• Tidak ada hasil yang ditemukan

Imam Syafi’i

1. Tempat Lahir, Silsilah Perjalanan Hidup Imam Syafi’i

Imam Syafi’i adalah imam ketiga dari empat mazhab menurut urutan kelahirannya. Beliau adalah “Nashirul Hadits,” pembela hadits dan “mujaddid”, pembaharu abad kedua hijriyah.1.

Menurut kebanyakan ahli sejarah bahwa Syafi’i dilahirkan di Ghaza, Palstina, tahun 150 H (767 M). namun ada yang mengatakan lahir di Asqalan, yaitu daerah yang kurang lebih 3 farsakh (8 km atau 3,5 mil) dari Ghaza, dan perjalanan dua tiga hari dari Baitul Maqdis. Ada juga yang mengatakan lebih jauh dari itu yaitu di Yaman.

Imam Nawawi berkata, “Menurut jumhur, Syafi’i lahir di Ghaza.” Diriwayatkan bahwa Syafi’i lahir pada malam hari bertepatan

dengan wafatnya Abu Hanifah. Jika riwayat ini benar, maka itu adalah kejadian

yang menakjubkan, yakni lahirnya seorang imam bertepatan pada wafatnya imam yang lain.

Nama lengkap beliau adalah Abu Adbullah Muhammad bin Idris bin Abas bin Utsman bin Syafi’i bin Sa’id bin Ubaidillah bin Abi Yazid bin Hasyim bin Mutlalib bin Abdul Manaf. Ibunya bernama Fathimah

binti Abdullah bin Hasan bin Husein bin Ali bin Abi Thalib. Asy-Syafi’i lahir di tengah-tengah keluarga miskin. Ayahnya meninggal ketika beliau masih kecil. Kemudian ibunya membawanya ke Mekkah. Ia hidup sebagai anak yatim yang fakir dari keturunan bangsawan

tinggi, keturunan yang paling tinggi di masanya, Asy-Syafi’i hidup dalam keadaan sangat sederhana. Namun, kedudukannya sebagai putra bernasab mulia menyebabkan ia terpelihara dari perangai buruk, selalu berjiwa

besar, dan tidak menyukai kehinaan diri.

Pada usia 2 (dua) tahun imam Syafi’i dibawa ibunya ke Mekkah dari Guzzah yang merupakan tanah tumpah darah asli bagi nenek moyang imam Syafi’i. Pada usia yang relatif muda imam Syafi’i telah mampu

menghafal al-Qur’an. Disamping kecerdasannya dalam menghafal alQur’an ia juga rajin menghafal al-Hadits yang ia dengar. Kemudian dicatat dan dibukukan dalam percetakan sehingga ia dikenal sebagai orang yang

cinta ilmu dan ahli hadits.

Imam Syafi’i hidup di tengah-tengah masyarakat Mekkah kemudian pindah ke kota Madinah. Kedua kota ini adalah bumi Hijaz yang merupakan tempat perbendaharaan sunnah (Hadits). Kota ini tidak begitu

ramai dengan berbagai kebudayaan sebagaimana kota-kota lainnya.

Kesederhanaan tatanan masyarakat tidak banyak menimbulkan problematika kehidupan masyarakat, dan untuk menyelesaikan masalah pun langsung mendasarkan pada al-Qur’an dan al-Hadits, maka wajar lah

apabila imam Syafi’i ini lebih cenderung pada aliran Hadits. Pada awalnya Imam Syafi’i cenderung kepada syair, sastra dan belajar bahasa Arab sehari-hari. Tapi dengan demikian Allah justru menyiapkannya untuk menekuni fiqh dan ilmu pengetahuan. Terdapat

beberapa riwayat yang menyebabkan Imam Syafi’i seperti itu diantaranya adalah :

Suatu hari, di masa mudanya ketika ia berada di atas kendaraan. Di belakangnya terdapat sekretaris Abdullah Al-Zubairi. Lalu Syafi’i membuat perumpamaan dengan sebuah syair. Maka sang sekretaris itu

memukulkan cambuknya layaknya seorang pemberi nasehat dan berkata, “Orang seperti anda mencampakkan kepribadiannya seperti ini? Bagaimana perhatian anda terhadap fiqh?” hal ini mempengaruhi dirinya dan membangkitkan semangatnya untuk bergegas belajar kepada Muslim

bin Khalid Az-Zanji, Mufti Mekkah.

Syafi’i menuntut ilmu di Mekkah dan mahir di sana. Ketika Muslim bin Khalid Az-Zanji memberikan peluang untuk berfatwa, Syafi’i merasa belum puas atas jerih payahnya selama ini. Ia menuntut ilmu terus

dan akhirnya pindah ke Madinah dan bertemu Imam Malik di sana. Sebelumnya ia telah mempersiapkan diri membaca kitab al-Muaththa (karya Imam Malik) yang sebagian besar telah dihafalkannya. Ketika Imam Malik bertemu dengan Syafi’i, Malik berkata, “Sesungguhnya Allah

SWT. telah menaruh cahaya dalam hatimu, maka jangan padamkan dengan perbuatan maksiat.

bersamanya hingga Imam Malik wafat pada tahun 179 H. selama itu pula ia mengunjungi ibunya di Mekkah. Kemudian pada tahun 195 H Imam Syafi’i mengembara ke Baghdad, yang merupakan kota yang sudah maju peradaban masyarakatnya pada waktu itu. Di kota ini Imam Syafi’i menetap beberapa tahun lamanya sebelum ia melakukan perjalanan ke kota lainnya, yaitu Mesir pada tahun 199 H dan ia memilih kota ini sebagai tempat tinggalnya. Di Baghdad ia belajar Ilmu Fiqh Madzhab Hanafi, yang terkenal dengan madzhab Ahlul Ro’yi, sebagaimana di Hijaz yang

tradisional. Kemudian ia cenderung kepada sifat itu, maka di kota Irak pun ia cenderung pada kondisi Irak, yaitu kota yang terkenal dengan AhluRa’yu.

Imam Syafi’i telah mendengar berita yang menyatakan kebesaran ulama’ di Irak seperti Abu Yusuf dan Muhammad Ibn Hasan, maka ia berkehendak untuk bertemu dengan mereka. Di kota ini ia berguru kepada

Muhammad Ibn Hasan seorang tokoh ahli Fiqh. Maka terkumpullah pada diri Syafi’i beberapa ilmu dari para ahli Hadits dan Ra’yu.

Syafi’i banyak mengambil manfaat dari beberapa kitab Muhammad Ibn Hasan dari pelajaran Fiqh Irak dan perdebatannya dengan beberapa ulama’ fiqh di sana. Dari sini, ia bisa mempersiapkan diri mengkompromikan fiqh madinah dan fiqh Irak, atau fiqh tekstual dan fiqh kontekstual, sehingga membantunya meletakkan dasar-dasar ushul fiqh, dan kaidah fiqh (qawaid al-fiqhiyah), menjadikan ia terkenal, disebutsebut namanya dan terangkat derajatnya.

Pengetahuan Syafi’i terbentuk dari beberapa sumber. Antara lain, guru, bacaan dan belajarnya, serta perjalanannya ke Yaman, Kufah, Bashrah, Makkah, Baghdad, dan Mesir. Ada juga dari perdebatan yang

serius di masanya antara para pakar teologi dan filsafat, pakar fiqh dan ulama’ hadits dan sebagainya, serta pemikiran dan perenungannya terhadap ilmu dan lingkungan yang kesemuanya itu sangat dominan dalam

membentuk wawasannya yang sangat luas.

Dengan bekal pengetahuannya, beliau melangkah untuk menyampaikan berbagai kritik dan kemudian mengambil jalan keluarnya sendiri. Mula-mula beliau berbeda pendapat dengan gurunya (Imam

Malik). Perbedaan ini berkembang sedemikian rupa sehingga beliau menulis buku yang berjudul “Khilaf al-Malik” yang sebagian besar kritik terhadap pendapat (fiqh) madzhab gurunya itu, beliau juga terjun dalam

perdebatan-perdebatan sengit dengan madzhab Hanafi dan banyak mengeluarkan kritik sebagai koreksi terhadapnya.

Kritik-kritik imam Syafi’i terhadap dua madzhab tersebut akhirnya ia muncul dengan madzhab baru yang merupakan sintesa dari kedua madzhab (ahli hadits dan ahli ra’yu) yang benar-benar orisinil. Namun demikian yang paling menentukan orisinilitas madzhabnya ini adalah kehidupan empat tahunnya di Mesir. Memang banyak kota di mana imam Syafi’i mengembangkan atau menggali ilmu, seperti kota

Yaman, Persi, Baghdad dan lain-lain. Tetapi di Mesir inilah Imam Syafi’i sampai meninggalnya dipergunakan untuk menulis sebagian besar bukubukunya, bahkan juga untuk merevisi buku-buku yang pernah ditulisnya.

Di kota ini pula ia meletakkan dasar-dasar madzhab barunya yang dikenal dengan kaul jadid.

Sebagaimana yang telah dikatakan bahwa fiqh Syafi’i adalah fiqh yang lahir karena kondisi masyarakatnya sehingga dengan adanya dua kota yang merupakan tempat yang paling mempengaruhi teori imam Syafi’i

dengan didukung keadaan yang berbeda itu pula, maka fiqh Syafi’i juga dibedakan menjadi dua macam yakni madzhab kaul kadim dan madzhab kaul jadid. Madzhab kaul kadim adalah pendapat imam Syafi’i ketika di Irak dan kaul jadid adalah pendapat imam Syafi’i di Mesir.

corak pendidikan dan pengalaman dari beberapa negara tersebut, Imam Syafi’i mengkombinasikan dan mengkomparasikan serta mendiskusikan fiqh negara Hijaz dan Irak. Kemudian ia menjadi terkenal dengan sebutan ahli hadits dan ahli ra’yu.

Dalam madzhab fiqhnya, Imam Syafi’i menempatkan al-Qur’an sebagai imam (dasar utama) dalam mengambil hukum. Beliau berkata, “sunnah sejajar kedudukannya dengan al-Qur’an karena as-Sunnah

berfungsi sebagai penjelas al-Qur’an.” Karena itu menurut beliau asSunnah ditempatkan sebagai dasar kedua setelah al-Qur’an.

Misalnya beliau sependapat dengan Imam Malik (ahlu al-Hadits) dalam hal menempatkan al-Qur’an sebagai dasar hukum Islam, karena menurutya as-Sunnah sebagai dasar hukum yang kedua. Dilain fihak Imam

Syafi’i sepakat dengan madzhab Hanafi (Ahlu al-Ra’yu) dalam kecenderungannya memakai ijtihad atau rasio. Namun Imam Syafi’i memberikan suatu batasan bahwa dasar ijtihad atau ra’yu tersebut

hendaklah berbentuk qiyas (analogi).

D a l a m p e m a k a i a n q i y a s i n i i m a m S y a f i ’ i m e m b e r i k a n ketentuanketentuannya. Beliau sependapat dengan Imam Malik dalam mengambil

ijma’ sebagai sumber hukum sesudah al-Qur’an dan as-Sunnah, tetapi

beliau memberikan persyaratan-persyaratan yang ketat, sehingga ijma’

bukan semata-mata hasil pikiran tanpa ketentuan yang pasti. 2. Guru-guru Imam Syafi’i

Imam Syafi’i menerima fiqh dan Hadits dari banyak guru yang masing-masing mempunyai manhaj sendiri dan tinggal di tempat-tempat yang berjauhan satu sama lainnya. Ada di antara gurunya yang Mu’tazili yang memperkatakan ilmu kalam yang tidak disukainya. Dia mengambil mana yang perlu diambil dan dia

tinggalkan mana yang perlu ditinggalkan.

Imam Syafi’i menerima ilmunya dari ulama-ulama Makkah, Madinah, Iraq dan ulama-ulama Yaman.

Semula Imam Syafi’i berguru pada syekh Muslim bin Khalid AzZanji dan beberapa imam Makkah. Kemudian setelah umur 13 tahun ia pergi ke Madinah dan berkumpul dengan Imam Malik sampai beliau

wafat. Imam Syafi’i juga mempunyai banyak guru yang ia temui di kotakota besar ketika ia berkelana.

Diantaranya ialah gurunya di Makkah, Muslim bin Khalid AzZanji, Sufyan bin Uyainah, Sa’id bin Salim Al-Qaddah, Dawud bin Abdurrahman Al-Athar dan Abdul Hamid bin Abdul Aziz bin Abi Dawud.

Gurunya di Madinah antara lain, Malik bin Anas, Ibrahim bin Sa’ad Al-Anshari, Abdul Aziz bin Muhammad Al-Darawardi, Ibrahim bin Yahya Al-Asami, Muhammad bin Sa’id bin Abi Fudaik dan Abdullah bin

Nafi’ Al-Shani.

Gurunya di Yaman, Muththarif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf, Hakim Shan’a (ibukota Republik Yaman), Umar bin Abi Maslamah AlAuza’i Dan Yahya Hasan.

Gurunya di Irak antara lain, Muhammad bin Al-Hasan, Waki’ bin Jarra Al-Kufi, Abu Usammah Hamad bin Usamah Al-Kufi, Ismail bin Athuyah Basyri dan Abdul Wahab bin Abdul Majid Al-Basyri.11

Imam Syafi’i menerima pelajaran dari tokoh berbagai mazhab. Ia menerima fiqh Malik dari Malik sendiri, Maliklah gurunya yang merupakan bintang, mempelajari fiqh Auza’I dari Umar ibn Abi Salamah,

mempelajari Fiqh Al-Laits dari Yahya ibn Hassan dan mempelajari fiqh Abu Hanifah dari Muhammad ibn al-Hassan. Bahkan ia mempelajari fiqh pada tokoh-tokoh Mu’tazilah, walaupun dalam masalah I’tiqad mereka

memperluas bidang fiqihnya, memperbanyak materi dan mempertebal kamus pengetahuannya. Dengan demikian Imam Syafi’i dapat mengumpulkan

fiqh Makkah, Fiqh Madinah, Fiqh Syam, Fiqh Mesir dan Fiqh Irak.

Dokumen terkait