38 BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Telaah atas Perluasan yang Terjadi Pada Asas Sidang Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum yang Disiarkan Secara Langsung Melalui Media Televisi
Seperti yang telah diuraikan pada tinjauan pustaka mengenai asas- asas dalam hukum acara, dikenal asas sidang pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum kecuali proses persidangan terhadap kasus kesusilaan dan anak sebagai Terdakwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153 ayat (3) KUHAP. Dengan adanya asas tersebut maka setiap orang dapat menghadiri, melihat dan mengikuti jalannya persidangan karena kadang kala proses pemeriksaan sidang pengadilan mengundang perhatian masyarakat, terlebih jika terdapat kasus yang melibatkan pejabat negara ataupun kasus yang mendapat sorotan tajam dari kalangan masyarakat.
Guna menelaah apa yang terjadi pada eksistensi asas sidang pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum harus dilihat dari 2 (dua) sisi perspektif yang berbeda, yakni sisi tekstual dan sisi kontekstual kekinian dalam proses persidangan beberapa waktu terakhir. Dilihat dari sisi tekstual, proses persidangan harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan (Hardianto Janggih dan Yusuf Saefudin, 2013:416).
Dalam proses persidangan, hakim yang merupakan salah satu pejabat negara yang melaksanakan peradilan menurut peraturan perundang-undangan. Hakim diberi kewenangan dalam memutus dan menyelesaikan suatu perkara. Hal tersebut menunjukkan adanya kebebasan hakim sebagai pelaksana kekuasan kehakiman (Yusi Amdani, 2015:462). K. Bertends mengatakan bahwa kebebasan hakim dalam mengadili, pada dasarnya bisa digolongkan pada pengertian kebebasan yuridis sebagai kebebasan yang bersumber dari hak-hak manusia yang dijamin hukum (Eri Sertyanegara, 2013:466).
Fungsi utama dari seorang hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan kepadanya. Mewujudkan putusan yang memenuhi rasa keadilan, hakim juga dituntut untuk dapat melaksanakan proses persidangan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Salah satunya adalah pelaksanaan proses peradilan pidana yang terbuka untuk umum karena merupakan salah satu hak terdakwa sebagaimana diatur dalam Pasal 64 KUHAP, yakni Terdakwa berhak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum setelah Terdakwa menerima pemberitahuan untuk datang ke sidang pengadilan yang dilakukan secara sah melalui surat panggilan sesuai dengan Pasal 145 KUHAP. Begitu pula dengan seorang saksi, sebagaimana diatur dalam Pasal 152 ayat (2) KUHAP setelah Hakim menetapkan hari sidang kemudian memerintahkan kepada Penuntut Umum supaya memanggil Terdakwa dan saksi untuk datang di sidang pengadilan.
Bentuk penyelenggaraan asas terbuka untuk umum di Indonesia yakni saat hakim ketua membuka sidang harus menyatakan
“...sidang dibuka dan terbuka untuk umum”. Hal tersebut merupakan implementasi dari Pasal 153 ayat (3) KUHAP, artinya setiap orang yang hendak mengikuti jalannya persidangan, dapat hadir memasuki ruangan sidang bahkan pintu dan jendela ruang sidang pun terbuka, karena tidak diperbolehkan persidangan gelap dan bisik-bisik (Yahya Harahap, 2012:110). Kemudian dalam Pasal 153 ayat (5) diatur bahwa hakim ketua sidang juga dapat menentukan bahwa anak yang belum mencapai tujuh belas tahun tidak diperkenankan menghadiri sidang. Begitu pun setelah membuka sidang, berdasarkan Pasal 154 ayat (1) diatur bahwa Hakim ketua sidang wajib memerintahkan Jaksa Penuntut Umum supaya memanggil Terdakwa masuk ke ruang sidang dan dihadapkan dalam keadaan bebas.
Selanjutnya terkait pemeriksaan saksi dan/ atau ahli, dalam Pasal 159 KUHAP hakim berkewajiban memberi perintah untuk mencegah saksi agar tidak berhubungan satu dengan yang lain sebelum memberi
keterangan di sidang pengadilan supaya tidak terjadi saling memperngaruhi di antara para saksi. Sehingga dalam Pasal 160 ayat (1) huruf a KUHAP diatur bahwa saksi atau ahli juga dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang menurut urutan yang dipandang sebaik-baiknya oleh hakim ketua sidang setelah mendengar pendapat Penuntut umum, Terdakwa atau Penasihat hukum, hal tersebut dikarenakan keterangan saksi maupun ahli yang dapat dijadikan sebagai alat bukti apabila dinyatakan di sidang pengadilan sebagaimana Pasal 185 dan Pasal 186 KUHAP.
Sidang pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 230 KUHAP harus dilangsungkan di gedung pengadilan dalam ruang sidang yang ditata sebagai berikut:
1. Tempat meja dan kursi hakim terletak lebih tinggi dari tempat penuntut umum, terdakwa, penasihat hukum dan pengunjung;
2. Tempat panitera terletak di belakang sisi kanan tempat hakim ketua sidang;
3. Tempat penuntut umum terletak di sisi kanan depan tempat hakim;
4. Tempat terdakwa dan penasihat hukum terletak di sisi kiri depan dari tempat hakim dan tempat terdakwa di sebelah kanan tempat penasihat hukum;
5. Tempat kursi pemeriksaan terdakwa dan saksi terletak di depan tempat hakim;
6. Tempat saksi atau ahli yang telah didengar terletak di belakang kursi pemeriksaan;
7. Tempat pengunjung terletak di belakang tempat saksi yang telah di dengar;
8. Bendera Nasional ditempatkan di sebelah kanan meja hakim dan panji Penganyoman ditempaykan di sebelah kiri meja hakim sedangkan lambang Negara ditempatkan pada dinding bagian atas di belakang meja hakim;
9. Tempat rohaniawan terletak di sebelah kiri tempat panitera;
10. Tempat sebagaimana dimaksud pada angka 1 sampai 9 diberi tanda pengenal;
11. Tempat petugas keamanan dibagian pintu masuk ruang sidang dan di tempat lain yang dianggap perlu.
Berikut adalah denah ruang sidang pengadilan Indonesia yang diatur berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.06-UM.01.06 Tahun 1983:
Sumber: Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.06-UM.01.06 Tahun 1983
tanggal 16 Desember 1983
Gambar 3. Denah Ruang Sidang Keterangan Denah Ruang Sidang:
1. Lambang Negara (Garuda Indonesia) 2. Bendera Merah Putih
3. Panji Pengayoman*) 4. Meja Hakim
5. Kursi Ketua Hakim
6. Kursi Hakim Anggota 7. Kursi Hakim Anggota 8. Meja Panitera
9. Kursi Panitera 10. Meja Rohaniawan 11. Kursi Rohaniawan 12. Meja Rohaniawan 13. Kursi Rohaniawan 14. Kursi Pemeriksaan 15. Meja Jaksa
16. Kursi Jaksa 17. Meja Pengacara 18. Kursi Pengacara
19. Kursi Terdakwa 2 buah 20. Kursi Saksi / Ahli
21. Pagar berpintu 2 kiri dan kanan setinggi 1 meter
22. Bangku-bangku untuk publik, deretan depan disediakan untuk pers 23. Jam
24. Tempat penyumpahan Agama Budha/ Kong Fu Tse 25. Pintu-pintu masuk
Sedangkan Perlengkapan persidangan:
a. Palu tersedia di meja Hakim
b. Kitab suci tersedia di meja Rohaniwan c. Kalender
d. Di atas meja penyumpahan agama Kong Fu Tse tersedia gambar Kong Fu Tse
e. Satpam berdiri di pintu utama bagian dalam
Berdasarkan keputusan ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia No. : KMA/033/SK/V/2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Penggunaan Stampel, logo, Papan Nama, Pakaian Dinas dan Bendera
Pengadilan dalam rangka peradilan satu atap dibawah Mahkamah Agung, Panji Pengayoman di ruang sidang diganti dengan Bendera Pengadilan.
Kemudian pengaturan mengenai tata tertib persidangan yang dimaksud dalam Pasal 217, 218, 219 dan 232 KUHAP ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.02.PW.07.10 Tahun 1997 tentang Tata Tertib Persidangan dan Tata Ruang Sidang yang harus ditaati dan dipatuhi oleh pegunjung sidang, yakni:
1. Sebelum sidang dimulai, panitera, penuntut umum, penasihat hukum dan pengunjung yang sudah ada, duduk ditempatnya masing-masing dalam ruang sidang;
2. Pada saat Majelis Hakim memasuki dan meninggalkan ruang sidang semua yang hadir berdiri untuk menghormati;
3. Selama sidang berlangsung, pengunjung sidang harus duduk dengan sopan dan tertib ditempatnya masing-masing dan memelihara ketertiban dalam ruang sidang;
4. Para pihak dan pengunjung sidang diharuskan memakai pakaian yang pantas dan sopan serta dilarang makan, minum, merokok, membaca koran atau melakukan tindakan yang dapat menggangu jalannya persidangan;
5. Dalam ruang sidang siapapun wajib menunjukkta teran sikap hormat kepada pengadilan;
6. Siapapun dilarang membawa senjata api, senjata tajam, bahan peledak atau alat maupun benda yang dapat membahayakan keamanan sidang dan siapa yang membawanya wajib menitipkan pada tempat yang disediakan;
7. Segala sesuatu yang diperintahkan oleh ketua sidang untuk memelihara tata tertib di persidangan wajib dilaksanakan dengan segera dan cermat;
8. Tanpa surat perintah petugas keamanan pengadilan karena tugas jabatannya dapat mengadakan penggeledahan badan untk
menjamin bahwa kehadiran seorang di ruang sidang tidak membawa senjata atau bahan maupun benda yang dapat membahayakan keamanan sidang;
9. Pengambilan foto, rekaman suara atau rekaman televisi harus meminta izin terlebih dahulu kepada hakim ketua sidang;
10. Siapapun di sidang pengadilan bersikap tidak sesuai dengan martabat pengadilan dan tidak mentaati tata tertib persidangan dan setelah hakim ketua sidang memberi peringatan, masih tetap melanggar tata tertib tersebut, maka atas perintah hakim ketua sidang, yang bersangkutam dikeluarkan dari ruang sidang dan apabila pelanggaran tata tertib dimaksud bersifat suatu tindak pidana, tidak mengurangi kemungkinan dilakukan penuntutan terhadap pelakunya.
Begitu pula dalam ruang sidang, hakim, penuntut umum, penasihat hukum dan panitera mengenakan pakaian sidang dan atribut masing- masing sesuai Peraturan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.07.UM.01.06 Tahun 1983 tentang Pakaian, Atribut Pejabat Peradilan dan Penasihat Hukum.
Mengamati pasal-pasal dalam KUHAP yang sudah diuraikan diatas serta peraturan-peraturan yang berkaitan, dapat diketahui bahwa para pembuat undang-undang pada tahun 1981 memikirkan bahwa sidang pengadilan adalah suatu proses pengadilan yang dilakukan di sebuah ruangan segi empat bersekat tembok yang dilengkapi dengan atribut- atribut simbolik dan juga aturan tata tertib untuk kemudian dilaksanakan prosesi agung yaitu persidangan.
Namun dilihat dari sisi kontekstual kekinian, seiring dengan berkembangnya pengetahuan masyarakat dalam pemanfaatan bidang ilmu pengetahuan dan komunikasi membuat praktik peradilan pidana di Indonesia banyak terjadi perluasan dalam pemaknaan ruang sidang itu sendiri. Seperti pada tahun 2002 telah terjadi terobosan hukum dalam persidangan di Indonesia yakni saat proses pemeriksaan kasus korupsi
Bulog dengan terdakwa mantan Kabulog Rahardi Ramelan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pasalnya dalam agenda pemeriksaan saksi, dihadirkan saksi secara virtual di pengadilan melalui pemanfaatan teknologi multimedia yang dikenal dengan teleconference yakni mantan presiden B.J. Habibie.
Prosedur pemeriksaan dengan teknologi teleconference baru pertama kali terjadi dan dipraktikkan dalam sejarah peradilan Indonesia (Arsyad sanusi, 2003:3). Tentu saja terjadi pro kontra dengan adanya terobosan tersebut seperti pada kasus Rahardi Ramelan, jaksa penuntut umum Kemas Yahya Rahman bersikeras untuk menolak persidangan dengan pemanfaatan teleconference. Sementara penasihat hukum Rahardi Ramelan, Trimoelja D. Soerjadi justru berpikiran sebaliknya dengan menyatakan mendukung pemanfaatan teleconference dalam penghadiran saksi. Argumentasi yang muncul dari kejaksaan selaku Penuntut Umum adalah teleconference belum diatur dalam KUHAP dan bertentangan dengan prinsip persidangan cepat, sederhana dan biaya ringan, selain itu jaksa penuntut umum khawatir bahwa keterangan B.J Habibie akan memperlebar persoalan dan mengaburkan dakwaan yang telah diarahkan kepada Rahardi Ramelan. Sementara sang advokat mengutarakan bahwa hakim harus menggali hukum dan memperhatikan rasa keadilan masyarakat serta sangat berkepentingan untuk mendapatkan keterangan dari B.J bahwa pengeluaran dana yang dilakukan Rahardi Ramelan adalah atas persetujuan mantan presiden Republik Indonesia B.J Habibie (Muhammad Rustamaji dan Dewi Gunawati, 2011:110-112).
Setelahnya ada beberapa persidangan yang telah mengikuti perkembangan penggunaan teleconference yakni persidangan Pengadilan HAM Adhoc kasus pelanggaran HAM berat di Timor-Timur serta persidangan kasus dugaan pembiayaan aksi terorisme pada tahun 2011 di Nanggro Aceh Darussalam yang melibatkan Ustad Abu Bakar Ba’asyir.
Dalam kedua kasus tersebut, Jaksa Penuntut Umum bersikeras memperjuangkan persidangan melalui media teleconference untuk
mendengar kesaksian para saksi yang keberadaanya jauh. Akan tetapi, Penasihat Hukum Terdakwa berkeberatan dengan dilangsungkannya persidangan melalui teknologi teleconference dengan argumentasi yang menyangkut tentang ketidakabsahan pemanfaatan teleconference, baik dari segi kelaziman praktik hukum maupun aspek legalitas pengaturannya.
Tentu saja hal tersebut berkebalikan dari argumentasi saat proses persidangan Rahardi Ramelan.
Jika dibandingkan antara sikap kejaksaan dan advokat yang masih pragmatis berbasis kepentingan pembuktian, maka lain dengan hakim yang justru paling konsisten. Hakim berani melakukan inisiasi terobosan hukum dengan menggelar teleconference dalam penghadiran saksi. Konsistensi sikap hakim demikian dikatakan berani karena sejatinya sikap resmi lembaga peradilan terhadap pemanfaatan teknologi teleconference pada saat itu belum ada dan masih harus menunggu hingga di tataran Mahkamah Agung (Muhammad Rustamaji dan Dewi Gunawati, 2011:112).
Mengamati surat penetapan dalam pemeriksaan sidang yang telah menggunakan media teleconference diantaranya Surat Penetapan Nomor :354/Pid.B/2002/PN. Jakarta Selatan dalam persidangan terdakwa Rahardi Ramelan; Surat Penetapan No. 08/Pid.HAM Ad Hoc 2002/PN Jakarta Pusat tertanggal 3 Desember 2002 dalam pengadilan HAM Adhoc Timor- Timur; serta Surat Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor : 148 / PEN.PID /2011 / PN.Jkt.Sel. tanggal 10 Maret 2011 dalam kasus Abu Bakar Ba’asyir terdapat berbagai kesamaan pertimbangan hakim dalam memperbolehkan penggunaan media teleconference seperti berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Hakim diwajibkan sebagai penegak hukum dan keadilan untuk menggali, mengikuti, dan memahami dan mengejar kebenaran materiil dalam hukum pidana, aspek formal hendaknya bisa ditinggalkan secara selektif; dalam rangka mencari kebenaran materiil sangat perlu didengar keterangan saksi-saksi untuk
kepentingan pemeriksaan terdakwa; untuk mewujudkan prinsip penyelenggaraan peradilan yang baik dan jujur; serta agar masyarakat luas dapat mengikuti pemeriksaan perkara terdakwa secara transparan.
Namun tidak semua permohonan penggunaan teleconference diterima oleh Pengadilan, seperti kasus Schapelle Leigh Corby seorang Warga Negara Australia yang tertangkap petugas Bea cukai di Bandara Ngurah Rai Bali karena membawa ganja seberat 4,1 kg. Permohonannya tidak dapat diterima oleh Pengadilan Tinggi Denpasar dan Mahkamah Agung dengan dalil bahwa dalam sistem hukum civil law, yurisprudensi bersifat persuasif.
Teknologi teleconference adalah pertemuan jarak jauh antara beberapa orang yang fisiknya berada pada lokasi berbeda secara geografis dan melakukan pembicaraan secara real time dan interaktif melalui telepon atau koneksi jaringan dengan dukungan infrastruktur jaringan serta perangkat multimedia yang kemudian ditransmisikan dalam bentuk data dan manipulasi bentuk informasi seperti kata-kata, gambar, video, musik, angka, atau tulisan tangan.
Penggunaan teknologi teleconference yang menyajikan gambar secara detail dengan kualitas suara secara jelas tanpa gangguan (noice), memungkinkan hakim untuk mengetahui secara langsung sorot mata, roman muka, maupun bahasa tubuh (gestures) yang ditunjukkan oleh seorang di muka persidangan.
Gambar 4. Ilustrasi Suasana Sidang Kasus Rahardi Ramelan (Kesaksian B.J. Habibie Melalui Teleconference)
Berdasarkan ilustrasi teknis di atas, pemanfaatan media dan teknologi teleconference memang tepat untuk membantu kehadiran saksi di muka persidangan secara virtual meskipun dalam Pasal 184 KUHAP tidak mengatur mengenai alat bukti dan prosedur pembuktian dengan pemanfaatan media teleconference.
Selain itu, pada Pasal 160 ayat (1) huruf a KUHAP diatur bahwa:
“Saksi di panggil ke ruang sidang seorang demi seorang menurut urutan yang dipandang sebaik-baiknya oleh hakim ketua sidang setelah mendengar pendapat penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum terdakwa”, serta dalam Pasal 167 ayat (1) KUHAP diatur bahwa:
“Setelah saksi memberikan keterangan, ia tetap hadir di sidang kecuali hakim ketua sidang memberi izin untuk meninggalkannya”.
Sehingga berdasarkan ketentuan pasal tersebut, secara mutlak seorang saksi fisiknya dituntut untuk hadir dan memberi kesaksian dalam ruang sidang.
Namun pada penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP ditegaskan bahwa menjadi saksi adalah kewajiban setiap orang. Sehingga apabila seseorang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi menolak kewajiban itu, maka ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku begitu pun dengan seorang ahli.
Dalam kasus Rahardi Ramelan, atas dihadirkannya B.J. Habibie sebagai saksi, KUHAP juga tidak secara eksplisit menyatakan bahwa seseorang dapat menolak pemanggilan sebagai saksi karena alasan kala itu mendampingi sang istri yang tengah mendapat perawatan di rumah sakit.
Dengan demikian pada prinsipnya kehadiran seseorang di muka persidangan sebagaimana dimaksud hadir secara fisik juga dapat dipenuhi dengan menggunakan teknologi teleconference.
Mencermati ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP, secara tegas diatur bahwa: “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di depan sidang pengadilan”. Sehingga kata menyatakan di depan sidang pengadilan menjadi tidak jelas (obscur) karena KUHAP sendiri tidak menjelaskan atau menegaskan dalam memberikan keterangan di depan sidang saksi harus hadir secara langsung (fisik) ke persidangan untuk memberikan keterangan.
Mengingat sistem pembuktian yang dianut KUHAP adalah pembuktian secara negatif (negatief wettelijk stelsel) sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP, bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa bersalah melakukannya. Bahwa pada prinsipnya untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum dengan menggunakan keyakinan hakim dan minimal menggunakan dua alat bukti yang sah, maka sistem pembuktian yang diatur dalam KUHAP adalah perpaduan antara sistem conviction-in time (vrijbewijk) dan sistem pembuktian positif (positief wettelijk stelsel). Dengan demikian, keyakinan hakim merupakan suatu hal yang penting dalam sistem pembuktian di Indonesia. Sebagai suatu keyakinan, maka sifatnya conviction dan subjektif, sehingga sulit diuji secara objektif. Untuk mendapatkan keyakinan (conviction), hakim harus memahami latar belakang kehidupan seseorang, perilaku dan bahasa tubuhnya di sidang pengadilan secara fisik berhadap-hadapan.
Bahwa kemudian kalimat yang menyatakan “keterangan saksi dinyatakan di depan persidangan” menimbulkan celah untuk ditafsirkan, terlebih celah ini secara eksplisit termuat dalam ketentuan Pasal 9 Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang menegaskan ada tiga pilihan saksi tak harus dihadirkan ke pengadilan apabila merasa dirinya berada dalam ancaman yang sangat besar, yaitu (Ruth Marina Damayanti Siregar, 2015:27) :
1. Saksi diperbolehkan memberi keterangan secara tertulis di hadapan pejabat yang berwenang dan membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat kesaksian tersebut.
2. Keterangan saksi dapat diperiksa melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh pejabat yang berwenang.
3. Pemeriksaannya seperti mistery guest, yang memberikan keterangan dalam ruangan khusus.
Kesaksian yang disampaikan melalui media teleceonference seperti contoh yang ada merupakan langkah yang besar dan baru di dalam dunia hukum, khususnya hukum acara di Indonesia. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Philip A. Sandick yang menyebutkan bahwa pengadilan telah membuat kemajuan penting dalam melindungi dan mendukung korban, saksi, para pihak, dan lain-lain yang menempatkan diri pada risiko dalam rangka memajukan misi peradilan pidana internasional (Ruth Marina Damayanti Siregar, 2015: 30).
Bahwa kemudian bertitik tolak dari uraian diatas dapat disimpulkan, kehadiran mutlak di ruang sidang dalam praktik sedikit ditinggalkan dan diterobos dalam rangka mencari dan menegakan kebenaraan materiil yang berujung pada keadilan. Sehingga penggunaan media teleconference untuk penghadiran saksi diperbolehkan, karena apabila diamati sebenarnya keterangan saksi yang disampaikan secara teleconference dapat dikategorikan telah dilakukan di depan persidangan atau telah hadir di ruang sidang, akan tetapi tidak secara langsung (fisik) hadir dalam persidangan. Hal demikian dilakuka dengan syarat harus memiliki dampak atau akibat hukum dalam proses mencari kebenaran materiil serta saksi telah memenuhi ketentuan Pasal 160 ayat (3) KUHAP yaitu mengucapkan sumpah atau janji serta keterangan tersebut diberikan oleh saksi mengenai apa yang saksi lihat sendiri, saksi dengar sendiri dan saksi alami sendiri serta menyebut alasan pengetahuannya itu (Pasal 1 angka 27 KUHAP).
Sebenarnya terobosan seperti itu sudah pernah terjadi, terlihat dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 661K/Pid/1988 tanggal 19 Juli 1991
yang pada dasarnya menyatakan bahwa keterangan saksi yang diberikan dalam pemeriksaan penyidikan dan saat memberikan keterangannya tersebut saksi telah disumpah, namun karena suatu halangan yang sah ia tidak dapat hadir di persidangan dan keterangannya tersebut dibacakan maka nilai keterangannya itu disamakan dengan keterangan saksi (kesaksian) yang disumpah di persidangan. Berdasarkan konteks ini terlihat bahwa praktek dunia peradilan telah melakukan suatu terobosan tentang kehadiran saksi secara fisik di pengadilan, ada kalanya dapat dikesampingkan.
Oleh karena pemeriksaan secara teleconference di Indonesia tidak diatur dalam KUHAP, melainkan hanya diatur secara tersamar dalam undang-undang yang secara lex specialist mengatur mengenai perkembangan alat bukti, sedangkan ketentuan yang secara tegas mengatur mengenai teleconference terdapat dalam yurisprudensi. Maka untuk menggunakan / memanfaatkan media teleconference dalam pemeriksaan di persidangan menjadi sah, majelis hakim perlu mengeluarkan penetapan secara khusus untuk terlaksananya teleconference. Hal ini berarti bahwa proses pemberian kesaksian melalui teleconference ini tidak dapat secara otomatis digunakan sebagai peraturan yang langsung dapat diterapkan.
Kehadiran peraturan perundang-undangan tentang keterangan saksi melalui teleconference merupakan tonggak kemajuan dalam memberikan solusi atas kekosongan hukum acara pidana seiring dengan perkembangan teknologi informasi dalam masyarakat. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Susan Ledray yang menyebutkan bahwa Montgomery County Circuit Court di Maryland telah menggunakan basis web teknologi konferensi video untuk keterangan saksi jarak jauh.
Layanan berbasis web video conference memungkinkan untuk komunikasi real-time oleh beberapa peserta melalui penggunaan komputer atau perangkat mobile yang berisi kamera, mikrofon, dan speaker. Pengadilan Maryland mengantisipasi penggunaan teknologi ini untuk tingkat yang
lebih besar di masa depan oleh masyarakat, pengacara dan penerimaan teknologi di pengadilan (Ruth Marina Damayanti Siregar, 2015: 28).
Bahwa dengan adanya teleconference memperluas ruang sidang yang semula saksi hanya boleh memberikan keterangan di ruang sidang pengadilan, akan tetapi saat ini dengan bantuan teknologi keterangan saksi dapat diberikan di luar ruang sidang pengadilan dan dianggap telah memberikan keterangan di ruang sidang. Begitu pun dengan fakta yang terjadi saat ini, bahwa dalam banyak pemberitaan dewasa ini para pemirsa televisi mendapat suguhan baru yang menayangkan jalannya persidangan atau proses peradilan atau yang dikenal dengan istilah courtroom television. Tayangan di televisi baik langsung (live) maupun siaran ulang atau siaran tunda yang menampilkan suasana persidangan lengkap dengan terdakwa atau terpidana, jaksa, majelis hakim, para saksi dan para penasehat hukum/ pengacara yang ditampilkan dalam suatu sidang peradilan pidana. Proses persidangan tersebut ditayangkan secara utuh, baik narasi maupun dialognya atau tanpa sensor.
Sampai saat ini belum ada definisi tentang istilah courtroom television, terjemahan secara bebas untuk istilah courtroom television adalah ruang sidang peradilan di televisi. Namun dalam buku Paul Lambert terdapat deskripsi mengenai courtroom television yakni, one of central concerns in relation to television courtroom broadcasting is that television cameras or television operators will distract the various people who are required as part of the courtroom process. This includes witnesses, the jury, lawyers and court staff (Mosgan Situmorang dkk, 2013:1).
Sementara perkembangan teknologi semakin maju dengan penegasan Pasal 153 ayat (1), Pasal 195 KUHAP dan Pasal 13 ayat (1,2 dan 3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 mengenai Persidangan Terbuka untuk Umum semakin membuka ruang bagi industri media televisi untuk menghadiri proses persidangan dengan penayangan secara
langsung terutama terhadap kasus-kasus yang menjadi perhatian khalayak ramai.
Siaran langsung merupakan proses dalam melakukan siaran dari tempat produksi baik studio maupun di luar studio pada waktu yang sama sehingga penonton dapat menyaksikan acara secara bersamaan pada saat produksi/kejadian berlangsung. Dengan perkembangan teknologi, ada beberapa teknik dan peralatan yang bisa digunakan untuk melakukan siaran langsung pada televisi, diantaranya:
1. Microwave Transmission
Microwave Transmission atau disebut juga dengan Field Pickup Unit / FPU sebuah peralatan yang digunakan untuk mengirimkan sinyal audio dan video secara direct dari pemancar ke penerima. Sarat Microwave Transmission agar dapat terhubung adalah antara pemancar dan penerima harus Line of Sight / LOS tanpa adanya penghalang apapun sehingga jarak yang bisa dicapai dengan sistem ini hanya terbatas dalam kota.
Gambar 5. Ilustrasi Microwive Transmission
2. Communication Satellites : Uplink dan Dwonlink
Sistem pengiriman gambar dan suara dengan menggunakan satelit memiliki jarak yang lebih jauh dan tidak terbatas oleh halangan, selama masih dalam jangkauan satelit maka siaran langsung dapat dilaksanakan. Proses pengiriman sinyal ke satelit biasa disebut dengan istilah uplink dan proses pengambilan gambar dari satelit disebut dengan donwlink. Sarat untuk dapat melakukan siaran
melalui satelit selain memiliki parabola untuk melakukan uplink dan downlink yaitu harus memiliki transponder yang akan digunakan untuk menerima pancaran dari bumi dan mengembalikaanya ke bumi dengan harga sewanya cukup mahal pada saat ini. Tanpa adanya transponder pancaran yang kita uplink tidak ada artinya karena tidak akan pernah dikembalikan ke bumi.
Gambar 6. Ilustrasi Communication Satellites : Uplink dan Dwonlink
3. Internet Network: Streaming
Pengiriman gambar dan suara dilakukan dengan menggunakan jaringan internet, sehingga dimana ada jaringan internet yang memadahi maka proses ini dapat dilakukan. Hal yang perlu dipersiapkan dalam mengirimkan gambar dan suara dengan cara ini yaitu peralatan encoder yang dilengkapi dengan capture card diperlukan dalam proses pengiriman sinyal, server yang digunakan sebagai titik akses sinyal yang telah kita kirimkan, dan peralatan decoder yang digunakan untuk menerima sinyal dari server, sehingga audio visual dapat kita terima dan saksikan.
Gambar 7. Skema Internet Network: Streaming 4. Cable Distribution
Cable Distribution yaitu sistem pengiriman sinyal dilakukan dengan menggunakan media kawat sehingga jarak hanya terbatas pada panjang kabel yang digunakan.
beberapa teknik di atas mempermudah stasiun televisi yang akan meliput proses persidangan dan menyiarkannya secara langsung.
Mekanisme peradilan dalam prosesnya mengadili dalam kenyataannya bukanlah proses yuridis semata. Proses peradilan bukan hanya proses menerapkan pasal-pasal dan bunyi undang-undang, melainkan proses yang melibatkan perilaku-perilaku masyarakat dan berlangsung dalam struktur sosial tertentu (Zainal Arifin Hoesein, 2013:24). Pelibatan media merupakan salah satu konsekuensi logis dari berkembangnya masyarakat di negara demokratis pada era digital seperti saat ini. Sehingga, tidak dapat dipungkiri, media mempunyai peran penting, bahkan pada proses berjalannya suatu kasus hingga proses peradilannya.
Revolusi media telah membawa perubahan dan perilaku masyarakat tidak saja dalam mengakses informasi namun juga dalam kegiatan menyebarluaskan informasi (Manunggal K et al, 2011:367-368).
Sehingga, pers mempunyai peranan sangat penting dalam negara demokrasi seperti Indonesia. Kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara juga dijamin dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, sehingga dengan dalih apa pun pers harus bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan dan atau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin. Pers dan media massa yang bebas untuk menyatakan pendapat merupakan salah nilai demokrasi yang perlu diselenggarakan di sebuah negara demokratis (Ni’matul Huda, 2015:219).
Siaran langsung secara kasat mata merupakan justifikasi dari penerapan asas persidangan terbuka untuk umum. Menurut Yahya Harahap, proses persidangan terbuka untuk umum bertujuan agar semua persidangan pengadilan jelas, terang dilihat dan diketahui masyarakat, sehingga setiap orang yang hendak mengikuti jalannya persidangan dapat
hadir memasuki ruangan sidang. Pintu dan jendela ruangan sidang pun terbuka, sehingga dengan demikian makna asas persidangan terbuka untuk umum benar-benar tercapai. Terhadap hal tersebut, Yahya Harahap mengatakan dengan diperbolehkan masyarakat menghadiri persidangan pengadilan, jangan sampai kehadiran mereka mengganggu ketertiban jalannya persidangan karena setiap orang wajib menghormati martabat lembaga peradilan khususnya bagi orang yang berada di ruang sidang sewaktu persidangan sedang berlangsung (Yahya Harahap, 2000:10).
Siaran langsung proses persidangan sesuai dengan Pasal 195 KUHAP yang mengatur bahwa semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum. Bagir Manan mengatakan bahwa putusan itu sekali diucapkan, maka menjadi milik publik, karena diucapkan dalam sidang terbuka maka itu menjadi milik publik, tidak lagi milik dari mereka yang berperkara saja.
Setiap mereka yang berkepentingan berhak mengetahui putusan itu (Putusan Pengadilan akan Terbuka untuk Umum http://www.hukumonline.com/berita/ baca/hol8500/putusan-pengadilan- akan-terbuka-untuk-umum).
Sedangkan Moch. Faisal Salam, menafsirkan asas persidangan terbuka untuk umum sebagai jaminan bahwa hakim tidak berpihak. Bahwa setiap orang dapat menghadiri sidang tersebut, sehingga peradilan berada di bawah pengawasan pendapat umum. Tujuannya adalah agar hakim tidak menerapkan hukum secara sewenang-wenang ataupun dengan cara membeda-bedakan orang (Moch Faisal Salam, 2001:273). Sehingga, asas persidangan terbuka untuk umum hakikatnya bertujuan sebagai bentuk pengawasan umum terhadap proses persidangan.
Kontrol ataupun pengawasan yang dilakukan oleh umum, tidak boleh mengganggu proses persidangan maupun menurunkan marwah pengadilan. Dalam siaran langsung sidang peradilan pidana tidak boleh menciderai prinsip lain dalam cakupan prinsip peradilan yang adil dan tidak memihak (fair trial). Salah satu elemen penting dari prinsip
peradilan yang adil dan tidak memihak (fair trial) berdasarkan Hak Asasi Manusia adalah asas praduga tak bersalah (the right to presumption of innocence).
Dalam Pasal 14 International Convenant on Civil and Political Rights yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) merupakan salah satu hak asasi manusia yang fundamental untuk dilindungi. Menurut General Comment No. 32 Convenant on Civil and Political Right, Article 14 Right to Equlaity before Courts and Tribunals and to a Fair Trial, asas praduga tak bersalah harus menjamin (terdakwa) agar tidak dilekatkan kesalahan sampai tuduhan tersebut terbukti tanpa keraguan. Asas ini mensyaratkan tidak adanya penghakiman (prejudging) sebelum ada putusan pengadilan. Selain itu, media juga harus menghindari liputan yang dapat menciderai asas praduga tak bersalah ini.
Sebenarnya di Indonesia belum terdapat aturan yang memperbolehkan maupun melarang siaran langsung media selama proses sidang di Pengadilan secara eksplisit dan detail, baik itu dalam KUHAP maupun di perundang-undangan lainnya. Dalam Pasal 218 KUHAP hanya mengatur hakim sebagai pemelihara tata tertib persidangan, dapat mengeluarkan orang yang diangap merendahkan martabat persidangan dari ruang sidang, apabila hal tersebut dianggap mengganggu proses persidangan. Hal tersebut membuat hakim dapat saja mengusir juru kamera yang hadir di ruang sidang, apabila hal tersebut dianggap mengganggu proses persidangan.
Namun kemudian terdapat pengaturan mengenai perekaman sidang yang dapat ditemukan dalam peraturan seperti dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perekaman Proses Persidangan yang mengatur pelaksanaan persidangan supaya lebih transparan, akuntabel dan teratur, maka selain catatan panitera pengganti yang tertuang dalam berita acara persidangan yang selama ini diatur dalam Pasal 202 ayat (1) KUHAP, ke depannya perlu dilakukan perekaman audio
visual secara sistematis, teratur dan tidak terpisahkan dari prosedur tetap persidangan. Untuk kebutuhan tersebut, maka secara bertahap persidangan pada pengadilan tingkat pertama harus disertai rekaman audio visual dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Hasil rekaman audio visual merupakan komplemen dari Berita Acara Persidangan;
2. Perekaman audio visual dilakukan secara sistematis dan terjamin integritasnya;
3. Hasil rekaman audio visual persidangan dikelola oleh kepaniteraan dan;
4. Hasil rekaman audio visual sebagai bagian dari bundel A.
Untuk memastikan pemenuhan ketentuan di atas, maka prioritas pelaksanaan rekaman audio visual pada persidangan akan dilakukan sebagai berikut:
1. Untuk tahap awal dilakukan pada perkara-perkara Tindak Pidana Korupsi dan perkara lain yang menarik perhatian publik;
2. Ketua Pengadilan wajib memastikan terlaksananya perekaman audio visual sesuai dengan surat edaran ini.
Selain diperbolehkannya rekaman audio visual selama persidangan, siaran langsung diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan dalam Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan standar Program Siaran (SPS) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) 2012. Penyiaran menurut UU Penyiaran mensyaratkan adanya pemancarluasan siaran dan diterima secara serentak oleh masyarakat, sehingga tidak hanya sebatas rekaman audio visual melainkan adanya penyebarluasan melalui media. Sedangkan program siaran langsung atau siaran tidak langsung pada sidang pengadilan menurut Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia nomor 02/P/KPI/03/2012 tentang Standar Program dalam Pasal 46 boleh dilakukan, asalkan sesuai dengan ketentuan penggolongan program siaran.
Penggolongan program siaran berdasarkan Pasal 33 Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia nomor 02/P/KPI/03/2012 tentang Standar Program digolongkan menjadi 5 klasifikasi berdasarkan kelompok usia, yaitu:
1. Klasifikasi P: Siaran untuk anak-anak usia Pra-Sekolah, yakni khalayak berusia 2-6 tahun;
2. Klasifikasi A: Siaran untuk Anak-anak, yakni khalayak berusia 7- 12 tahun;
3. Klasifikasi R: Siaran untuk Remaja, yakni khalayak berusia 13-17 tahun;
4. Klasifikasi D: Siaran untuk Dewasa, yakni khalayak di atas 18 tahun; dan
5. Klasifikasi SU: Siaran untuk khalayak berusia di atas 2 tahun.
Klasifikasi tersebut memuat ketentuan jam dan konten penyiaran yang berbeda dan harus disesuaikan dengan usia tertentu. Berdasarkan klasifikasi tersebut siaran langsung sidang pengadilan termasuk dalam klasifikasi D yakni siaran untuk dewasa yang hanya boleh disiarkan antara pukul 22.00-03.00 waktu setempat, mengingat Pasal 153 ayat (5) KUHAP yang mengatur bahwa hakim ketua sidang dapat menentukan bahwa anak yang belum mencapai umur 17 (tujuh belas) tahun tidak diperkenankan menghadiri sidang. Namun, hal tersebut tidak akan menjadi siaran langsung apabila disiarkan antara pukul 22.00 - 03.00 waktu setempat karena sidang pengadilan akan memiliki agenda sidang pada saat jam kerja. Akan tetapi faktanya, di Indonesia siaran langsung proses persidangan ditayangkan tidak sesuai dengan klasifikasi siaran.
Selain itu, penayangan sidang pengadilan melalui media televisi ini berbenturan dengan pasal-pasal di dalam KUHAP. Seperti yang sudah diuraikan diatas terkait prosedur pemeriksaan alat bukti saksi dalam KUHAP yang diatur dalam Pasal 160 ayat (1), yaitu: “Saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang menurut urutan yang dipandang sebaik-baiknya oleh hakim ketua sidang setelah mendengar
pendapat penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum”. Selanjutnya Pasal 167 ayat (3) KUHAP mengatur bahwa: “Para saksi selama sidang dilarang saling bercakap-cakap”.
Pengaturan prosedur pemeriksaan saksi tersebut menitikberatkan bahawa keterangan yang disampaikan oleh setiap saksi tidak bisa saling mengetahui, artinya jika keterangan saksi sebelumnya disiarkan langsung media televisi, berpotensi untuk diketahui oleh saksi yang lain yang menyaksikan proses siaran langsung. Sehingga potensi untuk mempengaruhi keterangan saksi selanjutnya sangat tinggi.
Dengan begitu, siaran langsung proses persidangan tidak menghormati hak-hak para saksi sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Dalam Pasal 5 diatur terkait hak saksi dan korban untuk dirahasiakan identitasnya, pengungkapan identitas ke publik melalui siaran langsung tanpa ada sensor, berpotensi memberikan tekanan atau ancaman kepada saksi, baik oleh oknum tertentu maupun oleh opini massa. Sedangkan saksi, sebagaimana tertuang di dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a berhak untuk mendapat perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikan.
Di Indonesia sendiri sudah cukup banyak proses persidangan yang ditayangkan oleh stasiun televisi baik secara live maupun siaran ulang.
Seperti persidangan kasus pembunuhan berencana oleh mantan ketua KPK Antasari Azhar, persidangan kasus korupsi Angelina Sondakh mantan anggota DPR RI, persidangan kasus korupsi Gayus Tambunan mantan PNS di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuanga, persidangan kasus korupsi Susno Duadji mantan Kepala Badan Reserse dan Kriminal hingga yang masih bisa dikatakan aktual yang terjadi sepanjang tahun 2017 adalah kasus persidangan kasus pembunuhan berencana Jessica Kumala Wongso, kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki
Tjahaja Purnama alias Ahok mantan Gubernur Jakarta yang proses sidangnya disiarkan secara detil.
Bahkan kasus pembunuhan oleh Jessica Kumala Wongso, sepanjang sejarah kasus kriminal di Indonesia merupakan kali pertama disiarkan secara lagsung oleh tiga stasiun televisi swasta dalam durasi yang cukup panjang hingga 12 jam. Selama 32 kali persidangan seringkali sidang berakhir hingga pukul 10.00 malam tetapi media televisi tak pernah absen untuk menanyangkan proses persidangannya. Kasus tersebut ibarat drama yang tak henti-hentinya disorot publik melalui tayangan live di televisi.
Namun kemudian pada tahun 2017 ketika kasus korupsi mega proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk (e-KTP) mencuat, untuk mencegah hal-hal yang timbul terhadap efek dari penyiaran langsung jalannya proses persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Selatan, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menerbitkan Surat Keputusan Nomor 10 U1/KP 01.1.17505 XI201601, yang isinya bahwa proses persidangan meskipun terbuka untuk umum persidangan dilarang disiarkan langsung oleh media televisi. Terdapat tiga alasan larangan ini dilakukan (3 Alasan Pengadilan Larang Media Siarkan Sidang Live E-KTP” dalam https://nasional.tempo.co /read/854613/3-alasan-pengadilan-larang-media- siarkan-sidang-live-e-ktp), yakni :
1. Majelis Hakim ingin mengembalikan marwah pengadilan dimana pembatas ini bertujuan agar asumsi publik tidak berkembang sebelum hakim menjatuhkan putusan;
2. Pengadilan tidak ingin menghancurkan konten persidangan dimana aktor-aktor yang terlibat berpotensi merekayasa keterangan;
3. Peradilan adalah ranah personal, dimana pihak yang terlibat dalam proses peradilan tanpa diketahui publik pun telah menjadi beban keluarga, kerabat dan almamater.
Selain Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui Surat Keputusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Kelas 1A Khusus Nomor W10.U1/KP.01.1.17505XI.2016.01 juga
melarang peliputan atau penyiaran persidangan secara langsung oleh media televisi di lingkungan PN Jakarta Pusat. Surat Keputusan Ketua Pengadilan Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat dapat dimaknai untuk menjaga marwah pengadilan sebagai bentuk indepensi hakim dalam mengadili kasus tersebut, sehingga penayangan secara langsung jalannya proses persidangan oleh media televisi tidak diperkenankan lagi, namun televisi dan media massa tetap dapat meliput dan mengambil gambar di dalam ruang sidang. Artinya Pengadilan Negeri Jakarta Selatan maupun Jakarta Pusat hanya membatasi pada proses penyiaran secara langsung.
Uraian di atas menunjukkan bahwa pengaturan siaran langsung proses persidangan kasus pidana belum seragam. Dalam perspektif penyiaran, siaran langsung proses sidang diperbolehkan dengan beberapa syarat yang berkaitan dengan etika penyiaran dan jurnalistik. Akan tetapi, beberapa peraturan yang berkaitan dengan proses peradilan pidana dilakukan tanpa batas tertentu. Oleh karena itu, perlu pembatasan penyiaran secara langsung proses persidangan.
Sebagai pihak yang mempunyai tugas untuk mengawasi setiap siaran yang ditayangkan oleh stasiun televisi, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pernah mengingatkan pihak wartawan melalui Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dengan mengeluarkan Surat Keputusan KPI Pusat Nomor 541/K/KPI/10/09 tertanggal 18 Oktober 2009 perihal “peringatan” kepada direktur utama seluruh stasiun televisi untuk tidak menayangkan siaran langsung (live) sidang pengadilan. KPI memaparkan banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh beberapa stasiun televisi. KPI pun memperingatkan bahwa dalam peliputan sidang pembacaan putusan media tidak boleh membentuk atau menggiring opini, terlebih jika vonis berbeda dengan pengharapan publik ("Ekspektasi publik dikhawatirkan berbeda dengan putusan kasus Jessica Wongso" dalam http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-37778944, diakses tanggal 19 Januari 2019 pukul 07:35 WIB).
Ide siaran langsung televisi atas sidang ini dilatari atas kesangsian persidangan suatu kasus bisa berjalan adil seperti yang dikhawatirkan para pihak pelapor. Akan tetapi saat ini, Dewan Pers menganggap siaran langsung itu berisiko mengganggu independensi persidangan, sehingga mereka meminta siaran langsung itu tidak dilakukan. Yosep Adi Prasetyo (Anggota Komisi Penyiaran) mengatakan proses siaran langsung sebaiknya tidak dilakukan, kecuali pada pembacaan dakwaan. Siaran langsung persidangan akan berpotensi pada kegaudahan di masyarakat dan akan membuat saksi-saksi tidak nyaman dalam memberikan keterangan Sidang kasus Ahok: Perlukah siaran langsung televisi, mengapa?", dalam http://www.bbc.com/ indonesia/indonesia-38291620, diakses tanggal 19 Januari 2019 pukul 07:23 WIB.
Pembatasan siaran langsung proses peradilan dicontohkan dalam putusan kasus P4 Radio Hele Norge ASA v. Norway di bawah Pengadilan HAM Eropa Eurupean Convention on Human Rights (ECHR) tentang peliputan media pada proses sidang kasus pidana di Norwegia. Dimana pihak P4 Radio Hele Norge ASA menggugat negara atas larangan penyiaran langsung sidang perkara pidana yang menjadi perhatian publik secara luas. Hakim Pengadilan HAM Eropa menyatakan bahwa siaran langsung di ruang sidang dapat mengubah karakteristiknya, mendorong adanya tekanan tambahan bagi pihak-pihak yang terlibat dalam proses peradilan, bahkan terlalu banyak memberikan pengaruh bagaimana pihak- pihak tersebut bersikap, sehingga akan menimbulkan prasangka terhadap proses peradilan yang fair (adil) (Amelie Lepinard, 2014:38). Pengadilan menilai bahwa siaran langsung proses persidangan biasanya tetap akan ada unsur penyaringan dan pilihan jurnalistik. Dengan adanya unsur pilihan jurnalistik dan penyaringan yang dilakukan oleh media, tentu saja akan membuat suatu kasus yang disiarkan media mempunyai muatan tertentu yang dapat mengarahkan opini massa.
Penayangan jalannya proses persidangan juga pernah terjadi di Amerika yaitu penyiaran secara langsung persidangan kasus O.J Simpson.
Dalam kasus ini, O.J Simpson yang dikenal sebagai aktor sekaligus mantan pemain American Football didakwa membunuh mantan istrinya yaitu Nicole Brown Simpson dan Ronald Goldman (pacar mantan istri) pada tahun 1994. Setelah melalui proses pengadilan yang panjang, O.J.
Simpson dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan pada 3 Oktober 1995 . Keputusan bebas O.J Simpson diambil oleh hakim berdasarkan rekomendasi juri yang dipengaruhi oleh pembelaan publik melalui media massa, bahwa O.J. Simpson tidak mungkin melakukan pembunuhan seperti yang telah dituduhkan kepadanya walaupun berbagai bukti yang dihadirkan semua mengarah kepadanya:
...because of this lone television camera, millions of people throughout the world followed every detail of O.J Simpson’s murder trial. It was the theater of the century. Never before has a defendant so truly received his right to a public trial guaranted by the Constitution of the United States (Marjorie Cohn, Cameras in the Courtroom: television an the pursuit of Justice 1998:4).
Proses persidangan yang disiarkan secara langsung oleh media massa tersebut ternyata mampu menggiring opini dari masyarakat bahwa dia tidak bersalah. Di negara Amerika yang menganut sistem hukum common law dan menggunakan sistem juri, opini ini sedikit banyak mampu mempengaruhi keputusan juri yang mempunyai kewenangan untuk menentukan sesorang bersalah atau tidak bersalah. Kondisi tersebut berbeda dengan Indonesia yang menganut sistem hukum kontinental dalam sidang pengadilan yang tidak mengenal adanya sistem juri.
Mantan Ketua Dewan Pers Bagir Manan mengatakan: "Di banyak negara maju jarang terjadi proses persidangan dibuat terbuka dan bisa diakses secara bebas oleh media massa. Tradisi di negara-negara yang bebas sekalipun, apalagi negara tertutup, mereka tidak membiasakan keterbukaan sidang pengadilan. Mereka takut melanggar prinsip asas praduga tak bersalah. Peliputan yang sedemikian masif terhadap persidangan perkara dapat mengganggu kebebasan hakim. Kebebasan hakim yang merupakan kebebasan penegak hukum. Kebebasan hakim sangat absolut, untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Peliputan
secara langsung, menurut Bagir juga dapat mempengaruhi terdakwa (Dilema Siaran Langsung Televisi dalam Pengadilan Ahok", dalamhttp://www.suara.com/news /2016/12/09/202010/dilema-siaran- langsung-televisi-dalam-pengadilan-ahok, diakses tanggal 3 Mei 2016 pukul 07:38 WIB).
Bahwa fenomena yang terjadi di Indonesia seperti yang sudah diuraikan diatas, sebagai bentuk pemanfaatan masyarakat terhadap perkembangan teknologi komunikasi dan informasi di dunia hukum menggambarkan terjadinya pergeseran yang dapat memperluas pemaknaan terhadap suatu aturan tertulis. Serta telah telah mewujudkan asas-asas persidangan terbuka untuk umum menjadi sangat terbuka. Sehingga bukan hanya pengunjung sidang yang bisa mengikuti jalannya persidangan, namun masyarakat yang jauh dari ruang persidangan pun bisa mengikuti jalannya persidangan secara utuh.
Bahwa kondisi penggunaan media teknologi komunikasi dan informasi yang tidak dapat dilepaskan keterikatannya dengan situasi dan kondisi masyarakat modern masa kini dengan berbagai perdebatan yang disuguhkan melalui media massa khususnya media televisi dalam pandangan Jean Baudrillard merupakan medan yang mengkondisikan khalayak ramai untuk ditarik seluruh perhatian dan konsentrasinya ke dalam sebuah mandala layaknya black hole. Ia menyebutnya Simulacra, yaitu realitas yang ada adalah realitas semu, realitas buatan (hyper-reality) (Muhammad Rustamaji, 2016:436).
Dapat dicermati bahwa masuknya media teknologi dan informasi di dalam dunia hukum memperluas pemaknaan sidang pengadilan yang semula persidangan dilakukan di gedung pengadilan namun kini dapat diterobos dengan adanya sistem intranet dalam lingkup protokol lembaga saja maupun internet yang dapat disebarluaskan, tentu saja hal tersebut mempengaruhi pemaknaan asas sidang pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum, karena kini dengan adanya siaran langsung (live) dan/ atau siaran tidak langsung proses persidangan semua masyarakat dapat
mengikuti jalannya persidangan suatu kasus tertentu dengan hanya melalui media televisi tanpa hadir di dalam ruang sidang.
Mencermati uraian-uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa ketika mengkaji tentang Asas Sidang Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum yang semula sidang itu hanya diasumsikan dibuka dan terbuka untuk umum hanya di ruang sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan Pasal 230 KUHAP serta Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.06-UM.01.06 Tahun 1983 yang hanya sebatas ruangan kemudian sekarang mengalami perluasan melalui bentuk penyiaran televisi, penyebarluasan informasi. Perluasan demikian tidak hanya dibatasi oleh segi fisik bangunan segi empat bersekat tembok yang dilengkapi dengan atribut-atribut simbolik dan juga aturan tata tertib dalam pengadilan, namun dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi yang berbentuk media televisi, media sosial dan media massa lainnya bisa memperluas ruang sidang yang persegi empat itu menjadi menempati ruang-ruang yang tidak terbatas atas panjang kali lebar tetapi menjadi sinyal-sinyal listrik electromagnetik melalui satelit atau micrcowave transmisson sehingga informasinya bisa tersebar luas melalui
media televisi maupun sosial media berbasis internet.
2. Telaah atas Akibat yang Potensial Ditimbulkan dari Perluasan Asas Sidang Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum yang Disiarkan Secara Langsung Melalui Media Televisi
Pemanfaatan media tekonologi komunikasi dan informasi di dalam dunia hukum memperluas pemaknaan asas sidang pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum yang disiarkan secara langsung melalui media televisi dalam sistem peradilan pidana. Hal tersebut tentu saja berpotensi menimbulkan akibat positif dan negatif baik bagi para aktor penegak hukum, institusi maupun masyarakat itu sendiri.
Sebagai suatu sistem, sistem peradilan pidana memiliki ciri tertentu yang membedakan dengan sistem yang lain. Ciri-ciri tersebut adalah;
bersifat terbuka (open system), memiliki tujuan, transformasi nilai,
mekanisme kontrol. Bersifat terbuka (open system) maksudnya sistem peradilan pidana dalam gerakannya akan selalu mengalami interface (interaksi, interkoneksi dan interdependensi) dengan lingkungannya dalam peringkat-peringkat masyarakat seperti ekonomi, politik, pendidikan dan teknologi serta sub-sub sistem peradilan pidana itu sendiri (the sub system of criminal justice system). Memiliki tujuan jangka pendek, tujuan jangka menengah dan tujuan jangka panjang, tujuan jangka pendek sistem peradilan pidana adalah diharapkan pelaku menjadi sadar akan perbuatannya sehingga tidak melakukan kejahatan lagi. Demikian pula orang lain tidak melakukan kejahatan sehngga tingkat kejahatan menjadi berkurang. Tujuan jangka menengah adalah terwujudnya suasana tertib, aman dan damai di dalam masyarakat, sedangkan tujuan jangka panjang sistem peradilan pidana adalah terciptanya tingkat kesejahteraan yang menyeluruh di kalangan masyarakat. Ada juga yang merumuskan tujuan sistem peradilan pidana dalam rangkat untuk mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan bersalah telah dipidana, dan mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya (Mahrus Ali, 2007:218).
Kemudian maksud transformasi nilai dalam arti sistem peradilan pidana adalah dalam operasi kerjanya pada setiap komponen- komponennya harus menyertakan nilai-nilai dalam setiap tindakan dan kebijakan yang dilakukan, seperti nilai keadilan, nilai kebenaran serta nilai kepatutan dan kejujuran. Berikutnya adalah adanya mekanisme kontrol, yaitu menjalankan pengawasan sebagai respon terhadap penanggulangan kejahatan. Sistem peradilan pidana menjadi perangkat hukum yang dapat digunakan dalam menanggulangi berbagai bentuk kriminalitas sebagai bagian dari upaya perlindungan masyarakat. Karakteristik demikian ini melekat pada fungsi sistem peradilan pidana sebagai sarana masyarakat untuk menahan dan mengendalikan kejahatan pada tingkat tertentu (crime containment system), serta mengurangi kejahatan di kalangan mereka
yang pernah melakukan tindak pidana dan mereka yang bermaksud melakukan kejahatan, melalui proses deteksi, pemidanaan dan pelaksanaan pidana (Mahrus Ali, 2007:218).
Di samping itu, dalam sistem peradilan pidana yang jamak dikenal selalu melibatkan dan mencakup sub-sub sistem dengan ruang lingkup masing-masing proses peradilan pidana antara lain kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan. Selama ini, pengadilan masih dianggap sebagai bagian dari sistem hukum formal yang terlepas dengan masyarakat, sehingga tidak heran kalau dikatakan, pengadilan terisolasi dari dinamika masyarakat di mana pengadilan itu berada. Isolasi tersebut juga mengundang asosiasi kediktatoran pengadilan (judicial dictatorship), oleh karena ia memutus semata-mata dengan mengingat apa yang menurut tafsirannya dikehendaki oleh hukum tanpa harus melibatkan ke dalam atau mendengarkan dinamika masyarakat tersebut. Itulah sebabnya secara sosiologis pengadilan menjadi terisolasi dari keseluruhan dinamika masyarakatnya dan menjadi benda asing dari tubuh itu (Satjipto Rahardjo, 2007:38).
Tidak sedikit dari putusan-putusan pengadilan yang malah jauh dari dinamika masyarakat. Ia hanya mengacu kepada aturan-aturan formal belaka. Pengadilan yang seharusnya menjadi tempat untuk menemukan keadilan “berubah” menjadi medan perang untuk mencari menang (to win the case, padahal seharusnya “hukum adalah untuk rakyat bukan sebaliknya”. Bila rakyat untuk hukum, apapun yang dipikirkan dan dirasakan rakyat akan ditepis karena yang dibaca adalah kata-kata undang- undang (Mahrus Ali, 2007:225).
Indonesia yang menyebut dirinya sebagai negara demokrasi seharusnya keterbukaan dan keterlibatan masyarakat secara luas dalam sistem peradilan pidana sudah selayaknya di akomodir karena akan sangat aneh apabila negara demokrasi terbesar tetapi sistem hukumnya masih belum mencerminkan demokrasi itu sendiri. Dalam pengadilan Indonesia semua aspek perkara itu diputuskan dan merupakan tanggung jawab hakim
sepenuhnya, sebab masih dipertahankannya stelsel aktif hakim, artinya hakim yang memimpin sidang secara aktif melakukan pemeriksaan fakta (fact finding) termasuk menentukan hal-hal apa saja yang masih perlu disajikan oleh para pihak, sehingga kekuasaan hakim yang berdasarkan stelsel aktif ini menjadi absolut (Satjipto Rahardjo, 2003: 229).
Masuknya media teknologi komunikasi dan informasi yakni televisi dalam suatu proses persidangan dengan menayangkan siaran langsung dan/ atau siaran ulang tentu menjadi sarana penyebaran informasi yang efisien dan mempengaruhi daya sebar sebuah kasus kepada seluruh kalangan masyarakat sehingga bisa merata. Fenomena kecepatan informasi yang dapat diakses di segala penjuru negeri membuat suatu kasus tidak henti-hentinya diperbincangkan atau bahkan menjadi bahan diskursus yang menarik untuk diperdebatkan. Media massa baik televisi, koran, majalah bahkan media sosial berbasis internet seringkali berlomba untuk memberitakan hingga kasus tersebut hingga menjadi viral.
Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Jean Baudrillard mengenai transisi historis dari modernitas ke arah postmodernitas dalam tiga tahap yang sejak jaman Renaissance hingga kini telah terjadi tiga kali revolusi simulacra, yaitu counterfeit, production dan simulation, yang merupakan nama yang berbeda untuk arti yang sama yaitu, imitasi atau reproduksi dari image atau objek. Pertama, image merupakan representasi dari realitas. Kedua, image menutupi realitas. Ketiga, image menggantikan realitas yang telah sirna, menjadi simulacrum murni. Pada sign as sign, simbolika muncul dalam bentuk irruption. Baudrillard kemudian menambahkan tahapan keempat yang disebut fractal atau viral. Kini kita pada tahapan fractal, suatu tahapan transeverything yang mengubah secara radikal cara pandang kita terhadap dunia” (Muhammad Rustamaji, 2016:441).
Percepatan daya sebar informasi oleh media massa / pers tersebut membuat seluruh kalangan masyarakat dapat mengetahui perkembangan suatu kasus yang tengah disidangkan oleh para aktor penegak hukum. Hal
ini sebagai bentuk partisipasi media terhadap upaya penegakan hukum karena memiliki fungsi untuk menyajikan informasi yang akurat dalam fungsi pengawasan serta mampu memberikan dorongan bagi lembaga peradilan untuk mewujudkan independensi peradilan untuk menciptakan peradilan yang tidak memihak, akuntabel, transparan, mandiri, professional dan kemudahan akses pelayanan keadilan bagi semua masyarakat. Dalam rangka menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan maka media massa tersebut sebagai upaya untuk mendekatkan peradilan dengan masyarakat.
Bahwa jalannya persidangan yang disiarkan atau direkam secara langsung oleh media televisi sebenarnya bukan hal baru, karena Mahkamah Konstitusi telah membiasakan lembaganya untuk merekam dan menayangkan secara langsung jalannya persidangan baik melalui stasiun internal lembaga (MKTV) yang telah diluncurkan sejak tahun 2008 maupun yang disiarkan dengan bekerjasama dengan stasiun televisi swasta. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa penyiaran secara langsung jalannya persidangan diharapkan mampu menjamin prinsip transparansi lembaga peradilan (Mosgan Situmorang dkk, 2013:78).
Selain berdampak positif kepada masyarakat, siaran langsung persidangan melalui media televisi berdampak positif juga kepada hakim.
Mengingat pekerjaan sebagai hakim tidak mudah, karena pekerjaan hakim bukan hanya teknisi undang-undang, tetapi juga makhluk sosial. Karena itu, pekerjaan hakim sesunggunya mulia karena bukan hanya memeras otak, tetapi juga nuraninya, sehingga tidak salah ungkapan yang mengatakan, bahwa penjatuhan pidana adalah suatu pergulatan kemanusiaan (Satjipto Rahardjo, 2007:56).
Ungkapan tersebut menggambarkan betapa berat dan terkurasnya hakim saat menjalankan tugasnya karena harus menjalani suatu pergulatan batin. Suasana ini terjadi karena ia harus membuat pilihan-pilihan yang tidak mudah. Hakim harus menyadari benar bahwa dalam dirinya terjadi pergulatan kemanusiaan karena dihadapkan aturan hukum, fakta-fakta,
argumen jaksa, argumen terdakwa atau advokat, dan lebih dari itu masih harus meletakkan telinganya di jantung masyarakat. Ada suatu ungkapan indah yang mengatakan bahwa hakim juga harus mewakili suaru rakyat yang diam, yang tidak terwakili, dan yang tidak terdengar (unrepresented dan under-represented). Alangkah mulia sebenarnya tugas hakim, mendengarkan, melihat, membaca, kemudian menjatuhkan pilihan yang adil adalah pekerjaan yang amat berat dan karena itu menguras tenaga dan pikiran. Dalam keadaan sekarang, masih ditambah dengan keteguhan untuk melawan godaan dan tarikan ke arah dunia materiil (Mahrus Ali, 2007:225-226).
Dalam membuat sebuah putusan, hakim harus benar-benar mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan peraturan hukum yang mengaturnya untuk diterapkan, baik peraturan hukum yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan maupun hukum yang tidak tertulis dalam hukum adat. Untuk melihat dan merasakan bahwa suatu putusan telah memenuhi rasa keadilan atau tidak dapat ditemukan di dalam pertimbangan hukum yang digunakan hakim.
Pertimbangan hukum merupakan dasar argumentasi hakim dalam memutuskan suatu perkara, apabila argumentasi tersebut tidak benar dan tidak sepantasnya maka kemudian masyarakat dapat menilai bahwa putusan yang telah dibuat tidak benar dan tidak adil. Pertimbangan hukum yang tidak benar dapat terjadi karena berbagai karena beberapa kemungkinan, diantaranya (Mosgan Situmorang dkk, 2013: 90) :
1) Hakim tidak mempunyai cukup pengetahuan hukum tentang masalah yang sedang ditangani;
2) Hakim sengaja menggunakan dalil hukum yang tidak benar atau tidak semestinya karena adanya faktor lain seperti adanya tekanan pihak-pihak tertentu, suap dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi indenpendensi hakim;
3) Hakim tidak memiliki cukup waktu untuk menuliskan semua argumen hukum yang baik disebabkan karena terlalu banyaknya
perkara yang harus diselesaikan dalam kurun waktu yang relatif singkat;
4) Hakim malas untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasannya (kognitif) sehingga berpengaruh terhadap kualitas putusan yang dibuat.
Secara normatif, putusan pengadilan merupakan proses berpikir (kognitif) hakim yang dapat dipengaruhi oleh faktor individu serta faktor lingkungan. Oleh karena itu, sebagian besar hakim dalam memutuskan perkara berdasarkan sesuatu yang irelevan, sehingga putusan hakim yang seharusnya merupakan hasil pemikiran yang rasional dari hakim (rational choice theory) menjadi sebuah angan-angan. Rational Choice Theory oleh hakim dalam membuat sebuah putusan dewasa ini dianggap
“utopis/utopia” belaka karena hanya hidup di atas kertas
Berdasarkan hasil analisa new legal empiricism dikemukakan bahwa dalam proses pembuatan putusan, hakim cenderung berpikir heuristic (mental shortcut) maksudnya dalam menyusun kesimpulan sekedar bergantung pada informasi yang relevan dan cepat di ingat, hal ini rawan terhadap bias kognitif putusan hakim yang tentunya akan mempengaruhi kualitas putusan hakim.
Faktor-faktor yang dianggap mempengaruhi hakim untuk cenderung berpikir heuristic dalam membuat putusan dapat dilihat dalam judicial behavior model sebagai berikut (Mosgan Situmorang dkk, 2013:
46) :
1) Legal Model
Pada legal model, hakim secara murni membuat putusan yang baik denga cara menafsirkan hukum/konstitusi seakurat mungkin tanpa pertimbangan kebijakan apa yang akan dihasilkan dari putusannya.
2) Attitudinal Model
Hakim sangat dipengaruhi oleh agama ataupun idealismenya.
Attitudinal model juga menggambarkan bahwa hakim yang berdasarkan pandangan dan keyakinannya sendiri membuat
kebujakan umum baik secara sungguh-sungguh maupun naif melalui putusannya tanpa menghitung bagaimana respons audiens terhadap kebijakannya dan akibat dari pilihan kebijakan yang diambilnya.
3) Social Background Model
Hakim dalam membuat putusan dipengaruhi juga oleh suku serta tingkat pendidikan.
4) Strategic Model
Faktor ini menggambarkan bahwa putusan yang dibuat oleh hakim digunakan sebagai bagian strategi untuk menjada keamanan posisi pekerjaannya. Di Indonesia hakim cenderung
5) Managerial Model
Hakim seharusnya hanya fokus memikirkan pekerjaan yudisial/putusan peradilan, namun faktanya hakim juga direpotkan dengan pekerjaan non yudisial seperti pekerjaan administrasi serta pekerjaan manajerial jika mempunyai jabatan struktural.
6) Public Opinion Model
Opini publik yang dibawa oleh pers menjadi salah satu faktor hakim akan berpikir shortcut dalam membuat putusan. Opini publik merupakan faktor yang mampu mempengaruhi hakim dalam memutuskan suatu perkara, para hakim akan sangat memperhatikan pendapat masyarakat terhadap kasus yang ditanganinya.
Faktor strategic model dan public opinion model ini yang dapat terjadi karena praktik courtroom television. Hal ini sejalan dengan analisis Lawrence Baum yang memberikan perspektif baru dalam memahami motivasi hakim dalam membuat putusan. Lawrence Baum dalam bukunya berjudul Judges and Their Audiences: A perspective on Judicial Behavior menolak cara pandang konvensional bahwa para hakim membuat putusan dalam ruang hampa dan berumah di atas angin yang sama sekali kebal dari pengaruh situasi eksternal dan semata-mata mewujudkan “good law” dan
“good policy”, dia jua ragu akan klaim para hakim dan anggapan umum