• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN

B. Temuan Penelitian

Salah satu tradisi Jawa yang masih ada sampai sekarang yaitu slametan. Menurut pandangan dunia Jawa slametan itu untuk merekatkan kerukunan, keselarasan, untuk mewujudkan ketenteraman, dan kekuatan gotong royong. Islam memberikan pengaruh kepada tradisi dan budaya atau kepercayaan, dan begitu juga sebaliknya budaya juga memberikan pengaruh pada pelaksanaan dari ajaran-ajaran Islam. Mereka yakin dengan melakukan ritual atau tradisi akan terhindar dari celaka dan akan menciptakan sikap yang lebih lemah lembut, kehati-hatian dan salah satu media untuk mendekatkan diri pada Allah SWT dengan selalu bersyukur atas nikmat- Nya.

Kebiasaan terhadap penyelenggaraan slametan pada umumnya mempunyai tujuan baik secara religius, intelektual dan akhlak. Dengan demikian, dalam tata cara upacara slametan yang biasa dilakukan oleh masyarakat Jawa sangat banyak mengandung nilai. Menurut tokoh agama

Slamet Asy‟ari (wawancara pada tanggal 14 Oktober 2017 jam 13.00-13.20

WIB), mengatakan “Slametan sangat penting, sebuah bentuk acara pengiriman doa ketika seseorang mendapatkan anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa atau meminta kepada Tuhan Yang Maha Esa supaya dijauhkan dari bencana.Acara ini biasanya dihadiri oleh para tetua desa, tetangga dekat, sanak saudara dan keluarga”. Ditambahkan oleh tokoh agama Sabilul Huda (wawancara tanggal 15 Oktober 2017 jam 12.30-12.55 WIB di rumah

), mengatakan “Slametan bisa bermakna selamat dari sesuatu yang bersifat negatif atau perwujudan rasa syukur atas nikmat Tuhan agar terhindar dari kejadian yang tidak diinginkan”.

2. Pengertian Tradisi Tingkepan

Mitoni atau tingkepan merupakan upacara yang diselenggarakan

pada bulan ketujuh masa kehamilan dan hanya dilakukan terhadap anak yang dikandung sebagai anak pertama bagi kedua orang tuanya. Hakikatnya mendoakan calon bayi dan ibu yang mengandungnya agar selamat sampai saat kelahiran nanti. Sehingga, tradisi ini bertujuan agar bayi selalu selamat dalam kandungan dan kelak bisa lahir secara normal. Begitupun calon ibu yang sedang mengandung supaya diberi keselamatan dan terhindar dari bahaya apa pun.

Kehamilan merupakan anugrah terbesar dari Allah bagi pasangan suami istri dalam perjalanan rumah tangganya. Maka dari itu untuk rasa syukur pasangan suami istri terhadap janin yang telah di kandung oleh istri diadakanlah ritual yang khusus di peruntukkan bagi seorang wanita yang sedang mengandung, yaitu selamatan yang disebut dengan Tingkepan.

Tingkepan merupakan upacara kehamilan yang juga biasa disebut mitoni atau upacara kehamilan tujuh bulan. Upacara tingkepan adalah upacara utama sehingga seringkali dibuat besar-besaran terutama bagi kehamilan pertama, sedangkan kehamilan kedua, ketiga dan seterusnya hanya dengan brokohan saja atau upacara sederhana. Menurut tokoh agama Kholid (wawancara pada tanggal 15 Oktober 2017 jam 14.00-14.30 WIB di

rumah), menjelaskan “ Tingkepan sama artinya dengan mitoni, kata mitoni inilah yang sering terdengar di masyarakat. Mitoni merupakan slametan kehamilan tujuh bulan dengan bertujuan nylameti bayi yang dikandung sekaligus ibu yang akan nanti melahirkan agar supaya selamat tidak kekurangan suatu apapun”. Ditambahkan oleh tokoh spiritual Munir (wawancara pada tanggal 15 Oktober 2017 jam 15.20-15.55 WIB di rumah), “Mitoni adalah ritual kejawen yang mempunyai tujuan ungkapan rasa syukur atas pemberian anugerah berupa anak, sehingga tidak heran acara mitoni mengundang banyak orang untuk sekedar berbagi kebahagian dan sebagai sarana mempererat tali persaudaraan”.

Secara garis besar, tingkepan adalah sebuah tasyakuran kehamilan yang biasa dilaksanakan pada saat usia kehamilan mencapai 3 bulan, 4 bulan atau 7 bulan. Dalam acara tersebut tetangga sekitar baik laki-laki maupun perempuan diundang, acara pertama dibacakan ayat suci al-Qur‟an misalnya surat yusuf, surat maryam, dan surat Luqman kemudian dilanjutkan dengan pembacaan sholawat nabi kemudian ceramah agama dan ditutup dengan doa dan terkadang ada sebagian masyarakat yang mengadakan khotmil Qur‟an yang dimulai sejak pagi hari.

Di setiap daerah di tanah Jawa tentunya berbeda – beda bentuk acaranya sesuai dengan adat istiadat di daerah tersebut. Jika sang istri hamil usia 120 hari ( 4 bulan ) maka diadakan ritual yang disebut dengan upacara ngapeti atau ngupati, disebut ngapeti karena usia kandungan telah mencapai

empat bulan dan disebut ngupati karena dalam upacara tersebut ada hidangan yang berupa kupat.

3. Waktu Penyelenggaraan Tradisi Tingkepan

Menurut tokoh pendidikan Eko Purnomo (wawancara pada tanggal 16 Oktober 2017 jam 16.00-16.25 WIB di rumah), “Penyelenggaraan Tradisi Tingkepan atau mitoni dilaksanakan sesuai keinginan yang mempunyai hajat, menyesuaikan perhitungan umur kehamilan dan hari apa saja sangat baik”.

4. Perlengkapan Tradisi Tingkepan

Tingkepan atau mitoni memberikan aura kegembiraan, sebab acara seperti inilah yang akan menandakan si calon bayi agar segera lahir. Menurut tokoh agama serta tokoh pendidikan Aksin (wawancara pada tanggal 16 Oktober 2017 jam 19.00-19.20 WIB di rumah), mengatakan

bahwa, “ Tingkepan diselenggarakan dirumah ibu si calon ibu, dan slametan

yang khusus disiapkan dengan unsur-unsur utama berikut ini:

a. Sepiring nasi untuk setiap tamu dengan nasi putih diatas dan nasi kuning dibawahnya. Nasi putih melambangkan kesucian, nasi kuning melambangkan cinta. Ini harus dihidangkan diatas wadah dari daun pisang (takir) yang direkatkan dengan jarum baja agar anak yang bakal lahir kuat dan tajam fikirannya.

b. Gudangan mateng (sayurnya di rebus), bahan sayur gudangan

mateng (masak) ada berbagai lauk pauk seperti ikan pethek da

ika teri, ayam, urap ( kecambah, kangkung, bayam, kacang panjang) dan telur. Semua sayuran rebus direbus serta bumbu gudangnya pedas. Makna dari gudangan adalah hubungan manusia dengan masyarakatnya adalah penting untuk menjaga kerukunan, keharmonisan dan keseimbagan sosial. Untuk sayur yang disajikan berbentuk panjang agar bayi yang kelak dilahirkan dapat berumur panjang. Makna dari ikan pethek dan ikan teri yag biasanya digoreng tepung atau biasa ini memiliki simbol kerukunan dan kebersamaan. Ayam yang dipilih adalah

ayam jantan karena memasaknya mudah dengan bumbu kuning yang memiliki arti simbol ketenangan hati. Telur rebus disajika bersama kulitnya dan tidak dipotong sebelumnya. Ini melambangkan, jika telur dikupas saat ingin memakannya berarti semua tindakan harus direncanakan dan dikerjakan sesuai untuk hasil yang baik. Sambal urap memiliki simbol, urap berarti urip atau hidup yang berarti mampu menghidupi atau menfkahi keluarga. Ada sayur kangkung memiliki simbol melindungi, bayam memiliki simbol tentram, kacang pajang memiliki simbol pemikira yang jauh, kecambah memiliki arti tumbuh.

c. Tujuh tumpeng kecil nasi putih terutama melambangkan tujuh bulan kehamilan, tatapi seringkali beberapa “hajat” lain ditambahkan, seperti untuk menghormati hari yang tujuh dari satu minggu, langit yang berlapis tujuh dan semacamnya. Nasi merupakan menu utama pada hidangan ini. Memiliki arti simbol bahwa semua makhluk di dunia diciptakan oleh Tuhan. Nasi putih melambangkan kesucian, nasi kuning melambangkan cinta, kesejahteraan, kekayaan dan rejeki yang melimpah.

d. Sebuah tumpeng nasi yang besar, biasanya disebut tumpeng “kuat” karena ia dibuat dari beras ketan yang maksudnya agar anak yang dalam kandungan itu kuat dan juga memuliakan desa itu. Dan simbol rasa ucapan syukur kepada Allah SWT.

e. Beberapa hasil tanaman yang tumbuh dibawah tanah (seperti singkong) dan bebarapa buah yang tumbuh bergantung diatas, yang pertama untuk melambangkan bumi sedang yang kemudian untuk melambangkan langit, yang maasing-masing dianggap memiliki tujuh tingkatan.

f. Tiga jenis bubur : putih dan merah, (dibuat demikian dengan memberinya gula kelapa) dan suatu campuran dari keduanya: yang putih diseputar bagian luar, sedang yang merah ditengah piring. Bubur putih melambangkan “air” sang ibu, yang merah “air” ayah, dan campuran keduanya dianggap sangat mujarap untuk mencegah masuknya makhluk halus jenis apapun.

g. Rujak legi, suatu ramuan yang sedap dari berbagai buah-buahan, cabe, bumbu-bumbu dan gula. Ini sangat penting dalam hubungannya dengan tingkepan, dan yang paling khas: kebanyakan antara lain terdapat dalam slametan-slametan lain, tetapi rujak hanya terdapat disini. Konon, bila rujak itu terasa “pedas” atau “sedap” oleh si ibu, ia akan melahirkan anak perempuan, sebaliknya kalau terasa biasa saja, ia akan melahirkan anak laki-laki.

Dari unsur-unsur perlengkapan di atas menyesuaikan dengan kemampuan keluarga yang akan mengadakan hajatan tingkepan atau mitoni.

5. Rangkaian Upacara Tingkepan

Tata cara pelaksanaan upacara Tingkepan menurut tokoh agama Junedi (wawancara pada tanggal 17 Oktober 2017 jam 10.10-10.30 WIB di rumah), secara sederhana ada beberapa urutan-urutan prosesi, di antaranya:

a. Siraman. Siraman berarti memandikan. Dimaksudkan untuk membersihkan serta menyucikan calon ibu dan bayi yang sedang dikandung, lahir maupun batin. Serta meminta doa restu agar proses persalinan lancar dan anak yang akan dilahirkan selamat sehat jasmani dan rohani. Siraman dilakukan di tempat pekarangan rumah atau kamar mandi yang disiapkan secara khusus dan didekor indah. Siraman dilakukan oleh orang tua terlebih dahulu dilanjutkan oleh kerabat dekat. Airnya berasal dari sumber mata air (tok air) dengan menggunakan gayung dan ember yang di taburi bunga. Dihadiri oleh beberapa kerabat dan sanak saudara. Dilakukan pada siang hari.

b. Brojolan. Calon ibu berbusana kain jarit yang diikat longgar dengan letrek yaitu sejenis benang warna merah putih dan hitam. Melambangkan kasih sayang calon ibu, putih melambangkan tanggung jawab calon bapak bagi kesejahteraan keluarganya nanti. Warna hitam melambangkan kekuasaan Yang Maha Kuasa yang telah mempersatukan cinta kasih kedua orang tuanya. Dilanjutkan dengan acara membrojolkan atau meneroboskan dua buah kelapa gading yang telah digambari. Sepasang kelapa gading (kelapa muda yang berwarna kuning) tersebut bisa ditato gambar Kamajaya dan Dewi Ratih. Mempunyai makna agar kelak kalau bayi lahir laki-laki akan tampan dan mempunyai sifat luhur Kamajaya. Kalau bayi lahir perempuan akan secantik dan mempunyai sifat-sifat seluhur Dewi Ratih. Kelapa yang mbrojol ditangkap oleh salah seorang ibu untuk nantinya diberikan kepada calon bapak. Kemudian calon bapak akan memecah salah satu buah kelapa bertato tadi dengan parang, sekali tebas. Apabila buah kelapa terbelah menjadi dua, maka hadirin akan berteriak: “Perempuan!” Apabila tidak terbelah, hadirin boleh berteriak: “laki-laki!” Dan apabila kelapa luput dari sabetan, karena terlanjur menggelinding sebelum dieksekusi misalnya, maka adegan boleh diulang. Hal ini merupakan symbol harapan semoga bayi akan lahir dengan mudah tanpa ada halangan.

c. Pemakaian Busana. Calon ibu dibimbing keruangan lain untuk dikenai busana kain motif batik atau jarit. Motif jarik melambangkan kebaikan yang diharapkan bagi ibu yang mengandung tujuh bulan dan bagi si anak kelak kalau sudah

lahir. Dan seluruh rangkaian upacara ini harus selesai sebelum matahari terbenam, diharapkan si anak hadir di dunia dengan penuh keselamatan, rejeki, dan pertolongan dari Yang Maha Esa.

Ditambahkan oleh tokoh agama Jaenal (wawancara pada 13.00- 13.25 di rumah) mengatakan bahwa “setelah ragkaian acara siraman, brojolan, dan pemakaian busana selesai, di lanjutkan pada malam harinya mengadakan slametan doa bersama. Dalam acara tersebut tetangga sekitar baik laki-laki maupun perempuan diundang, acara pertama dibacakan ayat suci al-Qur‟an misalnya surat yusuf, surat maryam, dan surat Luqman kemudian dilanjutkan dengan pembacaan sholawat nabi kemudian ceramah agama dan ditutup dengan doa dan terkadang ada sebagian masyarakat yang mengadakan khotmil Qur‟an yang dimulai sejak pagi hari”.

6. Makna Tradisi Tingkepan Perspektif Masyarakat Jawa a. Tujuan Pelaksanaan Tradisi Tingkepan

Masyarakat Jawa dalam penyelenggaraan rangkaian upacara kehamilan pada umumnya mempunyai maksud agar janin yang ada di dalam kandungan dan ibu yang mengandung, senantiasa memperoleh keselamatan serta kesehatan. Menurut tokoh masyarakat Dimyati (wawancara pada tanggal 17 Oktober 2017 jam 15.00-15.30 WIB di rumah), “ Tujuan pelaksanaan tingkepan adalah bentuk permohonan kepada Allah agar bayi yang di kandung dan ibu yang mengandung diberi keselamatan serta kesehatan”. Motivasi yang mendorong dilakukannya penyelenggaraan rangkaian upacara kehamilan ini sebagai sarana agar bakal bayi dan ibu yang hamil senantiasa terhindar dari

malapetaka yang ditimbulkan oleh berbagai macam godaan tak terkecuali makhluk halus”.

Ditambahkan oleh tokoh pendidikan Erkham Maskuri (wawancara pada tanggal 17 Oktober 2017 jam 16.15-16.55 WIB di rumah), meneragkan bahwa “Saat isteri masa kehamilan, sang suami berkewajiban untuk mematuhi beberapa pantangan selama masa kehamilan isterinya. Pelanggaran terhadap pantangan yang dilakukan oleh sang ibu dan bapaknya akan berakibat cacatnya bayi, cacat fisik atau mental atau keduaduanya. Contoh: Tidak boleh memancing, dikhawatirkan bayi akan lahir dengan bibir sumbing, tidak boleh menyakiti binatang, dikhawatirkan bayi bisa keguguran dan tidak boleh berzina di khawatirkan akan berakibat pada kesehatan bayi yang dikandungnya rentan terkena penyakit”.

b. Eksistensi Tradisi Tingkepan

Maksud penyelenggaraan upacara kehamilan ialah agar embrio yang ada di dalam kandungan dan ibu yang mengandung senantiasa memperoleh keselamatan. Namun ada motivasi yang mendorong dilakukannya penyelenggaraan rangkaian upacara kehamilan, yaitu aspek tradisi kepercayaaan yang lama dan aspek primordial. Adapun aspek tradisi kepercayaan lama, sangat diyakini untuk melakukan ritus-ritus sebagai sarana mutlak agar bakal bayi dan ibu yang hamil senantiasa terhindar dari malapetaka. Menurut tokoh pemuda Sulton (wawancara pada tanggal 17 Oktober 2017 jam 19.00-19.20 WIB di rumah),

memaparkan bahwa “Tradisi Tingkepan adalah tradisi yang perlu dilestarikan, karena mengandung nilai-nilai agama yang dapat memberikan contoh kepada manusia untuk selalu bersyukur dan mendekatkan diri atas nikmat sehat, umur dan rejeki”. Ditambahkan oleh tokoh masyarakat Zubaidah (wawancara pada tanggal 18 Oktober 2017 jam 15.15-16.10 WIB di rumah), “ Tradisi Tingkepan bukan kategori bid‟ah secara Hukum Islam, tidak ada unsur Syirik. Karena tingkepan hanya bersifat syukuran dan menghormati leluhur”. Jadi, pelaksanaan adat-istiadat yang berkaitan dengan masa kehamilan, mencerminkan bentuk penghormatan leluhur atas warisan ritual tingkepan.

c. Tradisi Tingkepan merupakan suatu upacara ritual adat jawa

Upacara ritual daur hidup dalam masa kehamilan hakekatnya ialah upacara peralihan sebagai sarana menghilangkan petaka. Jadi semacam inisiasi yang menunjukkan bahwa upacara itu merupakan penghayatan unsur kepercayaa lama. Pada tradisi Tingkepan diadakan slametan dengan harapan agar ibu yang mengandung dan juga bayi yang akan dilahirkan memperoleh keselamatan dan tidak ada kesulitan.

Peserta selametan memandangnya sebagai bagian integral dari kehidupan mereka sebagai mahkluk sosial dalam pemahaman mengenai diri mereka sendiri sebagai orang Jawa; mereka memandangnya sebagai tradisi lokal. Tradisi tingkepan telah tertanam begitu kuat dalam masyarakat yang menganut budaya tersebut. Menurut tohoh pendidikan dan agama Toha (wawancara pada tanggal 18 Oktober 2017 jam 16.00-

16.25 WIB di rumah), menjelaskan bahwa “Tingkepan adalah warisan. Melalui pewarisan yang turun temurun di lingkungan keluarga dan masyarakat, nilai itu menghujam masuk dan wilayah emosional seseorang karena sejak kecil telah dibiasakan dengan adat-istiadat Jawa yang tumbuh dalam keluarga maupun masyarakat. Tidak ada yang salah, ketika kita masih melaksanakan tingkepan”.

7. Kaitan Tingkepan dengan Ajaran Islam

Sebenarnya pelaksanaan Tingkepan berangkat dari memahami hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhori, yang menjelaskan tentang proses perkembangan janin dalam rahim perkembangan seorang perempuan. Dalam hadits tersebut dinyatakan bahwa pada saat janin berumur 120 hari (4 bulan) dalam kandungan ditiupkan ruh dan ditentukan 4 perkara, yaitu umur, jodoh, rizki, dan nasibnya.

Maksudnya: “Rasulullah saw telah menceritakan kepada kami – sedang Baginda adalah orang benar yang telah dibenarkan kata-katanya- sabdanya: “Bahawa seseorang kamu dihimpunkan kejadiannya dalam perut ibunya selama 40 hari, kemudian dijadikan segumpal darah seumpamanya, kemudian dijadikan seketul daging seumpamanya, kemudian Allah mengutuskan seorang Malaikat untuk menulis empat kalimah dan diarahkan agar menulis; amalannya, ajalnya, rezekinya dan untung jahat

atau untung baik, kemudian ditiupkan rohnya.” (Sahih Al-Bukhari No.

3208).

Menurut Jaenal selaku pemuka agama (wawancara pada tanggal 18 Oktober 2017 jam 17.00-17.25 WIB di rumah), “Memang benar pada saat

janin berumur 120 hari atau 4 bulan di kandungan ditiupkan ruh dan ditentukan 4 perkara, yaitu umur, jodoh, rizki dan nasibnya”.

Sekalipun dalam hadits tersebut tidak ada perintah untuk melakukan ritual, tetapi melakukan permohonan pada saat itu tidak dilarang. Dengan dasar hadits tersebut, maka kebiasaan orang jawa khususnya mengadakan upacara adat untuk melakukan permohonan agar janin yang ada dalam rahim seseorang istri lahir selamat dan menjadi anak yang soleh dan solekhah.

Pada dasarnya “Tingkepan” merupakan ritual yang bernilai sakral dan bertujuan sangat mulia. Karena di dalam ritual Tingkepan terdapat

permohonan do‟a kepada Allah. Dan dikumandangkan kalimat-kalimat

Shalawat Nabi merupakan bukti pelaksanaan Tingkepan secara Islami. Dikumandangkannya Shalawat Nabi dalam tradisi umat Islam dikenal dengan “Berjanjen”.

Berjanjen ini diharapkan dapat memberikan pendidikan kepada Janin yang dikandung oleh sang ibu sejak “Si Jabang Bayi” masih dalam kandungan seiring dengan ditiupkannya “RUH” kepada “Si Jabang Bayi”.

BAB IV

Dokumen terkait