• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Persalinan

2.1.3. Tempat Persalinan

Dalam setiap keluarga, kelahiran merupakan suatu anugerah, oleh karena itu tempat persalinan perlu disiapkan dengan sebaik-baiknya, agar proses persalinan dapat berlangsung dengan bersih dan aman. Menurut Nolan (2004), ibu hamil akan memilih tempat persalinan yang nyaman baginya. Tempat persalinan antara lain: 1. Persalinan di rumah

Persalinan di rumah memiliki kelebihan dan kekurangannya. Kelebihannya, suasana di rumah yang akrab membuat ibu hamil merasa didukung keluarga maupun tetangga. Kamar selalu tersedia dan tak memerlukan pengangkutan ke rumah sakit. Di rumah, ibu hamil terhindar dari infeksi silang yang bisa terjadi di rumah sakit. Hal terpenting, biaya bersalin di rumah jauh lebih murah. Tetapi ibu hamil yang melahirkan di rumah dianjurkan untuk bersalin di sarana kesehatan untuk menjaga hal-hal berkaitan dengan komplikasi saat melahirkan sehingga tidak terlambat untuk ditolong atau memperoleh pelayanan kesehatan dengan fasilitas cukup Kekurangannya, penolong persalinan (dukun bayi, bidan atau tenaga lain) umumnya hanya satu. Sanitasi, fasilitas, peralatan dan persediaan air bersih mungkin kurang. Jika memerlukan rujukan, diperlukan pengangkutan dan pertolongan pertama selama perjalanan. Jika perjalanannya jauh atau lama, maka komplikasi yang terjadi misalnya

perdarahan atau kejang-kejang dapat lebih parah. Di rumah, perawatan bayi prematur juga sulit. (Echalucu, 2007).

2. PUSKESMAS

Pelayanan kesehatan tidak semata-mata ditentukan oleh besarnya biaya yang dikeluarkan untuk pembiayaan kesehatan tersebut, tetapi juga sangat bergantung kepada sistem pelayanan kesehatan yang tidak tepat paling dirasakan oleh masyarakat miskin. Puskesmas dengan ruang rawat inap berfungsi sebagai tempat persalinan dan memperoleh pelayanan kesehatan, didukung oleh sarana, dan petugas kesehatan (bidan).

3. Rumah bersalin/ rumah sakit

Ibu yang memilih melahirkan di rumah bersalin atau rumah sakit merasa tenang karena ada dokter dan bidan yang berjaga disana, sebagian lainnya merasa bahwa melahirkan dengan peralatan teknologi tinggi lebih aman. Diharapkan semua pertolongan persalinan memenuhi kriteria 3 bersih, yaitu :

a. Bersih tempat persalinan.

b. Bersih alat yang dipakai dalam pertolongan persalinan. c. Bersih penolong persalinan (DEPKES RI, 2002). 2.2. Akses Informasi

Informasi kesehatan tentang kehamilan, persalinan, dan nifas memiliki pengaruh penting terhadap perempuan dalam memilih penolong persalinan. Informasi kesehatan yang diterima ibu, dapat membuat ibu lebih memahami komplikasi yang

dapat muncul selama periode kehamilan, sehingga ibu akan lebih berhati-hati untuk memilih penolong persalinan. Perempuan yang tidak memiliki informasi kesehatan lebih cenderung untuk memilih dukun dibandingkan dengan perempuan yang memiliki akses terhadap informasi kesehatan. Akses tersebut dapat diperoleh melalui pendidikan yang diberikan oleh tenaga kesehatan, buku-buku atau majalah kesehatan, dan lain-lain (Juariah, 2009).

Jarak (fisik dan sosial) dapat menjadi faktor yang mempengaruhi seorang perempuan dalam memilih penolong selama masa kehamilan, persalinan dan nifas. Perempuan yang memilih dukun beralasan karena dukun tinggal dekat dengan rumah mereka. Jadi walaupun di kampung yang sama ada bidan, mereka tetap memilih dukun sebagai penolong. Sebaliknya, perempuan yang memilih bidan beralasan mereka sudah familiar dengan bidan tersebut karena sejak hamil mereka sudah memeriksakan kehamilannya ke bidan (Juariah, 2009).

2.3. Sosial

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), sosial adalah berkenaaan dengan masyarakat dan sifat-sifat kemasyarakatan. Sedangkan menurut Sudarno dalam Salim (2002), kata sosial berasal dari bahasa Latin yaitu socius yang berarti segala sesuatu yang lahir, tumbuh dan berkembang dalam kehidupan bersama, dalam menekankan pengertian sosial pada strukturnya. Jadi struktur sosial (social structure) adalah suatu tatanan, hierarki dan hubungan-hubungan sosial dalam masyarakat yang menempatkan pihak-pihak tertentu (individu, keluarga, kelompok dan kelas) di dalam

posisi-posisi sosial tertetu berdasarkan suatu sistem nilai dan norma yang berlaku pada sistem masyarakat pada waktu tertentu. Menyambung pengertian dari Sudarno di atas, Winandi dalam Ibrahim (2003) menyebutkan bahwa struktur sosial terdiri atas seperangkat unsur yang mempunyai ciri-ciri tertentu dan seperangkat hubungan di antara unsur-unsur tersebut.

Adapun dari aspek sosial ibu dalam pemilihan penolong persalinan antara lain:

1. Pendidikan

Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh dalam memberikan respon terhadap sesuatu yang datang dari luar. Orang yang berpendidikan tinggi akan memberikan respon yang lebih rasional terhadap informasi yang datang dan alasan berfikir sejauh mana keuntungan yang mungkin akan mereka peroleh dari gagasan tersebut. Perempuan yang tidak lagi meyakini atau sudah mulai longgar keyakinanya dengan adat istiadat, biasanya kalangan ini memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi.

Mereka lebih mudah mengadop informasi tentang kesehatan baik dari bidan atau tenaga kesehatan ataupun media cetak maupun elektronik. Mereka berpendapat bahwa pendidikan kesehatan dan bidan lebih bermanfaat untuk kesehatan mereka dan bayinya dan mereka meyakini kalau memeriksakan kehamilan kepada tenaga kesehatan, pertolongan persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan, tanpa memperdulikan adat istiadatpun bayinya akan selamat. Oleh karena itu mereka berpendapat tidak ada gunanya mengikuti pantangan kalau tidak rasional alasannya.

Perempuan dan kalangan ini biasanya hanya akan memilih tenaga kesehatan sebagai penolong selama kehamilan, persalinan maupun nifasnya (Juariah, 2009).

2. Kepercayaan

Rousseau (1998) mendefinisikan kepercayaan (trust) adalah wilayah psikologis yang merupakan perhatian untuk menerima apa adanya berdasarkan harapan terhadap perhatian atau perilaku yang baik dari orang lain. McKenzie (2006) mendefinisikan kepercayaan adalah variabel yang sangat memengaruhi status kesehatan karena kalau tingkat kepercayaan masyarakat terhadap petugas kesehatan rendah, maka usaha untuk meningkatkan derajat kesehatan semakin sulit dilakukan.

Masyarakat cenderung menghubungi sarana kesehatan sesuai dengan pengalaman atau informasi yang diperoleh dari orang lain tentang tersedianya jenis-jenis pelayanan kesehatan. Pilihan terhadap sarana pelayanan kesehatan tersebut dengan sendirinya didasari atas kepercayaan atau keyakinan akan kemajuan sarana tersebut (Notoatmodjo, 2003).

Dimensi kepercayaan menurut Sarafino (2002) terdiri dari motivasi dan emosional.

a. Motivasi dalam kepercayaan

Temuan penelitian menunjukkan bahwa keinginan dan preferensi orang-orang berpengaruh terhadap utilitas dan keabsahan informasi baru yang mereka buat, melalui suatu proses yang disebut penalaran termotivasi (Kunda, 1990). Di dalam satu bentuk penalaran termotivasi, individu-individu lebih suka mencapai suatu

kesimpulan tertentu, misalnya terus makan makanan yang mengandung lemak atau merokok kretek, cenderung memakai proses bias; mereka mencari tahu alasan-alasan menerima dukungan informasi dan mengurangi penyampaian informasi.

Penelitian memperlihatkan proses berpikir yang tidak rasional pada beberapa tipe keputusan yang berhubungan dengan kesehatan. Pertama, orang dengan sakit kronis, seperti diabetes, yang cenderung menggunakan pola berpikir tidak logis pada situasi yang berkaitan dengan kesehatannya cenderung tidak mengikuti saran medis dalam memanajemen kesehatannya (Christensen, 1999). Mungkin perasaan terancam yang tinggi memotivasi mereka menggunakan penyangkalan. Sama halnya, individu-individu yang kelihatan menggunakan informasi yang tidak relevan, seperti secara atraktif pasangan seksual menilai resiko berhubungan seks dengan orang tersebut (Blandon & Gerrard, 1997). Kedua, resiko orang yang merokok kretek lebih rendah daripada yang bukan perokok ketika diminta untuk menilai resiko mereka sendiri terhadap penyakit yang berhubungan dengan rokok, seperti kanker paru-paru. Kepercayaan seperti itu sangat resisten terhadap perubahan (Kreuter & Stretcher, 1995).

b. Emosional dalam kepercayaan

Stress juga berdampak pada proses kognitif orang yang menggunakannya dalam pengambilan keputusan. Teori konflik memberikan satu model untuk menilai pengambilan keputusan secara rasional dan tidak rasional, dan stress adalah faktor penting dalam model ini (Janis & Mann, 1977). Model ini menggambarkan urutan kognitif dimana orang-orang membuat keputusan penting, termasuk keputusan yang

berhubungan dengan kesehatan. Menurut teori konflik, urutan kognitif yang digunakan orang untuk sampai pada suatu keputusan stabil dimulai saat suatu peristiwa petualangan mereka atau pada gaya hidup. Petualangan juga dapat menjadi satu ancaman, seperti gejala sakit atau satu berita sejarah tentang bahaya merokok, atau suatu peluang, seperti kesempatan mengikuti suatu program gratis pada acara untuk menghentikan rokok. Langkah pertama dalam urutan kognitif termasuklah menilai tantangan, yang pada dasarnya menjawab pertanyaan: “Adakah resiko serius jika saya tidak berubah?” Jika jawabannya ‘tidak’ perilaku tetap sama dan proses pengambilan keputusan berakhir; tetapi jika jawabannya adalah ‘ya’, proses berlanjut misalnya, dengan sebuah alternatif survey untuk menyetujui tantangan.

Menurut Goleman (2007) sistem pemahaman impulsif yang berpengaruh besar, adalah pikiran emosional. Lebih lanjut, dikemukakan ciri utama pikiran emosional, yakni respons yang cepat tetapi ceroboh. Pikiran emosional jauh lebih cepat dari pada pikiran rasional, langsung melompat tanpa mempertimbangkan sekejap pun apa yang dilakukannya. Kecepatan itu, mengesampingkan pikiran hati-hati dan analitis yang merupakan ciri khas akal yang berpikir atau tindakan pikiran rasional.

3. Norma

Norma sosial adalah patokan perilaku dalam suatu kelompok masyarakat tertentu. Norma sering juga disebut dengan peraturan sosial. Norma menyangkut perilaku-perilaku yang pantas dilakukan dalam menjalani interaksi sosialnya. Keberadaan norma dalam masyarakat bersifat memaksa individu atau suatu

kelompok agar bertindak sesuai dengan aturan sosial yang telah terbentuk. Pada dasarnya, norma disusun agar hubungan di antara manusia dalam masyarakat dapat berlangsung tertib sebagaimana yang diharapkan (Iswantara, 2004).

Norma merupakan hasil buatan manusia sebagai makhluk sosial. Pada awalnya, aturan ini dibentuk secara tidak sengaja. Lama-kelamaan norma-norma itu disusun atau dibentuk secara sadar. Norma dalam masyarakat berisi tata tertib, aturan, dan petunjuk standar perilaku yang pantas atau wajar. Iswantara (2004), mengemukakan aturan atau ketentuan yang mengatur tingkah laku manusia dalam masyarakat disebut norma, sedangkan adat istiadat adalah norma yang tidak tertulis namun sangat kuat mengikat sehingga anggota-anggota masyarakat yang melanggar adat istiadat akan mendapat sanksi keras yang secara langsung dikenakan kepada pelanggaran adat tersebut.

Menurut Notoatmodjo (2003), yang mengutip pendapat Elling, mengatakan bahwa faktor-faktor sosial yang memengaruhi perilaku kesehatan antara lain : (1) Self Concept, yakni tingkatan kepuasan atau ketidak puasan diri sendiri ketika diperlihatkan kepada orang lain. Ketika orang lain berpandangan positif dan mau menerima apa yang kita lakukan, kita berusaha untuk meneruskan perilaku tersebut, begitu juga sebaliknya jika orang berpandangan negative terhadap perilaku kita, maka suatu keharusan untuk melakukan perubahan perilaku, (2) Image kelompok, yakni kepercayaan suatu kelompok atau organisasi akan sangat memengaruhi terhadap kepercayaan individu sehingga perilaku suatu komunitas terhadap kebiasaan

menggunakan pelayanan dukun akan memengaruhi perilaku individu lainnya dalam memilih pertolongan persalinan pada saat mereka sudah berkeluarga.

Berdasarkan kekuatan yang mengikatnya, norma dibagi menjadi empat bagian yaitu:

a. Cara (Usage)

Norma yang menunjuk pada suatu bentuk perbuatan yang memiliki sangsi amat lemat. Contoh : aturan cara makan. jika di pertemuan ada yang makan tidak memakai sendok/alat lainnya. dan ada juga yang makan memakai sendok/alat lannya. jika makan menggunakan sendok, tidak akan menjadi permasalahan. tapi bila tidak memakai sendok/alat lainnya mengakibatkan orang di sekitarnya merasa terganngu melihatnya dan akhirnya mencela cara makan yang demikian. b. Kebiasaan (Folkways)

Perilaku yang terjadi secara berulang-ulang dalam bentuk yang sama akan membentuk kebiasaan (folkways). Norma ini diakui keberadaannya di tengah-tengah masyarakat sebagai salah satu standar dalam interaksi sosial. Kebiasaan (folkways) tergolong sebagai norma ringan sehingga pelanggaran terhadap norma ini akan dikenai sanksi berupa gunjingan, sindiran, atau teguran. Di antara contoh dari norma ini adalah menerima pemberian dengan tangan kanan, makan dengan tangan kanan, mengetuk pintu jika ingin memasuki kamar orang lain, memberi salam pada saat bertamu, menerima tamu dengan ramah dan sopan.

c. Tata kelakuan (Mores)

Apabila suatu kebiasaan tidak semata-mata dianggap sebagai cara berperilaku saja, bahkan diterima sebagai norma-norma pengatur. Maka kebiasaan tersebut dikenal sebagai tata kelakuan (mores). (menjadi pedoman perilaku) Peranan tata kelakukan dalam kehidupan bermasyarakat sangatlah penting. Alasannya adalah sebagai berikut:

1) Tata kelakuan akan memberikan batas-batas pada perilaku individu. 2) Tata kelakuan akan mengidentifikasi individu dengan kelompoknya. 3) Tata kelakuan akan menjaga solidaritas antar anggota masyarakat. d. Adat istiadat (Custom)

Tata kelakuan yang kekal serta kuat integtasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat. Adat istiadat merupakan aneka kelaziman dalam suatu daerah yang mengikuti pasang naik dan pasang surut situasi masyarakat. Adat istiadat tergantung pada situasi sosial ekonomi masyarakat sekitarnya.

4. Kebiasaan

Kebiasaan (folkways) adalah norma yang dilakukan berulang-berulang karena disukai dan memiliki kekuatan yang lebih besar dibanding usage. Kebiasaan adalah perilaku yang sering diulang-ulang baik secara sengaja maupun tidak sengaja dari perilaku atau kebiasaan tersebut. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2008) kebiasaan merupakan suatu bentuk perbuatan berulang-ulang (bentuk yang sama) dilakukan secara sadar dan mempunyai tujuan yang jelas serta dianggap baik dan benar.

Kebiasaan dapat dikelompokkan ke dalam kebiasaan berpikir adalah kebiasaan beretika dan kebiasaan sosial. Kebiasaan ini cukup banyak, misalnya kebiasaan menjaga kebersihan, bersikap jujur, menjalani hidup dengan baik, serta segala bentuk kebiasaan yang memiliki korelasi dengan etika berperilaku dan kebiasaan sosial yang menjadi ciri tersendiri bagi manusia.

Kebiasaan dipengaruhi tiga faktor yaitu faktor lingkungan. 1)Lingkungan atau tempat tinggal memengaruhi dalam beraktivitas yang akhir membentuk suatu kebiasaan. 2)Faktor usia, walaupun ini bukan faktor penentu, usia dapat memengaruhi kebiasaan seseorang. 3)Pengalaman dalam bersosialisasi/pergaulan. Jika seseorang memiliki kematangan emosional yang baik, maka akan berbentuk pribadi yang baik yang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan setempat, sehingga dimanapun kita berada dapat terjalin keharmonisan dalam pergaulan dengan masyarakat yang memengaruhi perilaku kita dalam masyarakat yang mengarah pada kebiasaan (Notoatmodjo, 2003).

Ada beberapa tahapan dalam membentuk kebiasaan yaitu:

a. Memfokuskan perhatian. Kebiasaan seseorang muncul dari perhatian seseorang yang mana perhatian tersebut akan difokuskan untuk perilaku dan tujuan tertentu yang kemudian perilaku tersebut akan diulang-ulang.

b. Mengulang-ulang dan praktik. Kebiasaan terbentuk dari suatu perilaku tertentu yang secara sengaja dilakukan berulang-ulang dan dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari tanpa berfikir/ merasa. Sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan akan

membuat seseorang itu akan melakukan suatu pekerjaan tanpa harus berpikir lagi karena pekerjaan tersebut.

2.4. Ekonomi

Untuk memenuhi kebutuhan pokok (primer) maupun kebutuhan sekunder keluarga dengan status ekonomi baik akan lebih mudah tercukupi dibanding keluarga dengan status ekonomi rendah. Hal ini akan memengaruhi pemenuhan kebutuhan akan informasi pendidikan dan merupakan alasan perempuan untuk lebih memilih dukun sebagai penolong persalinan, karena mereka beralasan bahwa dukun lebih murah dibanding tenaga kesehatan lainnya. Mereka menganggap dukun murah karena mereka dapat membayarnya dengan beras, kelapa atau ayam yang tersedia di rumah mereka. Mereka tidak ingin memilih bidan karena mereka harus membayar bidan dengan uang yang kadang-kadang tidak tersedia di rumah mereka (Juariah, 2009). Sebaliknya, perempuan yang menganggap bahwa biaya ke dukun sama dengan ke bidan, hanya cara pembayarannya yang berbeda cenderung akan memilih bidan. Mereka berpendapat bahwa, jika memilih bidan mereka harus membayar dengan uang yang relatif banyak dalam sekali waktu, tetapi jika mereka memilih dukun, mereka harus membayar secara berkesinambungan sampai periode nifas (Juariah, 2009).

Keluarga dengan sumber ekonomi yang tidak memadai menunjukan karakteristik sebagai berikut: (a) penghasilan sepenuhnya diperoleh dari dinas sosial diakibatkan kegagalan atau ketidakmampuan orang dewasa dalam keluarga untuk

bekerja; (b) penghasilan diperoleh dari dinas sosial; (c) jumlah penghasilan sangat rendah atau tidak stabil sehingga kurang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Penelitian oleh Ongko (1998) dalam Tukiman (2001) tentang demand masyarakat ke balai kesehatan masyarakat salah satunya dipengaruhi oleh faktor harga.