• Tidak ada hasil yang ditemukan

Buku Panduan Ekskursi Geologi Regional U

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Buku Panduan Ekskursi Geologi Regional U"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

PANITIA DAN DOSEN PEMBIMBING

EKSKURSI GEOLOGI REGIONAL 2014

JURUSAN TEKNIK GEOLOGI UGM

Panitia Pelaksana : Moch. Indra Novian, S.T., M.Eng.

Salahuddin Husein, S.T., M.Sc., Ph.D.

Dosen Pembimbing : Ir. Budianto Toha, M.Sc.

Salahuddin Husein, S.T., M.Sc., Ph.D.

Moch. Indra Novian, S.T., M.Eng.

Dr. Didit Hadi Barianto, S.T., M.Sc.

Dr. Wahyu Wilopo, S.T., M.Eng.

Dr. Nugroho Imam Setiawan

Rahmadi Hidayat, S.T., M.Eng.

Asisten : Rikzan Norma Saputra

Panitia Mahasiswa

Ketua : Hafizhan Abidin Setyowiyoto

Wakil : Indranova Suhendro

Sekretaris : M. Anzja Chabbani Ista’la, Endah Sulistiyani Bendahara : Luthfi Maulana Halim

Nomer telepon penting:

a. Moch. Indra Novian, S.T., M.Eng. - 0813.2800.1597 b. Salahuddin Husein, S.T., M.Sc., Ph.D. - 0813.9214.8842

(3)
(4)
(5)

NO. NAMA 1 FANIA ANN NISA 2 IKRAR ISMAIL

3 JIHAD PANTYA WIBOWO

4 MHD ANDRIANSYAH G

5 IL FAHMI PUTRA B KELOMPOK 21

NO. NAMA

1 MAGHFIRA ABIDA 2 FARIDA ERLINA P

3 MUHAMMAD RIYO H

4 FAZRANANTA E

5 ARDIA ADAM

KELOMPOK 22

NO. NAMA

1 ENDAH SULISTIANI

2 JESSICA ANDREA

3 SUTRISNO

4 RILO RESTU SURYA A 5 IMAM SUPRIADI 6 RYAN SYAHPUTRA W

(6)

JADWAL DAN JALUR EKSKURSI GEOLOGI REGIONAL 2014

Hari 1 (Sabtu, 13 September 2014)

Jalur : Yogyakarta – Bayat – Sangiran – Alas Kobong – Kedung Ombo - Purwodadi

Jam Waktu

(jam)

Jarak

(km) STA Kegiatan

06.00 Peserta berkumpul di KPFT

06.30-08.00 1,5 45 - Perjalanan dari KPFT menuju STA 1

(7)

Hari 2 (Minggu, 14 September 2014)

Jalur : Purwodadi – Bleduk Kuwu – Polaman dan Braholo – Ngawi – Yogyakarta

Jam Waktu

(jam)

Jarak

(km) STA Kegiatan

07.00 Check out

07.00 – 08.00 1 30 - Berangkat menuju STA 5 Bleduk Kuwu

08.00 – 08.30 0,5 - 5 Pengamatan mud volcano Bleduk Kuwu

08.30 – 11.00 2,5 70 - Perjalanan menuju Masjid Agung Blora

11.00 – 12.30 1,5 Makan siang - Sholat - Istirahat

12.30 – 13.00 0,5 10 - Perjalanan menuju Polaman (STA 6) dan Braholo (STA 7)

13.00 – 14.00 1 - 6

Pengamatan produk endapan laut dangkal – transisi dan pengukuran arah arus purba pada Formasi Ngrayong di Polaman, Blora

13.00 – 14.00 1 - 7

Pengamatan perubahan fasies batuan dan lipatan beserta sesar-sesar penyertanya di Kali Braholo

14.00 – 18.00 4 130 - Perjalanan menuju Sragen via Ngawi

18.00 – 19.00 1 Makan malam di R.M. Sukowati, Sragen

19.00 – 22.00 3 Perjalanan menuju Jogja via Solo

(8)

Jalur Ekskursi Geologi Regional 2014 1

2 3

4

5

6 7 Blora

Cepu Purwodadi

Sragen Ngawi

Surakarta

Kampus UGM

P E G U N U N G A N S E L A T A N Z O N A K E N D E N G Z O N A R E M B A N G

Z O N A S O L O

Z O N A R A N D U B L A T U N G

Merapi

Merbabu

Lawu Ungaran

Muria

Lasem

(9)

KATA PENGANTAR

Ekskursi Geologi Regional (EGR) merupakan salah satu matakuliah wajib

dalam program Sarjana strata-1 Jurusan Teknik Geologi FT UGM. Pengalaman

geologi, kemampuan mengembangkan nalar keilmuan, kemampuan untuk

melakukan interpretasi dan deduksi ketika menempuh perjalanan yang melintasi

beberapa cekungan sedimenter akan menjadi salah satu harapan kami dalam

merancang pelaksanaan EGR kali ini.

Secara individual, kemampuan minimal setiap peserta EGR dapat dikatakan

tercapai bila mampu mengaitkan data-data geologi di setiap titik pengamatan dan

di sepanjang lintasan menjadi sebuah sintesis komprehensif tentang geologi suatu

cekungan. Lebih jauh, bila dia dapat mengembangkan sintesis tersebut untuk tujuan

aplikasi, baik dalam eksplorasi sumberdaya alam, pengembangan wilayah, dan

penilaian ancaman bencana geologi, maka peserta EGR telah menjangkau tujuan

utama pembelajaran.

Mengingat EGR merupakan proses pembelajaran di lapangan, maka kami

menghimbau agar setiap peserta dapat memperhatikan aspek keselamatan dan

kesehatan selama kegiatan.

Terima kasih kami sampaikan kepada pihak-pihak yang membantu

lancarnya kegiatan ini, termasuk kepada Ketua Jurusan Teknik Geologi, Sekretaris

Jurusan Teknik Geologi, serta para dosen pemandu ekskursi.

Semoga buku panduan ini dapat dimanfaatkan secara optimal oleh para

peserta, baik dalam tahap persiapan maupun saat kegiatan, baik saat diskusi

maupun saat pengamatan lapangan.

Yogyakarta, 8 September 2014

Moch. Indra Novian

Salahuddin Husein

(10)

DAFTAR ISI

SAMPUL ... i

DOSEN DAN PANITA EGR ... ii

PESERTA EGR ... iii

JADWAL DAN JALUR EKSKURSI ... vi

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

I.1. TUJUAN EKSKURSI GEOLOGI REGIONAL ... 1

I.2. CAKUPAN EKSKURSI GEOLOGI REGIONAL... 2

I.3. TAHAPAN EKSKURSI GEOLOGI REGIONAL ... 2

I.4. PENILAIAN ... 3

I.4. PERALATAN ... 3

I.5. PANDUAN K3L ... 4

BAB II FISIOGRAFI... 6

II.1. ZONA PEGUNUNGAN SELATAN ... 6

II.1. ZONA SOLO ... 7

II.1. ZONA PERBUKITAN KENDENG ... 8

II.1. ZONA DEPRESI RANDUBLATUNG ... 9

II.1. ZONA PERBUKITAN REMBANG ... 10

BAB III STRATIGRAFI ... 12

III.1. STRATIGRAFI REGIONAL PEGUNUNGAN SELATAN ... 12

III.2. STRATIGRAFI REGIONAL PERBUKITAN KENDENG ... 17

III.3. STRATIGRAFI REGIONAL PERBUKITAN REMBANG ... 20

(11)

BAB V LOKASI PENGAMATAN ... 32

III.3. HARI PERTAMA ... 32

III.3. HARI KEDUA ... 45

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

Mata kuliah Ekskursi Geologi Regional/EGR (TKG 3122) merupakan mata

kuliah wajib bagi mahasiswa program strata satu (S1) di Jurusan Teknik Geologi FT

UGM. Mata kuliah ini bersifat kegiatan lapangan, dengan bertujuan untuk mengenal

zonasi fisiografi, urutan stratigrafi, pola struktur, kaitannya terhadap sejarah

geologi regional, potensi sumber daya geologi, dan aspek bencana geologi. Pada

tahun 2014 EGR dilaksanakan pada tanggal 13 – 14 September 2014. Adapun jalur

yang dipilih dalam EGR 2014 selama dua hari berturut-turut adalah :

Hari 1 (Sabtu, 13 September 2014) : Yogyakarta – Bayat – Sangiran – Alas

Kobong – Kedung Ombo – Purwodadi

Hari 2 (Minggu, 14 September 2014) : Purwodadi – Bleduk Kuwu – Polaman dan

Braholo – Ngawi – Solo – Yogyakarta

Bagi seorang geologiwan lapangan merupakan sarana pembelajaran terbaik

karena menggambarkan secara nyata kondisi yang dihadapi dalam

mengaplikasikan ilmunya. Dalam ekskursi kali ini pemahaman geologi secara

regional digunakan untuk mempertajam pendekatan yang digunakan pada saat

mengeksplorasi kondisi geologi suatu daerah dengan baik. Pada saat ini hampir

seluruh kegiatan yang berkaitan dengan bumi seperti pembangunan fisik,

eksplorasi dan eksploitasi sumber daya geologi, serta mitigasi bencana geologi

membutuhkan data geologi dan pemahaman konsep geologi yang saling

terintegrasi.

I.1. TUJUAN EKSKURSI GEOLOGI REGIONAL

Tujuan umum dari dilaksanakannya EGR 2014 ini adalah agar peserta EGR

dapat mengenal, mengamati, merekam, dan memahami fenomena geologi di

(13)

1) Memahami perbedaan fisiografi, urutan stratigrafi, dan pola struktur geologi

regional pada beberapa cekungan yang berbeda.

2) Memahami kondisi geologi regional suatu cekungan yang disebabkan oleh

tatanan tektonik khas cekungan tersebut.

3) Memahami cara menyusun sejarah geologi suatu daerah dari data lapangan

kemudian mengintegrasikannya sehingga dapat ditentukan potensi sumberdaya

geologi maupun potensi bencana geologi.

I.2. CAKUPAN EKSKURSI GEOLOGI REGIONAL

1) Melewati lima zona fisiografi, yaitu Zona Pegunungan Selatan, Zona Solo, Zona

Kendeng, Zona Randublatung, dan Zona Rembang.

2) Melewati tiga cekungan sedimenter Tersier, yaitu Cekungan Pegunungan

Selatan, Cekungan Kendeng dan Cekungan Rembang (dua cekungan terakhir

seringpula disatukan sebagai Cekungan Jawa Timur Utara).

3) Observasi fisiografi secara umum di sepanjang lintasan ekskursi.

4) Pengamatan singkapan geologi di titik-titik tertentu, mencakup aspek

geomorfologi, stratigrafi, dan struktur geologi.

5) Mengaitkan aspek geologi dasar dengan aspek geologi terapan seperti

eksplorasi sumberdaya geologi, hidrogeologi, geologi teknik, geologi lingkungan,

dan geologi pengembangan wilayah.

I.3. TAHAPAN EKSKURSI GEOLOGI REGIONAL

1) Tahap persiapan

Mempersiapkan diri dengan membaca buku panduan Ekskursi Geologi Regional

dan materi geologi regional daerah lintasan yang akan dilalui.

2) Tahap lapangan

Pada saat di lapangan aktivitas yang dilakukan peserta mencakup :

 Mendengarkan, memperhatikan, dan memahami penjelasan dari dosen

pembimbing berkaitan dengan fenomena geologi di lapangan.

 Mencatat, merekam, dan mendeskripsikan hal-hal penting hasil pengamatan

(14)

 Mendiskusikan hasil pengamatan dengan dosen pembimbing.

 Mengerjakan latihan sesuai dengan petunjuk yang telah dipersiapkan.

 Mengikuti diskusi yang dijadwalkan oleh panitia EGR.

 Mengikuti tes sebagai bahan evaluasi untuk mengukur tingkat pemahaman

mahasiswa selama pelaksanaan EGR 2014.

 Bertanggung jawab terhadap seluruh peralatan lapangan yang dibawa.

 Membuat catatan lapangan setiap hari.

I.4. PENILAIAN

Penilaian EGR berdasarkan pada dua parameter, yaitu:

a. Tes harian (bobot 55%), dilaksanakan sebanyak dua kali, yaitu:

- Sabtu, 13 September 2014; pukul 20:00 - 21:00; mencakup materi lintasan

hari pertama.

- Senin, 15 September 2014; pukul 16:30 - 17:30; mencakup materi lintasan

hari kedua.

b. Catatan lapangan (bobot 45%), merupakan rekaman pengamatan geologi di

sepanjang lintasan maupun pada titik singkapan, bersifat individu, dan

dikumpulkan pada saat tes harian kedua (15 September 2014). Catatan

lapangan yang baik akan mencakup:

- Sketsa fisiografi di sepanjang lintasan dan interpretasi model geologi

regionalnya.

- Pengamatan geologi (deskripsi dan sketsa) di titik singkapan, mencakup

morfologi, petrologi, dan struktur geologi. Penambahan kolom stratigrafi

singkapan disertai deskripsinya akan sangat dihargai.

- Deduksi dan interpretasi terhadap aspek sumberdaya geologi serta bencana

geologi di sepanjang lintasan dan di titik pengamatan.

I.5. PERALATAN LAPANGAN

a. Peralatan pribadi, mencakup:

1. Keperluan pribadi untuk dua hari

(15)

3. Topi

b. Peralatan kelompok, yaitu:

1. Lup

2. Kompas geologi

3. Palu geologi

4. HCl 0,1 M

5. GPS

c. Peralatan umum, disediakan di setiap bus, yaitu:

- Plastik kantong sampah

I.6. PANDUAN KESELAMATAN, KEAMANAN, DAN KESEHATAN (K3) KERJA

LAPANGAN

1) Sebelum keberangkatan:

 Pastikan penggunaan sepatu lapangan yang aman dan nyaman.

 Pastikan topi untuk perlindungan terhadap sinar matahari.

 Bawalah persediaan minum yang cukup.

 Bawalah obat-obatan pribadi yang sekiranya diperlukan.

 Apabila musim hujan bawalah mantel.

 Masukkan semua barang bawaan di dalam tas yang aman, kuat, dan nyaman.

 Pisahkan dokumen (peta, buku, dll) dalam tempat tersendiri yang aman.

 Berilah identitas pada setiap barang secara jelas.

2) Selama dalam kendaraan:

 Letakkan barang bawaan di dalam bagasi atau di bawah tempat duduk

secara rapi.

(16)

 Dilarang bersikap/berbicara yang mengakibatkan terganggunya

kenyamanan kru kendaraan dalam menjalankan tugasnya dengan baik.

 Dilarang mengeluarkan anggota tubuh dari dalam kendaraan.

 Periksalah letak alat pemecah kaca darurat dan gunakan sewaktu diperlukan

(kecelakaan, kebakaran, dll) dengan hati-hati.

 Pada kondisi kendaraan tidak stabil (kendaraaan oleng/terbalik)

bersikaplah menunduk dan gunakan kedua tangan untuk berpegangan

secara kuat pada bahu kursi di depan anda.

 Dilarang membuang sesuatu apapun keluar kendaraan selama perjalanan.

 Pada saat anda merasa akan buang air kecil maupun besar segera

beritahukan kepada kru kendaraan agar dicarikan tempat pemberhentian.

 Ingatlah teman yang duduk di depan anda dan pastikan tidak tertinggal

sebelum kendaraan menuju lokasi yang baru, dan segera beritahu panitia

apabila ada yang tertinggal.

3) Selama di lapangan

 Apabila mengamati singkapan di pinggir jalan, pastikan posisi aman dari

kendaraan yang melaju, setidaknya 2 meter dari bahu jalan.

 Perhatikan kemungkinan jatuhnya tebing di lokasi pengamatan. Cari lokasi

yang terlindung dan tidak licin.

 Pada saat mengambil contoh batuan pastikan teman-teman anda pada jarak

yang aman terhadap kemungkinan terkena pecahan batuan atau terlepasnya

palu (setidaknya berjarak 2 meter) dan pada saat menggunakan palu

pastikan tidak ada teman di belakang anda.

 Selama di lapangan pastikan minum yang cukup untuk menghindari

dehidrasi.

 Apabila menjumpai kasus darurat segera ditangani dan berikan pertolongan

pertama, namun apabila kasus berat segera beitahukan kepada panitia agar

segera dibawa ke rumah sakit terdekat.

 Apabila anda tertinggal oleh rombongan segera hubungi panitia dan

sebutkan lokasi anda secara jelas.

 Pastikan tidak ada peralatan yang tertinggal sebelum meninggalkan lokasi

(17)

BAB II

FISIOGRAFI

Ekskursi Geologi Regional 2014 kali ini akan melalui beberapa zona fisiografi regional yang mengacu pada publikasi Pannekoek (1949) dan Van Bemmelen (1949). Fisiografi regional yang akan dilalui adalah Zona Solo, Zona Pegunungan Kendeng, Zona Depresi Randublatung, dan Zona Pegunungan Rembang. Setiap zona memiliki karakteristik geomorfologi, stratigrafi, dan tektonik tersendiri. Penjelasan mengenai tiap-tiap zona tersebut akan diuraikan pada beberapa sub-bab di bawah ini.

Gambar 2.1. Zonasi fisiografi Pulau Jawa bagian tengah dan timur (Pannekoek, 1949; van Bemmelen, 1949).

II.1. ZONA PEGUNUNGAN SELATAN (JAWA TIMUR)

(18)

utaranya yang berupa dataran tinggi (plato) disebut sebagai Dataran Tinggi Wonosari (Plato Wonosari). Daerah paling utara dari Pegunungan Selatan yang tersusun oleh batuan vulkanik dengan kelerengan terjal hingga sedang disebut sebagai Igir Baturagung. Bagian utara dari Igir Baturagung berbatasan dengan Zona Solo. Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian barat merupakan suatu cekungan sedimenter gunungapi berumur Eosen - Miosen Tengah yang ditutupi oleh berbagai fasies batugamping berumur Miosen Tengah - Pliosen, yang kemudian mengalami pengangkatan dan penyesaran bongkah hingga kedudukannya relatif termiringkan ke arah selatan (Husein & Srijono, 2007).

Sungai-sungai yang mengerosi Pegunungan Selatan umumnya mengalir ke selatan dan bermuara di Samudera Hindia. Igir-igir utara Pegunungan Selatan umumnya dierosi oleh sungai-sungai yang mengalir ke arah Zona Solo. Pengecualian terjadi di Pegunungan Selatan bagian barat, dimana sungai-sungai permukaan yang berhulu di Igir Baturagung dan mengalir ke selatan melalui Plato Wonosari kemudian melanjutkan perjalanannya di bawah permukaan kawasan kars Gunung Sewu sebagai jaringan sungai-sungai bawah tanah (sub-terranean drainage system). Di sebelah barat Teluk Pacitan, terdapat alur lembah kering memanjang relatif utara-selatan yang diduga sebagai jejak aliran Sungai Bengawan Solo Purba yang dirompak (stream piracy) oleh penurunan blok Depresi Baturetno (Husein & Srijono, 2007).

II.2. ZONA SOLO

Zona Solo (sensu latto - secara luas) merupakan suatu depresi (cekungan antara dua lajur pegunungan) memanjang di bagian tengah (median) Pulau Jawa, berarah TTg-BBL, terhampar dari Solo hingga Banyuwangi. Zona Solo (sensu latto) dapat dibagi menjadi tiga subzona (van Bemmelen, 1949), mulai dari paling utara hingga selatan, yaitu :

1) Subzona Ngawi, merupakan lajur depresi yang ada di antara Perbukitan Kendeng dan busur gunungapi sekarang.

(19)

3) Subzona Blitar, merupakan lajur depresi yang berada di antara deretan gunungapi sekarang hingga berbatasan dengan Pegunungan Selatan.

Saat ini, Zona Solo merupakan cekungan sedimenter aktif dengan sistem fluvial yang menerima pasokan sedimen dari busur gunungapi, Zona Pegunungan Selatan, dan Zona Perbukitan Kendeng. Beberapa sungai besar mengalir melalui Zona Solo dan mengendapkan sedimennya di zona ini, antara lain: Sungai Bengawan Solo, Sungai Bengawan Madiun (yang kemudian bergabung dengan Bengawan Solo di Kota Ngawi), dan Sungai Brantas. Di ujung perjalanannya, sungai-sungai tersebut membentuk delta-delta besar di pesisir Surabaya dan Gresik.

II.3. ZONA PERBUKITAN KENDENG

Zona Kendeng meliputi deretan pegunungan dengan arah memanjang timur - barat (T-B) yang terletak langsung di sebelah utara Subzona Ngawi. Pegunungan ini tersusun oleh batuan sedimen laut yang telah mengalami deformasi secara intensif membentuk suatu antiklinorium (rangkaian perbukitan antiklin kecil yang tersusun secara paralel dan membentuk struktur antiklin lebih besar). Pegunungan ini mempunyai panjang 250 km dan lebar maksimum 40 km (de Genevraye & Samuel, 1972) membentang dari Gunungapi Ungaran di bagian barat ke timur melalui Ngawi hingga daerah Mojokerto. Di bawah permukaan, kelanjutan zona ini masih dapat diikuti hingga di Selat Madura.

Ciri morfologi Zona Kendeng berupa rangkaian perbukitan rendah dengan morfologi bergelombang, dengan ketinggian berkisar antara 50 hingga 200 meter. Morfologi perbukitan yang berarah barat-timur ini mencerminkan adanya perlipatan dan sesar naik yang berarah barat-timur pula. Intensitas perlipatan dan anjakan yang mengikutinya mempunyai intensitas yang sangat besar di bagian barat dan berangsur melemah di bagian timur. Akibat adanya anjakan tersebut, batas dari satuan batuan yang bersebelahan sering merupakan batas sesar. Lipatan dan anjakan yang disebabkan oleh gaya kompresi juga berakibat terbentuknya retakan, sesar dan zona lemah lainnya pada arah tenggara - baratlaut (Tg-BL), barat daya-timur laut (BD-TL) dan utara- selatan (U-S).

(20)

Pleistosen Awal (Lunt et al., 1998). Meski demikian, pola struktur perlipatan Kendeng di sekitar Gunung Pandan yang mengalami pembelokan relatif simetris terhadap tubuh gunungapi tersebut mengindikasikan bila volkanismenya terjadi bersamaan dengan proses pengangkatan tektonis Kendeng (Pliosen Akhir). Ditinjau dari jarak relatif terhadap deretan busur gunungapi dan palung subduksi, Gunungapi Pandan berada satu deretan dengan Gunungapi Ungaran, yaitu menempati posisi volkanisme belakang busur dekat (near back-arc). Gunungapi Ungaran juga mulai aktif pada waktu bersamaan dengan Gunungapi Pandan, yaitu Pleistosen Awal (Van Bemmelen, 1949).

Proses eksogenik yang berupa pelapukan dan erosi pada daerah ini berjalan sangat intensif, selain karena iklim tropis juga karena sebagian besar litologi penyusun Zona Kendeng adalah batulempung-napal-batupasir yang mempunyai kompaksitas rendah, misalnya pada Formasi Pelang, Formasi Kerek dan Formasi Kalibeng yang total ketebalan ketiganya mencapai lebih dari 2000 meter. Proses eksogenik yang intensif juga mampu membalik topografi struktural yang ada (inversed topography), misalkan bukit antiklin menjadi lembah antiklin dan lembah sinklin menjadi bukit sinklin.

Karena proses pengangkatan tektonik yang terus berjalan mulai dari akhir zaman Tersier hingga sekarang (Husein dkk., 2008a), banyak dijumpai teras-teras sungai di Zona Kendeng yang menunjukkan adanya perubahan temporary base level. Sungai utama yang mengalir melalui Zona Kendeng adalah Bengawan Solo yang sebelumnya mengaliri Subzona Ngawi dengan arah aliran barat - timur. Di Kota Ngawi Bengawan Solo berbelok ke utara, memotong sabuk antiklinorium Kendeng yang lebarnya 15 km seraya tetap mempertahankan arah alirannya. Fenomena bertahannya Bengawan Solo terhadap proses pengangkatan tektonik Kendeng menyebabkannya dapat dikelompokkan sebagai sungai anteseden.

II.4. ZONA DEPRESI RANDUBLATUNG

(21)

ketika Perbukitan Rembang dan Perbukitan Kendeng mengalami pengangkatan tektonis di akhir Tersier. Zona ini mencakup daerah Purwodadi, Cepu, dan Bojonegoro.

Sebagai sebuah depresi tektonis, sedimentasi Zona Randublatung terus aktif semenjak akhir Tersier hingga sekarang, dengan menerima pasokan sedimen dari Perbukitan Kendeng maupun Perbukitan Rembang. Sistem pengaliran permukaan (drainage system) di zona ini terbagi dua, yaitu Sistem Lusi di bagian barat dan Sistem Bengawan Solo di bagian timur. Di bagian barat, sedimentasi dilakukan oleh Sungai Lusi, yang kemudian bergabung dengan Sungai Serang, membentuk Delta Serang yang dengan cepat menjadikan pesisir utara Pulau Jawa sebagai pantai maju. Demikian juga di bagian timur, di mana Sungai Bengawan Solo terus mengalir ke arah timur dan bergabung dengan pesisir utara Pulau Jawa sebagai delta di Ujung Pangkah.

II.5. ZONA PERBUKITAN REMBANG

Perbukitan Rembang merupakan suatu perbukitan antiklinorium yang memanjang dengan arah timur-barat (T-B) di sisi utara Pulau Jawa. Zona ini membentang dari bagian utara Purwodadi hingga ke Pulau Madura. Lipatan-lipatan dengan sumbu memanjang berarah timur-barat, dengan panjang dari beberapa kilometer hingga mencapai 100 km (Antiklin Dokoro di utara Grobogan). Zona Rembang terbagi menjadi dua, yaitu Antiklinorium Rembang Utara dan Antiklinorium Rembang Selatan (Van Bemmelen, 1949). Antiklinorium Rembang Selatan juga dikenal sebagai Antiklinorium Cepu. Kedua zona antiklinorium tersebut dipisahkan oleh lembah aliran Sungai Lusi di bagian barat, dan lembah aliran Sungai Kening (anak sungai Bengawan Solo) di bagian timur.

(22)

Gabus (baratlaut Randublatung) hingga Antiklin Ledok (utara Cepu). Pola susunan lipatan en echelon lainnya, yaitu bersifat ke arah kanan (right-stepping), adalah berarah baratlaut - tenggara (BL-Tg), yaitu Antiklin Banyubang (timur Blora) hingga Antiklin Kindangan (baratlaut Bojonegoro). Pola kedua ini mengindikasikan adanya kontrol patahan batuan alas (basement faults) geser kanan yang memanjang BL-Tg.

Sebagaimana Zona Kendeng, Perbukitan Rembang juga diterobos oleh sebuah gunungapi tua berumur Pleistosen Bawah (Lunt et al., 1998), yaitu Gunung Suntak (tenggara Rembang). Gunungapi Suntak muncul tepat pada kelurusan sumbu Antiklin Brama yang menyingkapkan Formasi Ngrayong berusia Miosen Tengah. Namun berbeda dengan Gunungapi Pandan di Zona Kendeng yang diduga muncul bersamaan dengan aktifitas tektonisme pengangkatan Kendeng dan mempengaruhi pembentukan struktur perlipatan, Gunungapi Suntak diduga muncul setelah proses tektonisme pengangkatan Rembang dan tidak mempengaruhi pembentukan Antiklinorium Rembang. Hal ini dapat dilihat dari pola perlipatan di sekitar gunungapi tersebut yang tidak mengalami pembelokan atau perubahan dari sumbu antiklin regionalnya. Vulkanisme Suntak diinterpretasikan bersamaan dan berhubungan dengan vulkanisme Lasem, dimana keduanya berada dalam satu kelurusan utara-selatan (U-S).

(23)

BAB III

STRATIGRAFI

Pada bagian ini akan dibahas mengenai stratigrafi dari masing-masing zona

fisiografi, yaitu Pegunungan Selatan, Kendeng, dan Rembang (Gambar 3.1). Adapun Zona

Solo dan Zona Randublatung sebagai zona depresi umumnya mengacu pada zona

perbukitan atau pegunungan di dekatnya. Stratigrafi Zona Solo umumnya didekati dari

stratigrafi Zona Kendeng. Stratigrafi Zona Randublatung didekati dari stratigrafi Zona

Rembang.

III.1. STRATIGRAFI REGIONAL PEGUNUNGAN SELATAN

Menurut beberapa peneliti terdahulu (van Bemmelen, 1949; Sumosusastro, 1956;

Surono dkk, 1992; Jurusan Teknik Geologi FT UGM, 1994) urutan stratigrafi daerah ini dari

0 m 100 KURVA EUSTASI

Gambar 3.1. Kolom stratigrafi komposit

(24)

yang paling tua hingga yang paling muda adalah sebagai berikut:

1) Batuan malihan

Batuan tertua yang tersingkap di daerah ini adalah batuan malihan yang

diduga berumur Kapur-Paleosen Awal. Satuan ini terdiri dari filit, sekis mika, sekis

calc-silicate, dan pualam. Di bagian barat Perbukitan Jiwo dijumpai singkapan sekis

epidote-glaucophane berdekatan dengan serpentinit. Beberapa batuan karbonat terubah

menjadi batuan metamorfik kontak berupa garnet-wollastonite skarn disebabkan

adanya intrusi diabas.

2) Formasi Wungkal-Gamping

Di atas batuan malihan diendapkan secara tidak selaras Formasi Wungkal -

Gamping yang tersusun Anggota Wungkal dan Anggota Gamping. Anggota Wungkal

tersusun oleh konglomerat kuarsa, breksi polimik, batupasir kuarsa, batupasir

karbonatan, batulanau karbonatan dan sisipan batugamping nummulites berumur

Eosen Awal-Tengah. Hal itu diperkuat dengan adanya asosiasi foraminifera kecil

berupa Morozovella formosa Formosa, Turborotalia pseudomayeri dan Globigerinatheka

subconglobata subconglobata.

Di bagian atas diendapkan secara menjari Anggota Gamping berupa sandy

Numulitic limestone dengan Nummulitic rudstone – floatstone pada bagian bawah,

kemudian pada bagian atas tersusun oleh perselingan micritic sandstone dengan quartz

arenite dan Nummulitic rudstone–floatstone. Foraminifera besar yang dijumpai di

anggota ini berupa Nummulites acutus (Sowerby), N. atacicus Leymerie, N. bagelensis

Verbeek, N. boniensis Hanzawa, N. densa Doormink, N. discorbinus Scholothemim, N.

exilis Douville, N. gerthii Doormink, N. gizehensis (Forskal), N. mamila Fichtell & Moll, N.

nanggoelani Verbeek, N. perforates de Montfort, N. variolarius (Lamark), N. javanus

(Verbeek), N. djogdjakartae (Martin), N. pengaronensis, Discocyclina omphalus (Frisch),

D. sowerby Nuttall, D. dispansa (Sowerby), D. assamica Samanta, D. javana (Verbeek),

Assilina eksponens (Verbeek), A. granullata (D’Archiac), A. leymerieyD’Archiac & Haime,

A. spira (de Roissy), Pellatispira orbitoidea (Provale), Asterocyclina penuria, A.

matanzensis, Operculinella sp., Amphistegina sp., Spiroclypeusvermicularis, Heterostegina

sp., Alveolina oblonga, A. cucumiformis Hotinger, A. eliptica nutali Davies, A. globosa

(25)

tersebut menunjukkan umur Eosen Tengah – Eosen Akhir. Lingkungan pengendapan

anggota ini berada pada daerah forereef hingga foreslope pada paparan karbonat.

3) Formasi Kebo-Butak

Formasi Wungkal – Gamping berubah secara gradasional menjadi Formasi

Kebo-Butak. Bagian bawah Formasi Kebo-Butak terdiri dari perselingan batupasir

dengan batupasir kerikilan, dengan sisipan batulanau, batulempung, tuf dan serpih

(Surono, 2008). Bagian tengah formasi ini terdiri dari batupasir kerikilan. Sedangkan

bagian atasnya terdiri dari perselingan breksi polimik dengan batupasir, batupasir

kerikilan, batulempung, dan batulanau / serpih. Breksi polimik memiliki ukuran

fragmen dari kerikil – bongkah, berupa andesit, basal, batuan sedimen karbonan dan

kuarsa serta beberapa fragmen yang telah mengalami alterasi berubah menjadi klorit

berwarna hijau.

Kumpulan fosil foraminifera pada conto batuan di Gunung Pegat, Watugajah dan

Pututputri, ditemukan keberadaan spesies Globigerina ciperoensis, Catapsydrax

dissimilis dan Globigerinoides primordius yang menunjukkan umur P22 – N4 (Oligosen

Akhir – Miosen Awal) (Rahardjo, 2007). Kemudian berdasarkan kandungan nannofosil

dari Perbukitan Jiwo Timur didapatkan spesies Sphenolitus moriformis, Sphenolitus

heteromorphus, Sphenolitus conicus, Sphenolitus belemnos, Coccolithus miopelagicus,

Helicosphaera carteri, dan H. euphratis yang menunjukkan umur NN3 (Miosen Awal)

(Surono, 2008).

Lava basalt berstruktul bantal dijumpai menyisip di beberapa tempat pada

bagian bawah formasi ini (Husein & Sari, 2011). Selain itu dijumpai intrusi batuan

beku berupa diorit, dolerit, andesit porfir dan basalt di daerah Perbukitan Jiwo

yang bertarikh Oligosen Akhir (Surono drr, 2006).

4) Formasi Semilir

Selaras (setempat menjari) di atas Formasi Kebo-Butak terendapkan Formasi

Semilir yang berumur Oligosen Akhir - Miosen Awal. Formasi ini terdiri dari

lapili tuf, batupasir tufan, breksi autoklastik dan breksi polimik semakin keatas muncul

perlapisan batupasir tufan karbonatan. Pada bagian bawah Formasi Semilir juga

dijumpai sisipan lava andesit yang tersingkap di sekitar Wukirharjo, Prambanan.

(26)

Buyutan yang berumur Miosen Awal (Novian drr., 2012). Bagian bawah Anggota

Buyutan tersusun atas perselingan batupasir tufan dengan batulanau dan batubara

serta dibeberapa bagian disisipi oleh breksi vulkanik. Pada bagian atas Anggota Buyutan

terdiri dari perselingan batupasir tufan dengan konglomerat serta terdapat sisipan

batulanau yang kaya akan karbon. Beberapa peneliti menunjukkan umur dan

stratigrafi yang berbeda dari Formasi Semilir (Surono, 2008). Foraminifera pada bagian

tengah menunjukkan umur Oligosen Akhir – Miosen Awal (Rahardjo dkk., 1995) Miosen

Awal hingga Miosen Tengah (Sumarso dan Ismoyowati, 1975; van Gorsel et al., 1989;

Samodra dkk., 1992). Smyth (2005) dengan menggunakan metode U-Pb mendapatkan

umur 20 juta tahun yang lalu atau sekitar Miosen Awal. Lingkungan pengendapan

formasi ini adalah lingkungan darat – laut.

5) Formasi Nglanggran

Di bagian barat Kali Ngalang Formasi Semilir tertindih sela ras oleh Formasi

Nglanggran. Di beberapa tempat Formasi Semilir dan Nglanggran ini berhubungan

menjari. Formasi Nglanggran terdiri dari konglomerat polimik, batupasir kerikilan,

batupasir tufan, breksi andesit dengan sisipan tuf dan lava andesit basalt. Dijumpai juga

intrusi mikrodiorit/andesit yang memotong Formasi Nglanggeran pada daerah

Wediombo. Umur Formasi Nglanggran dan intrusi mikrodiorit/ andesit adalah

Miosen Awal.

6) Formasi Sambipitu

Selaras menindih di atas Formasi Nglanggran diendapkan Formasi

Sambipitu. Formasi Sambipitu tersusun atas perselingan batupasir karbonatan dengan

batulanau, dan perulangan batupasir karbonatan pada bagian atas yang berumur. Di

daerah Ngalang Formasi Sambipitu tersusun oleh micritic tuff dengan tuffaceous

mudrocks serta pada beberapa bagian terdapat sisipan allochemic conglomerate, muddy

allochemic limestone, rudstone dan tuff. Kemudian semakin ke atas keberadaan sisipan

batugamping semakin banyak. Formasi ini berumur tengah Miosen Awal – awal Miosen

Tengah.

7) Formasi Oyo

Di atas formasi ini secara menjari diendapkan Formasi Oyo berumur Miosen

Tengah yang terdiri dari perselingan muddy allochem limestone dengan sisipan

(27)

perselingan foraminiferal lime packstone, algal foraminiferal lime packstone, dan

foraminiferal lime wackestone. Berdasarkan data biofacies menurut Hidayat (2005),

paleobatimetri formasi ini pada bathyal atas – bawah.

8) Formasi Wonosari

Bagian atas Formasi Oyo menjari dengan Formasi Wonosari. Formasi Wonosari

terdiri dari perselingan batugamping dengan batugamping pasiran, batugamping

berlapis, batugamping dengan sisipan batupasir karbonatan, perselingan batugamping

dengan batupasir karbonatan, serta batugamping silangsiur yang berumur Miosen

Tengah awal Pliosen.

Di Perbukitan Jiwo, Formasi Wonosari tersusun atas perselingan

packstone-wackestone dengan napal pada bagian bawah ke arah atas berubah menjadi

perselingan packstone dengan sisipan rudstone dan tuf dengan umur Miosen Tengah –

Akhir. Foraminifera besar yang dijumpai pada formasi ini adalah Austrotrillina howchini,

Amphistegina quoyii d’Orbigny, Ceriopora globula Reuss dan Palaeonummulites,

Lepidocyclina bonarelli (Provale), Cycloclypeus indopacificus Tan, Miogypsina spp., dan

Miogypsinoides spp. Berdasarkan data foraminifera besar tersebut maka umur formasi

ini berkisar antara Akhir Miosen Bawah hingga Awal Miosen Tengah (Fadhilestari,

2011). Kemudian lingkungan pengendapan Formasi ini berada pada reef platform

margin antara back reef hingga reef front.

9) Formasi Kepek

Bagian atas Formasi Wonosari menjemari dengan Formasi Kepek. Formasi

Kepek pada bagian bawah tersusun oleh perselingan tuf dengan batulempung dengan

tebal 1,5 m kemudian batupasir tufan dengan ketebalan sekitar 1 m, ke atas

diendapkan perulangan bindstone yang berseling dengan bafflestone serta framestone

dengan tebal 15 – 20 m, kemudian di bagian tengah formasi ini tersusun oleh

perselingan wackestone dengan floatstone yang secara perlahan berubah menjadi

perselingan packstone dengan rudstone pada bagian atas, setempat ditemukan sisipan

sandy micrite dan muddy micrite kemudian bagian paling atas dari formasi ini

tersusun oleh perselingan packstone dan grainstone. Fosil foraminifera kecil yang

terdapat dalam formasi ini adalah Orbulina unuversa, sedangkan foraminifera

(28)

keberadaan fosil tersebut umur formasi ini berkisar antara N9 – N17. Kemudian

foraminifera bentonik yang terkandung dalam formasi ini antara lain Bulimina striata

dan Sphaerodinella bulloides yang menunjukkan paleobatimetri batial tengah.

10) Endapan Kuarter

Produk fluvio-vulkanik endapan Merapi Muda mengisi Graben Yogyakarta dan

dataran di sekitarnya. Dataran di bagian utara Gunung Baturagung telah terisi oleh

material fluvio-vulkanik yang dihasilkan sejak Pleistosen hingga saat ini.

III.2. STRATIGRAFI REGIONAL PERBUKITAN KENDENG

Acuan utama dalam menyusun stratigrafi Kendeng adalah publikasi de Genevraye &

Samuel (1972) dan Pringgoprawiro (1983). Stratigrafi penyusun Zona Kendeng merupakan

endapan laut dalam di bagian bawah yang semakin ke atas berubah menjadi endapan laut

dangkal dan akhirnya menjadi endapan nonlaut. Endapan di Zona Kendeng merupakan

endapan turbidit klastik, karbonat dan vulkaniklastik.

1) Formasi Pelang

Formasi ini dianggap sebagai formasi tertua yang tersingkap di Mandala

Kendeng. Formasi ini tersingkap di Desa Pelang, Selatan Juwangi. Tidak jelas

keberadaan bagian atas maupun bawah dari formasi ini karena singkapannya pada

daerah upthrust, berbatasan langsung dengan formasi Kerek yang lebih muda. Dari

bagian yang tersingkap tebal terukurnya berkisar antara 85 meter hingga 125 meter.

Litologi utama penyusunnya adalah napal, napal lempungan dengan lensa kalkarenit

bioklastik yang banyak mengandung fosil foraminifera besar.

2) Formasi Kerek

Formasi Kerek memiliki kekhasan dalam litologinya berupa perulangan

perselang-selingan batulempung, napal, batupasir tuf gampingan dan batupasir tufan.

Perulangan ini menunjukkan struktur sedimen yang khas yaitu perlapisan bersusun

(graded bedding). Lokasi tipenya berada di Desa Kerek, tepi sungai Bengawan Solo, ± 8

km ke utara Ngawi. Di daerah sekitar lokasi tipe formasi ini terbagi menjadi tiga

anggota, dari tua ke muda masing-masing:

a. Anggota Banyuurip

(29)

lempung dengan batupasir tuf gampingan dan batupasir tufaan dengan total

ketebalan 270 meter. Di bagian tengahnya dijumpai sisipan batupasir gampingan

dan tufaan setebal 5 meter, sedangkan bagian atasnya ditandai dengan adanya

perlapisan kalkarenit pasiran setebal 5 meter dengan sisipan tuf halus. Anggota ini

berumur N10 – N15 (Miosen tengah bagian atas).

b. Anggota Sentul

Anggota Sentul tersusun atas perulangan yang hampir sama dengan anggota

Banyuurip, tetapi lapisan yang bertuf menjadi lebih tebal. Ketebalan anggota Sentul

mencapai 500 meter. Anggota Sentul berumur N16 (Miosen atas bagian bawah).

c. Anggota Batugamping Kerek

Merupakan anggota teratas dari formasi Kerek, tersusun oleh perselingan antara

batugamping tufaan dengan perlapisan lempung dan tuf. Ketebalan anggota ini

mencapai 150 meter. Umur batugamping kerek ini adalah N17 (Miosen atas bagian

tengah).

3) Formasi Kalibeng

Formasi ini terbagi menjadi dua bagian yaitu bagian bawah dan bagian atas.

a. Formasi Kalibeng bagian bawah

Bagian bawah formasi Kalibeng tersusun oleh napal tak berlapis setebal 600

meter, berwarna putih kekuning-kuningan sampai abu-abu kebiru-biruan, kaya akan

kanndungan foraminifera plangtonik. Terdapat beberapa perlapisan tipis batupasir

yang ke arah Kendeng bagian barat berkembang menjadi suatu endapan aliran

rombakan, yang disebut sebagai Anggota Banyak. Ke arah timur di sekitar Gunung

Pandan, bagian atas formasi ini berkembang sebagai endapan vulkanik laut yang

menunjukkan struktur turbidit, disebut sebagai Anggota Atasangin.

b. Formasi Kalibeng bagian atas

Bagian atas dari formasi ini kadang disebut pula sebagai Formasi Sonde,

berumur Pliosen (N19 – N21), yang tersusun mula-mula oleh Anggota Klitik yaitu

kalkarenit putih kekuning-kuningan, lunak, mengandung foraminifera plangtonik

maupun besar, moluska, koral, algae dan bersifat napalan atau pasiran dengan

berlapis baik. Bagian paling atas tersusun atas breksi dengan fragmen gamping

berukuran kerikil dan semen karbonat. Kemudian disusul endapan napal pasiran,

(30)

ditempati oleh lempung berwarna hijau kebiru-biruan. Formasi Sonde ini ditemukan

sepanjang sayap lipatan bagian selatan antiklinorium Kendeng dengan ketebalan

berkisar 27 – 589 meter dan

4) Formasi Pucangan

Formasi Pucangan ini mempunyai penyebaran yang cukup luas. Di daerah

Sangiran, Formasi Pucangan berkembang sebagai fasies vulkanik dan fasies

lempung hitam. Fasies vulkaniknya berkembang sebagai endapan lahar yang

menumpang diatas Formasi Kalibeng. Fasies lempung hitamnya berkembang dari fasies

laut, air payau hingga air tawar. Di bagian bawah dari lempung hitam ini sering dijumpai

adanya fosil diatomae dengan sisipan lapisan tipis yang mengandung foraminifera

bentonik penciri laut dangkal. Semakin ke atas akan menunjukkan kondisi pengendapan

air tawar yang dicirikan dengan adanya fosil moluska penciri air tawar.

5) Formasi Kabuh

Formasi ini mempunyai lokasi tipe di Desa Kabuh, Kec. Kabuh, Jombang. Formasi

ini tersusun oleh batupasir dengan material non vulkanik antara lain kuarsa,

berstruktur silang siur dengan sisipan konglomerat, mengandung moluska air tawar

dan fosil-fosil vertebrata. Di daerah Kendeng barat formasi ini tersingkap di kubah

Sangiran sebagai batupasir silang siur dengan sisipan konglomerat dan tuf setebal 100

meter. Batuan ini diendapkan fluvial dimana terdapat struktur silang siur, maupun

merupakan endapan danau karena terdapat moluska air tawar seperti yang dijumpai di

Trinil.

6) Formasi Notopuro

Formasi ini mempunyai lokasi tipe di Desa Notopuro, timurlaut Saradan, Madiun

yang saat ini telah dijadikan waduk. Formasi ini terdiri atas batuan tuf berselingan

dengan batupasir tufaan, breksi lahar dan konglomerat vulkanik. Makin keatas sisipan

batupasir tufaan semakin banyak. Sisipan atau lensa-lensa breksi volkanik dengan

fragmen kerakal terdiri dari andesit dan batuapung juga ditemukan yang merupakan

cirri formasi Notopuro. Formasi ini terendapkan secara selaras diatas formasi Kabuh,

tersebar sepanjang Pegunungan Kendeng dengan ketebalan lebih dari 240 meter. Umur

dari formasi ini adalah Plistosen Akhir dan merupakan endapan lahar di daratan.

7) Endapan Undak Bengawan Solo

(31)

disamping endapan batupasir yang mengandung fosil-fosil vertebrata. di daerah

Brangkal dan Sangiran, endapan undak tersingkap baik sebagai konglomerat dan

batupasir andesit yang agak terkonsolidasi dan menumpang di atas bidang erosi

pada Formasi Kabuh maupun Notopuro.

III.3. STRATIGRAFI REGIONAL PERBUKITAN REMBANG

Stratigrafi zona Rembang mengikuti skema yang disusun oleh Pringgoprawiro

(1983). Berdasarkan data bawah permukaan dari eksplorasi hidrokarbon di kawasan ini,

satuan stratigrafi yang tertua di atas batuan dasar adalah Formasi Ngimbang. Namun

formasi ini tidak tersingkap di permukaan.

1) Formasi Kujung

Formasi Kujung merupakan satuan stratigrafi tertua yang tersingkap, terutama

tersusun oleh batulempungdengan sisipan batugamping dan batupasir, terutama di

bagian bawah. Batugamping di bagian bawah ini sering disebut sebagai Batugamping

Kranji. Bagian atasnya sisipan pada batulempung tersebut berupa batugamping klastika

bersama dengan batugamping terumbu, yang dikenal sebagai Batugamping Prupuh.

Secara lateral Batugamping Prupuh ini bersifat menyilang jari (interfingering) dengan

bagian bawah dari Formasi Tuban. Formasi ini diendapkan lingkungan paparan tengah

hingga paparan luar.

2) Formasi Tuban

Formasi Tuban terdiri atas perlapisan batulempung yang bersifat monoton

dengan beberapa sisipan batugamping. Formasi ini ini secara umum tersusun oleh

klastika karbonat dalam bentuk packstone-wackestone, yang mengandung fosil

foraminifera besar disertai dengan fragmen koral dan algae. Kandungan fosil

Globigerinoides primordius, Globortalia peripheronda, Globigerinoides sicanus yang

menunjukkan bahwa umur Miosen Awal dan lingkungan laut dalam.

3) Formasi Tawun

Secara umum Formasi ini tersusun oleh perselingan antara batulempung

pasiran dengan batupasir dan batugamping yang kaya akan foraminifera golongan

(32)

abu-abu kecoklatan, semakin ke atas cenderung berubah menjadi batulanau dengan

konkresi oksida besi. Batupasirnya biasanya cukup keras berwarna kemerahan,

sebagian bersifat gampingan dan sebagian tidak. Batugampingnya berwarna coklat

muda hingga abu-abu muda, berbutir halus sampai sedang. Penyusun utamanya adalah

fosil foraminifera besar dengan sedikit pencampur batupasir kuarsa. Ketebalan

batugamping ini mencapai 30 m.

Pada Formasi ini ditemukan Globigerinoides siakensis, Gdes. subquadratus,

Globorotalia obessa dan G. praemenardii. Disamping itu juga dijumpai Lepidocyclina

atuberculata, L. aphippioides, L. sumatrensis, L. nipponica dan Cycloclypeus sp. Berdasar

pada asosiasi fosil tersebut ditafsirkan bahwa Formasi Tawun diendapkan pada Awal

hingga Miosen Tengah, pada lingkungan lingkungan paparan yang agak dalam (outer

shelf) dari suatu laut terbuka.

4) Formasi Ngrayong

Satuan stratigrafi ini kadang berstatus sebagai anggota pada Formasi Tawun.

Bagian bawah yang tersusun oleh Batugamping Orbitoid (Cycloclypeus) dan

batulempung, sedangkan bagian atas tersusun oleh batupasir dengan sisipan

batugamping orbitoid.

Diantara perlapisan batulempung dijumpai struktur sedimen yang khas yaitu

gelembur (ripple mark) dan keping-keping gipsum. Batupasirnya berwarna merah

kekuningan, sering menunjukkan struktur soft sediment deformation, disertai fosil jejak

berupa lubang vertikal (memotong perlapisan) dari kelompok Ophiomorpha. Dari

kenampakan tersebut dapat ditafsirkan bahwa bagian bawah dari satuan ini pada

awalnya diendapkan pada dataran pasang-surut (intertidal area) yang kemudian

mengalami transgresi menjadi gosong lepas pantai (offshore bar) atau shoreface yang

tercirikan oleh batupasir merah, yang selanjutnya semakin mendalam menjadi

lingkungan paparan tengah hingga paparan luar (middle to outer shelf) yang

menghasilkan batugamping yang kaya akan Cycloclypeus. Kenampakan stratigrafi

tersebut dapat dilihat di daerah Polaman (Gambar 3.2). Batupasir Ngrayong merupakan

reservoir utama pada lapangan-lapangan minyak di daerah sekitar Cepu. Ketebalan

rata-rata mencapai 300 m tetapi menipis ke arah selatan dan juga ke arah timur, karena

(33)

Gambar 3.2. Singkapan Formasi Ngrayong di daerah penggalian pasir Polaman, utara Blora. Bagian

bawah (kiri) berisi batulempung yang semakin ke atas berubah menjadi batupasir kuarsa. Selanjutnya batupasir kuarsa berubah secara gradual menuju batugamping yang kaya akan fosil Cycloclypeus (kanan).

5) Formasi Bulu

Formasi Bulu terletak di atas batupasir Ngrayong, mempunyai penyebaran

yang luas di Antiklinorium Rembang Utara. Formasi ini tersusun oleh kalkarenit

berlempeng (platty sandstones) dengan sisipan napal pasiran. Di beberapa tempat

dijumpai kumpulan Cycloclypeus (Katacycloclypeus) annulatus yang sangat melimpah.

Kalkarenitnya tersusun oleh litoklas karbonat, foraminifera kecil maupun besar, serta

butir-butir kuarsa, feldspar dan glaukonit. Ke arah barat, formasi ini menjadi semakin

tebal. Di bagian timur ketebalan hanya 80 m tetapi ke arah barat ketebalannya

mencapai 300 m. Formasi ini diendapkan pada kala Miosen Tengah pada lingkungan

laut dangkal yang berhubungan dengan laut terbuka.

6) Formasi Wonocolo

Formasi Wonocolo tersusun oleh napal dan batulempung tidak berlapis. Bagian

bawahnya tersusun oleh batugamping pasiran dan batupasir gampingan, yang secara

umum menunjukkan gejala pengendapan transgresif. Total ketebalan dari formasi ini

lebih kurang 500 m, menunjukkan peningkatan ketebalan ke arah selatan.

(34)

7) Formasi Ledok

Formasi Ledok mempunyai lokasi tipe di kawasan antiklin Ledok, 10 km di

utara kota Cepu. Penyusun utamanya terdiri atas perselang-selingan antara batupasir

glaukonitik dengan kalkarenit yang berlempeng-lempeng, dengan beberapa sisipan

napal. Batupasirnya berwarna kehijauan hingga kecoklatan, berbutir halus hingga

sedang, dengan komposisi mineral kuarsa, fragmen kalsit serta glaukonit yang secara

keseluruhan terpilah sedang. Ketebalan setiap perlapisan berkisar antara 10 hingga 60

cm. Bagian bawah berbutir lebih halus dari bagian atas. Ketebalan Formasi Ledok

secara keseluruhan mencapai 230 m di lokasi tipenya. Ke arah utara, Formasi ini

berangsur-angsur berubah menjadi Formasi Paciran.

Dari contoh yang diambil di sungai Gunem (sebelah timur Sulang,

Rembang) dijumpai kumpulan foraminifera bentonik berupa Siphonina pulchra,

Uvigerina peregrina peregrina, and U. hispidocostata. Kumpulan ini menunjukkan

pengendapan di lingkungan lereng atas (upper slope). Foraminifera plangtonik terwakili

oleh asosiasi Globorotalia plesiotumida, G. miocenica, G. pseudoopima dan Pulleniatina

primalis menunjukkan bahwa Formasi Ledok diendapkan pada zona N17 – N18 atau

Akhir Miosen.

8) Formasi Mundu

Formasi Mundu memiliki ciri litologi yang khas, tersusun oleh napal masif

berwarna abu-abu muda hingga putih kekuning-kuningan, dengan kandungan

foraminifera plangtonik yang sangat melimpah. Disamping itu juga didapatkan

kandungan glaukonit tetapi hanya dalam jumlah sedikit. Di beberapa tempat, bagian

atas dari formasi ini secara berangsur berubah menjadi batugamping pasiran.

Ketebalan dari formasi ini cenderung bertambah ke arah selatan hingga mencapai

700 m. Formasi Mundu terbentuk sebagai hasil pengendapan laut dalam yang terjadi

pada zona N17 – N20 (Miosen Akhir – Pleiosen).

9) Formasi Selorejo

Satuan ini tersusun oleh perselang-selingan antara foraminiferal grainstone /

packstone yang sebagian bersifat glaukonitan dengan batugamping napalan hingga

batugamping pasiran, dengan lokasi tipe di desa Selorejo dekat Cepu. Ketebalan satuan

ini mencapai 100 m. Selorejo kadang dianggap sebagai anggota dari Formasi Mundu.

(35)

formasi ini melampar hingga ke Bukit Pegat di selatan Kota Babad.

Singkapan bagus dari Formasi Selorejo dijumpai di sepanjang dasar sungai

Gadu, Sambong di utara Cepu (Gambar 3.3). Di lokasi ini batugamping yang berupa

packstone hampir sepenuhnya tersusun oleh foraminifera plangtonik. Pada

permukaan batugamping ini dijumpai banyak fosil jejak tipe Thalassinoides.

Kandungan fosil yang dijumpai di lokasi ini berupa Globoquadrina altispira,

Globorotalia tumida, Pulleniatina praecursor dan Spharoidinella dehiscens yang

menunjukkan zona N20 – N21 (Pliosen Tengah – Akhir) . Kumpulan foraminifera

tersebut menunjukkan bahwa pengendapan terjadi di laut dalam, kemudian terangkut

kembali oleh arus turbid yang terjadi pada masa muka laut rendah (low sea-level

stand). Batugamping foraminifera yang relatif bersih tersebut terjadi sebagai akibat

penampian dari arus dasar (bottom current), sehingga bagian yang halus terbawa

ketempat lain dalam bentuk apungan dan test foraminiferanya teronggok dengan tanpa

matriks dalam bentuk grainstone dan packestones, dengan porositas bisa mencapai

50%, baik dalam bentuk vugs, inter maupun intra particles. Anggota Selorejo

merupakan reservoir gas yang terdapat tepat di bawah kota Cepu (Balun reservoir).

Gambar 3.3. Singkapan perlapisan batugamping dan napal dari Anggota Selorejo di tebing Sungai Gadu,

Sambong, Cepu.

10)Formasi Lidah

Formasi ini tersusun oleh batulempung yang berwarna kebiruan dan napal

(36)

(coquina). Pada bagian bawah masih merupakan endapan laut, tercirikan akan

kandungan Pseudorotalia sp. dan Asterorotalia sp. yang melimpah. Kumpulan fosil ini

mencirikan pengendapan di dasar laut pada paparan tengah hingga luar. Di atas satuan

ini batuannya menunjukkan produk pengendapan dari lingkungan yang semakin

mendangkal. Akhirnya bagian teratas berupa lempung hasil pengendapan air tawar.

11) Formasi Paciran

Formasi Paciran tersusun oleh batugamping masif, umumnya merupakan

batugamping terumbu yang lapuk dan membentuk permukaan yang khas akibat

pelarutan (karren surface). Gejala permukaan menunjukkan bahwa batuan

penyusunnya telah berubah menjadi kapur (chalky limestone). Formasi ini tersebar

terutama di bagian utara dari Zona Rembang, dengan masa pembentukan dari Pliosen

hingga Awal Pleistosen. Di beberapa tempat batuan ini telah terbentuk pada umur yang

lebih tua, semasa dengan pembentukan Formasi Ledok dan Wonocolo di bagian utara,

(37)

BAB IV

TEKTONIK DAN EVOLUSI CEKUNGAN

Peristiwa tektonik Jawa Timur dan pengaruhnya terhadap

cekungan-cekungan sedimenter serta fisiografi yang ada disusun ulang berdasarkan pada

konsep tektonik busur gunungapi (Husein, 2013). Resume diberikan dalam Gambar

4.1 di bawah ini.

Gambar 4.1. Kolom tektono-stratigrafi Jawa Timur.

Memahami tektonisme Pulau Jawa secara umum dan Jawa Timur khususnya

membutuhkan rekonstruksi tektonik lempeng regional semenjak awal Yura Atas

(Oxfordian ~ 160 juta tahun lampau), dimana lempeng-lempeng mikro Paparan

Sunda (Sundaland) mulai terpisah dari Kontinen Induk Gondwana. Dalam hal ini,

acuan utama yang dipergunakan adalah publikasi terakhir dari Hall (2012). Dalam

perjalanan selanjutnya, lempeng-lempeng mikro asal Gondwana tersebut 0 m

100 KURVA EUSTASI

Tepian benua pasif

Inisiasi subduksi Tersier awal; pembentukan cekungan pemekaran (rift basins); pemekaran Selat Makassar. Inisiasi kolisi India –Asia; berhentinya pemekaran Selat

Makassar; subduksi Hindia-Australia terus berjalan. Awal terbentuknya busur gunungapi Oligo-Miosen

(Pegunungan Selatan) –cekungan belakang busur (Kendeng). Inisiasi kolisi Australia –Sundaland; awal rotasi anti-clockwise

Sundaland; awal pembentukan Bayat metamorphic core uplift. Putusnya slab Albian –Turonian (akhir Kapur Bawah –awal

Kapur Atas) di palung subduksi Hindia-Australia; volkanisme Pegunungan Selatan berkurang; pengangkatan pertama Rembang dan Kendeng (Tuban Event).

SlabOxfordian –Albian (awal Yura Atas –akhir Kapur Bawah) tersubduksi secara penuh di bagian timur Palung Sunda; cekungan belakang busur Kendeng kembali mengalami penurunan (subsidence); Pegunungan Selatan dan Rembang mengalami penyesaran bongkah (Rembang Event). Berhentinya subduksi slab Oxfordian –Albian; awal kolisi Timor

dan Busur Volkanik Banda; puncak pengangkatan Pegunungan Selatan dan Rembang; awal pengangkatan Kendeng bagian barat.

(38)

bertumbukan dan bergabung (amalgamasi) dengan inti Sundaland pada akhir

Kapur Bawah - awal Kapur Atas (Albian - Turonian ~ 110 - 90 jtl). Semenjak itu,

Pulau Jawa berada dalam kondisi tepian benua pasif (passive margin) (Gambar 4.2).

Tatanan seperti ini bertahan hingga Awal Eosen. Tingginya genang laut global (Haq

et al., 1987) pada akhir Kapur hingga Awal Eosen menyebabkan tidak adanya

sedimentasi yang terjadi secara signifikan di Sundaland.

Gambar 4.2. Tatanan lempeng tektonik di awal Tersier (Paleosen) (kiri), dan saat Eosen Tengah (kanan) (Hall, 2012). Label (1) untuk potongan lempeng (slab) kerak samudera berumur Oxfordian - Albian, sedangkan (2) untuk slab kerak samudera berumur Albian - Turonian.

Memasuki Eosen Tengah, proses pemekaran Samudera Hindia mulai akan

berlangsung di selatan Benua Australia, menyebabkan mulainya subduksi di Palung

Sunda (Gambar 4.2). Gaya kontraksi di sepanjang Palung Sunda menyebabkan

terbentuknya berbagai cekungan sedimenter Tersier di Sundaland. Bersamaan

dengan surutnya genang laut global, proses sedimentasi syn-rift dapat terbentuk

dengan baik di cekungan-cekungan tersebut, termasuk Jawa Timur (Gambar 4.1).

Formasi-formasi Wungkal-Gamping dan Nanggulan menandakan aktifnya

sedimentasi syn-rift di proto Pegunungan Selatan. Di Jawa Timur utara, Formasi

pre-Ngimbang dan Ngimbang diendapkan dengan baik. Seluruh formasi tersebut

merekam pengaruh fluktuasi muka laut global dengan adanya ketidakselarasan di

akhir Eosen Tengah.

Di akhir Eosen Atas, sedimentasi syn-rift terhenti akibat peristiwa

transgresi global (Gambar 4.1). Secara regional, gaya tektonik regangan juga turut

berkurang dengan mulainya proses kolisi Benua India dengan Asia (Gambar 4.3).

Awal Paleosen Eosen Tengah

2

(39)

Hal ini juga ditandai dengan berakhirnya proses pemekaran Selat Makassar. Pada

akhir Oligosen Bawah proses penunjaman Palung Sunda yang terjadi semenjak

Eosen Tengah mulai membentuk busur gunungapi (volcanic arc), yang berada di

Zona Pegunungan Selatan (Gambar 4.1). Formasi Kebo-Butak menjadi penanda

stratigrafis aktifnya busur gunungapi tersebut. Kehadiran busur gunungapi memicu

terbentuknya zona cekungan belakang busur (back-arc basin), yaitu Zona Kendeng.

Tidak ditemukan adanya singkapan berumur Oligosen Atas (pra-Pelang) di Zona

Kendeng membuat sulitnya melakukan pembuktian terhadap interpretasi ini. Di

bagian Jawa Timur utara, bersamaan dengan awal surutnya genang laut pada kala

itu, Formasi Kujung mulai diendapkan di lingkungan paparan hingga lereng benua.

Gambar 4.3. Tatanan lempeng tektonik di Eosen Akhir (kiri), dan saat Oligosen Awal (kanan) (Hall, 2012).

Saat Oligosen Akhir, kolisi Benua Australia dan Sundaland dimulai (Gambar

4.4). Akibatnya Sundaland mulai mengalami rotasi berlawanan arah jarum jam

(anti-clockwise rotation), yang dapat mengaktifkan patahan-patahan batuan alas

(basement faults) yang sebelumnya aktif sebagai sesar normal saat periode rifting di

Eosen Tengah menjadi sesar geser. Rotasi Oligo-Miosen ini terekam dengan baik di

Zona Rembang, dimana sedimentasi batugamping Prupuh di lingkungan terumbu

menempati tinggian-tinggian batuan alas (basement horst) yang terinversi naik

akibat penyesaran geser mengiringi naiknya genang laut saat itu (Gambar 4.1). Di

Pegunungan Selatan, rotasi Sundaland tersebut mempengaruhi karakter

vulkanisme yang terjadi, ditandai dengan munculnya Formasi Nglanggran yang

bersifat lebih basaltik dibandingkan Formasi Semilir yang juga diendapkan saat itu.

(40)

Selain itu, rotasi ini diduga menyebabkan kelanjutan penurunan tektonis Zona

Kendeng, yang kemudian memicu munculnya kompleks batuan alas (basement core

complex) Bayat di tepian cekungan akibat peluncuran gaya-berat (gravitational

gliding) (Husein, 2013).

Gambar 4.4. Tatanan lempeng tektonik di Oligosen Akhir (kiri), dan akhir Miosen Bawah (kanan) (Hall, 2012).

Memasuki akhir Miosen Awal, slab kerak samudera Albian-Turonian telah

habis dikonsumsi Palung Sunda (Gambar 4.4). Akibatnya slab tersebut terputus dan

segmen slab yang baru kemudian tertarik memasuki Palung Sunda dalam sudut

penunjaman yang lebih landai. Meskipun slab kerak samudera tersebut berumur

Oxfordian-Albian, lebih tua daripada slab sebelumnya, namun ujungnya lebih

pendek hingga mampu mengungkit segmen lempeng Sundaland diatasnya.

Peristiwa ini menyebabkan berakhirnya periode puncak volkanisme Pegunungan

Selatan. Pengangkatan terjadi merata (Gambar 4.1). Di Pegunungan Selatan

ditandai dengan sedimentasi batupasir kuarsa Formasi Jaten. Di Zona Rembang,

ketidakselarasan yang dihasilkan peristiwa tektonik ini dikenal dengan nama Tuban

Event, yang memicu sedimentasi batupasir kuarsa Formasi Ngrayong secara masif

dan luas. Di Zona Kendeng meski tidak sedramatik di Zona Rembang maupun

Pegunungan Selatan, ditandai dengan sedimentasi Formasi Kerek yang diendapkan

pada lingkungan yang lebih dangkal dibandingkan Formasi Pelang.

Pada pertengahan Miosen Akhir, slab Oxfordian-Albian telah masuk ke

Palung Sunda secara merata (Gambar 4.5). Karena slab tersebut lebih tua, sehingga

lebih berat, maka kemudian secara regional terjadi reaktivasi penurunan cekungan

(41)

belakang busur (back-arc basin subsidence) Zona Kendeng. Peristiwa ini secara

stratigrafis ditandai dengan sedimentasi Formasi Kalibeng yang diendapkan pada

lingkungan lebih dalam dibandingkan Formasi Kerek di bawahnya (Gambar 4.1).

Penurunan Zona Kendeng memicu kesetimbangan isostatis baru, dengan reaktifasi

patahan bongkah (block-faulting) di Pegunungan Selatan dan Zona Rembang. Di

Pegunungan Selatan, penyesaran bongkah yang memicu turunnya batuan alas

(basement grabens) mengontrol sedimentasi Formasi Kepek. Demikian juga di Zona

Rembang, dimana penurunan sebagian bongkah-bongkah batuan alas mengontrol

pengendapan sikuen Ledok - Mundu - Selorejo bersamaan dengan naiknya genang

laut saat awal Pliosen (Gambar 4.1). Peristiwa penyesaran bongkah ini di Jawa

Timur utara dikenal dengan nama Rembang Event.

Gambar 4.5. Tatanan lempeng tektonik di Miosen Akhir (kiri), dan akhir Pleistosen (kanan) (Hall, 2012).

Memasuki awal Pleistosen kolisi Timor dengan Busur Volkanik Sunda mulai

terjadi (Gambar 4.5). Hal ini memicu pengangkatan regional di Pulau Jawa.

Pegunungan Selatan mengalami pengangkatan paling intensif, yang ditunjang

dengan tingginya tingkat denudasional pada singkapan batuan gunungapi

Oligo-Miosennya. Pengangkatan Pegunungan Selatan ini kemudian diimbangi secara

isostatis oleh pembentukan Zona Depresi Solo.

Zona Kendeng mengalami pengangkatan tidak merata, dimana bagian barat

mengalami inversi dengan kuat, sedangkan bagian timur justru tetap melanjutkan

penurunannya. Hal ini dikontrol oleh perbedaan sudut kemiringan subduksi slab

Oxfordian-Albian, yang semakin curam ke arah timur karena usia kerak yang

(42)

semakin tua. Perbedaan sudut subduksi antara bagian timur dan barat ini juga

mengaktifkan tektonisme sesar geser (wrench tectonic) di Zona Rembang,

menghasilkan Antiklinorium Rembang yang terkontrol pola patahan batuan alas

(basement faults). Pengangkatan Zona Kendeng bagian barat dan Zona Rembang

tersebut pun diimbangi secara isostatis dengan pembentukan Zona Depresi

Randublatung.

Periode vulkanisme baru Jawa Timur teridentifikasi hadir pada kala

tersebut, kemungkinan berasal dari slab Oxfordian-Albian yang telah memasuki

zona pelelehan sebagian (partial melting window). Busur gunungapi baru muncul di

sebelah utara busur gunungapi Oligo-Miosen (Pegunungan Selatan), yaitu

menempati Zona Solo. Beban deretan tubuh gunungapi Kuarter Awal tersebut

memperkuat proses penurunan Depresi Solo. Sejumlah kecil gunungapi Pleistosen

Awal muncul di cekungan belakang busur (Zona Kendeng), yaitu Gunungapi

Ungaran dan Gunungapi Pandan, bersamaan dengan inversi Zona Kendeng.

Seluruh peristiwa tektonik tersebut di atas terekam dalam kompleksnya

pola struktur yang dijumpai di Jawa Timur, baik di permukaan maupun pada

batuan dasarnya (Gambar 4.6).

Gambar 4.2. Pola struktur Pulau Jawa selama Miosen Awal hingga Miosen Akhir (Sribudiyani, et

(43)

BAB V

LOKASI PENGAMATAN

V.I. HARI PERTAMA (13 SEPTEMBER 2014)

Jalur: Yogyakarta – Gunung Gajah – Sangiran – Alas Kobong – Kedung Ombo – Purwodadi

Stopsite 1.1. Gunung Gajah

Stop site pertama berada di Desa Gunung Gajah, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten. Lokasi ini di dalam peta geologi regional lembar Surakarta-Giritontro (Surono, dkk, 1992) dimasukkan di dalam Kompleks Batuan Malihan (KTm). Di lokasi ini dijumpai singkapan hasil bukaan tanah untuk lahan perkebunan, berupa tebing setinggi 1 m hingga 3 m. Singkapan ini menjadi menarik

karena dijumpai kontak batuan Paleogen di atas batuan basement berupa filit. Filit

ini tersingkap hanya sedikit di tebing sisi barat. Di atas filit ini diendapkan breksi dan di atasnya terendapkan perselang-selingan batupasir karbonatan dan batulanau karbonatan. Pada breksi ini terbentuk inisial dip yang menunjukkan bahwa filit tersebut merupakan alas dari pengendapan breksi tersebut, bukan hanya sekedar blok batuan yang lebih tua masuk ke dalam batuan yang lebih muda

seperti pada endapan mélange sedimenter di Karangsambung. Basement ini

merupakan alas dari batuan-batuan yang menyusun Pegunungan Selatan. Pada tebing sisi utara yang tersusun oleh batupasir karbonatan terdapat bidang sesar yang berarah relatif barat laut-tenggara. Sedangkan di tebing sisi timur tersusun oleh perselang-selingan batupasir dan batulempung setebal 6 m dan di atasnya terbentuk perulangan batupasir gradasi normal. Pada susunan batuan tersebut terdapat dua sill. Dari pengamatan petrografi dapat diidentifikasi bahwa batuan beku tersebut berupa diabas (Setiawati, 2013).

(44)

Gambar 5.1. Singkapan di tebing sisi barat, yang ditunjuk panah merah adalah filit sedangkan yang berwarna coklat merupakan batugamping nummulites (kamera menghadap barat).

Gambar 5.2. Close up kontak antara filit dan batugamping nummulites.

Hal yang harus diperhatikan :

 Perhatikan kontak antara filit dan batugamping di atasnya.

(45)

 Amati jenis batuan beku yang ada di bukaan sisi timur, lihat pula

hubungannya dengan batuan sedimen di sekitarnya.

 Perhatikan sesar yang ada, terutama sesar yang ada di bukaan sisi utara.

 Pikirkan bagaimana hubungan antara batuan yang berada di ketiga tebing

(bukaan) sisi barat, utara, dan timur.

Tugas untuk dikerjakan ketika di stopsite :

 Ukur strike dan dip batuan di sekitar filit.

 Tentukan fasies yang berkembang pada batuan sedimen yang ada.

 Ukur dan tentukan jenis sesar yang berkembang di lokasi ini.

 Tentukan bagaimana hubungan antara urutan batuan di tebing barat dan

(46)
(47)

Gambar

Gambar 2.1.  Zonasi fisiografi Pulau Jawa bagian tengah dan timur (Pannekoek, 1949; van Bemmelen, 1949)
Gambar 3.1.
Gambar 3 .2. Singkapan Formasi Ngrayong di daerah penggalian pasir Polaman, utara Blora
Gambar 3 .3. Singkapan perlapisan batugamping dan napal dari Anggota Selorejo di tebing Sungai Gadu, Sambong, Cepu
+7

Referensi

Dokumen terkait

berupa batubara: berupa sisipan pada batulempung berwarna hitam, mengkilap dan getas, tebal 2,5 m; pada bagian bawah dijumpai batupasir sisipan batulanau yang mengandung lapisan tipis

 Secara selaras di atas satuan batulempung sisipan batupasir di endapkan satuan batulempung (Formasi Subang) yang berumur sama dengan satuan batulempung

Struktur geologi yang terbentuk di daerah penelitian, berupa struktur patahan terjadi pada Satuan Batuan Batupasir Slang – Seling Batulempung (Formasi Halang)

Morfologi daerah Penelitian merupakan dataran dengan sudut lereng 5 – 10 yang tersusun Satuan batupasir (Formasi Tajam) berumur Permo - Karbon, Satuan

Stratigrafi Formasi Rambatan di Daerah Pamulihan tersusun atas produk turbidit dengan litologi berupa perulangan batulempung karbonatan dan batupasir karbonatan

Sedimen yang diendapkan pada tahap awal fasa transgressive ini adalah Formasi Talang Akar yang terdiri dari batupasir, batulanau dan serpih yang berubah secara berangsur

Kerak kontinen Lempeng Australia yang berada di bawah laut Arafura dan meluas ke arah utara merupakan dasar bagian selatan dari Pegunungan Tengah Papua, batuan dasarnya tersusun

Satuan Batupasir-Batulempung berumur Miosen Tengah-Akhir yang disetarakan dengan Formasi Cibulakan dan ciri litologi adalah perselingan antara batupasir dengan