• Tidak ada hasil yang ditemukan

Terdapat beberapa jenis tempat pengelolaan sampah diantaranya Tempat Penampungan Sementara (TPS) adalah tempat sebelum sampah diangkut ke tempat pendaur ulangan, pengolahan, dan atau Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST). Tempat Penampungan Sementara 3R (reduce, reuse, recycle) (TPS 3R) adalah tempat dilaksanakannya kegiatan pengumpulan, pemilahan, penggunaan ulang, dan pendaur ulangan skala kawasan. Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) adalah tempat dilaksanakannya kegiatan pengumpulan, pemilahan, penggunaan ulang, pendauran ulangan, pengolahan, dan pemrosesan akhir sampah. Tempat pemrosesan akhir yang selanjutnya disingkat TPA adalah tempat untuk memproses dan mengembalikan sampah ke media lingkungan

(Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.81 Tahun 2012) sedangkan dalam Azmir (2012) Dirjen PPM (Pemberantasan Penyakit Menular) dan PLP (Penyehatan Lingkungan Pemukiman) Departemen Kesehatan RI (1989), mengemukakan pengertian TPA adalah lokasi untuk memusnahkan sampah pada tempat tertentu dengan ketentuan sebagai berikut :

a. Lokasi untuk penempatan TPA harus memenuhi persyaratan teknis sebagai berikut:

1. Jarak terhadap pemukiman minimal 3 km.

2. Jarak terhadap sumber air baku untuk air minum (mata air, sumur, danau dan lain-lain) minimal 200 meter. Hal ini mengingat, bahwa hasil dekomposisi sampah dapat meresap melalui lapisan tanah dan menimbulkan pencemaran terhadap sunber air tersebut.

3. Tidak terletak pada daerah banjir, hal ini mengingat kemungkinan terbawanya sampah TPA oleh air yang akan mengakibatkan pencemaran terhadap lingkungan.

4. Tidak terletak pada lokasi yang permukaan air tanahnya tinggi, hal ini mengingat bahwa lokasi TPA pada tempat yang air tanahnya tinggi akan berakibat pencemaran air tanah baik kualitas maupun jumlahnya. Bila sampah langsung kontak dengan air tanah, pencemarannya akan meluas dan terjadi dalam waktu yang lama.

5. Jarak tepi paling dekat terhadap jalan besar/umum, sedikitnya 200 meter, hal ini mengingat alasan estetika, tidak terlihat dari jalan umum. Ini bisa dilakukan dengan membangun pagar atau penanaman pepohonan dan sebagainya

6. Tidak merupakan sumber bau, kecelakaan serta memeperhatikan aspek estetika.

7. Jarak dari bandara tidak kurang dari 5 km.

b. Pengelolaan sampah di TPA harus memenuhi ketentuan sebagai berikut :

1. Diupayakan agar lalat, nyamuk, tikus, kecoa tidak berkembangbiak dan tidak menimbulkan bau.

3. Leachate harus diamankan sehingga tidak menimbulkan masalah pencemaran.

4. TPA yang digunakan untuk membuang bahan beracun dan berbahaya, lokasinya harus diberi tanda khusus dan tercatat di Kantor Pemda.

5. Dalam hal tertentu jika populasi lalat melebihi 20 ekor per blok gris atau tikus terlihat pada siang hari atau nyamuk Aedes, maka harus dilakukan pemberantasan dan perbaikan cara-cara pengelolaan sampah.

c. TPA yang sudah tidak digunakan : 1. Tidak boleh untuk pemukiman.

2. Tidak boleh mengambil air untuk keperluan seharí-hari.

Untuk mengantisipasi dampak negatif yang diakibatkan oleh metode pembuangan akhir sampah yang tidak memadai seperti yang selalu terjadi di berbagai kota di Indonesia, maka langkah terpenting adalah memilih lokasi yang sesuai dengan persyaratan. Sesuai dengan SNI No. 03-3241-1997 tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi TPA, bahwa lokasi yang memenuhi persyaratan sebagai tempat pembuangan akhir sampah adalah :

- Jarak dari perumahan terdekat 500 m. - Jarak dari badan air 100 m.

- Jarak dari airport 1500 m (pesawat baling-baling) dan 3000 m (pesawat jet). - Muka air tanah > 3 m.

- Jenis tanah lempung dengan konduktivitas hidrolik < 10-6 cm/det. - Merupakan tanah tidak produktif.

- Bebas banjir minimal periode 25 tahun.

2.6 Penelitian Terdahulu

Penelitian yang dilakukan Bujagunasti (2009) mengenai estimasi manfaat dan kerugian masyarakat akibat keberadaan TPST (Tempat Pengolahan Sampah Terpadu) Bantar Gebang mendapatkan nilai manfaat yang dihasilkan dari keberadaan TPST Bantar Gebang adalah sebesar Rp 183 547 000/tahun. Nilai tersebut didapatkan dengan menjumlahkan pendapatan masyarakat yang pekerjaannya bersumber dari TPST Bantar Gebang. Nilai manfaat bersih yang diterima masyarakat adalah sebesar Rp 170 161 700/tahun yang didapatkan

setelah mengurangi manfaat yang diterima masyarakat dengan kerugian masyarakat sebesar Rp 13 385 300/tahun. Oleh karena hal tersebut, pemprov DKI Jakarta bersama Pemkot Bekasi dan pengelola TPST Bantar Gebang diharapkan dapat bekerjasama untuk meningkatkan manfaat yang diterima masyarakat dengan mendirikan Unit Pengelolaan Sampah seperti yang dilakukan Pemkot Depok, mendirikan yayasan seperti yang dilakukan di daerah Lhoksumawe, maupun pencegahan dengan sistem 3R pada tingkat rumah tangga maupun pemberlakuan insentif untuk mengurangi jumlah sampah.

Dalam Ramadhan (2009) penelitian yang dilakukan oleh Harianja (2006) mengenai WTA (Willingness to Accept) masyarakat terhadap TPST Bantar Gerbang dengan pendekatan CVM (Contingent Valuation Methode), dimana pada lokasi ini telah diberlakukan kompensasi kepada masyarakat di sekitar TPST. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan atau ketidaksediaan menerima dana kompensasi TPST Bantar Gerbang adalah tingkat pendidikan, jumlah tanggungan, dan tingkat kepuasan terhadap dana kompensasi yang diberikan. Nilai WTA responden Ciketing Udik dipengaruhi oleh faktor tingkat pendidikan, jumlah tanggungan, jarak tempat tinggal, ada tidaknya biaya yang dikeluarkan untuk menanggulangi dampak dari TPST dan penilaian responden terhadap pengolahan sampah yang dilakukan selama ini. Persentase jumlah responden yang menginginkan dana kompensasi dalam bentuk fisik hampir sama dengan responden yang menginginkan kompensasi dalam bentuk tunai.

Dalam Ramadhan (2009) penelitian Utari (2006) menjelaskan bahwa nilai WTP (Willingness to Pay) masyarakat terhadap TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) Pondok Rajeg dipengaruhi oleh faktor tingkat pendapatan, jumlah tanggungan, kepuasan responden terhadap pelayanan pengolahan sampah, dan biaya yang dikeluarkan responden selain biaya retribusi kebersihan. Sedangkan nilai WTA responden tersebut dipengaruhi oleh faktor tingkat pendapatan, jarak tempat tinggal dengan lokasi TPA, dan tingkat gangguan yang dialami responden akibat keberadaan TPA.

Penelitian yang dilakukan Kuncoro (2011) menyebutkan bahwa timbulan sampah yang terdapat di TPA dapat dijadikan sebagai sumber dari PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah) yang merupakan pembangkit tenaga listrik

dengan memanfaatkan sampah sebagai bahan utamanya, baik dengan memanfaatkan sampah organik maupun anorganik. Mekanisme pembangkitan dapat dilakukan dengan metode gasifikasi atau memanfaatkan gas yang diperoleh dari sampah sebagai bahan bakar pembangkit dan secara pembakaran (thermal). Penggunaan teknologi pengelolaan sampah menjadi listrik yang telah digunakan di negara-negara maju dapat terbagi menjadi 3 mekanisme atau proses pembangkitan yaitu fisika, thermal, dan biologi.

Penelitian yang dilakukan memiliki beberapa persamaan dengan beberapa penelitian terdahulu. Beberapa persamaan tersebut diantaranya masyarakat yang ada di sekitar TPA sebagai objek penelitian, bertujuan menganalisis dan atau mengestimasi nilai eksternalitas dari keberadaan TPA serta memberikan solusi dalam peningkatan pengelolaan TPA yang lebih baik lagi. Penelitian yang akan dilakukan ini juga memiliki perbedaan dengan penelitian terdahulu yaitu adanya penyediaan fasilitas pengelolaan sampah di TPA seperti penyediaan bank sentral sampah, penyediaan digester atau alat pengolah sampah menjadi biogas yang kemudian didistribusikan bagi rumah tangga di sekitar TPA, serta pembuatan kompos yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Kota Tangerang. Penyediaan berbagai fasilitas di lokasi penelitian tersebut akan menghasilkan kajian yang berbeda dengan penelitian yang telah ada sebelumnya, dengan demikian diharapkan penelitian ini menghasilkan kajian yang berbeda dalam melengkapi hasil penelitian-penelitian sebelumnya.

III KERANGKA PEMIKIRAN

Dokumen terkait