• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1 Landasan Teori

2.1.5 Televisi Sebagai Media Komunikasi Massa

Komunikasi sering diartikan sebagai perpindahan (transfer) informasi (pesan) dari pengirim (komunikator) kepada pemirsa (komunikan) melalui saluran (media) tertentu dengan tujuan mencapai saling pengertian (mutual understanding) (winarso, 2005:18)

Ada dua macam proses komunikasi, yaitu: secara tatap muka (primer) dan secara media (sekunder). Komunikasi sekunder ini dilakukan dengan menggunakan media massa. Tujuan komunikasi sekunder ini antara lain adalah untuk mencapai komunikan yang lebih luas, memungkinkan imitasi oleh banyak orang dan mengatasi batas ruang dan waktu (Winarso, 2005:18)

Banyak definisi tentang komunikasi massa yang telah dikemukakan para ahli komunikasi. Banyak ragam dan titik tekan yang dikemukakannya. Namun, dari sekian banyak definisi itu ada benang merah kesamaan definisi satu sama

lain. Pada dasarnya komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa (media cetak dan elektronik). (Nurudin, 2007:3)

Ada satu definisi komunikasi massa yang dikemukakan Michael W. Gamble dan Teri Kwal Gamble (1986) akan semakin memperjelas apa itu komunikasi massa. Menurut mereka sesuatu bisa didefinisikan sebagai komunikasi massa jika mencakup hal-hal sebagai berikut :

1. Komunikator dalam komunikasi massa mengandalkan peralatan modern untuk menyebarkan atau memancarkan pesan secara tepat kepada khalayak yang luas dan tersebar. Pesan itu disebarkan melalui media modern pula antara lain surat kabar, majalah, televisi, film, atau gabungan diantara media tersebut.

2. Komunikator dalam komunikasi massa dalam menyebarkan pesan- pesannya bermaksud mencoba berbagi pengertian dengan jutaan orang yang tidak saling kenal atau mengetahui satu sama lain. Anonimitas audience dalam komunikasi massa inilah yang membedakan pula dengan jenis komunikasi yang lain. Bahkan pengirim dan penerima pesan tidak saling mengenal satu sama lain.

3. Pesan adalah milik publik. Artinya bahwa pesan ini bisa didapatkan dan diterima oleh banyak orang. Karena itu, diartikan milik publik.

4. Sebagai sumber, komunikasi massa biasanya organisasi formal seperti jaringan, ikatan, atau perkumpulan. Dengan kata lain, komunikatornya tidak berasal dari seseorang, tetapi lembaga. Lembaga ini pun biasanya berorientasi pada keuntungan, bukan organisasi suka rela atau nirlaba.

5. Komunikasi massa dikontrol oleh gatekeeper (penapis informasi). Artinya, pesan-pesan yang disebarkan atau dipancarkan dikontrol oleh sejumlah individu dalam lembaga tersebut disiarkan lewat media massa. Ini berbeda dengan komunikasi massa antarpribadi, kelompok, atau public dimana yang mengontrol bukan sejumlah individu. Beberapa individu dalam komunikasi massa itu ikut berperan dalam membatasi, memperluas pesan yang disiarkan. Contohnya adalah seorang reporter, editor film, penjaga rubrik, dan lembaga sensor lain dalam media itu bisa berfungsi sebagai gatekeeper.

6. Umpan balik dalam komunikasi massa sifatnya tertunda. Kalau dalam jenis komunikasi lain, umpan balik bisa bersifat langsung. Misalnya, dalam komunikasi antarpersonal. Dalam komunikasi ini umpan balik langsung dilakukan, tetapi komunikasi yang dilakukan lewat surat kabar yang tidak bisa langsung dilakukan alias tertunda (delayed). (Nurudin, 2007:8)

Sesuai medianya, iklan televisi (Television commercial) adalah iklan yang ditayangkan melalui media televisi. Melalui media ini, pesan dapat disampaikan dalam bentuk audio, visual dan gerak. Bentu pesan audio, visual dan gerak tersebut pada dasarnya merupakan sejumlah tanda. Dalam kajian semiologi, iklan adalah seperangkat tanda yang berfungsi menyampaikan pesan.

Televisi saat ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Banyak orang menghabiskan waktunya lebih lama di depan televisi dibandingkan dengan waktu yang digunakan untuk ngobrol dengan keluarga atau pasangan mereka. (Morrisan, 2004: 1). Oleh karena itu, televisi merupakan

sasaran media yang disukai oleh para pengiklan karena media televisi mempunyai unsur audio dan visual.

Media televisi mampu menyediakan informasi dan kebutuhan manusia secara keseluruhan, seperti berita cuaca, informasi finansial atau catalog berbagai macam produksi barang. (Widyatama, 2008:14-15).

2.1.6 Eksploitasi Perempuan Dalam Iklan

Menurut definisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan, perempuan adalah orang (manusia) yang mempunyai vagina, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak dan menyusui. Perempuan adalah satu dari dua jenis kelamin manusia. Satunya lagi adalah pria atau laki-laki. Berbeda dengan wanita, istilah ”perempuan” dapat merujuk pada orang yang telah dewasa ataupun anak- anak.

Perempuan sengaja digunakan untuk mengartikan “women” untuk mengangkat makna yang ditawarkan dalam bahasa melayu, perempuan berasal dari kata “empu” atau induk dimana kata tersebut untuk memberikan peringatan pada yang member hidup (Muniarti, 2004:236)

Hampir seluruh tampilan iklan, baik media cetak atau teleivisi menggunakan perempuan dalam tampilannya, baik perempuan sebagai model utama atau sebagai figuran. Bagi para pengiklan, tubuh perempuan tidak akan surut member peluang yang menguntungkan.

Iklan adalah media promosi produk tertentu, dengan tujuan produk yang ditawarkan terjual laris. Untuk itu iklan dibuat semenarik mungkin, sehingga terkadang dapat dinilai terlalu berlebihan, serta mengabaikan sisi psikologis, sosiologis, ekologis, dan estetika penonton atau sasaran produk yang diiklankan.

Eksploitasi perempuan dalam iklan teridentifikasi melalui wacana seksual yang diekspos secara vulgar dalam iklan, tubuh perempuan dipertontonkan secara erotisme dan eksotis. Sayangnya, perempuan dalam iklan dijadikan alat memasarkan produk, tubuhnya dieksploitasi untuk mengumbar definisi cantik versi standardisasi pasar dengan cara memamerkan rambut yang lurus dalam iklan shampo dan obat pelurus rambut, kulit wajah yang mulus dalam iklan obat kecantikan, perut langsing dalam iklan pelangsing perut, betis indah dan tubuh yang ramping dalam iklan obat diet.

Ekspresi eksploitasi stereotip daya tarik seksualitas dan organ-organ sensitif tubuh perempuan dalam iklan media massa tersebut, cenderung mengimplisitkan kualitas pemaknaan yang ‘kitsch’, dan rendah, dan akhirnya lebih jauh menghadirkan konsepsi, bahwa perempuan itu sendiri tak lebih sebagaimana sebuah (bukan sebagai insani), sehingga harkat dan martabatnya menjadi terniscayakan kehadirannya. (Kasiyan, 2008:244)

Perempuan dan tubuhnya adalah esensi suatu keindahan dari nilai-nilai kehidupan, ini bukanlah takdir dari realitas keindahan itu sendiri, tetapi suatu hal yang hadir dalam segala manifestasi ataupun ekspresi dari esensi tersebut. Demikian juga dengan laki-laki dan tubuhnya yang memiliki esensi keindahan

tersendiri. Namun realita historis perkembangan masyarakat telah menempatkan perempuan dan tubuhnya sebagai antitesis dari ke-esensiannya, ataupun sebagai bagian dari praksis eksploitasi yang terkadang dicitrakan secara ekstrem untuk memarginalisasi perempuan dan tubuhnya kepada beragam bentuk yang dikonotasikan secara liar.

Seperti seorang perempuan yang hadir dengan pakaian “minim” yang menunjukkan keindahan pada bagian perut, dada, atau pinggulnya, mungkin secara vulgar; tetapi eksploitasi itu sendiri akan terjadi dengan merasionalisasikan proses tindakan kepada perempuan dan tubuhnya tersebut dengan bermacam manifestasi praksis eksploitatif. Ataupun eksploitasi dalam bentuk modal, yang mengondisikan perempuan dan tubuhnya sebagai bagian dari “alat” untuk kepentingan modal, dan mengeksploitasinya kepada ragam ekspresi menurut kepentingan modal, bukan berdasarkan kebebasan dan kesadaran untuk berekspresi.

(http://www.apakabar.ws/forums/viewtopic.php?f=1&t=33960&start=0)

Penggunaan figur perempuan tersebut, kecenderungannya sebatas sebagai objek tanda (sign object), dan bukan sebaliknya sebagai subjek tanda, dan karenanya maknanya menjadi cenderung negatif. Eksploitasi perempuan sebagai objek tanda dalam iklan yang arus utamanya cenderung bermakna negatif tersebut, misalnya tampak dalam sistem tanda iklan yang begitu mengedepankan serangkaian bentuk-bentuk eksploitasi organ-organ tubuh sensitive dan daya tarik seksual yang dimiliki oleh kaum perempuan. (Kasiyan, 2008:4)

2.1.7 Keberadaan Iklan di Masyarakat

Fenomena periklanan sebagai bagian bentuk ekspresi bahasa simbolik dalam kebudayaan manusia, yakni sejak zaman Yunani dan Romawi kuno. Pada zaman diawal keberadaannya, wujud iklan hadir dalam bentuk berupa pesan berantai yang dilaksanakan melalui komunikasi verbal. Pesan berantai itu disampaikan untuk membantu kelancaran jual beli dalam masyarakat yang masih sangat sederhana, yakni sebuah tipologi masyarakat yang pada waktu itu mayoritasnya masih belum mengenal huruf, dan perdagangan juga masih menggunakan sistem tukar menukar barang secara langsung (barter).

Kemudian setelah manusia mulai mengenal tulisan sebagai sarana penyampaian pesann, kegiatan periklanan mengalami perkembangan selangkah lebih maju, yakni dengan menggunakan mdia tulisan sebagai sarana penyampaia pesan, kegiatan periklanan mengalami perkembangan selangkah lebih maju, yakni dengan menggunakan media tulisan, perkembangan selanjutnya, yakni iklan dengan menggunakan media gambar, yang ditorehkan atau dipahatkan pada batu, dinding, atau terakota (keramik), yang diantara artefak peninggalannya yang cukup terkenal, adalah berupa pengumuman rencana penyelenggaraan pesta pertarungan gladiator, yang ditemukan pada puing-puing dinding Herculaneum. Selain itu, pada zaman Romawi kuno, juga dikenal iklan dalam bentuk stempel batu, yang banyak digunakan oleh para dukun untuk menjajakan obat-obatan, maupun oleh tuan, untuk memberi cap pada punggung para budak belian (Kasiyan, 2008:145)

2.1.8 Komunikasi Adalah Suatu Proses Simbolik

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan WJS Poerwadarminta disebukan, simbol atau lambang adalah semacam tanda, lukisan, perkataan, lencana, dan sebagainya, yang menyatakan sesuatu hal, atau mengandung maksud tertentu. Misalnya, warna putih merupakan lambang kesucian, lambang padi lambang kemakmuran, dan kopiah merupakan salah satu tanda pengenal bagi warga nergara Republik Indonesia. (Sobur, 2004:156)

Dalam “bahasa” komunikasi, simbol seringkali diistilahkan sebagai lambang. Simbol atau lambang adalah sesuatu yang dipergunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan kelompok orang. Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku non verbal, dan objek maknanya disepakati bersama, misalnya memasang bendera dihalaman rumah untuk menyatakan penghormatan atau kecintaan kepada negara. Kemampuan manusia menggunakan lambang verbal memungkinkan perkembangan bahasa dan menangani hubungan antara manusia dan objek tersebut. (Sobur. 2004:157)

Lambang adalah salah satu kategori tanda. Hubungan antara tanda dengan objek dapat juga direpresentasikan oleh ikon dan indeks, namun ikon dan indeks tidak memerlukan kesepakatan. Ikon adalah suatu benda fisik (dua atau tiga dimensi) yang menyerupai apa yang direpresentasikannya. Representasi itu ditandai dengan kemiripan. Misalnya patung Soekarno adalah ikon Soekarno dan foto anda pada KTP adalah ikon anda. (Mulyana, 2005:84)

Dokumen terkait