Disiarkan Secara Langsung Melalui Media Televisi
Pemanfaatan media tekonologi komunikasi dan informasi di dalam dunia hukum memperluas pemaknaan asas sidang pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum yang disiarkan secara langsung melalui media televisi dalam sistem peradilan pidana. Hal tersebut tentu saja berpotensi menimbulkan akibat positif dan negatif baik bagi para aktor penegak hukum, institusi maupun masyarakat itu sendiri.
Sebagai suatu sistem, sistem peradilan pidana memiliki ciri tertentu yang membedakan dengan sistem yang lain. Ciri-ciri tersebut adalah;
bersifat terbuka (open system), memiliki tujuan, transformasi nilai,
mekanisme kontrol. Bersifat terbuka (open system) maksudnya sistem peradilan pidana dalam gerakannya akan selalu mengalami interface (interaksi, interkoneksi dan interdependensi) dengan lingkungannya dalam peringkat-peringkat masyarakat seperti ekonomi, politik, pendidikan dan teknologi serta sub-sub sistem peradilan pidana itu sendiri (the sub system of criminal justice system). Memiliki tujuan jangka pendek, tujuan jangka menengah dan tujuan jangka panjang, tujuan jangka pendek sistem peradilan pidana adalah diharapkan pelaku menjadi sadar akan perbuatannya sehingga tidak melakukan kejahatan lagi. Demikian pula orang lain tidak melakukan kejahatan sehngga tingkat kejahatan menjadi berkurang. Tujuan jangka menengah adalah terwujudnya suasana tertib, aman dan damai di dalam masyarakat, sedangkan tujuan jangka panjang sistem peradilan pidana adalah terciptanya tingkat kesejahteraan yang menyeluruh di kalangan masyarakat. Ada juga yang merumuskan tujuan sistem peradilan pidana dalam rangkat untuk mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan bersalah telah dipidana, dan mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya (Mahrus Ali, 2007:218).
Kemudian maksud transformasi nilai dalam arti sistem peradilan pidana adalah dalam operasi kerjanya pada setiap komponen-komponennya harus menyertakan nilai-nilai dalam setiap tindakan dan kebijakan yang dilakukan, seperti nilai keadilan, nilai kebenaran serta nilai kepatutan dan kejujuran. Berikutnya adalah adanya mekanisme kontrol, yaitu menjalankan pengawasan sebagai respon terhadap penanggulangan kejahatan. Sistem peradilan pidana menjadi perangkat hukum yang dapat digunakan dalam menanggulangi berbagai bentuk kriminalitas sebagai bagian dari upaya perlindungan masyarakat. Karakteristik demikian ini melekat pada fungsi sistem peradilan pidana sebagai sarana masyarakat untuk menahan dan mengendalikan kejahatan pada tingkat tertentu (crime containment system), serta mengurangi kejahatan di kalangan mereka
yang pernah melakukan tindak pidana dan mereka yang bermaksud melakukan kejahatan, melalui proses deteksi, pemidanaan dan pelaksanaan pidana (Mahrus Ali, 2007:218).
Di samping itu, dalam sistem peradilan pidana yang jamak dikenal selalu melibatkan dan mencakup sub-sub sistem dengan ruang lingkup masing-masing proses peradilan pidana antara lain kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan. Selama ini, pengadilan masih dianggap sebagai bagian dari sistem hukum formal yang terlepas dengan masyarakat, sehingga tidak heran kalau dikatakan, pengadilan terisolasi dari dinamika masyarakat di mana pengadilan itu berada. Isolasi tersebut juga mengundang asosiasi kediktatoran pengadilan (judicial dictatorship), oleh karena ia memutus semata-mata dengan mengingat apa yang menurut tafsirannya dikehendaki oleh hukum tanpa harus melibatkan ke dalam atau mendengarkan dinamika masyarakat tersebut. Itulah sebabnya secara sosiologis pengadilan menjadi terisolasi dari keseluruhan dinamika masyarakatnya dan menjadi benda asing dari tubuh itu (Satjipto Rahardjo, 2007:38).
Tidak sedikit dari putusan-putusan pengadilan yang malah jauh dari dinamika masyarakat. Ia hanya mengacu kepada aturan-aturan formal belaka. Pengadilan yang seharusnya menjadi tempat untuk menemukan keadilan “berubah” menjadi medan perang untuk mencari menang (to win the case, padahal seharusnya “hukum adalah untuk rakyat bukan sebaliknya”. Bila rakyat untuk hukum, apapun yang dipikirkan dan dirasakan rakyat akan ditepis karena yang dibaca adalah kata-kata undang-undang (Mahrus Ali, 2007:225).
Indonesia yang menyebut dirinya sebagai negara demokrasi seharusnya keterbukaan dan keterlibatan masyarakat secara luas dalam sistem peradilan pidana sudah selayaknya di akomodir karena akan sangat aneh apabila negara demokrasi terbesar tetapi sistem hukumnya masih belum mencerminkan demokrasi itu sendiri. Dalam pengadilan Indonesia semua aspek perkara itu diputuskan dan merupakan tanggung jawab hakim
sepenuhnya, sebab masih dipertahankannya stelsel aktif hakim, artinya hakim yang memimpin sidang secara aktif melakukan pemeriksaan fakta (fact finding) termasuk menentukan hal-hal apa saja yang masih perlu disajikan oleh para pihak, sehingga kekuasaan hakim yang berdasarkan stelsel aktif ini menjadi absolut (Satjipto Rahardjo, 2003: 229).
Masuknya media teknologi komunikasi dan informasi yakni televisi dalam suatu proses persidangan dengan menayangkan siaran langsung dan/ atau siaran ulang tentu menjadi sarana penyebaran informasi yang efisien dan mempengaruhi daya sebar sebuah kasus kepada seluruh kalangan masyarakat sehingga bisa merata. Fenomena kecepatan informasi yang dapat diakses di segala penjuru negeri membuat suatu kasus tidak henti-hentinya diperbincangkan atau bahkan menjadi bahan diskursus yang menarik untuk diperdebatkan. Media massa baik televisi, koran, majalah bahkan media sosial berbasis internet seringkali berlomba untuk memberitakan hingga kasus tersebut hingga menjadi viral.
Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Jean Baudrillard mengenai transisi historis dari modernitas ke arah postmodernitas dalam tiga tahap yang sejak jaman Renaissance hingga kini telah terjadi tiga kali revolusi simulacra, yaitu counterfeit, production dan simulation, yang merupakan nama yang berbeda untuk arti yang sama yaitu, imitasi atau reproduksi dari image atau objek. Pertama, image merupakan representasi dari realitas. Kedua, image menutupi realitas. Ketiga, image menggantikan realitas yang telah sirna, menjadi simulacrum murni. Pada sign as sign, simbolika muncul dalam bentuk irruption. Baudrillard kemudian menambahkan tahapan keempat yang disebut fractal atau viral. Kini kita pada tahapan fractal, suatu tahapan transeverything yang mengubah secara radikal cara pandang kita terhadap dunia” (Muhammad Rustamaji, 2016:441).
Percepatan daya sebar informasi oleh media massa / pers tersebut membuat seluruh kalangan masyarakat dapat mengetahui perkembangan suatu kasus yang tengah disidangkan oleh para aktor penegak hukum. Hal
ini sebagai bentuk partisipasi media terhadap upaya penegakan hukum karena memiliki fungsi untuk menyajikan informasi yang akurat dalam fungsi pengawasan serta mampu memberikan dorongan bagi lembaga peradilan untuk mewujudkan independensi peradilan untuk menciptakan peradilan yang tidak memihak, akuntabel, transparan, mandiri, professional dan kemudahan akses pelayanan keadilan bagi semua masyarakat. Dalam rangka menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan maka media massa tersebut sebagai upaya untuk mendekatkan peradilan dengan masyarakat.
Bahwa jalannya persidangan yang disiarkan atau direkam secara langsung oleh media televisi sebenarnya bukan hal baru, karena Mahkamah Konstitusi telah membiasakan lembaganya untuk merekam dan menayangkan secara langsung jalannya persidangan baik melalui stasiun internal lembaga (MKTV) yang telah diluncurkan sejak tahun 2008 maupun yang disiarkan dengan bekerjasama dengan stasiun televisi swasta. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa penyiaran secara langsung jalannya persidangan diharapkan mampu menjamin prinsip transparansi lembaga peradilan (Mosgan Situmorang dkk, 2013:78).
Selain berdampak positif kepada masyarakat, siaran langsung persidangan melalui media televisi berdampak positif juga kepada hakim.
Mengingat pekerjaan sebagai hakim tidak mudah, karena pekerjaan hakim bukan hanya teknisi undang-undang, tetapi juga makhluk sosial. Karena itu, pekerjaan hakim sesunggunya mulia karena bukan hanya memeras otak, tetapi juga nuraninya, sehingga tidak salah ungkapan yang mengatakan, bahwa penjatuhan pidana adalah suatu pergulatan kemanusiaan (Satjipto Rahardjo, 2007:56).
Ungkapan tersebut menggambarkan betapa berat dan terkurasnya hakim saat menjalankan tugasnya karena harus menjalani suatu pergulatan batin. Suasana ini terjadi karena ia harus membuat pilihan-pilihan yang tidak mudah. Hakim harus menyadari benar bahwa dalam dirinya terjadi pergulatan kemanusiaan karena dihadapkan aturan hukum, fakta-fakta,
argumen jaksa, argumen terdakwa atau advokat, dan lebih dari itu masih harus meletakkan telinganya di jantung masyarakat. Ada suatu ungkapan indah yang mengatakan bahwa hakim juga harus mewakili suaru rakyat yang diam, yang tidak terwakili, dan yang tidak terdengar (unrepresented dan under-represented). Alangkah mulia sebenarnya tugas hakim, mendengarkan, melihat, membaca, kemudian menjatuhkan pilihan yang adil adalah pekerjaan yang amat berat dan karena itu menguras tenaga dan pikiran. Dalam keadaan sekarang, masih ditambah dengan keteguhan untuk melawan godaan dan tarikan ke arah dunia materiil (Mahrus Ali, 2007:225-226).
Dalam membuat sebuah putusan, hakim harus benar-benar mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan peraturan hukum yang mengaturnya untuk diterapkan, baik peraturan hukum yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan maupun hukum yang tidak tertulis dalam hukum adat. Untuk melihat dan merasakan bahwa suatu putusan telah memenuhi rasa keadilan atau tidak dapat ditemukan di dalam pertimbangan hukum yang digunakan hakim.
Pertimbangan hukum merupakan dasar argumentasi hakim dalam memutuskan suatu perkara, apabila argumentasi tersebut tidak benar dan tidak sepantasnya maka kemudian masyarakat dapat menilai bahwa putusan yang telah dibuat tidak benar dan tidak adil. Pertimbangan hukum yang tidak benar dapat terjadi karena berbagai karena beberapa kemungkinan, diantaranya (Mosgan Situmorang dkk, 2013: 90) :
1) Hakim tidak mempunyai cukup pengetahuan hukum tentang masalah yang sedang ditangani;
2) Hakim sengaja menggunakan dalil hukum yang tidak benar atau tidak semestinya karena adanya faktor lain seperti adanya tekanan pihak-pihak tertentu, suap dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi indenpendensi hakim;
3) Hakim tidak memiliki cukup waktu untuk menuliskan semua argumen hukum yang baik disebabkan karena terlalu banyaknya
perkara yang harus diselesaikan dalam kurun waktu yang relatif singkat;
4) Hakim malas untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasannya (kognitif) sehingga berpengaruh terhadap kualitas putusan yang dibuat.
Secara normatif, putusan pengadilan merupakan proses berpikir (kognitif) hakim yang dapat dipengaruhi oleh faktor individu serta faktor lingkungan. Oleh karena itu, sebagian besar hakim dalam memutuskan perkara berdasarkan sesuatu yang irelevan, sehingga putusan hakim yang seharusnya merupakan hasil pemikiran yang rasional dari hakim (rational choice theory) menjadi sebuah angan-angan. Rational Choice Theory oleh hakim dalam membuat sebuah putusan dewasa ini dianggap
“utopis/utopia” belaka karena hanya hidup di atas kertas
Berdasarkan hasil analisa new legal empiricism dikemukakan bahwa dalam proses pembuatan putusan, hakim cenderung berpikir heuristic (mental shortcut) maksudnya dalam menyusun kesimpulan sekedar bergantung pada informasi yang relevan dan cepat di ingat, hal ini rawan terhadap bias kognitif putusan hakim yang tentunya akan mempengaruhi kualitas putusan hakim.
Faktor-faktor yang dianggap mempengaruhi hakim untuk cenderung berpikir heuristic dalam membuat putusan dapat dilihat dalam judicial behavior model sebagai berikut (Mosgan Situmorang dkk, 2013:
46) :
1) Legal Model
Pada legal model, hakim secara murni membuat putusan yang baik denga cara menafsirkan hukum/konstitusi seakurat mungkin tanpa pertimbangan kebijakan apa yang akan dihasilkan dari putusannya.
2) Attitudinal Model
Hakim sangat dipengaruhi oleh agama ataupun idealismenya.
Attitudinal model juga menggambarkan bahwa hakim yang berdasarkan pandangan dan keyakinannya sendiri membuat
kebujakan umum baik secara sungguh-sungguh maupun naif melalui putusannya tanpa menghitung bagaimana respons audiens terhadap kebijakannya dan akibat dari pilihan kebijakan yang diambilnya.
3) Social Background Model
Hakim dalam membuat putusan dipengaruhi juga oleh suku serta tingkat pendidikan.
4) Strategic Model
Faktor ini menggambarkan bahwa putusan yang dibuat oleh hakim digunakan sebagai bagian strategi untuk menjada keamanan posisi pekerjaannya. Di Indonesia hakim cenderung
5) Managerial Model
Hakim seharusnya hanya fokus memikirkan pekerjaan yudisial/putusan peradilan, namun faktanya hakim juga direpotkan dengan pekerjaan non yudisial seperti pekerjaan administrasi serta pekerjaan manajerial jika mempunyai jabatan struktural.
6) Public Opinion Model
Opini publik yang dibawa oleh pers menjadi salah satu faktor hakim akan berpikir shortcut dalam membuat putusan. Opini publik merupakan faktor yang mampu mempengaruhi hakim dalam memutuskan suatu perkara, para hakim akan sangat memperhatikan pendapat masyarakat terhadap kasus yang ditanganinya.
Faktor strategic model dan public opinion model ini yang dapat terjadi karena praktik courtroom television. Hal ini sejalan dengan analisis Lawrence Baum yang memberikan perspektif baru dalam memahami motivasi hakim dalam membuat putusan. Lawrence Baum dalam bukunya berjudul Judges and Their Audiences: A perspective on Judicial Behavior menolak cara pandang konvensional bahwa para hakim membuat putusan dalam ruang hampa dan berumah di atas angin yang sama sekali kebal dari pengaruh situasi eksternal dan semata-mata mewujudkan “good law” dan
“good policy”, dia jua ragu akan klaim para hakim dan anggapan umum
bahwa putusan hakim selalu dibuat secara logis dan jauh dari emosi.
Sebagaimana manusia lainnya, para hakim juga berkomunikasi dengan orang lain, membaca berita, menonton televisi dan mendengar radio yang sedikit atau banyak baik langsung atau tidak langsung mempengaruhi jalan pikiran dan suasana hati para hakim (Mosgan Situmorang dkk, 2013:49).
Dengan kehadiran media teknologi dan informasi yang dapat menyebarluaskan informasi suatu kasus, maka pengetahuan seorang hakim akan meningkat dengan cepat dan dapat mengikuti semua kasus yang aktual. Sehingga tidak ada lagi hakim yang tidak mempunyai cukup pengetahuan hukum tentang masalah yang sedang ditangani atau keterbatasan kognitif seorang hakim dalam segi pengetahuan. Mengingat jika setiap persidangan suatu kasus disiarkan melalui media televisi, otomatis apabila seorang hakim menangani kasus serupa maka ia akan cenderung merujuk pada putusan hakim terdahulu serta hakim menjadi lebih berhati-hati, cermat dan profesional dalam memimpin persidangan serta tidak menyimpangi hukum acara.
Kecenderungan hakim dalam merujuk putusan hakim terdahulu akan mengarah kepada “the doctrine of precedent/ stare dicisis/ stare decisis et quita non movere”. Doktrin ini pada intinya menyatakan bahwa dalam memutuskan suatu perkara, seorang hakim harus mendasarkan putusannya pada prinsip hukum yang sudah ada dalam putusan hakim lain dari perkara sejenis sebelumnya (preseden). Doktrin tersebut dikenal dalam tradisi common law yang mengutamakan hukum kebiasaan dan pembentukan hukum melalui lembaga peradilan dengan sistem yurisprudensi dianggap lebih baik karena hukum selalu sejalan dengan rasa keadilan dan kemanfaatan yang dirasakan oleh masyarakat secara nyata, sehingga hakim akan berfungsi tidak hanya sebagai pihak yang bertugas menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan hukum saja tetapi juga berperan besar dalam membentuk seluruh tata kehidupan masyarakat. Hakim mempunyai wewenang yang sangat luas untuk menafsirkan peraturan hukum yang berlaku sehingga bisa menciptakan
hukum baru yang akan menjadi pegangan bagi hakim-hakim lain untuk menyelesaikan perkara sejenis. Penerapan hukum seperti ini akan lebih fleksibel dan sanggup menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan masyarakat.
Dalam praktik dan perkembangannya, beberapa hakim di Indonesia membuat suatu hukum untuk mengisi kekosongan layaknya hakim di negara common law. Dengan demikian, peradilan di Indonesia tidak lagi sepenuhnya sejalan dengan sistem hukum civil law karena telah memiliki dan menerapkan beberapa karakteristik yang identik dengan sistem peradilan common law, misalnya putusan hakim yang memperbarui hukum bahkan hukum pidana sekalipun yang menganut asas legalitas.
Kondisi atau sistem ini terbentuk dari relasi terkini antara struktur hukum, aturan hukum, dan masyarakat (Choky R. Ramadhan, 2018: 215).
Hakim pembentuk hukum (judge made law) ketiadaan “batas yang tajam” antara kedua sistem hukum common law dan civil law telah lama diakui Sudikno Mertokusumo. Sudikno menyatakan bahwa kedua sistem tersebut telah saling bertemu dan saling mempengaruhi satu sama lain sejak abad ke-19. Dengan demikian, hakim di Indonesia “tidak dapat dikatakan secara mutlak” tidak terikat pada putusan pengadilan. Upaya Sudikno untuk menjustifikasi putusan pengadilan sebagai bagian dari “tata hukum suatu negara” telah dilakukan dalam disertasinya pada tahun 1970.
Dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara, hakim selayaknya berlandaskan pada hukum baik tertulis maupun tidak tertulis. Namun apabila tidak ada hukumnya, hakim dapat menentukan dan membentuk hukumnya. Pendapat Sudikno ini terinspirasi dengan konsep judge made law negara common law (Choky R Ramadhan, 2018:216).
Hakim pada sistem civil law identik dengan yang John Henry Merryman jelaskan:
“The judge becomes a kind of expert clerk. He is presented with a fact situation to which a ready legislative response will be readily found in all except the extraordinary case. His function merely to find the right
legislative provision, couple it with the fact situation, and bless the solution that is more or less automatically produced from the union”.
ada 3 (tiga) alasan struktural menurut MacLean yang menjadi penyebab lemah atau kecilnya diskresi hakim untuk melakukan interpretasi atas hukum yang terkodifikasi. Alasan pertama yaitu keyakinan bahwa kodifikasi hukum sudah lengkap dan cukup sehingga tidak perlu lagi dilakukan interpretasi. Kedua, terdapat larangan dan merupakan tindak pidana bagi hakim untuk membuat putusan yang bertentangan dengan hukum. Alasan ketiga, rendahnya kreativitas hakim dalam memeriksa perkara karena terbebani dengan tumpukan perkara yang sangat banyak.
Akan tetapi, hakim pada praktiknya melakukan interpretasi atas suatu hukum ketika menentukan hukum yang sesuai terhadap fakta suatu perkara yang diperiksanya (Choky R. Ramadhan, 2018:218).
Interpretasi hukum tersebut pada praktiknya tidak jarang melakukan pengembangan terhadap hukum tertulis. Interpretasi atas hukum tersebut merupakan diskresi pengadilan dan hakim yang telah dimiliki sejak periode awal kekaisaran Romawi melalui ius honorarium.
Ius Honoraroium merupakan elemen dari pengadilan Romawi yang sering memperluas makna ius civile (civil law), hak individu warga Romawi yang formal dan berlaku secara ketat. Perluasan oleh ius honorarium tersebut dilakukan secara fleksibel dan lebih adaptif terhadap perkembangan sosial, ekonomi, dan spiritual bangsa Romawi. Diskresi ini dibutuhkan untuk merespon kondisi sosial, ekonomi, politik, dan budaya suatu masyarakat.
Hakim atau pengadilan pada sistem civil law saat ini memiliki diskresi untuk melakukan interpretasi terhadap suatu hukum tertulis sehingga mampu menciptakan hukum baru. Hal selanjutnya yaitu kedudukan putusan tersebut sebagai sumber hukum. Namun pada sistem civil law, putusan hakim atau pengadilan dikenal sebagai sumber rujukan namun tidak mengikat bagi hakim atau pengadilan lain. Sistem civil law memiliki istilah Jurisprudence Constante yang konsepnya serupa dengan asas preseden. Doktrin ini menghendaki agar hakim perlu mempertimbangkan secara seksama putusan terdahulu atas perkara yang
memiliki kemiripan fakta maupun permasalahan hukumnya. Putusan yang semakin sering dikutip dan dipertimbangkan maka dianggap sangat kuat pengaruhnya (Chocky R Ramadhan, 2018: 220).
Pound menjelaskan bahwa pembuatan hukum oleh pengadilan melalui putusan oleh hakim terhadap suatu kasus-kasus tertentu ketika hukumnya tidak tersedia maupun tidak sempurna pengaturannya, maka hukum baru terbentuk. Meski terdapat asas preseden, putusan pengadilan juga dapat membatalkan putusan sebelumnya apabila terdapat kesalahan.
Pengawasan terhadap putusan pengadilan ini dilakukan oleh hakim tingkat pengadilan di atasnya, atau hakim selanjutnya yang memeriksa perkara serupa. Selain itu, putusan pengadilan juga harus terbuka untuk publik untuk memastikan pertimbangan dan putusan pengadilan yang baik.
Putusan-putusan tersebut seringkali dianalisis dan kemudian dipublikasikan di jurnal hukum sehingga para hakim terdorong untuk membuat putusan terbaik (Chocky R Ramadhan, 2018:222).
Doktrin kebebasan hakim dalam memeriksa perkara dengan melakukan interpretasi atau penafsiran hukum dengan berlandaskan pada nilai yang hidup di masyarakat (hukum tidak tertulis) selalu diatur dalam hukum positif Indonesia. Kewajiban hakim untuk “mengali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat” berkali-kali dipertahankan dan tetap diatur dalam perubahan UU Kekuaaan Kehakiman pada tahun 1970, 2004 dan 2009. Alasan dan dasar penggunaan hukum tidak tertulis tersebut haruslah dicantumkan dalam putusan hakim. Hakim dianggap sebagai pejabat yang mengenal dan mengetahui hukum dan ia tidak dapat menolak perkara karena tidak terdapat hukum tertulisnya karena hakim wajib mencari dan menggali hukum yang tidak tertulis yang hidup dan berkembang di masyarakat untuk menangani sengketa tersebut. Hal ini semakin mudah mengingat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat diakses dengan mudah untuk mencari informasi maupun mengumpulkan pengumpulan
putusan hakim yang membentuk hokum seperti yang dilakukan pada sistem peradilan common law.
Era keterbukaan informasi yang telah melanda berbagai aspek kehidupan masyarakat di Indonesia tentu tidak datang tanpa dampak negatif, keterbukaan informasi dalam suatu persidangan telah mengantarkan isi dari jalannya persidangan tersebut langsung kepada masyarakat sehingga proses peradilan pidana dengan mudah dinikmati oleh masyarakat umum. Namun belum tentu dapat dicerna dengan baik karena pengetahuan masyarakat tentang asas-asas yang berlaku di dalamnya sangat terbatas.
Bahwa jika siaran langsung sidang pengadilan dilarang maka bertentangan dengan semangat keterbukaan informasi publik seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, karena ketika persidangan dinyatakan terbuka untuk umum maka apa yang tersaji di persidangan adalah informasi publik.
Namun bagaimana jika yang dilakukan pers justru over publisitas?
Para pihak diadu melalui dua sisi pemberitaan tanpa adanya data dan fakta serta aturan mekanisme pembuktian yang jelas? Para ahli diminta pendapatnya sehingga masyarakat justru dibuat bingung dengan pendapat mana yang benar? Bahkan tak jarang pers memberikan pengaruh pada
Para pihak diadu melalui dua sisi pemberitaan tanpa adanya data dan fakta serta aturan mekanisme pembuktian yang jelas? Para ahli diminta pendapatnya sehingga masyarakat justru dibuat bingung dengan pendapat mana yang benar? Bahkan tak jarang pers memberikan pengaruh pada