRO

I Ketut Ngurah Sulibra Ni Ketut Ratna Erawati

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

Abstrak

Bali banyak menyimpan naskah-naskah lontar. Sampai saat ini sebagian masyarakat di Bali masih melakukan tradisi salin-menyalin naskah lontar, baik yang bersifat naratif maupun yang bersifat praktis. Naskah lontar Bali mengandung berbagai macam nilai kearifan lokal Bali yang perlu terus dipertahankan. Dari berbagai jenis lontar Bali, jenis tutur merupakan salah satu klasifikasi lontar yang mendapat perhatian sangat baik karena mengandung makna filosofis yang sangat dalam. Dalam tulisan ini, dibahas salah satu naskah lontar berbetuk jenis tutur (dari segi isi) yang berjudul

Istri Sasana. Naskah ini tersimpan dengan baik di Fakultas Ilmu Budaya.

Secara kontekstual, naskah ini layak dibaca dan dipahami sebagai perbandingan dalam kehidupan sehari-hari terutama untuk kalangan perempuan dan juga harus menjadi perhatian bagi kaum laki-laki atau suami agar rumah tangga harmonis. Ada beberapa hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh para gadis kemudian berlanjut dalam hubungannya dengan kehidupan suami istri. Teks Istri Sasana ini akan dibahas secara makrostruktural. Teks ini lebih banyak menekankan pada konsep kangkang, yakni dominasi perilaku dengan perbuatan atau tindakan yang tidak dapat ditahan.

Kata kunci: lontar, kearifan lokal, struktur, kangkang

Pendahuluan

Bagi masyarakat Bali, istilah tutur tidak asing dan menjadi kosa kata sehari-hari. Dalam Kamus Bali-Indonesia (Tim Penyusun, 2016: 1065), istilah tutur berarti nasihat, cerita. Dari bentuk tutur ini lalu didapatkan bentuk derivasi nutur ‘bercerita, mengobrol’,

(23)

Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana

[ 140 ]

tuturang ‘ceritakan’, nuturang ‘menceritakan’, tuturin ‘nasihati, diceritai’, nuturin ‘menasihati, menceritai’, dan bentuk-bentuk derivasi lainnya dengan makna lainnya juga. Pengertian yang berbeda dideskripsikan dalam Kamus Jawa Kuna-Indonesia (Zoetmulder dan Robson, 1997: 1307) bahwa istilah tutur diberi makna (I) ingatan, kenang-kenangan, kesadaran,, lubuk jiwa mahluk yang paling dalam, (tempat persatuan dengan Yang Mutlak), tradisi suci, teks berisi doktrin religi, doktrin religi; (II) berarti ikut, misalnya dalam bentuk derivasi tumutur ‘mengikuti, menyertai’. Haryati Soebadio memberikan pengertian tutur sebagai pelajaran dogmatis yang diteruskan kepada murid-murid yang memenuhi syarat. Sebagaimana pengertian tutur dengan berbagai bentuk derivasinya, istilah tutur dalam bahasa Bali yang lebih mengedepankan aspek kegiatan atau sebagai kata kerja. Pengertian tutur dalam bahasa Jawa Kuna diberikan makna lebih dalam menyangkut aspek filosifis serta hati nurani. Walaupun diberikan makna yang berbeda-beda, namun dalam masyarakat Bali istilah tutur yang berkaitan dengan aspek filosofis sebagaimana dideskripsikan dalam bahasa Jawa Kuna tidak menjadi persoalan karena masyarakat Bali sangat memahami tentang teks-teks yang berisi tentang hal demikian. Senyatanya bahwa masyarakat Bali tidak asing dengan Tutur Sundarigama, Tutur Wariga Gemet, dan teks-teks tutur lainnya, salah satunya termasuk teks-teks Istri Sasana.

Naskah Istri Sasana yang dikoleksi di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana tersimpan dan dirawat dengan baik. Oleh karena itu, tulisannya dalam aksara Bali mudah untuk dibaca. Teks atau naskah ini disajikan dalam bentuk prosa dengan jumlah 13 lembar lontar. Teks ini sangat menarik selain hanya menggunakan satu jenis pupuh yakni pupuh durma sehingga secara bentuk dapat dimasukkan ke dalam bentuk geguritan. Isi teks ini juga sangat menarik. Secara umum isinya berkisar tentang perilaku yang wajib diketahui untuk dilakukan oleh seorang perempuan. Tidak itu saja,

āna

(24)

āna

[ 140 ]

Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana

[ 141 ]

bahkan kaum laki-laki pun wajib memahaminya agar kelak tidak terjadi sesuatu yang kurang baik dalam menata rumah tangga. Apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan, bagaimana seharusnya menjadi seorang gadis dalam menjaga diri agar tidak terjadi hal buruk sehingga mendapatkan penghargaan yang sepantasnya.

Berdasarkan pengelompokan naskah-naskah lontar yang dilakukan oleh Gedong Kirtya, naskah-naskah jenis tutur dikelompokkan ke dalam kelompok Wariga (wariga, tutur, kanda, usada). Pigeaud mengelompokkan tutur sebagai naskah-naskah keagamaan (tutur, kalpasastra, weda, mantra, puja, sasana, niti). Selanjutnya, naskah milik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana naskah lontar Istri Sasana dikelompokkan ke dalam kelompok geguritan dengan nomor kropak no 297 Rt 523 panjang 55 cm lebar 3 cm. Namun ditinjau dari segi isinya, teks ini dapat digolongkan ke dalam kelompok tutur.

Pembahasan

Menurut Hasan (1994: 72) yang dimaksud dengan struktur teks adalah keseluruhan dari teks, struktur global bentuk pesannya. Dengan demikian pandangannya didasarkan atas makna dari struktur teks itu sendiri. Kesatuan teks tersebut juga harus menyangkut kesatuan tekstur. Van Dijk (dalam Eriyanto, 2009: 225) menyatakan bahwa teks terdiri atas tiga tingkatan. Pertama, struktur makro, yakni makna global atau umum dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang dikedepankan dalam suatu berita. Kedua, super struktur, yakni struktur wacana yang berhubungan dengan kerangka suatu teks tersusun ke dalam berita secara utuh. Ketiga, struktur mikro, adalah makna wacana yang dapat diamati dari bagian kecil dari suatu teks, yakni kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase, dan gambar. Dengan maksud yang sama tetapi

(25)

Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana

[ 142 ]

dengan ungkapan yang berbeda, Brown dan Yule (1996: 133) mengatakan struktur teks dengan istilah penahapan. Penahapan yang dimaksudkan itu adalah sesuatu yang lebih bersifat inklusif dari tematisasi (yang hanya mengacu pada pengaturan teks secara linear. Tematisasi diberikan arti bahwa setiap klausa, kalimat, paragraf, episode, dan wacana diatur di sekitar unsur tertentu yang dianggap sebagai titik tolaknya. Ini seakan-akan penutut mengemukakan apa yang ingin dikatakannya dari perspektif tertentu. Atau lebih singkatnya bahwa penahapan adalah suatu dimensi struktur prosa yang mengidentifikasikan penonjolan relatif yang diberikan kepada berbagai segmen wacana prosa. Dengan demikian, penahapan teks adalah sangat penting dalam struktur wacana, sebab sebuah wacana ditahapkan pasti mempunyai pengaruh yang berarti, baik pada proses penafsiran maupun pada proses pengingatan kembali sesudahnya. Untuk lebih mudahnya, dapat dikatakan bahwa sebuah teks terdiri atas tiga tahapan atau episode, yakni adanya teks pembuka, bagian inti atau isi teks, dan bagian penutup.

Secara keseluruhan, teks Istri Sasana terdiri dari 146 bait yang semuanya menggunakan pupuh durma (salah satu tembang macapat yang sangat populer di Bali lazim digunakan dalam geguritan atau pun parikan). Ada dua bait sebagai teks pembuka, 142 bait bagian isi, dan dua bait teks penutup. Berikut disajikan kutipannya.

Pertama, teks pembuka diawali dengan kutipan berikut ini.

Sampurayang munyi Bali têmbang durma, saking pangkah mangawi, mangikêt carita, tani nawang bêbasan, sok pongah kêdekin, sastra buricêk, pupuhe salah gênding (Durma, 1).

Terjemahnnya:

‘Maafkan (dengan) bahasa Bali menggunakan tembang durma, dengan memberanikan diri mengarang, merajut cerita, tidak tahu

āna

(26)

āna

[ 142 ]

Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana

[ 143 ]

bahasa, tidak malu ditertawakan, tulisannya juga jelek, (dengan) tembang durma yang banyak salah’

Mamurnayang manah katindihan lara, ngêbêkin tanah langit, satata prapanca, twi tan palipuran, jabaning ucapan aji, anggen pamurna, rasa tong ada malih (Durma, 2).

Terjemahannya:

‘Menghilangkan kesedihan karena duka lara, memenuhi bumi dan langit (jagat raya), selalu bingung, yang tidak dapat dihibur, kecuali hanya dengan ilmu pengetahuan, untuk menghilangkan semua nestapa, rasanya tidak ada lagi yang lain’

Struktur inti atau bagian isi dan oleh Brown dan Yule disebut dengan istilah tema (1996: 125) dimulai dari bait ketiga sebagai berikut.

Sastra pawarah Bhagawan Kamandaka, ring sisia nira sami, buat istri sasana, yatna ngamong sarira, kapasukan Sanghyang Ratih, tinut brahmatya, papaning dadi istri (durma, 3).

Terjemahannya:

‘Pelajaran sastra di Bhagawan Kamandaka, kepada semua muridnya, sebagai pegangan bagi kaum perempuan, agar berhati-hati menjaga diri, (karena) disemayami Sanghyang Ratih, (jika) mengikuti kemarahan, akan menjadi perempuan yang papa’

Krana jani patibratane jalanang, apang matoya sai, nyapuh dasa mala, mangun gunaning awak, purnama tilêm mabrêsih, mamatut payas, nrapang sarwa wêwangi. (durma, 4).

Terjemahannya:

‘Itulah sebabnya sekarang berpantangan harus taat, agar selalu mandi, (untuk) menghilangkan dasa mala (sepuluh noda), (untuk) menghidupkan potensi diri, melakukan pembersihan setiap bulan purnama dan tilem (paro gelap), berhias, mengolesi dengan wewangian’

(27)

Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana

[ 144 ]

Minakadi nyalukang mantra kaistrian, maphala drêman bangkit, utamaning kendran, ayu tan patandingan, papupulan sarwa manis, mangde prapanca, tarunane buduh paling (Durma, 5).

Terjemahannya:

‘Termasuk juga menguasai mantra tentang kewanitaan, sehinggan berbuah sayang, (ibarat) keutamaan sorga, cantik tiada banding, kumpulan serba indah, agar gundah semua laki-laki’

Kutipan teks (3 – 5) di atas merupakan petunjuk awal sebelum masuk pada materi teks yang sesungguhnya. Teks (3 – 5) mengarahkan pentingnya bagi seorang wanita untuk melakukan sesuatu, apa yang boleh apa yang tidak boleh dilakukan sehingga betul-betul menjadi seorang perempuan yang berkepribadian, yang bermartabat ibarat keutamaan seorang perempuan di sorga (kendran). Menjadi seorang perempuan sangat berat, diibaratkan sekuntum bunga yang sedang mekar dengan aroma wangi yang semerbak. Di sisi lain, seorang laki-laki diibaratkan sebagai seekor kumbang yang tiada henti mencari dan menikmati aroma harumnya kembang, terlebih lagi bunga yang baru mekar yang menawarkan kesegaran untuk menikmati manisnya madu. Hal yang demikian digambarkan dalam kutipan teks (6) dan (7).

Apan jatu karma tong dadi pilihang, srêsti Hyang Pasupati,i luh mawak bunga. bawu manêdêng kêmbang, ngaleyog ampêhang angin, panêdêng kapat, miik mambêkin gumi (Durma, 6).

Terjemahan.

‘Sebab jodoh (kelahiran?) tidak dapat dipilih, anugerah Hyang Pasupati, perempuan ibaratbunga, yang sedang mekar, bergoyang ditiup angin, saat bulan keempat (sekitar September – Oktober), harumnya memenuhi dunia’

āna

(28)

āna

[ 144 ]

Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana

[ 145 ]

Tarunane maawak tambulilingan, tan mari ngalih miik, ngisêp sari bunga, asing bawu mêkar, yogya mamilih-milihin, asing bajangan, jangkutin sai-sai (Durma, 7).

Terjemahan.

‘Laki-laki ibarat kumbang, tiada henti mencari bunga, (untuk) mengisap sarinya (madunya), setiap yang baru mekar, dapat memilih-milih, setiap yang lebih muda untuk dikeloni setiap hari’.

Teks (8 – 19) tentang tata cara memilih waktu untuk menikah atau melakukan persenggamaan. Jika dilakukan pada bulan pertama (Kasa, sekitar bulan Juni – Juli) akibatnya anak akan mati, meninggal dalam kandungan karena keracunan plasenta. Jika pernikahan dilakukan di bulan Karo (kedua, sekitar bulan Juli – Agustus) akibatnya miskin, banyak utang, tidak dipercaya orang, pakaian hanya yang melekat di badan. Jika menikah dilakukan di bulan Katiga (sekitar bulan Agustus – September) pahalanya cepat punya anak, mudah lahir laki-laki maupun perempuan. cukup sandang, pangan, dan papan. Jika dilakukan di bulan Kapat (sekitar bulan September – Oktober) pahanya menjadi orang kaya, menjadi pengusaha, banyak barang mewah, menguasai perdagangan seluruh Jawa, kampung muslim, Arab, Cina, Bugis. Jika pernikahan dilakukan pada bulan Kalima (sekitar bulan Oktober – November) pahalanya sang istri penuh pengabdian, pintar mengatur rumah tangga, pandai melayani suami, tak ingin berpisah karena sangat cinta. Jika pernikahan dilakukan di bulan Kanêm (sekitar bulan November – Desember) akibatnya aura panas sang istri sangat dominan, seringkali menyebabkan kematian suaminya, bisa mati mendadak karena tidak mendapat pertolongan orang lain. Jika pernikahan dilakukan di bulan Kapitu (sekitar bulan Desember – Januari) pahalanya sangat disukai warga sekitar, handai taulan, tidak pernah kehilangan, setiap yang dicari pasti didapatkan, jika berjualan pasti mendapat untung. Jika pernikahan dilakukan di bulan Kaulu (Kedelapan, sekitar bulan Januari – Februari) akibatnya berujung

(29)

Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana

[ 146 ]

kematian, kematian pada seluruh anggota keluarga, jika tidak mati bisa menjadi gila, membakar rumah, menimpa enam larangan (sad tatayi). Jika pernikahan dilakukan di bulan Kasanga (Kesembilan, sekitar bulan Februari – Maret) akibatnya seperti orang gila, sering kali menjadi kambing hitam (dituduh), didenda, sakit menahun, tidak pernah sehat bahkan hampir-hampir mati, kurus karena penderita koh (batuk-batuk), badan kurus kering. Pernikahan yang dilaksanakan bulan Kadasa (Kesepuluh, sekitar bulan Maret – April) pahalanya sangat baik, selamat, semua orang mencintai dan menyayangi, raja memberi kekayaan, pendeta dengan senang hati memberi pelajaran, nasihat yang baik-baik, semuanya didapatkan. Jika pernikahan dilakukan di bulan Jyesta (sekitar bulan April – Mei) pahalanya menjadi orang kaya, kekayaan datangnya tidak disangka-sangka entah dari mana asalnya, setiap hari bisa berfoya-foya, setiap yang dikerjakan berhasil, sangat disegani, hidup bahagia. Jika pernikahan dilakukan pada bulan Asadha (sekitar bulan Mei – Juni) akan berdampak pada kesulitan hidup, banyak kerjaan tapi tidak menghasilkan, kelaparan setiap hari, tidak sempat mengurus diri, sibuk kesana kemari tidak karuan, selain itu sibuk berobat kesana kemari.

Teks (20 - 25) menegaskan agar selalu taat berpantangan termasuk menghormati dan melayani suami sepenuh hati. Seorang suami diibaratkan kedudukannya sama seperti ayah yang dapat menentukan hidup matinya atau menentukan masa depannya (maguru laki). Jika berhasil melakukan itu semua, pahalanya memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Jika pantangan itu dilanggar lebih-lebih kualat terhadap leluhur, melakukan perbuatan tercela dengan ilmu hitam, niscaya akan tersiksa dunia akhirat, seluruh dunia akan mencemooh, jika meninggal rohnya bukan tinggal di sorga melainkan di dasar neraka. Jika kelak menjelma ke dunia, akan lahir menjadi binatang menjijikkan, menjadi serangga, menjadi sumber penyakit. Oleh karena itu, semuanya harus sesuai

āna

[ 147 ]

engah’

(30)

āna

[ 146 ]

Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana

[ 147 ]

dengan ajaran (sastra), jangan menuruti hawa nafsu, pikirkan masak-masak, renungkan dalam hati, jangan melecehkan orang lain yang akhirnya membuat sakit hati sendiri atau menyakiti diri sendiri.

Tema atau isi yang paling banyak dibahas dalam lontar Istri Sasana adalah tentang kangkang yang tidak boleh dilakukan oleh seorang perempuan. Kangkang dalam pemahaman masyarakat sehari-hari adalah hegemoni, yakni ingin menguasai, mau menang sendiri, kaku, keras, egois, dan sejenisnya. Terhadap istri/madu juga tidak boleh kangkang. Kepada istri/madunya diibaratkan sepasang sapi ketika membajak, harus saling menghargai dan bekerja sama yang baik karena satu beban dan harus dipikul berdua, segala perilaku harus seirama, anggaplah itu sebagai sebuah yoga dengan satu tujuan. Walaupun kuat ibarat seekor kuda yang ingin mendapat perhatian, sendirian memikul beban. Barangkali sang suami sayang kepada madunya itu karena memang sudah jodoh, mempunyai kelebihan, lebih cantik. Namun, cantik bukanlah satu-satunya ukuran dalam memberikan kasih sayang kepada istri (-istri yang lain). Walaupun berwajah tidak terlalu cantik, bagi seorang suami yang terpenting adalah perilaku (Durma, 41 dan 42). sebagai berikut.

Kangkang dalam konteks cemburuan terhadap suami juga tersurat dalam teks (47 - 48) sebagai berikut.

“Ada kangkang somahe ngêlah pamitra, kêbus idêpe sai, satata

masambang, nyêlêhin ngalih orta, di pisaga suba jati, kroda majalan, angkihane daas-diis (Durma, 47).

‘Ada kangkang (karena) suami mempunyai selingkuhan,setiap hari

hati terasa panas, selalu meronda,mencari-cari berita, di tetangga, (karena) marah, nafasnya terengah-engah’

“Awak ngêtor pusung kles magambahan, ngaba bunga kawangi,

idêpe nyapihan, mulih ngibukang nyama, anake nguda ayahin, tong taen jumah, nyen bani padidian” (Durma, 48).

(31)

Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana

[ 148 ]

‘Badan gemetar rambut lepas tergerai, membawa kawangi (bunga), ibarat (sudah) janda, pulang (ke rumah) sanak saudara, melayani keluarga, tidak pernah di rumah, siapa yang berani sendirian’

Demikian ibarat orang yang cemburuan, tidak percaya kepada suami, akhirnya bingung sendiri.

Ada yang disebut kangkang botoh pangêdangan (hegemoni seperti periuk atau bejana), yang cirinya sebagai berikut.

“Ada kangkang tingkah botoh pangêdangan, yening mênang

ujurin,yan kalah selselang, di pêdêm tuara tunayan, macara mrêngas-mrêngis, managih upah, tuara dadi puyungin” (Durma,

52).

‘Ada yang disebut kangkang ibarat penjudi bersifat seperti periuk, jika menang senang (dimintai uang), jika kalah disesalkan, di tempat tidur juga tidak mau kurang, merengek-rengek, minta upah (jatah), tidak bisa tidak harus diberi (sepuasnya)’.

Teks (55) adalah kangkang tipe yang tidak boleh kurang satu apa pun yang selalu mengutakan nafsu yang akhirnya seperti orang gila.

“Ada buin kangkang tong dadi tunayan, awak mula kapering,

buddhine ngpakang, masih tuara kasidan, dadi buduh uyang paling, sai ngulanjar, ka pisaga mlali” (Durma, 55).

‘Ada yang disebut kangkang yang tidak boleh kekurangan (apa pun), diperbudak oleh nafsu, karena pikiran, juga tidak berhasil, akhirnya seperti orang gila, setiap hari bepergian, bermain-main ke rumah tetangga’

”Mamuduh mangonyang isin paumahan, tani dusin mangulisting,

anggo mêli guna, mangde dadi drêman, masangang gtih ngaweci, kasuna nunggal, pamugug sarwa mandi” (Durma, 57).

āna

[ 149 ]

di arêp somah, pada baan cacarin”

(32)

āna

[ 148 ]

mrêngis, managih upah, tuara dadi puyungin”

paling, sai ngulanjar, ka pisaga mlali”

kasuna nunggal, pamugug sarwa mandi”

Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana

[ 149 ]

‘(Menjadi) gila menghabiskan harta kekayaan, akhirnya miskin, untuk membeli guna-guna, agar terlihat menarik, menerapka ilmu hitam, kasuna nunggal, serta pamugpug yang mujarab’.

Teks (65 – 72) berisikan tentang kangkang yang sifatnya pura-pura dengan maksud tersembunyi. Perkataan atau pun perbuatan yang dilakukan sebenarnya dimaksudkan untuk mengelabui suami atau orang lain. Semua yang dilakukan itu walaupun secara tidak langsung akhirnya akan diketahui juga, ibarat pepatah sepandai-pandai melompat akhirnya terjatuh juga dan dalam budaya Bali ada ungkapan sing nyidaang nêkêpin andus ‘tidak bisa menutup asap’.

“Mangupaya dayan bakane jalanang, êda takut mangasurin,

ngulahang mabahan, ngamapi-mapi darma, dulurin baan manis, di arêp somah, pada baan cacarin” (Durma, 66).

‘Menjalankan tipu muslihat baka (cerita si burung bangau yang berpura-pura alim), tidak malu untuk merendah, berpenampilan apik, berpura-pura alim, disertai senyum manis, di depan suami dan orang lain’

“Tui ririh mabaan ngalih dalihan, madune pada kaukin, pilihin ne

sayang, mapi barêng nyayangang, damping da mbahang magêdi, pêtêng lêmah tangarin” (Durma, 67).

‘Sungguh sangat pandai mencari alasan, madunya dipanggil, pura-pura sayang, berdampingan dan tidak boleh pergi, takutnya siang malam’.

Teks (68 dan 69) menyarankan seorang istri harus hati-hati berkata-kata kepada suami, berpura-pura baik menawarkan kawin lagi kepada suami, agar terlihat sayang, cinta, hormat, dan sejenisnya yang akhirnya merugikan diri sendiri. Sang suami akhirnya lebih memilih istri mudanya dan tidak dapat dipisahkan.

(33)

Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana

[ 150 ]

“Len ada mapi darma nanjenin somah, misêrang nunden ngalih,

anak luh bajang, lasya tusing kabehan, ne muani polos nututin, mangalih somah, mabaan bajang cênik” (Durma, 68).

‘Ada lagi yang berpura-pura baik menawari suami, agar mencari, perempuan muda, (dikiranya) pasti menolak, (ternyata) sang suami menurut, mencari istri muda, didapatinya masih remaja’

“Kalantasan atêp tong dadi bêlasang, pêtêng lêmah makilit,

ngalilintah kedokan, nêgên tuara ngalebang, ne luh pinah kêcut kuning, tuara rerenan, nêmuang lêgan ati” (Durma, 69).

‘Akhirnya bersatu tidak dapat dipisahkan, siang malam tidur-tiduran, ibarat lintah yang kelaparan, tidak akan dilepaskan, yang perempuan sampai pucat pasi, tiada henti, bercinta’.

“Jani uyang paling mamangênang awak, kadung san mananjenin,

kaden tuara nyak, ulate calunutan, tong madaya buka jani, nyiêp sêpekang, buka tuara manolih” (Durma, 70).

‘Sekarang menyesali diri ibarat orang gila, terlanjur menawari, dikira tidak mau, kelihatannya alim (polos, culun), siapa sangka sekarang seperti ini, seperti orang tidak kenal, tidak mau menoleh’.

Kangkang dalam Istri Sasana juga ada disebutkan dengan istilah bêlog kangkan katuukan sebagai berikut.

“Buin ada bêlog kangkang katuukan, mangêlah pianak cênik, ne

muani mamitra, tuara pati di jumah, ne luh manguel sai, makakrencongan, tuara ada nulungin” (Durma, 73).

‘Ada lagi yang disebut belog kangkang katuukan, mempunyai anak kecil, si suami suka selingkuh, jarang di rumah, si ibu setiap hari marah-marah, sibuk sendirian, tidak ada yang menolong’.

Selain seperti yang disebutkan dalam (73) di atas, sifat kangkang ini kelakuannya juga seperti tidak waras, berpakaian / kain tidak semestinya, jika berjalan kainnya dinaikkan, awut-awutan, rambut acak-acakan, jika berjalan tidak menoleh kiri kanan, mencari

āna

[ 151 ]

pasangkan, tan pasingkêban, kênêhe suba mamêsik”

maêkin, tui ucapan, sing bikasan êmasin”

gêntong jasi, tunggal pêkênan, tuara suud mamêli”

(34)

āna

[ 150 ]

mangalih somah, mabaan bajang cênik”

kuning, tuara rerenan, nêmuang lêgan ati”

a tuara manolih”

makakrencongan, tuara ada nulungin”

Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana

[ 151 ]

suaminya (yang selingkuh) ke tetangga bahkan sampai malam-malam, setelah ditemukan (suaminya) di tengah jalan dimarahi.

“Ada kabinawa kangkang katuhukang, malingêb ne muani, sasolah

nuutang, tong bani magantangan, ri rês sirêp têtêhin langit, tan pasangkan, tan pasingkêban, kênêhe suba mamêsik” (Durma, 89).

‘ Ada yang disebut kangkang katuhukang luar biasa, si suami takut (sama istri), setiap perkataannya dituruti, tidak berani menolak, tidak bisa bergerak ibarat langit runtuh, tidak tahu sebabnya, hati sudah menyatu’

“Ngulurin indria tong taen papasah, tan mari tuah masanding,

ngamanying macanda, madune buka nyenyeh, tong dadi angan maêkin, tui ucapan, sing bikasan êmasin” (Durma, 90).

‘Menuruti hawa nafsu tidak pernah terlepaskan, selalu ingin berduaan, bercengkerama, istri muda terlihat seperti nanah, yang tidak dapat (berani) mendekat, juga perkataan, semua yang dilakukan dianggap salah.’

Sifat kangkang yang lain ada disebutkan sebagai kangkang badohos. Tipe kangkang seperti ini emosional, ringan tangan, pemarah dan sejenisnya.

“Ada kangkang badohos kêrêng macara, mamugpug sai-sai,

jêmbung piring pinggan, gêmpung tuling caratan, pane paso gêntong jasi, tunggal pêkênan, tuara suud mamêli” (Durma, 94).

‘Ada yang disebut kangkang badohos suka membuat masalah (emosional), setiap hari menghancurkan (sesuatu), cawan piring mangkok, kendi, tempayan, setiap hari pasaran selalu membeli’.

“Tulia Kala tuara mabahan balapan ,munyine ngikir-ngikir,

manuju Galungan, makaronan maebat, di paon saling gêrêngin, ne muani kalah, ne luh ngubas-abis” (Durma, 95).

‘Seperti Bhatara Kala yang tidak diberi persembahan, perkataannya sembarangan, ketika hari raya Galungan, berdua

(35)

Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana

[ 152 ]

(sambil) memasak, di dapur (mereka) bertengkar, suami kalah, istri seperti orang kalap’

“Mantêg paso ngêntungan mba apinggan, laut ngambres magêdi,

ka ambene negak, macêrêng liate sumbrah, mamunyi laut manuding, uwel mangopak, mamuduh data bibis” (Durma, 96).

‘Memukul tempayan (dan) melemparkan semangkuk bawang goreng, lalu pergi, duduk di serambi, pandanganya nanar, berkata sambil menunjuk-nunjuk, marah-marah, seperti orang gila merobek semua yang ada’.

Teks (98 - 109) disebutkan ada kangkang liêp balêman. Kangkang tipe ini ibarat api dalam sekam, kelihatannya saja alim padahal nafsu birahinya memuncak tidak tertahankan sampai-sampai mempunyai selingkuhan. Berbagai macam tipu muslihat dilakukan agar tidak kentara, bahkan yang paling gawat ketika selingkuhannya itu diajak ke rumahnya untuk ditiduri. Keadaan demikian tentu tidak baik sehingga semuanya terkuat dengan mudah.

“Len ada kangkang nglêyêp mambalêman, tuara pati mamunyi,

kimud pakatonan, daêm galake narap, tong dadi tuna awai, sai kuangan, jaên tuara ada nandingin” (Durma, 98).

‘Ada yang disebut kangkang nglêyêp balêman (ibarat api dalam sekam), tidak banyak tingkah, kelihatannya pemalu, (sejatinya) sangat garang, tidak boleh kurang walaupu Cuma sehari, selalu merasa kurang (puas), (karena) nikmatnya yang tidak tertandingi’.

Berbeda dengan kangkang pongah tuara sirikan, yakni berani menanggung risiko sebagai istri muda. Memang sering kali menjadi istri muda lebih banyak mendapat perhatian dari suami, ibarat bunga yang lebih segar, masih harum. Sebaliknya, istri tua ibarat bunga yang sudah layu, sudah tidak harum lagi. Keadaan ini tentu membuat istri tua tidak nyaman. Dalam budaya Bali, keadaan seperti ini ibarat numpang prawu sarat ‘ibarat menaiki perahu yang sarat dengan muatan’ yang mudah sekali untuk tenggelam.

āna

[ 153 ]

kemêng manarka, suba têka awagin”

bawu asibak, têka nyantra nyêlupin”

(36)

āna

[ 152 ]

manuding, uwel mangopak, mamuduh data bibis”

kuangan, jaên tuara ada nandingin”

Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana

[ 153 ]

“Tuara nawang manumpangin prawu sarat, mangêdotang mas

pipis, napêtang kasukan, nyen lêga mambahang, somahe anak lêmêsin, êda nyagêrang, pongah nagih muponin´ (Durma, 116).

‘Tak tahu ibarat naik perahu sarat, (hanya) karena ingin harta benda, mendapatkan kesenangan, siapa yang sudi, suami dirayu, tidak bisa diandalkan, beraninya mau menikmatinya (bersama)’.

Ada yang disebut dengan kangkan belog jajotongan. Cifat atau ciri kangkang adalah kekonyolan, melakukan sesuatu tanpa pikir panjang, tanpa memperhitungkan untung ruginya. Teks (118 - 120) berikut contohnya.

“Ada buin kangkang bêlog jajotongan, ne muani mambangin,

malalab di jumah, ilang uli sêlidan, êngken umahe dêngokin, kemêng manarka, suba têka awagin” (Durma, 118)’.

‘Ada yang disebut kangkang bêlog jajotongan (konyol), suaminya membiarkan, di rumah (hati) terasa panas, sejak sore sudah menghilang, rumah mana yang akan diselidiki, bingung menerkanya, ya sudah masuk saja (salah satunya)’.

“Ngojog jumah mêten madune di tengah, ngêrak manogtog kori,

manunden mambungkah, madune kapupungan, nu mangabag kori, bawu asibak, têka nyantra nyêlupin” (Durma, 119).

‘Menuju balai utara istri mudanya di tengah, berteriak mengetuk pintu, menyuruh (untuk) membuka, istri mudanya tergagap, mamegang (gagang) pintu, baru setengah, segera masuk’.

“Manyambak nyêkuk ninjak laut manyêngka, nungkayak buka

pantig, madune bêtenan, penye teteh gêdean munyi, iba tuah ngêbang, mati iba baan kai” (Durma, 120).

‘Menarik rambut mencekik menendang lalu menindih, tengadah seperti dibanting, istri mudanya di bawah, kau banyak bicara, kau yang menyembunyikan suami(ku), kau mati oleh (sekarang)’.

(37)

Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana

[ 154 ]

Teks (130 -132) adalah kangkang yang suka bertengkar. Berikut teksnya.

“Len ada kangkang canggih sai maiyêgan, asing paêk ucupin,

arêpin maiyêgan, tong taen nyak kalahan, ipah matua pada puik, madu têka nyengitang, langan sai-sai” (Durma, 130).

‘Ada lagi kangkang yang suka bertengkar, setiap yang di dekatnya dimusuhi, diajak bertengkar, tidak mau kalah, ipar mertua tidak diajak ngomong, terlebih kepada istri muda, bertengkar setiap hari’.

Teks (133) kangkang yang suka ringan tangan. Berikut teksnya.

“Buin ada kangkang tong dadi tunayan, gêmês nyajayang nigtig,

di arêpan somah, sêpêt munyine matbat, manuding nunden magêdi, jani majalan, pangerane ayahin” (Durma, 133).

‘Ada yang disebut kangkang yang sangat suka, memukul tanpa perasaan, walaupun) di depan suami, berkata menyakitkan hati, menunjuk-nunjuk nyuruh keluar (dari rumah), harus sekarang, layani (pulang ke) orang tuamu’.

Bagian akhir atau penutup teks terdiri dari 4 pupuh, mulai dari pupuh durma (143 – 146). Dua teks pertama (143 dan 144) merupakan simpulan atau saran anjuran dari pengarang selanjutnya dua teks terkahir (145 dan 146) merupakan teks penutup yang isinya permohonan pengarang karena isinya sangat terbatas. Adapun saran anjuran pengarang sebagai berikut.

“Krana da milu awake bajang, kama patute gisi, karmane

kamayang, kaayone sayangang, kadi bunga nêdêng miik, tambulilingan, patut mangisêp sari” (Durma, 143).

‘Itulah sebabnya (kau) yang masih muda (remaja), keinginan yang wajar (saja), perbuatan yang dijadikan ukuran, hargai kecantikan, ibarat bunga yang sedang mekar (harum), si kumbang, pantas mendapatkannya’.

āna

[ 155 ]

masipat sastra, maambal pati urip”

mbawosang raga, dening sipating aji”

(38)

āna

[ 154 ]

sai”

magêdi, jani majalan, pangerane ayahin”

tambulilingan, patut mangisêp sari”

Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana

[ 155 ]

“Yan daa truna kapradana purusa, pasuk wêtuning dadi,

ngawibuhang jagat, dadi swajatukarma, ala ayu ning dumadi, masipat sastra, maambal pati urip” (Durma, 144).

‘Jika pemuda dan pemudi sudah ditahbis secara sah, diperbolehkan melakukan persenggamaan, membuat dunia sejahtera, menjadi sejoli (jodoh), baik buruk menjalani hidup di dunia, (haruslah) berdasarkan sastra (pengetahuan, ajaran), untuk bekal kehidupan dan kematian’.

“Ambulne têtês baan nyaritayang, ne tong tawang akuin, mbêlog

ne bêlogan, pangêdih kakasihan, anggonya pangeling-ngeling, ciri pitrêsna, ulih nu bajang cêrik: (Durma, 145).

‘Hanya segini yang bisa diceritakan, menulis yang yang tidak diketahui, lebih bodoh dari orang yang bodoh, permohonanku (sebagai) sahabat, sebagai pengingat, (sebagai) ciri cinta persahabatan, sejak dari kecil’

“To krana nglaluang magêguritan, sampura dewa gusti, sang

kahyun maosang, yan iwang icen ajah, sampun ugi salit tampi, mbawosang raga, dening sipating aji” (Durma, 146).

‘Itu sebabnya memberanikan diri mengarang, maafkan (saya) tuanku, kepada yang suka membacanya, jika ada yang salah silakan dikoreksi, jangan salah paham, menyombongkan diri, karena pengetahuan yang terbatas’.

Sebagai identitas, pada akhir tulisan diberikan catatan penanggalan atau kolofonnya sebagai berikut.

“Iti rontal Istri Sasana, puput sinurat, ring dina, Ra, Wa, wara

Landêp,titi, tang, pang, 11, sasih Kanêm, rah, 3, têng, 9, Isaka warsa 1883. Sinurat antuk Ida Bagus Raka, ring Gria Taman, Kêrobokan”.

‘Ini lontar Istra Sasana namanya, selesai ditulis pada hari Rabu Wage wuku Landêp, ketika paro terang kesebelas, bulan Keenam (sekitar bulan November – Desember), puluhannya 3, satuannya 9,

(39)

Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana

[ 156 ]

tahun Isaka 1883 (1961 Masehi). Ditulis oleh Ida Bagus Raka dari Gria Taman Kerobokan.

Penutup Simpulan

1) Teks tutur dalam masyarakat Bali memiliki kedudukan tersendiri sebagai salah satu dasar filosofi perilaku budaya Bali. 2) Teks tutur Istri Sasana secara makrostruktural terdiri atas tiga

bagian utama, yakni pembukaan, struktur isi, dan penutup. 3) Teks Istri Sasana dibangun hanya dengan satu pupuh saja, yakni

pupuh durma dengan 146 bait.

4) Secara umum, isinya berkisar tentang hal-hal yang baik atau buruk, boleh dan tidak boleh dilakukan oleh seorang perempuan terutama untuk seorang gadis.

Saran

Tulisan ini bersifat lintasan makrostruktural yang mengetengahkan hal-hal yang menonjol saja. Oleh karena itu, diperlukan kajian lebih lanjut khususnya mikrostruktural untuk mendapatkan proyeksi teks yang sesungguhnya sehingga pemahamannya menjadi komprehensif dan tidak salah tafsir. Untuk itu, ada baiknya juga dilakukan kajian yang berkaitan dengan eksistensi kewanitaan zaman ini dalam konteks yang lebih luas, misalnya dari perspektif gender atau feminisme.

āna

(40)

āna

[ 156 ]

Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana

[ 157 ]

Daftar Pustaka

Brown, Gilian dan George Yule. 1996. Analisis Wacana. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Djajasudarma, T Fatimah. 1994. Wacana: Pemahaman dan Hubungan Antarunsur. Bandung: Eresco.

Eriyanto. 2009. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS.

Halliday, MAK dan Ruqaiya Hasan. 1994. Bahasa, Konteks, dan Teks. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Jorgensen, Marianne dan Louise J Phillips. 2010. Analisis Wacana: Teori dan Metode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kusumayanti, Ni Luh Indah. 2018. “Teks bahing Sundari: Analisis Struktur dan Fungsi” (Skripsi untuk Program Studi Sastra Bali Univ. Udayana).

Ricoeur, Paul. 1996. Teori Penafsiran Wacana dan Makna Tambah. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.

Said, Edward. 2012. Dunia, Teks, dan (Sang) Kritikus. Denpasar: CV. Bali Media Adhikarsa.

Schiffrin, Deborah. 2007. Ancangan Kajian Wacana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sulibra, I Ketut Ngurah. 2017. “Aji Pari: Memuliakan Padi untuk Kesejahteraan” dalam Prabhajnana II. Denpasar: Slamat Trisila.

Titsher, Stefan, Michael Mayer, Ruth Wodak, Eva Vetter. 2009. Metode Analisis Teks dan Wacana. (Ed. Abdul Syukur Ibrahim). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Zoetmulder, P.J. 1985. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Yogyakarta: Djambatan.

Sumber Lontar:

(41)

Referensi

Dokumen terkait