• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEKTONIK DAN EVOLUSI CEKUNGAN

Dalam dokumen Buku Panduan Ekskursi Geologi Regional U (Halaman 37-43)

Peristiwa tektonik Jawa Timur dan pengaruhnya terhadap cekungan-cekungan sedimenter serta fisiografi yang ada disusun ulang berdasarkan pada konsep tektonik busur gunungapi (Husein, 2013). Resume diberikan dalam Gambar 4.1 di bawah ini.

Gambar 4.1. Kolom tektono-stratigrafi Jawa Timur.

Memahami tektonisme Pulau Jawa secara umum dan Jawa Timur khususnya membutuhkan rekonstruksi tektonik lempeng regional semenjak awal Yura Atas (Oxfordian ~ 160 juta tahun lampau), dimana lempeng-lempeng mikro Paparan Sunda (Sundaland) mulai terpisah dari Kontinen Induk Gondwana. Dalam hal ini, acuan utama yang dipergunakan adalah publikasi terakhir dari Hall (2012). Dalam perjalanan selanjutnya, lempeng-lempeng mikro asal Gondwana tersebut

0 m 100 KURVA EUSTASI

Tepian benua pasif

Inisiasi subduksi Tersier awal; pembentukan cekungan pemekaran (rift basins); pemekaran Selat Makassar. Inisiasi kolisi India –Asia; berhentinya pemekaran Selat

Makassar; subduksi Hindia-Australia terus berjalan. Awal terbentuknya busur gunungapi Oligo-Miosen

(Pegunungan Selatan) –cekungan belakang busur (Kendeng). Inisiasi kolisi Australia –Sundaland; awal rotasi anti-clockwise

Sundaland; awal pembentukan Bayat metamorphic core uplift. Putusnya slab Albian –Turonian (akhir Kapur Bawah –awal

Kapur Atas) di palung subduksi Hindia-Australia; volkanisme Pegunungan Selatan berkurang; pengangkatan pertama Rembang dan Kendeng (Tuban Event).

SlabOxfordian –Albian (awal Yura Atas –akhir Kapur Bawah) tersubduksi secara penuh di bagian timur Palung Sunda; cekungan belakang busur Kendeng kembali mengalami penurunan (subsidence); Pegunungan Selatan dan Rembang mengalami penyesaran bongkah (Rembang Event). Berhentinya subduksi slab Oxfordian –Albian; awal kolisi Timor

dan Busur Volkanik Banda; puncak pengangkatan Pegunungan Selatan dan Rembang; awal pengangkatan Kendeng bagian barat.

bertumbukan dan bergabung (amalgamasi) dengan inti Sundaland pada akhir Kapur Bawah - awal Kapur Atas (Albian - Turonian ~ 110 - 90 jtl). Semenjak itu, Pulau Jawa berada dalam kondisi tepian benua pasif (passive margin) (Gambar 4.2). Tatanan seperti ini bertahan hingga Awal Eosen. Tingginya genang laut global (Haq

et al., 1987) pada akhir Kapur hingga Awal Eosen menyebabkan tidak adanya

sedimentasi yang terjadi secara signifikan di Sundaland.

Gambar 4.2. Tatanan lempeng tektonik di awal Tersier (Paleosen) (kiri), dan saat Eosen Tengah (kanan) (Hall, 2012). Label (1) untuk potongan lempeng (slab) kerak samudera berumur Oxfordian - Albian, sedangkan (2) untuk slab kerak samudera berumur Albian - Turonian.

Memasuki Eosen Tengah, proses pemekaran Samudera Hindia mulai akan berlangsung di selatan Benua Australia, menyebabkan mulainya subduksi di Palung Sunda (Gambar 4.2). Gaya kontraksi di sepanjang Palung Sunda menyebabkan terbentuknya berbagai cekungan sedimenter Tersier di Sundaland. Bersamaan dengan surutnya genang laut global, proses sedimentasi syn-rift dapat terbentuk dengan baik di cekungan-cekungan tersebut, termasuk Jawa Timur (Gambar 4.1). Formasi-formasi Wungkal-Gamping dan Nanggulan menandakan aktifnya sedimentasi syn-rift di proto Pegunungan Selatan. Di Jawa Timur utara, Formasi pre-Ngimbang dan Ngimbang diendapkan dengan baik. Seluruh formasi tersebut merekam pengaruh fluktuasi muka laut global dengan adanya ketidakselarasan di akhir Eosen Tengah.

Di akhir Eosen Atas, sedimentasi syn-rift terhenti akibat peristiwa transgresi global (Gambar 4.1). Secara regional, gaya tektonik regangan juga turut berkurang dengan mulainya proses kolisi Benua India dengan Asia (Gambar 4.3).

Awal Paleosen Eosen Tengah

2

Hal ini juga ditandai dengan berakhirnya proses pemekaran Selat Makassar. Pada akhir Oligosen Bawah proses penunjaman Palung Sunda yang terjadi semenjak Eosen Tengah mulai membentuk busur gunungapi (volcanic arc), yang berada di Zona Pegunungan Selatan (Gambar 4.1). Formasi Kebo-Butak menjadi penanda stratigrafis aktifnya busur gunungapi tersebut. Kehadiran busur gunungapi memicu terbentuknya zona cekungan belakang busur (back-arc basin), yaitu Zona Kendeng. Tidak ditemukan adanya singkapan berumur Oligosen Atas (pra-Pelang) di Zona Kendeng membuat sulitnya melakukan pembuktian terhadap interpretasi ini. Di bagian Jawa Timur utara, bersamaan dengan awal surutnya genang laut pada kala itu, Formasi Kujung mulai diendapkan di lingkungan paparan hingga lereng benua.

Gambar 4.3. Tatanan lempeng tektonik di Eosen Akhir (kiri), dan saat Oligosen Awal (kanan) (Hall, 2012).

Saat Oligosen Akhir, kolisi Benua Australia dan Sundaland dimulai (Gambar 4.4). Akibatnya Sundaland mulai mengalami rotasi berlawanan arah jarum jam

(anti-clockwise rotation), yang dapat mengaktifkan patahan-patahan batuan alas

(basement faults) yang sebelumnya aktif sebagai sesar normal saat periode rifting di

Eosen Tengah menjadi sesar geser. Rotasi Oligo-Miosen ini terekam dengan baik di Zona Rembang, dimana sedimentasi batugamping Prupuh di lingkungan terumbu menempati tinggian-tinggian batuan alas (basement horst) yang terinversi naik akibat penyesaran geser mengiringi naiknya genang laut saat itu (Gambar 4.1). Di Pegunungan Selatan, rotasi Sundaland tersebut mempengaruhi karakter vulkanisme yang terjadi, ditandai dengan munculnya Formasi Nglanggran yang bersifat lebih basaltik dibandingkan Formasi Semilir yang juga diendapkan saat itu.

Selain itu, rotasi ini diduga menyebabkan kelanjutan penurunan tektonis Zona Kendeng, yang kemudian memicu munculnya kompleks batuan alas (basement core

complex) Bayat di tepian cekungan akibat peluncuran gaya-berat (gravitational

gliding) (Husein, 2013).

Gambar 4.4. Tatanan lempeng tektonik di Oligosen Akhir (kiri), dan akhir Miosen Bawah (kanan) (Hall, 2012).

Memasuki akhir Miosen Awal, slab kerak samudera Albian-Turonian telah habis dikonsumsi Palung Sunda (Gambar 4.4). Akibatnya slab tersebut terputus dan segmen slab yang baru kemudian tertarik memasuki Palung Sunda dalam sudut penunjaman yang lebih landai. Meskipun slab kerak samudera tersebut berumur Oxfordian-Albian, lebih tua daripada slab sebelumnya, namun ujungnya lebih pendek hingga mampu mengungkit segmen lempeng Sundaland diatasnya. Peristiwa ini menyebabkan berakhirnya periode puncak volkanisme Pegunungan Selatan. Pengangkatan terjadi merata (Gambar 4.1). Di Pegunungan Selatan ditandai dengan sedimentasi batupasir kuarsa Formasi Jaten. Di Zona Rembang, ketidakselarasan yang dihasilkan peristiwa tektonik ini dikenal dengan nama Tuban

Event, yang memicu sedimentasi batupasir kuarsa Formasi Ngrayong secara masif

dan luas. Di Zona Kendeng meski tidak sedramatik di Zona Rembang maupun Pegunungan Selatan, ditandai dengan sedimentasi Formasi Kerek yang diendapkan pada lingkungan yang lebih dangkal dibandingkan Formasi Pelang.

Pada pertengahan Miosen Akhir, slab Oxfordian-Albian telah masuk ke Palung Sunda secara merata (Gambar 4.5). Karena slab tersebut lebih tua, sehingga lebih berat, maka kemudian secara regional terjadi reaktivasi penurunan cekungan

belakang busur (back-arc basin subsidence) Zona Kendeng. Peristiwa ini secara stratigrafis ditandai dengan sedimentasi Formasi Kalibeng yang diendapkan pada lingkungan lebih dalam dibandingkan Formasi Kerek di bawahnya (Gambar 4.1). Penurunan Zona Kendeng memicu kesetimbangan isostatis baru, dengan reaktifasi patahan bongkah (block-faulting) di Pegunungan Selatan dan Zona Rembang. Di Pegunungan Selatan, penyesaran bongkah yang memicu turunnya batuan alas

(basement grabens) mengontrol sedimentasi Formasi Kepek. Demikian juga di Zona

Rembang, dimana penurunan sebagian bongkah-bongkah batuan alas mengontrol pengendapan sikuen Ledok - Mundu - Selorejo bersamaan dengan naiknya genang laut saat awal Pliosen (Gambar 4.1). Peristiwa penyesaran bongkah ini di Jawa Timur utara dikenal dengan nama Rembang Event.

Gambar 4.5. Tatanan lempeng tektonik di Miosen Akhir (kiri), dan akhir Pleistosen (kanan) (Hall, 2012).

Memasuki awal Pleistosen kolisi Timor dengan Busur Volkanik Sunda mulai terjadi (Gambar 4.5). Hal ini memicu pengangkatan regional di Pulau Jawa. Pegunungan Selatan mengalami pengangkatan paling intensif, yang ditunjang dengan tingginya tingkat denudasional pada singkapan batuan gunungapi Oligo-Miosennya. Pengangkatan Pegunungan Selatan ini kemudian diimbangi secara isostatis oleh pembentukan Zona Depresi Solo.

Zona Kendeng mengalami pengangkatan tidak merata, dimana bagian barat mengalami inversi dengan kuat, sedangkan bagian timur justru tetap melanjutkan penurunannya. Hal ini dikontrol oleh perbedaan sudut kemiringan subduksi slab Oxfordian-Albian, yang semakin curam ke arah timur karena usia kerak yang

semakin tua. Perbedaan sudut subduksi antara bagian timur dan barat ini juga mengaktifkan tektonisme sesar geser (wrench tectonic) di Zona Rembang, menghasilkan Antiklinorium Rembang yang terkontrol pola patahan batuan alas

(basement faults). Pengangkatan Zona Kendeng bagian barat dan Zona Rembang

tersebut pun diimbangi secara isostatis dengan pembentukan Zona Depresi Randublatung.

Periode vulkanisme baru Jawa Timur teridentifikasi hadir pada kala tersebut, kemungkinan berasal dari slab Oxfordian-Albian yang telah memasuki zona pelelehan sebagian (partial melting window). Busur gunungapi baru muncul di sebelah utara busur gunungapi Oligo-Miosen (Pegunungan Selatan), yaitu menempati Zona Solo. Beban deretan tubuh gunungapi Kuarter Awal tersebut memperkuat proses penurunan Depresi Solo. Sejumlah kecil gunungapi Pleistosen Awal muncul di cekungan belakang busur (Zona Kendeng), yaitu Gunungapi Ungaran dan Gunungapi Pandan, bersamaan dengan inversi Zona Kendeng.

Seluruh peristiwa tektonik tersebut di atas terekam dalam kompleksnya pola struktur yang dijumpai di Jawa Timur, baik di permukaan maupun pada batuan dasarnya (Gambar 4.6).

Gambar 4.2. Pola struktur Pulau Jawa selama Miosen Awal hingga Miosen Akhir (Sribudiyani, et al., 2003).

BAB V

Dalam dokumen Buku Panduan Ekskursi Geologi Regional U (Halaman 37-43)

Dokumen terkait