• Tidak ada hasil yang ditemukan

TELAAH LITERATUR

Dalam dokumen ENVIRONMENTAL DISCLOSURE DI INDONESIA (Halaman 27-40)

LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

A. TELAAH LITERATUR

Pada telaah literatur dalam penelitian ini akan dijabarkan mengenai akuntansi pertanggungjawaban sosial; konsep akuntansi lingkungan; kinerja lingkungan (environmental performance) dan Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER); kinerja perusahaan (termasuk di dalamnya profitabilitas, leverage, rasio ROA, dan rasio TATO); karakteristik perusahaan (termasuk di dalamnya firm size dan length of listing di BEI); nilai perusahaan (firm value); serta pengungkapan lingkungan (environmental disclosure).

1. Akuntansi Pertanggungjawaban Sosial

Pertanggungjawaban sosial perusahaan adalah mekanisme bagi suatu organisasi untuk secara sukarela mengintegrasikan perhatian terhadap lingkungan dan sosial ke dalam operasi dan interaksinya dengan stakeholders, yang melebihi tanggung jawab organisasi di bidang hukum (Darwin, 2004). Pertanggungjawaban sosial perusahaan diungkapkan dalam sustainability reporting yaitu pelaporan mengenai kebijakan ekonomi, lingkungan dan sosial, pengaruh dan kinerja organisasi dan produknya dalam konteks pembangunan berkelanjutan (Anggraini, 2006).

Secara umum, International Institute for Sustainable Development (IISD) membagi Corporate Social Responsibility (CSR) menjadi tiga pilar utama, yaitu pertumbuhan ekonomi (economic growth), pengembangan sosial (social development), dan perlindungan lingkungan atau

commit to user

environmental protection (Beardsell, 2008). Aspek perlindungan lingkungan mendapat perhatian cukup besar beberapa waktu ini sebab tuntutan dan tekanan kepada perusahaan agar concern terhadap lingkungan semakin meningkat (Jalal, 2008). Darwin (2004) membagi Corporate Sustainability Reporting menjadi tiga kategori, yaitu: kinerja ekonomi, kinerja lingkungan, dan kinerja sosial. Zhegal dan Ahmed (1991) mengidentifikasi hal-hal yang berkaitan dengan pelaporan sosial perusahaan sebagai berikut.

a. Lingkungan, meliputi pengendalian terhadap polusi, pencegahan atau perbaikan terhadap kerusakan lingkungan, konservasi alam, dan pengungkapan lain yang berkaitan dengan lingkungan.

b. Energi, meliputi konservasi energi, efisiensi energi, dan lain-lain. c. Praktik bisnis yang wajar, meliputi pemberdayaan terhadap

minoritas dan perempuan, dukungan terhadap usaha minoritas, dan tanggung jawab sosial.

d. Sumber daya manusia, meliputi aktivitas di dalam suatu komunitas dalam kaitan dengan pelayanan kesehatan, pendidikan, dan seni. e. Produk, meliputi keamanan, pengurangan polusi, dan lain-lain. Akuntansi pertanggungjawaban sosial (Social Responsibility Accounting) didefinisikan sebagai proses seleksi variabel-variabel kinerja sosial tingkat perusahaan, ukuran, dan prosedur pengukuran yang secara sistematis mengembangkan informasi yang bermanfaat untuk mengevaluasi kinerja sosial perusahaan dan mengkomunikasikan informasi tersebut kepada kelompok sosial yang tertarik, baik di dalam maupun di luar perusahaan

commit to user

(Belkaoui, 2000). Akuntansi pertanggungjawaban sosial memberikan informasi mengenai sejauh mana organisasi atau perusahaan memberikan kontribusi positif maupun negatif terhadap kualitas hidup manusia dan lingkungannya (Belkaoui, 2000).

Pengungkapan tanggung jawab sosial seperti diungkapkan Sembiring (2005) merupakan data yang diungkapkan oleh perusahaan berkaitan dengan aktivitas sosialnya yang meliputi tema lingkungan, energi, kesehatan dan keselamatan kerja, lain-lain tentang tenaga kerja, produk, keterlibatan masyarakat, dan umum.

2. Konsep Akuntansi Lingkungan

Konsep akuntansi lingkungan berkembang sejak tahun 1970-an di Eropa akibat tekanan lembaga-lembaga bukan pemerintah dan meningkatnya kesadaran lingkungan di kalangan masyarakat yang mendesak agar perusahaan-perusahaan menerapkan pengelolaan lingkungan bukan hanya kegiatan industri untuk tujuan bisnis saja (Almilia dan Wijayanto, 2007).

Pada pertengahan tahun 1990-an ketika istilah environmental accounting belum banyak dikenal, hanya beberapa perusahaan yang menerapkan environmental accounting mula-mula dengan mengungkapkan masalah lingkungan. Hal ini berkaitan dengan keterbukaan perusahaan untuk mengungkapkan informasi lingkungan sebagai dampak dari aktivitas industri atau aktivitas bisnis mereka. Namun jumlah perusahaan yang menerapkan environmental accounting meningkat dari 10.4% pada tahun 1998 menjadi 20.9% di tahun 1999, dan 27% di tahun 2000. Dari jumlah

commit to user

ini, 17.3% sudah menerapkan dan memperkenalkan environmental accounting dan 34% sedang mempertimbangkan dan akan segera menerapkannya. Hal ini berkaitan dengan dikeluarkannya The Environmental Accounting Guideline yang diterbikan oleh The Environmental Agency yang kemudian berubah menjadi Ministry of Environment (MOE) pada Mei tahun 2000. Kemudian draft ini diperbaiki lagi pada Maret tahun 2002 sebagai Petunjuk Pelaksanaan Akuntansi Lingkungan Edisi 2002 atau yang biasa dikenal dengan Environmental Accounting Guidelines 2002 Edition (Almilia dan Wijayanto, 2007).

Saat ini banyak perusahaan industri dan jasa di dunia yang telah menerapkan environmental accounting. Tujuan penerapan environmental accounting seperti dikemukakan Almilia dan Wijayanto (2007) adalah untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan lingkungan dengan melakukan penilaian kegiatan lingkungan dari sudut pandang biaya (environmental cost) dan dari sudut pandang manfaat atau efek (economic benefit). Environmental accounting diterapkan oleh berbagai perusahaan untuk menghasilkan penilaian kuantitatif tentang biaya dan efek perlindungan lingkungan (environmental protection).

Saat ini belum ada standar yang baku mengenai item-item pengungkapan lingkungan. Namun beberapa institusi telah mengeluarkan rekomendasi pengungkapan lingkungan, antara lain: Dewan Ekonomi dan Sosial—Perserikatan Bangsa-Bangsa (ECOSOC—PBB), Ernst and Ernst, Institute of Chartered Accountant in England and Wales (ICAEW), dan Global Reporting Initiative (Almilia dan Wijayanto, 2007).

commit to user 3. Environmental Performance dan PROPER

Kinerja lingkungan (environmental performance) menurut Suratno dkk. (2007) adalah kinerja perusahaan dalam menciptakan lingkungan yang baik (green). Environmental performance diukur dari prestasi perusahaan mengikuti program Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan (PROPER) yang diadakan oleh Kementrian Lingkungan Hidup (KLH). Penelitian Sarumpaet (2005) membuktikan rating PROPER cukup terpercaya sebagai ukuran kinerja lingkungan perusahaan karena kesesuaiannya dengan sertifikasi internasional di bidang lingkungan ISO 14001.

Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan (PROPER) dilaksanakan sejak tahun 2002. Tujuan penerapan instrumen PROPER adalah untuk mendorong peningkatan kinerja perusahaan dalam pengelolaan lingkungan melalui penyebaran informasi kinerja penaatan perusahaan dalam pengelolaan lingkungan. Peningkatan kinerja pentaatan dapat terjadi melalui efek insentif dan disinsentif reputasi yang timbul akibat pengumuman peringkat kinerja PROPER kepada publik. Stakeholders akan memberikan apresiasi kepada perusahaan yang berperingkat baik dan memberikan tekanan atau dorongan kepada perusahaan yang belum berperingkat baik. Pelaksanaan PROPER difokuskan kepada perusahaan yang memenuhi kriteria sebagai berikut: perusahaan yang berdampak besar terhadap lingkungan hidup; perusahaan yang berorientasi ekspor dan produknya bersinggungan langsung dengan masyarakat; dan perusahaan publik (Press Briefing PROPER, 2009).

commit to user

Penilaian kinerja penataan perusahaan dalam PROPER dilakukan berdasarkan atas kinerja perusahaan dalam memenuhi berbagai persyaratan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kinerja perusahaan dalam pelaksanaan kegiatan yang terkait dengan kegiatan pengelolaan lingkungan yang belum menjadi persyaratan penataan (beyond compliance). Penilaian untuk aspek beyond compliance dilakukan terkait dengan penilaian terhadap upaya-upaya yang telah dilakukan oleh perusahaan dalam penerapan Sistem Manajemen Lingkungan (SML), konservasi dan pemanfaatan sumber daya, serta kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) termasuk kegiatan community development (Press Briefing PROPER, 2009).

Penilaian PROPER difokuskan pada penilaian ketaatan perusahaan dalam aspek pengendalian pencemaran air, pengendalian pencemaran udara, dan penelolaan limbah B3 serta berbagai kewajiban lainnya yang terkait dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Peringkat kinerja penaatan perusahaan peserta PROPER dikelompokkan dalam 5 (lima) peringkat warna (emas, hijau, biru, merah, dan hitam) dengan 7 (tujuh) kategori (emas, hijau, biru, biru minus, merah, merah minus, dan hitam). Masing-masing peringkat warna mencerminkan kinerja perusahaan. Kinerja penaatan terbaik adalah peringkat emas, selanjutnya hijau, biru, biru minus, merah, merah minus, dan kinerja penaatan terburuk adalah peringkat hitam (Press Briefing PROPER, 2009).

4. Kinerja Perusahaan

commit to user

menjalankan aktivitasnya (Sartono, 1990). Komponen kinerja perusahaan yang digunakan dalam penelitian ini di antaranya: profitabilitas, leverage, Return on Assets (ROA) dan Total Assets Turnover (TATO).

Profitabilitas merupakan faktor yang membuat manajemen menjadi bebas dan fleksibel untuk mengungkapkan pertanggungjawaban sosial kepada pemegang saham (Hackston dan Milne, 1996). Belkaoui dan Karpik (1989) menyatakan bahwa kepedulian terhadap masyarakat (sosial) dilakukan oleh manajemen untuk membuat perusahaan menjadi profitable. Sartono (1996) mendefinisikan profitabilitas sebagai kemampuan perusahaan memperoleh laba dalam hubungannya dengan penjualan, total aktiva, dan modal sendiri. Definisi Sembiring (2005) mengenai profitabilitas adalah kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba dalam upaya meningkatkan nilai pemegang saham.

Leverage adalah komponen yang signifikan dalam menentukan level pengungkapan informasi suatu perusahaan, berdasarkan asumsi bahwa biaya operasional akan lebih tinggi untuk perusahaan dengan leverage tinggi dalam struktur permodalannya (Hapsoro, 2009). Leverage merupakan alat untuk mengukur seberapa besar perusahaan tergantung pada kreditur dalam membiayai aset perusahaan (Sembiring, 2005). Leverage menunjukkan proporsi atas penggunaan utang untuk membiayai investasinya (Sartono, 1990). Teori keagenan memprediksi bahwa perusahaan dengan rasio leverage yang lebih tinggi akan mengungkapkan lebih banyak informasi, karena biaya keagenan perusahaan dengan struktur permodalan seperti itu lebih tinggi (Jensen dan Meckling, 1976).

commit to user

Perusahaan dengan rasio leverage tinggi memiliki kewajiban untuk melakukan pengungkapan yang lebih luas daripada perusahaan dengan rasio leverage yang lebih rendah (Anggraini, 2006). Penelitian lain menyatakan bahwa manajemen perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi akan mengurangi pengungkapan tanggung jawab sosial yang dibuatnya agar tidak menjadi sorotan dari para debtholders (Belkaoui dan Karpik, 1989).

Return on Assets (ROA) menunjukkan kemampuan perusahaan menghasilkan laba dari aktiva yang dipergunakan (Sartono, 1990). Pendapat ini konsisten dengan pendapat Hanifa dan Cooke (2005) bahwa ROA menunjukkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba serta mengukur tingkat efisiensi operasional perusahaan secara keseluruhan dan efisiensi perusahaan dalam menggunakan harta yang dimilikinya

Total Assets Turnover (TATO) menunjukkan keefektifan perusahaan dalam menggunakan total aktiva untuk menciptakan penjualan dan memperoleh laba (Sartono, 1990).

5. Karakteristik Perusahaan

Karakteristik perusahaan dapat menjelaskan variasi luas pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan, dan karakteristik perusahaan merupakan predictor kualitas pengungkapan (Suhardjanto dan Choiriyah, 2010). Beberapa komponen karakteristik perusahaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: firm size dan length of listing di BEI.

Definisi size diungkapkan oleh Sembiring (2005) sebagai jumlah aktiva (aktiva tetap, aktiva tak berwujud, dan aktiva lain-lain), jumlah penjualan,

commit to user

atau jumlah tenaga kerja yang dimiliki perusahaan sampai akhir periode pelaporan keuangan. Firm size menggambarkan ukuran perusahaan. Firm size diukur dengan log total aktiva perusahaan. Total aktiva digunakan sebagai dasar ukuran perusahaan karena total aktiva berisi keseluruhan aktiva yang dimiliki perusahaan baik aktiva lancar maupun aktiva tetap sehingga mengambarkan ukuran perusahaan yang sesungguhnya (Suhardjanto dan Choiriyah, 2010).

Perusahaan yang umur listingnya masih muda tanpa adanya pemegang saham yang state lebih percaya pada penggalian dana eksternal daripada perusahaan yang lebih lama umur listingnya (Barnes dan Walker, 2006) dan memiliki keinginan lebih besar untuk mengurangi skeptisme serta meningkatkan kepercayaan investor (Hanifa dan Cooke, 2002). Length of listing di Bursa Efek Indonesia (BEI) dianggap merepresentasikan umur perusahaan, mengingat Bursa Efek Indonesia (BEI) merupakan bursa efek terbesar di Indonesia.

6. Firm Value

Perusahaan mengungkapkan informasi dengan tujuan untuk meningkatkan nilai perusahaan (firm value), termasuk di dalamnya penggunaan informasi tanggung jawab sosial perusahaan yang bertujuan untuk meningkatkan firm value (Rustiarini, 2010). Nilai perusahaan merupakan persepsi investor terhadap perusahaan yang sering dikaitkan dengan harga saham. Harga saham merupakan harga yang terjadi pada saat saham diperdagangkan di pasar. Harga saham yang tinggi mengindikasikan semakin tinggi nilai perusahaan (Fakhruddin dan Hadianto, 2001).

commit to user

Perusahaan yang memiliki kinerja lingkungan dan sosial baik akan direspon positif oleh investor melalui peningkatan harga saham, sedangkan perusahaan yang memiliki kinerja lingkungan dan sosial buruk akan direspon negatif oleh investor melalui penurunan harga saham (Almilia dan Wijayanto, 2007). Nilai perusahaan diproksikan dengan Tobin’s Q.

7. Environmental Disclosure

Menurut Suratno, Darsono, dan Mutmainah (2006), environmental disclosure adalah pengungkapan informasi yang berkaitan dengan lingkungan dalam laporan tahunan perusahaan. Definisi lain mengenai environmental disclosure diungkapkan oleh Al-Tuwaijri dkk. (2003) sebagai pengungkapan ukuran dan jenis polusi secara spesifik (emisi gas dan limbah beracun, pencemaran minyak, dan lain-lain) yang berguna bagi investor dalam mengestimasi arus kas di masa mendatang, sedangkan Hadi (2006) menyatakan bahwa environmental disclosure merupakan wujud pertanggungjawaban sosial perusahaan. Identifikasi pelaporan lingkungan meliputi pengendalian polusi, pencegahan atau perbaikan terhadap kerusakan lingkungan, konservasi alam dan pengungkapan lain yang berhubungan dengan lingkungan (Zhegal dan Ahmed, 1991). Terdapat 9 (sembilan) aspek dan 30 (tiga puluh) karakteristik untuk menilai pengungkapan lingkungan (environmental disclosure) berdasarkan Sustainabiliy Reporting Guidelines. Kesembilan aspek tersebut adalah aspek: material; energi; air; biodiversitas (keanekaragaman hayati); emisi, efluen, dan limbah; produk dan jasa; kepatuhan; pengangkutan/transportasi; dan menyeluruh (GRI, 2010).

commit to user B. PENELITIAN TERDAHULU

Suratno dkk. (2006) sesuai dengan discretionary disclosure theory menyatakan pentingnya penetapan hubungan antara environmental performance dengan environmental disclosure. Environmental performance yang baik mengurangi pengungkapan biaya-biaya lingkungan masa depan perusahaan. Pengungkapan informasi biaya-biaya lingkungan menjadi berita baik bagi investor demikian pula dengan environmental performance yang baik. Oleh karena itu, perusahaan dengan environmental performance yang baik perlu mengungkapkan informasi kuantitas dan mutu lingkungan yang lebih dibandingkan perusahaan dengan environmental performance lebih buruk. Suratno dkk. (2007) juga menyatakan perusahaan-perusahaan publik di Indonesia belum sepenuhnya menyadari pentingnya kesadaran mengungkapkan informasi-informasi yang bersifat voluntary, perusahaan-perusahaan publik di Indonesia saat ini baru sampai pada batas memenuhi kewajiban yang bersifat mandatory. Tingkat kesadaran ini pun masih dipengaruhi oleh karakteristik perusahaan. Warga negara Indonesia memiliki karakteristik kesadaran perilaku yang sangat berbeda dengan di negara-negara barat sehingga perlu ditelaah dengan seksama hal mana yang perlu dinyatakan sebagai kewajiban dan hal mana yang dinyatakan sebagai pilihan.

Al-Tuwaijri dkk. (2003) menyatakan environmental disclosure sebagai pengungkapan secara spesifik ukuran polusi dan berbagai jenis polusi (emisi beracun, pencemaran minyak, dan pencemaran lingkungan, dan sebagainya) yang ditemukan investor yang berguna untuk mengestimasi perputaran arus kas di masa mendatang. Al-Tuwaijri dkk. (2003) menemukan hubungan positif antara

commit to user

environmental performance dengan environmental disclosure. Good environmental performance berpengaruh terhadap kuantitas environmental disclosure yang diungkapkan. Hasil ini konsisten dengan discretionary disclosure theory bahwa pelaku lingkungan yang baik percaya bahwa mengungkapkan performance mereka menggambarkan good news bagi para pelaku pasar.

Anggraini (2006) menyatakan bahwa standar akuntansi keuangan di Indonesia belum mewajibkan perusahaan untuk mengungkapkan informasi sosial terutama informasi mengenai tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan, akibatnya yang terjadi dalam praktik perusahaan hanya dengan sukarela mengungkapkannya. Perusahaan akan mempertimbangkan biaya dan manfaat yang akan diperoleh ketika mereka memutuskan untuk mengungkapkan informasi sosial, bila manfaat yang diperoleh dengan pengungkapan informasi tersebut lebih besar dibandingkan biaya yang dikeluarkan untuk mengungkapkannya, maka perusahaan akan dengan sukarela mengungkapkan informasi tersebut. Berdasarkan penelitian Anggraini (2006), pengungkapan kinerja lingkungan sangat sedikit disebabkan oleh kurangnya kepedulian perusahaan terhadap lingkungan dan belum adanya peraturan mengenai tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan.

Belkaoui dan Karpik (1989) menemukan bahwa (1) pengungkapan sosial mempunyai hubungan positif dengan kinerja sosial perusahaan yang berarti bahwa perusahaan yang melakukan aktivitas sosial akan mengungkapkannya dalam laporan sosial, dan (2) menemukan hubungan negatif antara tingkat leverage dengan pengungkapan sosial yang berarti semakin tinggi rasio utang semakin rendah pengungkapan sosialnya karena semakin tinggi tingkat leverage maka semakin besar kemungkinan perusahaan akan melanggar perjanjian kredit.

commit to user

Sehingga perusahaan harus menyajikan laba yang lebih tinggi pada saat sekarang dibandingkan laba di masa depan. Supaya perusahaan dapat menyajikan laba yang lebih tinggi, maka perusahaan harus mengurangi biaya-biaya termasuk biaya-biaya untuk mengungkapkan informasi sosial.

Suhardjanto dan Choiriyah (2010) menemukan (1) permintaan yang tinggi terhadap pengungkapan lingkungan hidup (environmental disclosure) oleh broader stakeholders yang terdiri dari environmental groups, akademisi, press, future generation; (2) terdapat 9 item pengungkapan lingkungan hidup yang tidak diungkapkan perusahaan, dan tingkat pengungkapan lingkungan hidup masih sangat rendah; serta (3) leverage berpengaruh terhadap level pengungkapan lingkungan hidup perusahaan sedangkan size dan profitabilitas yang diukur dengan ROA tidak berpengaruh terhadap environmental disclosure perusahaan.

Penelitian Hapsoro (2009) menemukan (1) pengaruh negatif leverage terhadap voluntary disclosure; (2) kinerja perusahaan tidak berpengaruh terhadap voluntary disclosure; (3) size berpengaruh positif terhadap voluntary disclosure; dan (4) profitabilitas berpengaruh positif terhadap voluntary disclosure.

Ingram dan Frazier (1980) tidak menemukan pengaruh yang signifikan antara environmental disclosure dengan environmental performance, konsisten dengan Freedman dan Jaggi (1982); penelitian Wiseman (1982); dan penelitian Freedman dan Wasley (1990); namun Patten (2002) menemukan hubungan negatif antara environmental disclosure dalam annual report dengan environmental performance.

Li, Richardson, dan Thornton (2006) menemukan pengaruh negatif antara environmental disclosure dan environmental performance namun tidak konsisten

commit to user

dengan discretionary disclosure model yang mengasumsikan kinerja lingkungan yang baik mengurangi biaya lingkungan di masa yang akan datang dan pengungkapan informasi ini merupakan good news bagi investor. Perusahaan dengan environmental performance yang baik seharusnya mengungkapkan lebih banyak informasi lingkungan (baik kuantitas maupun kualitas) dibanding perusahaan dengan tingkat environmental disclosure rendah.

Dalam dokumen ENVIRONMENTAL DISCLOSURE DI INDONESIA (Halaman 27-40)

Dokumen terkait