• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA LONTAR UNIVERSITAS UDAYANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN PUSTAKA LONTAR UNIVERSITAS UDAYANA"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

PRABHAJÑĀNA:

KAJIAN PUSTAKA LONTAR UNIVERSITAS UDAYANA

(4)

PRABHAJÑĀNA:

KAJIAN PUSTAKA LONTAR UNIVERSITAS UDAYANA PENULIS

I Made Suastika Ida Bagus Gede Agastia Anak Agung Gde Alit Geria

Putu Eka Guna Yasa Ida Bagus Rai Putra Luh Putu Puspawati I Ketut Ngurah Sulibra Ni Made Ari Dwijayanthi

I Nyoman Suarka I Made Wijana I Wayan Sukersa Made Reland Udayana Tangkas

Sri Jumadiah

PENYUNTING

Drs. I Ketut Ngurah Sulibra, M.Hum. Putu Eka Guna Yasa, S.S., M.Hum.

DESAIN COVER

I Made Agus Atseriyawan Hadi Sutresna Diterbitkan oleh:

SWASTA NULUS

Jl. Tukad Batanghari VI.B No. 9 Denpasar-Bali Telp. (0361) 241340

Email: swastanulus@yahoo.com

Cetakan Ketiga:

2018, xx + 210 hlm, 14 x 21 cm, Time New Roman 12 ISBN...

Isi diluar tanggung jawab percetakan

Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang keras menterjemahkan, memfotokopi, atau Memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini

(5)

DAFTAR ISI

Sambutan Rektor Universitas Udayana --- v Sambutan Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana vii Sambutan Ketua Pusat Lontar Universitas Udayana --- ix Pengantar Penyunting --- xiii

Dialog Kresna dan Arjuna Tentang Swadarma Ksatria pada Episode Bhagavad Gita dalam Bhisma Parwa Jawa Kuna

I Made Suastika --- 1

Smara dan Samara dalam Kakawin Arjunawiwaha

Ida Bagus Gede Agastia --- 18

Makna Gaib dalam Manggala Kakawin

Anak Agung Gde Alit Geria --- 37

Kidung Bhuwana Winasa:

Monumen Estetik Warisan Ida Pedanda Ngurah

Putu Eka Guna Yasa --- 53 Ekpresi Lisan “Karang Awake Tandurin”:

Bahasa Bali sebagai Wahana Domain Budaya Tak Benda Karya Ida Pedanda Made Sidemen

Ida Bagus Rai Putra --- 72 Kajian Teks Geguritan Lunga ka Jembrana

Karya A.A. Istri Agung

Luh Putu Puspawati --- 84

Tutur Kala Tattwa dalam Tafsir: Perspektif Hermeneutik

I Ketut Ngurah Sulibra, Ni Made Ari Dwijayanthi,

(6)

Usadha Yeh: Pengobatan Bersaranakan Air

I Made Wijana --- 126 Lontar Candrabhumi: Mengupas Kata Menjadi Angka

dalam Candrasangkala

I Wayan Sukersa--- 149

Palalindon: Tafsir Gempa Bumi Ala Bali

Made Reland Udayana Tangkas --- 173 Kode Etik Memuliakan Lontar: Perspektif Lontar Kamatantra

miwah Saraswati

(7)

KODE ETIK MEMULIAKAN LONTAR: PERSPEKTIF

LONTAR KAMATANTRA MIWAH SARASWATI

Sri Jumadiah

Program Studi Sastra Indonesia FIB Unud

I Pendahuluan

Keberadaan daun lontar sebagai media tulis bagi masyarakat Bali sudah dikenal sebelum abad ke-9 seperti yang tertuang dalam

Prasasti Trunyan AII tahun 971 Çaka mengatakan bahwa

“masyarakat desa Trunyan memohon kepada Paduka Raja untuk menetapkan kembali segala isi prasasti berbentuk lontar yang telah rusak, dituliskan kembali ke atas tembaga” (Ardika, 1996:122-124). Melihat fakta tersebut, masyarakat Bali secara tidak langsung sudah mengenal daun lontar sebagai media tulis sebelum prasasti itu dibuat. Lontar tidak hanya menjadi saksi perkembangan kebudayaan Bali, melainkan menjadi simbol kebudayaan Bali yang tercermin dari isi pengetahuan yang ada di dalamnya.

Tradisi penyalinan, penulisan, pembacaan (metembang

/mewirama/ macapat) lontar di Bali dikenal dengan istilah nyastra

yang berasal dari kata sastra. Zoetmulder mengatakan bahwa tradisi olah sastra (nyastra) yang dilakukan masyarakat Bali merupakan model olah sastra satu-satunya di dunia dan tidak ada ditemukan di tempat lain. Bagi masyarakat Bali orang yang memahami tentang sastra biasa disebut anak nyastra, istilah anak nyastra disematkan pada orang yang ber-ilmu walaupun dalam kenyataannya seseorang belum tentu banyak penguasaan pengetahuannya. Namun karena senang membaca dan dapat berbuat kebaikan/kebajikan terhadap sesama, biasanya seseorang mendapatkan tempat di kalangan masyarakat Bali (Bagus, 1980:7-8).

Dalam perspektif humaniora nyastra merupakan akar budaya Bali yang sangat potensial berfungsi membangun identitas, pembentukan karakter memperkuat jati diri yang berlandaskan etika

(8)

dan estetika Bali (Medera, 2018:1). Melalui tradisi nyastra masyarakat Bali memposisikan lontar tidak hanya sebagai media tulis atau benda yang perlu dirawat dan dilestarikan akan tetapi bagaimana isi dari lontar dapat bermanfaat bagi kehidupan berbudaya di Bali. Sebagai media tulis dan ilmu pengetahuan, masyarakat Bali memposisikan lontar sebagai warisan pusaka dan pustaka yang penting, meskipun saat ini mengalami ketergerusan akibat perkembangan zaman dan pengetahuan yang kurang mengenai naskah lontar.

Dalam mitologi Hindu, lontar merupakan salah satu benda atau pustaka suci (Veda) yang dibawa oleh Dewi Saraswati menjadi simbol sumber ilmu pengetahuan. Dewi Saraswati merupakan sakti dari Dewa Brahma yang disebut juga sebagai dewa pengetahuan dan kebijaksanaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Jawa Kuno, kata Saraswati berasal dari kata Sanskerta yang berarti dewi kefasihan berbicara dan sebagai ilmu pengetahuan (Zoetmulder, 2006:1040). Saraswati merupakan simbol ilmu pengetahuan bagi masyarakat Bali yang senantiasa memberikan pencerahan dalam setiap kehidupan. Pemuliaan terhadap ilmu pengetahuan bagi orang Bali diperingati pada Saniscara Umanis Wuku Watugunung, pada saat itu seluruh umat Hindu melakukan pemuliaan terhadap segala bentuk dan jenis sastra yang mereka miliki.

Lontar Kamatantra miwah Saraswati yang dimiliki oleh Pusat

Kajian Lontar Universitas Udayana memuat tentang tata cara dalam memuliakan naskah lontar baik sebagai pusaka dan pustaka suci. Berikut identitifikasi lontar Kamatantra miwah Saraswati koleksi lontar milik Pusat Kajian Lontar

1. Judul Lontar : Tutur Kamatantra miwah Saraswati 2. No Kropak : 497 No Rt 769

3. Jumlah Halaman : 33 Halaman

4. Ukuran Lontar : Panjang Lontar 44,5cm Lebar 3,5cm. 5. Penulis/Penyalin : Ida Bagus Wayan Rai Buddha

(9)

6. Kalimat Awal : Nihan děning anggelar anuśţana Sang

Hyang Kamaděwa, Sang Hyang Kamatantra ring şariranta, asucia rumuhun umarep wetan lor kunang, krama nira nihan, pratiśţa nira ri wun-wunanta,

7. Kalimat Akhir : Mwah kang anurat Ida Bagus Wayan Rai

Buddha, agria ring Gria Wanasar, Karangasem, alungguh ring gria Gunung Sari Peliatan, Ubud Gianyar.

Tutur Kamatantra miwah Saraswati termasuk dalam kategori

tutur dalam Katalogus Pusat Kajian Lontar yang berisikan tentang

tahapan-tahapan dalam melaksanakan upacara hari Saraswati, menjelaskan beberapa prosedur atau tahapan-tahapan bagi seseorang yang akan memahami dan mendalami sastra, dan bagaimana seseorang yang akan menekuni sastra harus terlebih dahulu menyucikan diri dan pikiran, selain itu lontar ini berisikan mengenai tentang ajaran yoga kamatantra dan juga kawisesan.

II Rangkaian Upacara Saraswati dalam Lontar Kamatantra

miwah Saraswati

Teks Kamatantra miwah Saraswati menjabarkan tentang rentetan upacara Hari Raya Saraswati sebagai simbol penghormatan kepada Sanghyang Tastra/Sastra, dimana Hari Raya Saraswati diperingati 6 bulan sekali tepatnya Saniscara Umanis Wuku

Watugunung. Pelaksanaan Saraswati sebaiknya dilaksanakan pada

pagi hari tepat matahari masih berada di arah timur dan tidak diperkenankan melaksanakannya saat matahari tepat berada di atas atau tengai tepet. Pada pagi hingga sore hari, tidak diperbolehkan ada kegiatan nyastra seperti membaca dan menulis sastra, sedangkan saat matahari mulai terbenam atau malam hari diperbolehkan untuk membaca, menulis, dan mengeluarkan sastra. Berikut kutipan teks tentang sarana dalam melaksanakan Hari Saraswati:

Nihan tingkahing mangodalin saraswati, ring dina, sa, u, watugunung, luiring pabantenya, tumpeng tiga bungkul dadi adulang, telung dulang sane mahotama, maka telung

(10)

bungkul, sami matopi kadi sajining wong pejah. Muwang ajengan 3 dulang tunggal pada matelung kunjung, muah matopi rakanya pada gelahan, sasangan pada magoreng, rakanya wowohan, masesaur sami, iwaknya sarwa ṣuci, itik putik ginuling suwang. Muah pabanten saraswati 3 tanding. Pahyasan 3 tanding. Canang gantal 3. Geti-geti 3 tanding. Muah canang lembaran, canang rebong, base ambungan, buah bancangan, seguhan agung, 9 tanding mawarna iwaknya jajeron, muwang getih lebeng matang, panyeneng lis, jerimpen muadah dulang 3 dulang, rantasan bang putih ireng, pada saparadeg 3 dulang, biakaon mapablonyoh den agenep (Lontar Kamatantra miwah Saraswati 15a-15b.)

Terjemahannya:

‘Inilah rangkaian dalam melaksanakan odalan Saraswati, pada hari, Sabtu, Wuku Watugunung, seperti ini sarana

bantennya, nasi tiga tumpeng dijadikan dalam satu wadah,

tiga wadah yang menjadi utama, dibagi jadi tiga kelopok, semua disusun seperti persembahan wong pejah. Juga makanan dalam 3 dulang jadi satu masing-masing 3 kunjung, juga disusun bersama buahnya sama banyaknya, masakan yang digoreng, segala jenis buah-buahan, dipersembahakan semua, ikannya semua suci, itik putih diguling. Juga banten

saraswati 3 pasang. Pahyasan 3 buah. Canang gantal 3 buah. Geti-geti 3 buah. Juga canang lembaran, canang rebong, base, buah bancangan, segehan agung, 9 jenis tanding

ikannya, juga getih yang dimasak, panyeneng lis, jerimpen ditempatkan pada 3 dulang, rantasan merah putih hitam,semua berada pada 3 dulang, byakaon serta blonyoh lengkap’ (Lontar Kamatantra miwah Saraswati 15a-15b.) Demikianlah sarana banten upacara yang perlu disiapkan dalam melaksanakaan hari Saraswati, selain upakara banten dan segala bentuk naskah sastra baik lontar maupun buku, juga

(11)

dipersiapkan untuk dilakukan proses penyucian Sanghyang Tastra. Prosesi diawali dengan memohon tirta kehadapan Sanghyang Siwāditya dan menghaturkan banten daksina dan banten canang ke hadapan Bhatara Surya, berikut mantranya:

Pukulun Sang Hyang Siwaditya, manuṡa nira asung lugraha, asutirtha pawitrajāti tirtha mahêning akila maya, tisti kundi manik, panglukatan Sang Hyang Saraswati, teka hening tanpa singsingan, manglukatakna sebel kandeling rontal, rna jati hening Sang Hyang Saraswati ya namah (Lontar

Kamatantra miwah Saraswati 15B-16A)

Setelah memohon tirta ke hadapan Bhatara Surya, kemudian tirta ditempatkan di atas lontar/keropak. Selanjutnya menghaturkan

banten byakaon, pembersihan atau pasucian, sisih ambuh, blabonyohin. berikut mantranya:

Pukulun Sang Hyang Saraswati, manuṣa nira angaturakena pasucian nira Sang Hyang Saraswati, hening jati tanpa sing-singan, turunakena kayowana nira Sang amengku balian, teka purna ping 3 (Kamatantra miwah Saraswati 16A).

Selanjutnya lontar diusap-usap dengan tirta (air suci) seakan prosesi memandikan, sembari mengucapkan mantra:

Ong hrang hring sah gangga mreta, sudamam saraswati sidirastu swaha (Kamatantra miwah Saraswati 16A).

Selesai melakukan pembersihan, selanjutnya rontal dijejerkan atau dibentangkan untuk dilakukan prosesi odakin3 atau dalam proses

pembersihan lontar diberi pengawet seperti dioleskan, minyak sereh,

3 odakin dalam kamus Bali-Indonesia Beraksara Latin dan Bali Edisi II, berasal dari kata odak yang berarti boreh, sedangkan ngodakin berarti memborehi, mencat khusus bagi benda-benda yang dikeramatkan seperti mengecat barong.

(12)

wangian cendana, minyak cengkih, dan minyak kemiri pada lontar sembari mengucapkan mantra:

Om sang hyang saraswati mwah sang hyang tastra, maburat gandawangi, teka hening jati sudamam (Kamatantra miwah Saraswati 16A).

Prosesi pembersihan dan pengawetan lontar dengan menggunakan sarana minyak-minyak wangi serta sarana air tirta dalam teks, ini menandakan masyarakat Bali tidak hanya mewarisi kegiatan penyalinan lontar saja, tetapi juga memahami tentang perawatan naskah lontar. Setelah prosesi odakin selesai, lontar kembali diikat atau disimpan. Prosesi upacara dilanjutkan dengan menghaturkan banten panyeneng dan banten byakaon, berikut mantranya:

Ong Sang Hyang Saraswati, manuṡa nira ngaturang byakaon tepung tawar masāgan apan Bhuta Astra Astra, mwang Bhuta anadah mantra, pinaka jaga jagan bhatara, sira angadakakena drenggi poraka, sira wenang rena ming sang hyang aji, teka pada rata purna. (Kamatantra miwah

Saraswati 16B).

Setelah menghaturkan banten panyeneng dan banten

byakaonan selanjutnya memasang lis panyeneng di lontar atau

keropak dan dilanjutkan dengan prosesi nepung tawarin, berikut mantranya:

Mantra memasang lis penyeneng:

Pukulun manuṡa nira angaturaken panyeneng elis, weton ira Sang Hyang Saraswati, karaṅa manuṡa nira angaturaken penyeneng elis, weton ira Sang Hyang Saraswati, manuṡa nira amintaka siddhyan, kamandhyan, kawicaksanan, kawregiwakan, bāyu sabda pinaka pabanten, idhep

(13)

ananggapin, maka sarining sari, Ang sadya wastu swaha.

(Kamatantra miwah Saraswati 16B-17A). Mantra nepung tawarin:

Pukulun Sang Hyang Saraswati mwah Sang Hyang tiga guru, manuṡa nira anepung tawarin paduka bhatara tiga, teka jati hening bresih (Kamatantra miwah Saraswati 17A).

Prosesi selanjutnya memercikkan tirtha yang telah dimohonkan kepada Bhatara Surya ke arah lontar (kropak), diperciki sebanyak 9 kali, sembari mengucapkan mantra,

Ong toyantu mahasidyam, surya candra maha mretaṁ, we dewi maha sidyaṁ, pawitramwa maha mretaṁ. Selanjutnya

menenangkan dan memusatkan pikiran, mengucapkan mantra, Ong Ang brahma saraswati ya namah, Ong Ung

wiṡṅu ṣri dewi ya namah, Ong Mang iṣwara umadewi waludewa ya namah, Ong Yang srayu saraswati ya namah.

(Kamatantra miwah Saraswati 17A).

Selanjutnya sampai pada persembahan utama dalam rangkaian upacara Saraswati yakni dimulai dari menghaturkan banten odalan

Saraswati, berikut mantra:

Ang Ang bhatari mahadewi, manuṡa nira angaturaken tadah pawitra, manuṡa nira aminta kreta nugraha siddhi ṣakti, Ong Ung Sang Hyang Tastra, mwah Sang Hyang Tiga, manuṡa nira angaturaken tadah saji, aminta kasidyaning mantra, ah ya namah (Kamatantra miwah Saraswati 17A-17B).

Mantra ngayabin banten Saraswati,

Ong Yang angaturaken sari pawitra, yang amuntyaken sari pawitra, yang atinggalaken sari pawitra, Ong hrang hring sah hyang suksma ya namah (Kamatantra miwah Saraswati 17B).

(14)

Mantra matatabuhan (menghaturkan arak brem) dilakukan bersamaan dengan memerciki arak, brem, air;

Ih Sang bhuta tiga tiga welas, iti tanggapen bala bara nira, buktyakna den abecik, wus cahamuktya, tunggunen Sang Hyang Saraswati, 3 kali (Kamatantra miwah Saraswati 17B).

Setelah menghaturkan arak brem, air (matabuh), mantra selanjutnya;

Ih Hyang Bhatara tiga guru sastra, akaron pada Paduka Bhatara sami, manuṡa nira angaturakena sarining kukus, sarining pasepan, sarining mreta, sunganasun den kadirgayusaning urip, maka langgenging tuuh, Ong suddha, 3 kali (Kamatantra miwah Saraswati 17B-18A).

Setelah prosesi metabuh selesai dilakukan sebagai pertanda

banten odalan selesai dihaturkan, kemudian menghaturkan

persembahyangan kehadapan para dewata. Prosesi menghaturkan

banten dan persembahyangan odalan Saraswati telah selesai

dilaksanakan ditutup dengan mantra:

Ong hrang hring sah ṣiwa suksma sunia ya namah, Ong hrang hring sada ṣiwa suksma sunia ya namah, Ong hrang hring parama ṣiwa suksma sunia ya namah, Ong hrang hring sah ṣiwaditya suksma sunia ya namah, Ong hrang hring sah saraswati suksma sunia ya namah (Kamatantra miwah Saraswati 18A).

Berakhirnya rangkaian persembahan atau penyucian Sang Hyang Tastra pada hari Saraswati dilanjutkan dengan kegiatan malam sastra. Kegiatan malam sastra umumnya diadakan di instansi-instansi pendidikan seperti sekolah-sekolah, perguruan tinggi dan ada beberapa dilaksanakan di pura. Pada saat malam sastra umat Hindu diperbolehkan untuk melakukan kegiata sastra seperti membaca lontar, magegitan, atau berdiskusi soal sastra hingga larut malam.

(15)

Kegiatan ini merupakan bentuk pemulian ilmu pengetahuan sebagai sebuah benda pustaka, setelah sebelumnya ilmu pengetahuan yang berada dalam lontar atau buku dimuliakan sebagai benda pusaka bagi pemiliknya. Malam sastra bukanlah akhir dalam rangkaian pemuliaan ilmu pengetahuan pada hari Saraswati, pada esok hari tepatnya Redite

Paing Wuku Sinta menjadi puncak dari perayaan Saraswati

dilaksanakanya Banyu Pinaruh.

Banyu Pinaruh merupakan kegiatan penyucian diri dengan

harapan menghilangkan segala ketidaktahuan atau kebodohan dalam diri sehingga Sang Hyang Saraswati berstana dalam diri. Tidak banyak masyarakat yang paham terhadap penyucian diri pada Banyu

Pinaruh, mereka cenderung melupakan esensi utama dari kegiatan ini.

Masyarakat umumnya lebih condong melakukan pembersihan diri di pantai sembari berekreasi dengan keluarga tanpa melengkapi dengan sarana upacara. Sarana yang diperlukan dalam upacara ini adalah dua buah banten suci, canang saraswati, satu buah banten prayascita yang dihaturkan pada Sang Hyang Saraswati (lontar/buku). Setelah sarana upacara bebantenan telah dihaturkan umat diperbolehkan untuk mencari sumber mata air (kelebutan/pancoran), pantai, maupun melakukan panglukatan di griya. Berakhirnya kegiatan Banyu

Pinaruh merupakan akhir dari pemuliaan Sanghyang Tastra sebagai

pusaka pengetahuan, diharapkan menjadi penerang dalam kehidupan sehari-hari.

III Memuliakan Pusaka atau Pustaka Naskah Lontar dalam Kehidupan Nyastra

Menarik ketika mendengar istilah kata pusaka dan pustaka pada naskah lontar. Kata pusaka dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti harta benda peninggalan orang yang telah meninggal yang mengacu pada warisan, barang yang diturunkan dari nenek moyang mengacu pada benda; keris (Alwi, 2005:910). Mengacu pada arti kata pusaka, lontar-lontar yang disimpan oleh masyarakat Bali, dapat dikatakan sebagai pusaka yang diwarisi dari leluhur mereka.

(16)

Kata pusaka juga identik dengan sesuatu benda yang dianggap keramat, sakral, atau mistis, seperti halnya dengan bendera pusaka Indonesia sudah tidak lagi dikibarkan sebagai bendera melainkan menjadi simbol sejarah bangsa Indonesia pada zaman kemerdekaan. Mungkin saja ini juga terjadi pada naskah lontar Bali, lontar sudah tidak lagi menjadi media tulis primer saat ini melainkan menjadi simbol kebudayaan yang terwariskan oleh leluhur mereka. Pandangan sebagian kalangan masyarakat mengenai lontar, merupakan salah satu benda tenget (keramat) baik dilihat dari bentuk fisik maupun dari isi yang ada didalamnya adalah salah satu fakta yang terjadi di masyarakat. Sudut pandang mengenai lontar tenget dari beberapa masyarakat tidak salah, mengingat istilah orang Bali tentang ajawera (aywawera) yang menjadi dinding pembatas ketika hanya sekedar ingin tahu soal naskah lontar. Ketakutan soal ketidaktahuan isi lontar ini menyebabkan lontar hanya menjadi simbol warisan leluhur yang harus mereka junjung atau hormati tanpa diketahui isi dan kondisinya. Sebagai sebuah warisan yang mereka keramatkan naskah lontar bagi sebagian besar masyarakat disimpan di Pura, merajan, sanggah,

piasan atau gedong (tempat suci).

Menjadi pertanyaan apakah semua lontar dapat dikatakan sebagai pusaka atau benda keramat? Tentu saja terlepas dari ketidaktahuan masyarakat Bali tentang isi naskah lontar, prilaku masyarakat Hindu Bali dalam konteks upacara, upakara, dan etika atau susila dalam memuliakan ilmu pengetahuan, khususnya teks lontar diimplementasikan pada Hari Saraswati. Lantas apakah lontar sebagai pusaka masyarakat Bali hanya difungsikan untuk dipuja, disucikan, dan dijunjung sebagai warisan dari leluhur mereka? Tentu saja tidak, lontar sejatinya adalah sebuah pustaka.

Pustaka dalam kamus KBBI merupakan buku, kitab, buku perimbon (Alwi, 2005:912). Lontar merupakan media tulis dengan ketahanan fisik hingga puluhan tahun yang digunakan oleh para leluhur untuk menuliskan catatan-catatan harian hingga catatan penting pada masanya. Apakah lontar sama dengan buku? Tentu saja

(17)

Iya, jika dilihat dari segi fungsi, lontar dan buku sebagai media tulis, akan tetapi jika dilihat dari segi kebudayaan Bali, lontar sejatinya berbeda dengan buku. Lontar tidak hanya media menyimpan ilmu pengetahuan, akan tetapi merupakan salah satu benda suci dalam ajaran agama Hindu, yang dibawa oleh Dewi Saraswati dan Ganesha sebagai simbol pengetahuan. Kaitan inilah yang menyebabkan lontar tidak sepenuhnya merupakan media tulis atau buku semata, dalam Lontar Kamatantra miwah Saraswati dikatakan bahwa perlu adanya perlakuan-perlakuan atau etika-etika yang khusus dalam memuliakan naskah lontar. Pemulian naskah lontar tercermin pada beberapa mantra pujaan terhadap pustaka lontar yang terdapat dalam lontar

Kamatantra miwah Saraswati. Berikut beberapa mantra pujaan dalam

memuliakan naskah lontar;

Mantra Mengambil Lontar Ong, Yang ṣiwa, Sada ṣiwa, Parama ṣiwa, yoga isep, 3 kali. (Kamatantra miwah Saraswati 22b)

Mantra Membuka Pustaka Ong Aksarā aji maca pustakā, Ong gamūrtti ragana phataye (Kamatantra miwah Saraswati 24B)

Mantra Membuka Pustaka Ong Saraswati bapdaryya nama swaha. (Kamatantra miwah Saraswati 26A)

Mantra Membaca Pustaka

Keramat Ong Ang rāja panulah, bhatara guru pinaka raga sārjawa (Kamatantra miwah Saraswati 24A-24B)

Mantra Membaca Pustaka

(Lontar) Ong gêmut kumāna șri mandiyĕ namah. (Kamatantra miwah Saraswati 24B)

Mantra Membaca Pustaka untuk Orang Yang Belum

Mewinten

Ong byaksayam, Rudra Maheswara syakaṁ, yanamah swaha (Kamatantra miwah Saraswati 24B)

(18)

Mantra Menyimpan Sastra

(Lontar) Ong Yang Saraswati kumerebya namah. (Kamatantra miwah Saraswati 22B)

Mantra Nyipat4 Sastra

(Lontar) (Atau mematikan aksara)

Ong, Yang Saraswati Pralina (Kamatantra miwah Saraswati 23A)

Sarana Piwelas Sastra

(Lontar) sarin bunga, pangan, pasangakena ring purnama (Kamatantra miwah Saraswati 23A)

Mantra Piwelas Sastra

(Lontar) Pukulun Sang Hyang Tiga Ṣakti, Sang Hyang Ratih, Sang Hyang Ratih dewaning woneng, anawutana tastra,

mulya sumu-suping ṣariranku,

matunggalan smara, teka welas, denia dahat asih, saros ning ṣastra sumeketing ṣariranku, rahina asih, sang hyang tastra anusup maring awak ṣariran-ku, telas. (Kamatantra miwah Saraswati 23A)

Mantra Menulis Sastra Ong asthana saraswati ya namah swāhā, pulilikabhaya namah swāhā. (Kamatantra miwah Saraswati 24A)

Mantra Prelina Sastra Ong Nang Mang (Kamatantra miwah Saraswati 24B)

Mantra Mengikat Lontar Ong Aksara tamah. (Kamatantra miwah Saraswati 24B)

Menghidupkan Mantra Ongkara, 8 kali (Kamatantra miwah Saraswati 24B)

Mantra Membersihkan Ong Sang Hyang Saraswati mwah

4 Nyipat dalam Kamus Bahasa Bali berasal dari kata sipat yang berarti sipat atau menyipat dan juga nyipat berarti mengutuk (Kamus Bali - Indonesia Beraksara Latin dan Bali Edisi II, 2016:914)

(19)

Sastra/Pustaka Sang Hyang Tastra, maburat gandawangi, teka hening jati suddanam.

(Kamatantra miwah Saraswati 16B)

Mantra Menghapus Pustaka Ong Nāga iradaśan. (Kamatantra

miwah Saraswati 23B)

Berdasarkan temuan dalam tabel di atas, bahwadalam Lontar

Kamatantra miwah Sarasawati ditemukan beberapa mantra dan

sarana upacara dalam upaya pemuliaan terhadap naskah lontar sebagai benda pustaka dan pusaka yang perlu diperhatikan. Etika seseorang mulai dari mengambil, membuka, membaca, menulis, merawat, membersihkan, serta menghapus lontar, dilakukan dengan mengucapkan mantra terlebih dahulu sebagai permohonan kesungguhan hati, dan pikiran sebelum mengelola naskah lontar. Mantra-mantra inilah yang perlu diketahui dan diperhatikan jika seseorang ingin mempelajari sastra pada naskah lontar, karena sejatinya masyarakat Bali pada umumnya memanusiakan alam5 pada

sesuatu hal yang bermanfaat bagi kehidupan selaras dengan konsep

Tri Hita Karana.

IV Simpulan

Masyarakat Bali sebagai penyelamat tradisi teks manuscript di Nusantara, memiliki peranan penting tidak hanya pada teks lontar saja, akan tetapi teks lontar mampu memberikan dampak positif dalam kehidupan berbudaya tidak hanya di Bali melainkan Nusantara.

5 Masyarakat Bali umumnya kerap kali memanusiakan segala sesuatu yang dianggap bermanfaat dalam kehidupan mereka baik berupa benda mati ataupun hidup layaknya seperti manusia, seperti contoh Pohon yang diberikan pakaian (wastra), Mobil atau Motor diberikan pakaian (wastra) pada upacara Tumpek Landep, dalam hal ini masyarakat Bali memposisikan lontar layaknya manusia yang memiliki jiwa yang harus dihormati.

(20)

Pemulian yang tercermin pada Lontar Kamatantra miwah Saraswati memberikan informasi tentang etika seseorang sebelum mengelola sebuah teks lontar sebagai sebuah pustaka dan pusaka baik secara fisik maupun secara spiritual.

Daftar Pustaka

Alwi, Hasan, dkk. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi

Ketiga. Jakarta. Balai Pustaka.

Antara, I Gde Nala, dkk. 2016. Kamus Bali - Indonesia Beraksara

Latin dan Bali Edisi II. Bali. Badan Pembina Bahasa, Aksara,

dan Sastra Bali Provinsi Bali.

Ardika, I Wayan dan Sutjiati Beratha N.L. 1996. Perajin pada Masa Bali Kuno Abad IX-XI Masehi. Laporan Penilitian Dibiayai oleh Toyota Foundation. Denpasar: Fakultas Sastra Unud.

Medera, I Nengah, 2018. Tradisi Nyastra dan Peran Alumni Sastra

Jawa Kuno. Bali. Seminar Program Studi Jawa Kuna, Fakultas

Ilmu Budaya Universitas Udayana.

Zoetmulder, PJ, dan S.O Robson. 2006. Kamus Bahasa Jawa Kuna

Indonesia. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.

Naskah Lontar-Lontar Kamatantra Miwah Saraswati. Pusat Kajian Lontar Universitas Udayana.

(21)
(22)

Referensi

Dokumen terkait

Jawab: Penarik retribusi melakukan rekapan penerimaan retribusi di kantor UPTD, mereka mencatat rekapan penerimaan retribusi di buku yang disebut buku kendali,

Dari tabel 6 dapat diketahui akan hasil nilai total rugi-rugi daya yang optimal, perlu diketahui bahwa setiap nilai total rugi-rugi itu dipengaruhi oleh individu yang dibangkitakan,

Kita sering berhadapan dengan konsekuensi dari kegiatan yangyang akan di selenggarakan tetapi tidak terjadi karena koordinasi yang tidak jelas, ruh dari kegiatan itu tidak

Tekan tombol Menu, dan jika anda telah terdaftar sebagai admin, maka anda harus memverifikasi identitas (sidik jari atau password) sebagai admin, layar akan terlihat

Dari hasil dan pembahasan penelitian terdahulu maka dapat disimpulkan bahwa : (1) Pelaksanaan supervisi akademis oleh pengawas sekolah kepada guru-guru selama ini telah dija-

Selain melakukan pemeriksaan jumlah hewan dalam satu kandang setiap harinya juga perlu diperhatikan akan perbandingan antara jantan dan betinanya karena Kebun

Kenaikan subsidi listrik akan menyebabkan kenaikan pendapatan tertinggi diterima oleh rumah tangga pengusaha golongan atas yang berada di perkotaan sekaligus

Dengan demikian terdapat pokok permasalahan yang berbeda antara penelitian yang telah penulis kemukakan di atas dengan persoalan yang akan penulis teliti khususnya