• Tidak ada hasil yang ditemukan

CEKUNGAN JAWA TIMUR UTARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "CEKUNGAN JAWA TIMUR UTARA"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

1

FIELDTRIP GEOLOGI

CEKUNGAN JAWA TIMUR UTARA

16-17 Desember 2016

BUKU PANDUAN Disiapkan oleh:

Salahuddin Husein, Ph.D. (Dept. of Geological Engineering UGM)

Pemandu:

Salahuddin Husein, Ph.D. (Dept. of Geological Engineering UGM) Dr. Didit Hadi Barianto (Dept. of Geological Engineering UGM)

(2)

2 TRIP ITINERARY AND ROUTE

Day Time Activities

Thursday

15 Dec Train travelling bound to Semarang Friday 16 Dec 06.00 – 07.30 07.30 – 09.30 09.30 – 10.30 10.30 – 11.30 11.30 – 13.00 13.00 – 14.00 14.00 – 15.00 15.00 – 17.30 17.30 – 18.30 18.30 – 20.00 20.00 – 21.00 21.00 Breakfast

On the way to Mrapen

Observation of Mrapen gas seepages On the way to Purwodadi

Lunch Break

On the way to Bledug Kuwu Observation of Kuwu Mud Volcano On the way to Blora

Check in to Kencana Hotel Blora and Prayer Time Dinner

Discussion on the Petroleum System of NE-Java Basin – Free time Saturday 17 Dec 06.00 – 07.30 07.30 – 08.00 08.00 – 11.00 11.00 – 15.00 15.00 – 16.00 16.00 – 21.00 21.00

Breakfast and check out On the way to Polaman

Observation of tidal sequence reservoir and anticlinal trap at Polaman and Braholo

On the way to Rembang (lunch stop at Makam Kartini; lunchbox provided)

Observation of Rembang Tidal Flat (modern analogue for Tertiary reservoir)

On the way to Semarang (dinner stop at Restaurant Kudus) Hotel checkin

Sunday

18 Dec Free time – on schedule back to Jakarta

Purwodadi 3 5 1 2 : Rute hari #1 : Rute hari #2 : Stop site 2 4

(3)

3

DAFTAR ISI

PANDUAN KESELAMATAN, KEAMANAN, DAN KESEHATAN (K3) FIELDTRIP ... 4

I. PENDAHULUAN ... 5

II. ZONA DEPRESI RANDUBLATUNG ... 7

III. ZONA PERBUKITAN REMBANG ... 9

a. Stratigrafi Regional Perbukitan Rembang ... 9

1. Formasi Kujung ... 9 2. Formasi Prupuh ... 10 3. Formasi Tuban ... 11 4. Formasi Tawun ... 11 5. Formasi Ngrayong ... 11 6. Formasi Bulu ... 12 7. Formasi Wonocolo ... 13 8. Formasi Ledok ... 13 9. Formasi Mundu ... 13 10. Formasi Selorejo... 14 11. Formasi Lidah ... 14 12. Formasi Paciran ... 14

b. Struktur Geologi Perbukitan Rembang ... 15

IV. ZONA PESISIR UTARA... 18

V. DESKRIPSI LOKASI PENGAMATAN ... 20

1. Rembesan Gas Mrapen (Manggarmas, Godong, Grobogan) ... 20

2. Gunung Lumpur Bledug Kuwu (Kradenan, Grobogan) ... 20

3. Sikuen Transgresif Formasi Ngrayong (Polaman, Sendangharjo, Blora) ... 22

4. Antiklin Braholo (Sendangharjo, Blora) ... 23

5. Analog Sedimentasi Formasi Ngrayong (Hutan Mangrove Banggi, Rembang) .. 28

(4)

4

PANDUAN KESELAMATAN, KEAMANAN, DAN KESEHATAN (K3)

FIELDTRIP

1) Sebelum keberangkatan:

 Pastikan penggunaan sepatu lapangan yang aman dan nyaman.

 Pastikan topi untuk perlindungan terhadap sinar matahari.

2) Selama dalam kendaraan:

 Letakkan barang bawaan di dalam bagasi atau di bawah tempat duduk

secara rapi.

 Periksalah letak alat pemecah kaca darurat dan gunakan sewaktu diperlukan

(kecelakaan, kebakaran, dll) dengan hati-hati.

 Pada kondisi kendaraan tidak stabil (kendaraaan oleng/terbalik)

bersikaplah menunduk dan gunakan kedua tangan untuk berpegangan secara kuat pada bahu kursi di depan anda.

 Pada saat anda merasa akan buang air kecil maupun besar segera

beritahukan kepada kru kendaraan agar dicarikan tempat pemberhentian. 3) Selama di lapangan

 Apabila mengamati singkapan di pinggir jalan, pastikan posisi aman dari kendaraan yang melaju, setidaknya 2 meter dari bahu jalan.

 Perhatikan kemungkinan jatuhnya tebing di lokasi pengamatan. Cari lokasi yang terlindung dan tidak licin.

 Selama di lapangan pastikan minum yang cukup untuk menghindari

dehidrasi.

 Apabila menjumpai kasus darurat segera ditangani dan berikan pertolongan

pertama, namun apabila kasus berat segera beitahukan kepada panitia agar segera dibawa ke rumah sakit terdekat.

 Apabila anda tertinggal oleh rombongan segera hubungi panitia dan

sebutkan lokasi anda secara jelas.

 Pastikan tidak ada peralatan yang tertinggal sebelum meninggalkan lokasi pengamatan.

(5)

5

I. PENDAHULUAN

Ekskursi Geologi Cekungan Jawa Timur Utara kali ini akan melalui beberapa zona fisiografi1 regional, yaitu Zona Depresi Randublatung, Zona Pegunungan

Rembang, dan Zona Pesisir Utara Jawa (Gambar 1, 2). Setiap zona memiliki karakteristik geomorfologi, stratigrafi, dan tektonik tersendiri. Terdapat 5 lokasi pengamatan geologi yang akan dikunjungi, melintasi kabupaten Grobogan, Blora, dan Rembang, di Provinsi Jawa Tengah.

Gambar 1. Zonasi fisiografi regional Pulau Jawa bagian tengah dan timur (pembagian mengikuti

Pannekoek, 1949; van Bemmelen, 1949).

Gambar 2. Zonasi fisiografi Cekungan Jawa Timur Utara, dengan rute ekskursi dan lokasi

pengamatan.

1

Fisiografi adalah kenampakan permukaan Bumi yang khas, mencerminkan proses geologi dan formasi batuan yang menyusunnya.

5o km

Zona Pegunungan Selatan Zona Solo Zona Kendeng

Zona Rembang

Zona Randublatung

Dataran Pesisir Utara

Surabaya Bojonegoro Cepu Lamongan S. Lusi ZONA KENDENG 50 km G. Ungaran Antiklinorium Rembang Selatan Antiklin Sekarkorong Gresik Antiklin Pegat Antiklin Lidah Antiklin Ngimbang Antiklin Dander Zona Randublatung Kudus Tuban Randublatung Ujung Pangkah Zona Randublatung Zona Pesisir Utara Semarang Purwodadi Blora Rembang

Antiklinorium Rembang Utara

5 1 2 3 4 G. Muria G. Patiayam G. Genuk G. Lasem

(6)

6

Kenampakan fisiografi tersebut dikontrol oleh tatanan tektonik Pulau Jawa saat ini, yaitu terkait dengan kehadiran busur gunungapi di tepian konvergensi lempeng litosferik (Gambar 3).

(7)

7

II. ZONA DEPRESI RANDUBLATUNG

Zona Randublatung merupakan suatu depresi atau lembah memanjang yang berada di antara Perbukitan Kendeng dan Perbukitan Rembang. Zona ini mencakup daerah Purwodadi, Cepu, Bojonegoro, Lamongan, Gresik, dan Surabaya. Van Bemmelen (1949) menduga Depresi Randublatung terbentuk sebagai daerah amblesan (subsidence), bagian dari kesetimbangan isostasi regional ketika Perbukitan Rembang dan Perbukitan Kendeng mengalami pengangkatan tektonis di akhir Tersier. Hipotesis van Bemmelen tersebut tampaknya hanya berlaku untuk Zona Randublatung bagian barat saja, yang membentang dari Purwodadi hingga Randublatung, yang secara fisiografis memang membentuk depresi sempit terapit dua lajur perbukitan. Adapun fisiografi Zona Randublatung bagian timur yang membentang dari Randublatung hingga pesisir Gresik dan Surabaya, ditandai dengan kemunculan banyak antiklin terisolir, seperti Dander, Pegat, Ngimbang, Sekarkorong, dan Lidah (Gambar 2). Secara struktur, pola perlipatan antiklin-antiklin tersebut masih mengikuti pola lipatan Zona Kendeng. Hal ini menunjukkan proses isostasi negatif bukanlah faktor utama dalam pembentukan Zona Randublatung, dan terdapat pula faktor tektonik kompresif dalam pembentukan zona tersebut, sebagaimana yang terjadi di Zona Kendeng.

Sebagai sebuah depresi tektonis, sedimentasi Zona Randublatung terus aktif semenjak akhir Tersier hingga sekarang, dengan menerima pasokan sedimen dari Perbukitan Kendeng maupun Perbukitan Rembang. Sistem pengaliran permukaan (drainage system) di zona ini terbagi dua, yaitu Sistem Lusi di bagian barat dan Sistem Bengawan Solo di bagian timur. Di bagian barat, sedimentasi dilakukan oleh Sungai Lusi, yang kemudian bergabung dengan Sungai Serang, membentuk Delta Serang yang dengan cepat menjadikan pesisir utara Pulau Jawa sebagai pantai maju. Demikian juga di bagian timur, di mana Sungai Bengawan Solo terus mengalir ke arah timur dan bergabung dengan pesisir utara Pulau Jawa sebagai delta di Ujung Pangkah.

Para geologiwan menempatkan stratigrafi Randublatung dengan melihat klasifikasi Zona Rembang, dan beberapa lapangan migas berhasil dikembangkan di zona ini. Meski demikian, tektonik Randublatung tidak bisa didekati dengan model Zona Rembang, karena kemiripannya pola sumbu perlipatannya lebih mendekati

(8)

8

Zona Kendeng (Husein dkk., 2016). Menarik pula mencermati kehadiran Kendeng Molasse di Perbukitan Dander yang menunjukkan sumber (provenance) dari Formasi Pucangan di Zona Kendeng atau bahkan dari terobosan Gunungapi Pandan di selatannya. Hal ini memberikan informasi tambahan, bahwa stratigrafi Randublatung tidak hanya dibangun oleh Zona Rembang, namun juga mendapat pengaruh dari Zona Kendeng, setidaknya saat Kendeng mulai terangkat semenjak pertengahan Pliosen (Husein dkk., 2016).

LOKASI PENGAMATAN:

1. Rembesan gas Mrapen

(9)

9

III. ZONA PERBUKITAN REMBANG

Perbukitan Rembang merupakan suatu perbukitan antiklinorium yang memanjang dengan arah timur-barat (T-B) di sisi utara Pulau Jawa. Zona ini membentang dari bagian utara Purwodadi hingga ke Pulau Madura. Lipatan-lipatan dengan sumbu memanjang berarah timur-barat, dengan panjang dari beberapa kilometer hingga mencapai 100 km (Antiklin Dokoro di utara Grobogan). Zona Rembang terbagi menjadi dua, yaitu Antiklinorium Rembang Utara dan Antiklinorium Rembang Selatan (Van Bemmelen, 1949). Antiklinorium Rembang Selatan juga dikenal sebagai Antiklinorium Cepu. Kedua zona antiklinorium tersebut dipisahkan oleh lembah aliran Sungai Lusi di bagian barat, dan lembah aliran Sungai Kening (anak sungai Bengawan Solo) di bagian timur (Gambar 2). Proses pengelupasan (denudasi) di Zona Rembang hanya dilakukan oleh sungai-sungai kecil yang bermuara langsung ke pesisir utara Pulau Jawa, sehingga tidak terbentuk delta-delta yang cukup signifikan di kawasan tersebut.

Perbukitan lipatan di Zona Rembang umumnya tersusun secara en-echelon ke arah kiri (left-stepping), mengindikasikan kontrol patahan batuan alas (basement faults) geser sinistral berarah timur-timurlaut - barat-baratdaya (TTL-BBD) yang membentuk antiklinorium Rembang tersebut (Husein et al., 2015). Pola ini dapat diamati pada rangkaian perbukitan deretan Antiklin Dokoro hingga Antiklin Lodan (baratlaut Tuban) di Zona Rembang bagian utara, dan rangkaian perbukitan deretan Antiklin Gabus (baratlaut Randublatung) hingga Antiklin Ledok (utara Cepu).

a. Stratigrafi Regional Perbukitan Rembang

Stratigrafi zona Rembang mengikuti skema yang disusun oleh Pringgoprawiro (1983) (Gambar 4). Berdasarkan data bawah permukaan dari eksplorasi hidrokarbon di kawasan ini, satuan stratigrafi yang tertua di atas batuan dasar adalah Formasi Ngimbang. Namun formasi ini tidak tersingkap di permukaan.

1. Formasi Kujung

Formasi Kujung merupakan satuan stratigrafi tertua yang tersingkap, terutama tersusun oleh batulempung dengan sisipan

(10)

10

batugamping dan batupasir, terutama di bagian bawah. Batugamping di bagian bawah ini sering disebut sebagai Batugamping Kranji. Formasi ini diendapkan lingkungan paparan tengah hingga paparan luar.

Gambar 4. Kolom stratigrafi Cekungan Jawa Timur Utara. 2. Formasi Prupuh

Lokasi tipe formasi ini terletak di Desa Prupuh, Kecamatan Paciran, dengan stratotipe berupa batugamping bioklastik berlapis tebal, keras, kaya akan fosil Orbitoid, yang berlapis dengan batugamping kapuran berwarna putih kotor. Pada bagian bawah formasi ini ditemukan Globigerina ciperoensis, Globigerina tripartita, Globorotalia kugleri, dan Globigerinita dissimilis, sedangkan pada bagian atasnya muncul Globigerinoides immatures. Umur Formasi Prupuh adalah N3-N5

(11)

11

(Oligosen Atas hingga Miosen Bawah). Pada batugamping bioklastika dijumpai Spiroclypeus orbitoides, Lepidocyclina verrucosa, dan Lepidocyclina sumatrensis. Lingkungan sedimentasinya adalah neritik luar pada laut terbuka, dengan indikasi adanya gerakan massa gravitasi lereng dasar laut. Formasi ini selaras terhadap Formasi Kujung di bawahnya, juga terhadap Formasi Tuban yang ada di atasnya.

3. Formasi Tuban

Formasi Tuban terdiri atas perlapisan batulempung yang bersifat monoton dengan beberapa sisipan batugamping. Formasi ini ini secara umum tersusun oleh klastika karbonat dalam bentuk packstone-wackestone, yang mengandung fosil foraminifera besar disertai dengan fragmen koral dan algae. Kandungan fosil Globigerinoides primordius, Globortalia peripheronda, Globigerinoides sicanus yang menunjukkan bahwa umur Miosen Awal dan lingkungan laut dalam.

4. Formasi Tawun

Secara umum Formasi ini tersusun oleh perselingan antara batulempung pasiran dengan batupasir dan batugamping yang kaya akan

foraminifera golongan orbitoid (Lepidocyclina, Cycloclypeus).

Batulempung pasiran berwarna abu-abu hingga abu-abu kecoklatan, semakin ke atas cenderung berubah menjadi batulanau dengan konkresi oksida besi. Batupasirnya biasanya cukup keras berwarna kemerahan, sebagian bersifat gampingan dan sebagian tidak. Batugampingnya berwarna coklat muda hingga abu-abu muda, berbutir halus sampai sedang. Penyusun utamanya adalah fosil foraminifera besar dengan sedikit pencampur batupasir kuarsa. Ketebalan batugamping ini mencapai 30 m. Formasi Tawun diendapkan pada Awal hingga Miosen Tengah, pada lingkungan lingkungan paparan yang agak dalam (outer shelf) dari suatu laut terbuka.

5. Formasi Ngrayong

Satuan stratigrafi ini kadang berstatus sebagai anggota pada Formasi Tawun. Bagian bawah yang tersusun oleh batugamping Orbitoid (Cycloclypeus) dan batulempung, sedangkan bagian atas tersusun oleh

(12)

12

batupasir dengan sisipan batugamping orbitoid.

Diantara perlapisan batulempung dijumpai struktur sedimen yang khas yaitu gelembur (ripple mark) dan keping-keping gipsum. Batupasirnya berwarna merah kekuningan, sering menunjukkan struktur soft sediment deformation, disertai fosil jejak berupa lubang vertikal (memotong perlapisan) dari kelompok Ophiomorpha. Dari kenampakan tersebut dapat ditafsirkan bahwa bagian bawah dari satuan ini pada awalnya diendapkan pada dataran pasang-surut (intertidal area) yang kemudian mengalami transgresi menjadi gosong lepas pantai (offshore bar) atau shoreface yang tercirikan oleh batupasir merah, yang selanjutnya semakin mendalam menjadi lingkungan paparan tengah hingga paparan luar (middle to outer shelf) yang menghasilkan batugamping yang kaya akan Cycloclypeus. Kenampakan stratigrafi tersebut dapat dilihat di daerah Polaman. Batupasir Ngrayong merupakan reservoir utama pada lapangan-lapangan minyak di daerah sekitar Cepu. Ketebalan rata-rata mencapai 300 m tetapi menipis ke arah selatan dan juga ke arah timur, karena terjadi perubahan fasies menjadi batulempung.

6. Formasi Bulu

Formasi Bulu terletak di atas batupasir Ngrayong, mempunyai penyebaran yang luas di Antiklinorium Rembang Utara. Formasi ini tersusun oleh kalkarenit berlempeng (platty sandstones) dengan sisipan napal pasiran. Di beberapa tempat dijumpai kumpulan Cycloclypeus (Katacycloclypeus) annulatus yang sangat melimpah. Kalkarenitnya tersusun oleh litoklas karbonat, foraminifera kecil maupun besar, serta butir-butir kuarsa, feldspar dan glaukonit. Ke arah barat, formasi ini menjadi semakin tebal. Di bagian timur ketebalan hanya 80 m tetapi ke arah barat ketebalannya mencapai 300 m. Formasi ini diendapkan pada kala Miosen Tengah pada lingkungan laut dangkal yang berhubungan dengan laut terbuka.

(13)

13 7. Formasi Wonocolo

Formasi Wonocolo tersusun oleh napal dan batulempung tidak berlapis. Bagian bawahnya tersusun oleh batugamping pasiran dan batupasir gampingan, yang secara umum menunjukkan gejala pengendapan transgresif. Total ketebalan dari formasi ini lebih kurang 500 m, menunjukkan peningkatan ketebalan ke arah selatan. Pengendapannya terjadi pada Miosen Tengah – Atas, pada lingkungan paparan luar.

8. Formasi Ledok

Formasi Ledok mempunyai lokasi tipe di kawasan antiklin Ledok, 10 km di utara kota Cepu. Penyusun utamanya terdiri atas perselang-selingan antara batupasir glaukonitik dengan kalkarenit yang berlempeng-lempeng, dengan beberapa sisipan napal. Batupasirnya berwarna kehijauan hingga kecoklatan, berbutir halus hingga sedang, dengan komposisi mineral kuarsa, fragmen kalsit serta glaukonit yang secara keseluruhan terpilah sedang. Ketebalan setiap perlapisan berkisar antara 10 hingga 60 cm. Bagian bawah berbutir lebih halus dari bagian atas. Ketebalan Formasi Ledok secara keseluruhan mencapai 230 m di lokasi tipenya. Ke arah utara, Formasi ini berangsur-angsur berubah menjadi Formasi Paciran.

9. Formasi Mundu

Formasi Mundu memiliki ciri litologi yang khas, tersusun oleh napal masif berwarna abu-abu muda hingga putih kekuning-kuningan, dengan kandungan foraminifera plangtonik yang sangat melimpah. Disamping itu juga didapatkan kandungan glaukonit tetapi hanya dalam jumlah sedikit. Di beberapa tempat, bagian atas dari formasi ini secara berangsur berubah menjadi batugamping pasiran. Ketebalan dari formasi ini cenderung bertambah ke arah selatan hingga mencapai 700 m. Formasi Mundu terbentuk sebagai hasil pengendapan laut dalam yang terjadi pada zona N17 – N20 (Miosen Akhir – Pliosen).

(14)

14 10. Formasi Selorejo

Satuan ini tersusun oleh perselang-selingan antara foraminiferal grainstone / packstone yang sebagian bersifat glaukonitan dengan batugamping napalan hingga batugamping pasiran, dengan lokasi tipe di desa Selorejo dekat Cepu. Ketebalan satuan ini mencapai 100 m. Selorejo kadang dianggap sebagai anggota dari Formasi Mundu, dan merupakan reservoir gas yang terdapat tepat di bawah kota Cepu (Balun reservoir). Lingkungan sedimentasi diduga terjadi di laut dalam, dimana mekanisme arus turbid dengan penampian oleh arus dasar (bottom current) yang membuat pemilahan test foraminiferanya teronggok dengan tanpa matriks dalam bentuk grainstone dan packestones, dengan porositas bisa mencapai 50%, baik dalam bentuk vugs, inter maupun intra particles.

11. Formasi Lidah

Formasi ini tersusun oleh batulempung yang berwarna kebiruan dan napal berlapis yang diselingi oleh batupasir dan lensa-lensa fossiliferous grainstone/rudstone (coquina). Pada bagian bawah masih merupakan endapan laut, tercirikan akan kandungan Pseudorotalia sp. dan Asterorotalia sp. yang melimpah. Kumpulan fosil ini mencirikan pengendapan di dasar laut pada paparan tengah hingga luar. Di atas satuan ini batuannya menunjukkan produk pengendapan dari lingkungan yang semakin mendangkal. Akhirnya bagian teratas berupa lempung hasil pengendapan air tawar.

12. Formasi Paciran

Formasi Paciran tersusun oleh batugamping masif, umumnya merupakan batugamping terumbu yang lapuk dan membentuk permukaan yang khas akibat pelarutan (karren surface). Gejala permukaan menunjukkan bahwa batuan penyusunnya telah berubah menjadi kapur (chalky limestone). Formasi ini tersebar terutama di bagian utara dari Zona Rembang, dengan masa pembentukan dari Pliosen hingga Awal Pleistosen. Di beberapa tempat batuan ini telah terbentuk pada umur yang lebih tua, semasa dengan pembentukan

(15)

15

Formasi Ledok dan Wonocolo di bagian utara, serta semasa dengan Formasi Mundu dan Lidah di selatan.

b. Struktur Geologi Perbukitan Rembang

Zona Rembang merupakan bagian dari Cekungan Jawa Timur Utara (Northeast Java Basin), yang berkembang di ujung tenggara Sundaland. Sundaland merupakan massa daratan yang terbentuk oleh gabungan berbagai mikrokontinen melalui sejarah subduksi dan kolisi yang panjang semenjak Mesozoikum (Hall & Morley, 2004). Cekungan Jawa Timur Utara diduga terbentuk pada salah satu lempeng mikrokontinen, yaitu Lempeng Argo, yang menyusun Jawa Timur hingga Sulawesi Barat (Hall, 2012; Husein & Nukman, 2015). Cekungan ini terbentuk pada Kala Eosen, sebagai cekungan belakang busur (back-arc basin) pada tataan tepian benua aktif (active margin) (Hall & Morley, 2004), meskipun Husein & Nukman (2015) menginterpretasikan bila pembentukan cekungan ini lebih kepada tipe tepian benua pasif (passive margin). Sedimen awal pengisi cekungan adalah bersumber dari daratan (terrigenous sediments) pada saat peregangan cekungan (basin rifting), sebelum kemudian berubah menjadi lingkungan laut pada akhir Eosen. Struktur pengontrol peregangan berarah timurlaut-baratdaya, yang mencerminkan pola struktur batuan dasar (Hamilton, 1979) dan pola regangan Selat Makassar (Hall, 2002).

Novian dkk. (2014) mengusulkan hipotesis bahwa evolusi Cekungan Jawa Timur Utara sangat dipengaruhi oleh dinamika subduksi Lempeng Samudera Hindia. Inisiasi penunjaman Kenozoikum di selatan Sundaland dianggap memicu pembentukan Cekungan Jawa Timur Utara. Di akhir Miosen Awal, patahnya slab lempeng samudera berumur Albian-Turonian dan masuknya slab berumur Oxfordian-Albian mampu menjungkitkan Pulau Jawa, termasuk menghasilkan peristiwa orogenesa Tuban (Tuban Event) di Cekungan Jawa Timur Utara. Berkembangnya volkanisme Jawa Modern dari subduksi slab Oxfordian-Albian serta gaya shearing akibat tarikan slab tersebut di sepanjang Palung Jawa, mampu menyebabkan inversi Cekungan Jawa Timur Utara dalam peristiwa Rembang (Rembang Event) pada Pliosen Tengah.

(16)

16

Antiklinorium Rembang dicirikan oleh berbagai antiklin yang

bertumpang-tindih (superimposed), mengindikasikan kompleksitas

deformasi yang dialami oleh daerah tersebut. Arah umum sumbu antiklin bervariasi dari timur – barat hingga utara-baratlaut – selatan-tenggara. Demikian pula dengan arah sesar naiknya, yang menerus hingga ke batuan dasar, mengindikasikan tipe struktural thick-skinned tectonic (Musliki & Suratman, 1996). Data stratigrafi regional mengindikasikan adanya 2 fase ketidakselarasan, pertama terjadi setelah Pliosen, dan yang kedua terjadi pada akhir Pleistosen. Setiap ketidakselarasan diikuti oleh deformasi struktural, dimana fase pertama membentuk perlipatan berarah baratlaut-tenggara dan timur-barat, sedangkan fase kedua hanya membentuk antiklinorium berarah timur-barat saja (Soetantri et al., 1973).

Soeparyono & Lennox (1989) mengusulkan dua jenis mekanisme struktural pembentuk lipatan yang berkembang di Zona Rembang, yaitu penyesaran geser (wrench faulting) dan penyesaran anjak (thrust faulting). Usulan mereka sejalan dengan beberapa model tektonik yang pernah diterapkan pada Cekungan Jawa Timur Utara, antara lain sistem penyesaran geser (Situmorang et al., 1976), intrusi lempung diapirik (Soetarso & Suyitno, 1976), dan sesar anjak pada bidang pengelupasan (Lowell, 1979).

Dalam melakukan analisis pembentukan lipatan, Soeparyono & Lennox (1989) membagi Zona Rembang ke dalam 3 blok. Pembagian tersebut berdasarkan pada orientasi lipatan dan sesar yang berkembang. Blok pertama disebut sebagai Blok Plantungan, menempati Antiklinorium Rembang Utara, dimana batuan yang lebih tua dapat terangkat ke permukaan, mengindikasikan adanya pengangkatan batuan dasar. Blok kedua disebut sebagai Blok Nglobo-Semanggi, meliputi Antiklinorium Rembang Selatan bagian barat, dengan ciri sumbu lipatan berarah relatif timur-barat, dengan mekanisme pembentukannya dikontrol oleh penyesaran geser sinistral pada batuan dasar yang berarah timurlaut-baratdaya. Blok ketiga dinamakan Blok Kawengan, yang mencakup Antiklinorium Rembang Selatan bagian timur, dimana sebaran lipatannya memanjang dengan sumbu berarah relatif baratlaut-tenggara, dengan mekanisme pembentukannya dikendalikan oleh sesar anjak yang

(17)

17

memanjang searah sumbu lipatan. Blok Nglobo-Semanggi dan Blok Kawengan dibatasi oleh sesar geser sinistral berarah timurlaut-baratdaya, yang juga dianggap sebagai pembatas jenis hidrokarbon yang berkembang di kawasan tersebut (Soeparyono & Lennox, 1989).

Hampir semua antiklin di Zona Rembang memiliki sayap asimetris yang relatif landai, dan penunjaman sumbu (plunge) yang juga landai (Soetantri et al., 1973). Sebagian antiklin dibatasi oleh sesar yang sejajar (longitudinal) dengan sumbu lipatan, yang kadang merupakan jenis sesar anjak dan naik. Sesar naik dapat diidentifikasi di bawah permukaan dengan pengeboran dan sesimik, dimana mereka akan menghilang di kedalaman tertentu, umumnya pada Formasi Tawun sebagai bidang pengelupasan. Sesar anjak sekunder kadang berkembang di bawah permukaan, namun hanya menjadi blind faults yang tidak sampai memotong permukaan, Di permukaan, sesar naik hanya diduga berdasarkan sayap lipatan yang bersudut besar saja. Bila ada sesar yang memotong sumbu lipatan, umumnya adalah sesar normal, yang hanya berkembang di bagian atas lipatan.

Secara regional, umumnya pembentukan Antiklinorium Rembang ini dikaitkan dengan aktifitas sesar regional Rembang-Madura-Kangean-Sakala (RMKS) yang merupakan sesar sinistral (Satyana et al., 2004). Namun Husein dkk. (2015) menunjukkan hal yang berbeda, dimana patahan-patahan basement ENE-WSW yang paling berperan, yang cenderung bersifat lokal, hanya berada di Zona Rembang saja, karena pola perlipatan en echelon tidak berkembang ke arah timur. Pola perlipatan di Pulau Madura hingga Sakala lebih cenderung menyerupai Antiklinorium Kendeng, yaitu relatif paralel tanpa ada susunan en echelon.

LOKASI PENGAMATAN:

3. Singkapan Formasi Ngrayong, Polaman 4. Antiklin Braholo

(18)

18

IV. ZONA PESISIR UTARA

Zona Pesisir Utara di bagian barat Jawa Timur memiliki karakter fisiografi yang unik, ditandai dengan kehadiran gunungapi Muria dan Lasem, yang diduga merupakan gunungapi belakang busur (back-arc volcanism). Dataran pesisir ini dibentuk terutama oleh sedimentasi Sungai Serang dan Sungai Tuntang (Gambar 2). Sungai Serang mengerosi perbukitan Zona Kendeng hingga menjulur jauh hulunya ke lereng timur G. Merbabu. Sungai Serang juga menerima pasokan sedimen dari Sungai Lusi - keduanya bertemu di sebelah barat Purwodadi - yang selain mengerosi Perbukitan Kendeng turut pula membiku Perbukitan Rembang. Sungai Tuntang memiliki luasan cekungan pengaliran yang lebih kecil dibandingkan Serang, ianya menggerus bebatuan Perbukitan Kendeng bagian barat dan berhulu di Rawa Pening, sebuah genangan alamiah yang mengumpulkan air dari G. Telomoyo.

Kedua sungai tersebut tercatat menutup selat laut yang besar, yang dikenal sebagai Selat Muria. Selat Muria ini memisahkan Pulau Muria, sebagai sebuah pulau gunungapi, dengan daratan utama Jawa. Berdasarkan dugaan atas catatan sejarah

Gambar 5. Perubahan morfologi

pesisir utara Jawa Timur bagian barat, akibat laju sedimentasi Delta Serang dan Delta Tuntang (Husein dkk., 2016).

(19)

19

(Soekmono, 1967), garis pantai pesisir utara Jawa Tengah dahulu pada abad ke-8 masih menjorok ke arah Purwodadi, dimana pusat Kerajaan Medang Kamulan berada. Selanjutnya pada abad ke-16 di era keemasan Kesultanan Demak, garis pantai diduga telah bergeser ke kota Demak saat ini (Gambar 5). Sehingga, pergerakan majunya garis pantai sejauh 30 km terjadi dalam kurun waktu sekitar 800 tahun, dengan kecepatan sedimentasi rerata 40 m/tahun. Hingga saat ini muara kedua sungai tersebut masih aktif dalam sedimentasi yang mendorong maju garis pesisir antara Jepara dan Semarang, dicirikan tipe morfologi delta bird's foot (Husein dkk., 2016). Di sisi lain, jejak Selat Muria yang mendangkal dan berubah menjadi daratan aluvial tersebut juga membentuk aliran Sungai Juwana, yang mengalir ke arah timurlaut melintasi Pati dan membentuk delta tipe cuspate di sebelah barat Rembang (Husein dkk., 2016).

LOKASI PENGAMATAN:

(20)

20

V. DESKRIPSI LOKASI PENGAMATAN

1. Rembesan Gas Mrapen (Manggarmas, Godong, Grobogan)

Stopsite pertama ini bertujuan untuk mengamati rembesan gas di Desa Manggarmas. Gas yang muncul di permukaan tersebut berkomposisi gas metana

(CH4), merupakan manifestasi dari terbentuknya gas biogenik di bawah

permukaan Bumi, dimana organisme mikro pengurai unsur organik bekerja di

kedalaman sekitar 1 km dan temperatur 70-80 oC. Material organiknya diduga

dari Formasi Wonocolo, yang kemudian meneruskan gasnya ke reservoar Formasi Selorejo dan Ledok. Dekatnya formasi tersebut dengan permukaan dan banyaknya struktur yang memotong reservoar, menyebabkan gas menjadi muncul ke permukaan. Rembesan gas juga muncul di sebuah kolam berjarak 30 m dari titik Mrapen, yang dinamakan sebagai Umbul Dudo, dan mengandung unsur klorida 62 ppm, sulfat 400 ppm, CO2 2000 ppm, dan H2S 1,6 ppm.

Gambar 6. Rembesan gas Mrapen yang dimanfaatkan untuk kegiatan keagamaan.

2. Gunung Lumpur Bledug Kuwu (Kradenan, Grobogan)

Stopsite kedua terletak di Desa Kuwu, Kradenan, Grobogan. Yang dikunjungi adalah fenomena semburan lumpur alamiah, yaitu Bledug Kuwu, yang termasuk dalam Kradenan Mud Volcano Complex (KMVK). KMVK secara fisiografis terletak di Dataran Randublatung (Novian dkk., 2012). Lokasi ini merupakan satu dari beberapa gunung lumpur yang ada di Zona Kendeng dan Zona Rembang. Gunung lumpur di Bledug Kuwu masih aktif hingga saat ini, hal itu dibuktikan dengan masih adanya semburan lumpur dan material lainnya yang dikeluarkan secara periodik. Material yang dikeluarkan berupa lumpur, air, gas, dan batuan. Batuan yang terbawa lumpur di lokasi ini beraneka macam, atara lain batuan metamorf, batugamping, batupasir, dan batulanau. Gas yang

(21)

21

muncul di sini sagat bervariasi, mulai dari gas biogenik, gas asosiasi minyak, sampai dengan gas kondensat kering (Burhannudinnur dkk., 2012).

Gambar 7. (kiri) Erupsi mud volcano Bledug Kuwu; (kanan) Gryphon dan pond yang mulai

mengering membentuk mud crack.

Gunung lumpur di lokasi ini membentuk morfologi khas berupa pie, salsa kecil, dan pool (Burhannudinnur dkk., 2012), dimana Bledug Kuwu merupakan suatu pie besar dengan diameter 60 m. Di dalam pie utama tersebut terdapat pie-pie kecil yang membentuk suatu kelurusan. Selain itu di Kuwu juga nampak beberapa gryphon dengan pool diantaranya. Hal itu dimungkinkan karena pie-pie kecil tersebut muncul mengikuti pola rekahan yang ada. Dari hasil analisa kimia yang dilakukan Burhannudinnur dkk. (2012) diperoleh data bahwa pH air di Bleduk Kuwu adalah 6,5 – 7 dengan suhu mencapai 30° C - 32°C. Gunung lumpur di kompleks ini mempunyai kandungan Na, Cl, dan Mg yang lebih tinggi dibandingkan dengan beberapa gunung lumpur yang berada di selatan dari kompleks ini. Perbedaan tersebut dikarenakan perbedaan material sumber dari gunung lumpurnya. Komposisi mineral penyusun gunung lumpur ini terdiri dari smektit, kaolinit, kuarsa, dan feldspar (Burhannudinnur, dkk., 2012).

Berdasarkan analisis foraminifera kecil dan foraminifera besar yang dilakukan Novian dkk. (2012) diketahui bahwa sumber material lumpur tertua berada pada umur N7 – N9 (Miosen Awal – Miosen Tengah). Dari data tersebut diperoleh kesimpulan bahwa sumber lumpur berasal dari bagian atas Formasi Tuban. Material dari formasi ini dapat muncul ke permukaan disebabkan oleh dua faktor, yang pertama yaitu dikarenakan tekanan dari tubuh lumpur itu sendiri yang muncul karena tekanan pembebanan sedimentasi (overburden pressure) yang didapat saat pengendapan dan tekanan yang diakibatkan oleh

(22)

22

sesar – sesar naik yang memotong daerah ini setelah mengalami inversi. Hal itulah yang menjelaskan mengapa batuan metamorf dapat terbawa oleh semburan gunung lumpur di sini.

3. Sikuen Transgresif Formasi Ngrayong (Polaman, Sendangharjo, Blora)

Stopsite ketiga terletak di Polaman, Sendangharjo, Blora. Singkapan berupa Formasi Ngrayong dengan bagian bawah singkapan tersusun oleh batulempung yang berubah ke arah atas menjadi batulempung berseling dengan batupasir dan shale. Batupasir pada perselingan menunjukkan penurunan ketebalan ke arah atas. Batulempung mempunyai warna abu-abu kehijauan. Makin ke atas batulempung berubah menjadi batupasir dan dijumpai gastropoda dan pelecypoda dengan orientasi yang tidak jelas yang diinterpretasikan fosil tersebut in situ (biocoenose). Amber dan batubara sering dijumpai pada batulempung dan batupasir. Ke arah atas secara gradasional batuan berubah menjadi batugamping Cycloclypeus. Perubahan batuan pada Formasi Ngrayong ini menunjukkan perubahan lingkungan dari daerah transisi menuju laut dangkal yang terbuka.

Gambar 8. (a) Singkapan pada bekas bukaan tambang di Polaman (kamera menghadap timur),

tebing utara tersusun atas batulempung heterolitik, lantai bukaan tambang tersusun atas batupasir kuarsa, dan tebing selatan tersusun oleh batugamping rudstones. (b) Singkapan struktur gelembur gelombang (ripple marks) pada batulempung heterolitik, panah menunjukkan arah arus purba (paleocurrent) bolak-balik yang ada di lingkungan pasang-surut.

Batupasir mempunyai porositas yang bagus sehingga baik untuk batuan reservoar. Shale dapat bertindak sebagai source rock sementara batugamping Cycloclypeus dapat bertindak sebagai seal. Batupasir mempunyai porositas yang

(23)

23

bagus sehingga baik untuk batuan reservoar. Shale dapat bertindak sebagai source rock sementara batugamping Cycloclypeus dapat bertindak sebagai seal.

Gambar 9. Diagram singkapan Polaman.

4. Antiklin Braholo (Sendangharjo, Blora)

Stopsite keempat terletak di lembah Sungai Braholo, Sendangharjo, Blora. Di stopsite ini dijumpain singkapan batuan setebal kurang lebih 31 m, dari bawah ke atas tersusun oleh perselang-selingan rudstone, kemudian berubah menjadi batupasir yang tidak karbonatan, semakin ke atas batupasir. Dijumpai singkapan pada bagian hulu sungai dengan urutan batuan yang tersingkap setebal 7 m berupa foraminiferal rudstone yang berubah menjadi batupasir, batulanau dan ditutup oleh batupasir kembali. Singkapan ini diperkirakan masuk ke dalam Formasi Tawun.

Di atas Formasi Tawun secara gradasional terendapkan Formasi Ngrayong yang didominasi oleh batupasir kuarsa. Akibat lingkungan pengendapan yang sangat dangkal maka pada batas Formasi Tawun-Ngrayong ini diduga pernah mengalami fase darat sehingga terjadi diagenesis pada batuan-batuan di batas antara kedua formasi ini. Diagenesis terlihat jelas pada batuan karbonat yang menghasilkan batuan karbonat berpori bagus dan yang mengalami sementasi. Beberapa sesar juga dijumpai memotong singkapan batuan pada daerah ini. Petroleum system yang bisa diamati berupa batuan induk, reservoir, seal, dan jalur migrasi.

(24)

24 Gambar 10. (a) Singkapan di Kali Braholo yang menunjukkan perubahan dari batugamping menjadi

batuan silisiklastik dan menjadi batuan mix-silisiklastik sampai batugamping di bagian atasnya (kamera menghadap barat daya). (b) Sumbu antiklin berarah relatif barat – timur di Kali Braholo (kamera menghadap barat).

Gambar 11. Diagram singkapan Braholo.

Husein dkk. (2015) melakukan interpretasi model elevasi digital serta pengukuran kedudukan batuan di lembah Sungai Braholo, Blora, mengindikasikan perkembangan lipatan konikal (non-silindris, dimana sumbu lipatannya tidak linear dan ujung dari sumbu lipatannya akan menunjam) Antiklin Braholo yang

(25)

25

menunjam ke arah WSW (Gambar 12). Formasi Tawun tersingkap sebagai inti lipatan, yang memanjang berarah E-W hingga ke Desa Plantungan, dimana Lapangan Plantungan berada. Kemiringan perlapisan batugamping Tawun relatif landai, disebabkan posisinya yang menempati bagian inti antiklin. Di bagian tengah lipatan, sumbu antiklin membelok ke arah WSW, sebelum kemudian menunjam ke arah barat di ujung baratnya (Gambar 12).

Gambar 12. Peta struktur geologi, orientasi sumbu Antiklin Braholo mengalami pelengkungan

(bending) yang diakomodir oleh sesar geser sinistral berarah timurlaut-baratdaya.

Formasi Ngrayong tersebar mengikuti orientasi sumbu perlipatan. Formasi Ngrayong menempati kemiringan yang relatif besar di bagian sayap antiklin, rerata

25o baik ke sayap utara maupun sayap selatan. Meski demikian, kemiringan

perlapisan hingga >35o juga dapat terjadi di bagian sayap lipatan, terutama pada

perlapisan batupasir dan batugamping yang menyusun fasies batupasir-grainstone. Nilai kemiringan perlapisan yang berbeda-beda tersebut mengindikasikan perlipatan terbentuk sebagai lipatan kelas 3 di dalam klasifikasi Ramsay (Ramsay, 1967). Hal ini lazim terjadi bila beberapa lapisan yang kompeten (batupasir dan batugamping) diselingi oleh lapisan yang tidak kompeten (batulempung) mengalami perlipatan aktif (buckling), dimana lapisan yang kompeten akan lebih rapat di bagian sayap dan rengang di bagian puncak, yang selanjutnya memicu lapisan tidak kompeten untuk berkumpul di bagian puncak antiklin (Price & Cosgrove, 1990).

1,5 km N Ngrayong Wonocolo Ledok Wonocolo Tawun

: batas sebaran unit formasi : sumbu antiklin

: sesar geser sinistral Legenda:

(26)

26

Husein dkk. (2015) melakukan 745 pengukuran pada struktur rapuh (brittle) pada Antiklin Braholo, mencakup struktur kekar dan patahan. Populasi data tersebut kemudian dipisahkan secara iterasi dan dikelompokkan menjadi dua, kelompok pertama memberikan hasil gaya tektonik transtensional dengan kompresi dari arah NW-SE dan regangan ke arah NE-SW, sedangkan kelompok kedua memberikan hasil gaya tektonik ekstensional dengan regangan ke arah NW-SE (Gambar 13). Dengan dipandu oleh adanya data perpotongan dua striasi pada satu bidang sesar, didapatkan bila gaya kompresi NW-SE bekerja terlebih dahulu dan gaya regangan NW-SE terjadi setelahnya. Melihat hubungan spasial kedua gaya tersebut, diinterpretasikan bila gaya kompresi NW-SE merupakan gaya pembentuk lipatan Braholo, sedangkan gaya regangan NW-SE merupakan gaya rilis pasca kompresi.

Gambar 13. (a) Hasil analisis paleostress fase tektonik pertama, dengan jumlah data 310

pengukuran. (b) Analisis paleostress fase tektonik kedua, dengan jumlah data 435 data. (c) Reaktifasi sesar di puncak Antiklin Braholo, terekam sebagai superimposed slickenlines pada grainstone Tawun. Kedudukan bidang sesar adalah N320oE/74. Pergeseran pertama diindikasikan oleh striasi berwarna hijau dengan rake 33oNW, berupa patahan normal sinistral yang dipicu oleh gaya kompresi tektonis berarah WNW-ESE. Pergeseran kedua diindikasikan oleh striasi berwarna merah dengan rake 59oSE, merupakan patahan normal dekstral yang disebabkan oleh gaya regangan berarah NW-SE (Husein dkk., 2015).

Kedua gaya tersebut di atas diduga bekerja setelah sedimentasi Formasi Selorejo, yaitu pada akhir Pliosen saat sedimentasi Formasi Lidah. Indikasi ini didukung oleh litostratigrafi Formasi Lidah yang menunjukkan telah adanya pengangkatan seiring sedimentasi formasi tersebut (syn-sedimentary tectonic) (Susilohadi, 1995).

Dari analisis regional pada model elevasi digital, diketahui pula bahwa lipatan-lipatan yang berkembang di Zona Rembang memiliki orientasi en echelon berarah ENE-WSW (Gambar 14). Terhadap gaya tektonik regional Pulau Jawa yang

(27)

27

relatif berarah utara-selatan, orientasi antiklinorium Rembang membentuk sudut (α) yang besar, sekitar 70o. Kondisi ini mengindikasikan bila Antiklinorium

Rembang tersebut berkembang pada sesar batuan dasar (basement fault) berarah ENE-WSW dengan pergeseran horisontal yang relatif kecil (< 5 km) (Cramez & Letouzey, 2001).

Gambar 14. [kiri] Distribusi lipatan di Zona Rembang (garis berwarna merah) dan hubungannya

dengan patahan basement. [kanan] Model orientasi gaya tektonik, dimana gaya kompresi σ1 regional mengalami reorientasi dari arah relatif utara-selatan menjadi berarah relatif baratlaut-tenggara akibat kedudukan patahan yang menyudut besar terhadap gaya tektonik utama (Husein et al., 2015).

Lipatan konikal yang berkembang akibat sesar geser pada batuan dasar umumnya tidak memiliki orientasi sumbu yang tegaklurus terhadap gaya tektonik

σ1 regional, karena kecenderungan lipatan konikal untuk mengorientasikan

sumbunya sejajar dengan patahan (Cramez & Letouzey, 2001). Akibatnya gaya tektonik σ1 lokal akan mengalami modifikasi arah, berupaya tegak lurus terhadap

sesar basement. Kondisi ini terekam di Antiklin Braholo, dimana gaya kompresi pembentuk lipatan yang berarah NW-SE memiliki orientasi relatif tegak lurus terhadap sesar basement (Gambar 14).

Karena lipatan konikal memiliki kecenderungan untuk sejajar dengan patahan basement, maka lazim pula berkembang sesar geser pada tubuh lipatan yang orientasinya menyudut lancip terhadap patahan (Cramez & Letouzey, 2001), dimana sesar geser tersebut berfungsi untuk mengakomodasi perpanjangan yang

dialami oleh lipatan ke arah gaya tektonik σ3 regional. Pada Antiklinorium Rembang

banyak berkembang sesar-sesar geser sinistral NE-SW yang memotong lipatan seperti demikian, termasuk yang melewati Sungai Braholo (Gambar 12).

Blora Rembang Pati Tuban Jepara Demak Gresik Surabaya Mojokerto Lamongan Bojonegoro Cepu Randublatung Purwodadi Sragen Ngawi Basement faults (?) s s s s 3 1 1 3

s

1regional

(28)

28

5. Analog Sedimentasi Formasi Ngrayong (Hutan Mangrove Banggi, Rembang)

Stopsite terakhir dalam fieldtrip ini adalah Hutang Mangrove Banggi, Rembang. Di lokasi ini para peserta EGR dapat mengamati model lingkungan sedimentasi modern pesisir utara Jawa saat ini, sebagai analog bagi rekaman stratigrafi di Cekungan Rembang, terutama pada Formasi Ngrayong.

Gambar 15. Citra Google yang menunjukkan distribusi terumbu karang di perairan Rembang.

Lingkaran putih bergaris merah adalah lokasi stopsite 9.

Gambar 16. Citra Google yang menunjukkan sebaran lingkungan sedimentasi modern pesisir

(29)

29

Lingkungan estuarina dengan model sedimentasi paparan lumpur (mud flat) berada dalam jarak yang dekat dengan lingkungan delta untuk model sedimentasi batupasir. Tidak berapa jauh di lepas garis pantai (~800 m) terdapat terumbu karang sebagai model sedimentasi karbonat. Sekuen batuan sebagaimana Formasi Ngrayong di singkapan Polaman dapat diandaikan terbentuk bila ketiga lingkungan sedimentasi tersebut (mud flat, delta, terumbu) berada dalam sistem transgresif, dimana muka air laut mengalami kenaikan dan menggeser lingkungan-lingkungan sedimentasi tersebut secara lateral dan gradual.

(30)

30

Daftar Pustaka

Burhannudinnur, M., D. Noeradi, B. Sapiie, dan D. Abdassah (2012) Karakter Mud Volcano di Jawa Timur, Proceedings the 41st IAGI Annual Convention and Exhibition, Yogyakarta, EG-49, p. 300 – 304.

Burhannudinnur, M. (2012) Komplek Mud Volcano Kradenan. Proceedings the 41st IAGI Annual Convention and Exhibition, Yogyakarta, EG-49, p. 305 – 309. Cramez, C., and J. Letouzey (2001) Basic Principles in Tectonics. Universidade

Fernando Pessoa, Portugal.

Hall, R. (2012) Late Jurassic - Cenozoic reconstruction of the Indonesian region and the Indian Ocean. Tectonophysics, 570-571, pp. 1-41.

Hall, R., and C.K. Morley (2004). Sundaland Basins. In P. Clift, P. Wang, W. Kuhnt, & H. (eds.) Continent-Ocean Interactions within the East Asian Marginal Seas. Geophysical Monograph, American Geophysical Union, 149, pp. 55-85.

Hamilton, W. (1979) Tectonics of the Indonesian Region, USGS Professional Paper, vol. 1078, 345 p.

Husein, S., A.D. Titisari, Y.R. Freski, dan P.P. Utama (2016) Buku Panduan Ekskursi Geologi Regional 2016, Departemen Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, 63 hal.

Husein, S. (2015) Petroleum and Regional Geology of Northeast Java Basin, Indonesia - Excursion Guide Book for Universiti Teknologi Petronas Malaysia. Department of Geological Engineering Universitas Gadjah Mada, 21 p.

Husein, S., K. Kakda, dan H.F.N. Aditya (2015) Mekanisme Perlipatan En-Echelon di Antiklinorium Rembang Utara, Prosiding Seminar Nasional Kebumian ke-8 Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, GEO41, pp 224-234

Husein, S. and M. Nukman (2015) Rekonstruksi Tektonik Mikrokontinen Pegunungan Selatan Jawa Timur: sebuah hipotesis berdasarkan analisis kemagnetan purba. Prosiding Seminar Nasional Kebumian ke-8 Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, GEO42, p 235-248.

Lowell, J.D. (1980) Wrench versus compressional structures with application to Southeast Asia. Southeast Asia Petroleum Exploration Society Proceedings, 5, pp. 63-70.

Pannekoek, A.J. (1949) Outline of the Geomorphology of Java. Reprint from Tijdschriftvan Het Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap, vol. LXVI part 3, E.J. Brill, Leiden, pp. 270-325.

Pringgoprawiro, H. (1983) Biostratigrafi dan Paleogeografi Cekungan Jawa Timur Utara, Suatu Pendekatan Baru. Desertasi Doktor, Institut Teknologi Bandung.

(31)

31

Novian, M.I., P.P. Utama, dan S. Husein (2013) Penentuan Batuan Sumber Gununglumpur di Sekitar Purwodadi Berdasarkan Kandungan Fosil Foraminifera. Prosiding Seminar Nasional Kebumian ke-6, Jurusan Teknik Geologi FT UGM, Yogyakarta, pp. 519-534.

Novian, M.I., S. Husein, R.N. Saputra (2014) Buku Panduan Ekskursi Geologi Regional 2014, Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, 54 hal.

Price, N.J., and J.W. Cosgrove (1990) Analysis of Geological Structures. Cambridge University Press., 246 p.

Ramsay, J. G. (1967) Folding and Fracturing of Rocks. New York: McGraw-Hill

Satyana, A.H., E. Erwanto, dan C. Prasetyadi (2004) Rembang-Madura-Kangean-Sakala (RMKS) Fault Zone, East Java Basin : the origin and nature of a geologic border. Proceeding the 33rd Annual Convention & Exhibition of

Indonesian Association of Geologist.

Situmorang, B., T.E. Siswoyo, and F. Paltrinieri (1976) Wrench fault tectonics and aspects of hydrocarbon accumulation in Java. Proceeding of 5th Annual

Convention and Exhibition of Indonesian Petroleum Association, pp. 53-61. Soekmono, R. (1967) A Geographical Reconstruction of Northeastern Central Java

and the Location of Medang. Indonesia, no. 4, Southeast Asia Program Publications at Cornell University, pp. 1-7.

Soetantri, B., L. Samuel, dan G.A.S. Nayoan (1973) The Geology of the Oilfields in North East Java. Proceeding of 2nd Annual Convention and Exhibition of

Indonesian Petroleum Association, pp. 149-175.

Soetarso, B., and P. Suyitno (1976) The diapiric structure and relation on the occurrence of hydrocarbon in northeast Java basin. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Ahli Geologi Indonesia ke-19.

Van Bemmelen, R.W. (1949) The Geology of Indonesia, vol. I.A. General Geology. Martinus Nyhoff, The Hague.

Referensi

Dokumen terkait

Konsistensi Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 14/2/PBI/2012 dalam ketentuan batas minimum usia calon pemegang kartu kredit terhadap KUHPerdata dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun

Kajian ini mendapati tidak terdapat hubungan yang signifikan antara gaya pengajaran guru dengan gejala ponteng sekolah dalam kalangan pelajar.. Kajian ini selari

Gedung Stasiun Kereta Api adalah gedung untuk operasional kereta api yang terdiri dari gedung untuk kegiatan pokok, gedung untuk kegiatan penunjang dan gedung untuk kegiatan

(b) Faktor pendukungan yang diberikan institusi maupun pihak lain, yaitu: (1) mayoritas mahasiswa PGRA telah memiliki laptop atau komputer yang mencapai 90,90% atau 40

Jogjakarta sebagai kota tuj uan wisata, akan merangsang tumbuhnya usaha­ usaha industri kerajinan untuk wisatawan (baik itu dari dalam maupun dari Iuar negri) yang

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah ada Hubungan Perilaku Caring Perawat Terhadap Tingkat Kepuasan Pasien Rawat Inap Pengguna Jasa BPJS di Rumah Sakit

merupakan bakteri patogen invasif yang berbentuk batang, nonmotil, bersifat Gram positif dan anaerob serta mempunyai spora yang relatif stabil terhadap panas.. Bakteri

Semua informasi yang berhubungan dengan produk ini dan / atau saran untuk penanganan dan penggunaan yang tercantum disini adalah benar dan dapat dipercaya. .Akan tetapi Akzo