• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

237.94 78.22 227.49 53.54 Tenaga kerja dalam keluarga

Pengolahan lahan 6.18 2.03 60.37 14.21 Penanaman 5.92 1.95 12.09 2.84 Penyiraman 8.95 2.94 25.03 5.89 Penyiangan 4.05 1.33 21.77 5.12 Pemupukan susulan 1.13 0.43 2.33 0.54 Penyemprotan 29.00 9.53 38.97 9.17 Panen 10.84 3.56 36.79 8.66

Total tenaga kerja dalam keluarga

66.24 21.78 197.36 46.45

Total Tenaga kerja 304.18 100 424.84 100

Total jumlah penggunaan tenaga kerja pada usahatani kentang yang menggunakan benih sertifikat yaitu sebesar 304.18 HOK sedangkan pada usahatani kentang yang menggunakan benih non sertifikat yaitu sebesar 424.84 HOK (Tabel 28). Berdasarkan nilai HOK yang digunakan, petani yang menggunakan benih sertifikat memiliki nilai HOK lebih rendah dibandingkan dengan petani yang menggunakan benih sertifikat. Hal ini disebabkan karena setiap kegiatan yang dilakukan oleh petani yang menggunakan benih non sertifikat masih secara manual.

Peralatan pertanian yang dimiliki oleh petani non sertifikat membutuhkan jumlah orang yang cukup banyak agar bisa digunakan seperti halnya dalam kegiatan penyemprotan dan penyiraman. Mesin semprot yang dimiliki oleh petani benih non sertifikat untuk pengobatan membutuhkan tiga orang tenaga kerja agar bisa digunakan, selain itu sebagian besar para petani tidak memiliki pompa air, sehingga membutuhkan dua orang yang bekerja mengambil air dari sungai untuk menyiram tanaman. Penggunaan tenaga kerja pada petani benih non sertifikat masih belum efisien, karena peralatan pertanian yang dimiliki oleh petani tergolong masih tradisional dan masih membutuhkan tenaga kerja yang cukup besar untuk dapat digunakan.

Usahatani kentang yang menggunakan benih sertifikat maupun non sertifikat penggunaan tenaga kerja luar keluarga lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan tenaga kerja dalam keluarga. Hal tersebut disebabkan karena ada beberapa kegiatan yang membutuhkan tenaga kerja tambahan untuk dapat mengefisienkan waktu. Kegiatan persiapan lahan dan panen merupakan kegiatan yang membutuhkan tenaga kerja yang jumlahnya cukup banyak. Hal tersebut disebabkan karena pada tahap persiapan lahan banyak kegiatan yang dilakukan dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Kegiatan panen juga membutuhkan banyak tenaga kerja karena petani harus memanen kentang dengan cepat untuk mencegah kerusakan pada kentang.

Peralatan

Kegiatan usahatani kentang pada petani yang menggunakan benih kentang sertifikat maupun non sertifikat menggunakan peralatan pertanian dalam membantu kegiatan usahataninya. Umumnya, peralatan yang digunakan oleh petani benih sertifikat dan non sertifikat sama. Peralatan yang digunakan yaitu cangkul, mesin obat, ember, dan selang air. Cangkul digunakan para petani untuk mencangkul tanah dalam kegiatan pengolahan lahan. Mesin obat digunakan petani untuk menyemprot obat-obatan pada musim tanam. Ember digunakan petani untuk mencampur bahan obat-obatan yang akan digunakan oleh petani sebelum dimasukkan ke dalam mesin obat dan juga sebagai tempat untuk menyortir kentang untuk dijadikan benih selanjutnya pada saat panen. Selang air digunakan petani untuk menyiram tanaman.

Analisis Penerimaan Usahatani Kentang Benih Sertifikat dan Non Sertifikat di Desa Girijaya

Penggunaan input produksi berupa benih yang berbeda ikut mempengaruhi penerimaan yang dihasilkan oleh petani. Perbedaan jumlah output produksi yang dihasilkan pada petani yang menggunakan benih kentang sertifikat dan benih non sertifikat mempengaruhi perbedaan penerimaan yang dihasilkan antara keduanya. Penerimaan yang dihasilkan pada usahatani kentang dengan menggunakan benih kentang sertifikat dan non sertifikat dapat dilihat pada tabel 29 dan tabel 30.

Perhitungan penerimaan usahatani kentang baik yang menggunakan benih sertifikat maupun non sertifikat terdiri dari penerimaan tunai dan penerimaan non tunai (penerimaan diperhitungkan). Penerimaan tunai merupakan penerimaan atas hasil yang dijual petani ke pasar atau tengkulak. Penerimaan tunai yang didapatkan baik benih sertifikat maupun non sertifikat adalah hasil penjualan

kentang ukuran ABC (besar), hasil penjualan kentang ukuran DN (kecil), dan hasil penjualan benih kentang. Penerimaan non tunai (penerimaan diperhitungkan) adalah benih kentang yang disimpan dan dibudidayakan sendiri untuk digunakan sebagai benih kembali pada musim tanam selanjutnya. Benih kentang yang disimpan tersebut diasumsikan sebagai pembelian benih baru yang akan ditanam pada musim tanam selanjutnya dengan harga yang disesuaikan dengan harga yang berlaku di lapang baik benih sertifikat maupun non sertifikat.

Tabel 29 Penerimaan rata-rata benih sertifikat per ton /ha /musim tanam Komponen penerimaan Jumlah

(ton/ha) Harga (Rp/kg) Nilai (Rp/ha) Penerimaan tunai

Penjualan kentang ABC (besar) 15.76 5 595 94 148 052 Penjualan kentang DN (Kecil) 0.93 950 1 384 416 Penjualan bibit kentang 1.41 2 400 20 415 584

Total penerimaan tunai 115 948 052

Penerimaan non tunai

Penyimpanan benih 2.17 8 050 19 402 597

Total penerimaan 135 350 649

Tabel 30 Penerimaan rata-rata benih non sertifikat per ton/ ha /musim tanam Komponen penerimaan Jumlah

(ton /ha) Harga (Rp/kg) Nilai (Rp/ha) Penerimaan tunai

Penjualan kentang ABC (besar) 12.86 4 981 63 435 949 Penjualan kentang DN (kecil) 0.82 681 1 453 180 Penjualan bibit kentang 0 0 0

Total penerimaan tunai 64 889 129

Penerimaan non tunai

Penyimpanan benih 2.09 4 231 10 184 332

Total penerimaan 75 073 461

Petani yang menggunakan benih kentang bersertifikat rata-rata total penerimaan tunai yang dihasilkan adalah Rp115 948 052/ha/musim tanam lebih tinggi dibandingkan dengan petani yang menggunakan benih kentang non sertifikat yaitu Rp64 889 129/ha/musim tanam. Hal tersebut disebabkan karena jumlah produksi pada benih bersertifikat lebih tinggi dibandingkan dengan petani yang menggunakan benih non sertifikat. Hal tersebut juga didukung dengan nilai produktivitas benih sertifikat yang lebih tinggi dibandingkan dengan non sertifikat. Pada petani yang menggunakan benih kentang sertifikat maupun non sertifikat jumlah penerimaan tertinggi yaitu penjualan kentang ukuran ABC (Besar). Harga yang diberlakukan oleh tengkulak dalam membeli kentang pada petani tidak berbeda bahkan relatif sama, sehingga benih tidak menjadi indikator bagi petani untuk mendapatkan harga jual yang tinggi.

Besaran penerimaan tunai kedua terbesar setelah penjualan kentang ukuran ABC (besar) pada petani yang menggunakan benih sertifikat adalah jumlah penjualan benih kentang yaitu sebesar Rp20 415 584/ha/musim tanam. Hal tersebut menunjukkan bahwa petani yang menggunakan benih sertifikat memiliki

kemampuan untuk mendapatkan penerimaan lebih besar tidak hanya dari hasil penjualan kentang ke pasar atau tengkulak tetapi juga ke petani lain dari hasil penjualan benih kentangnya.

Hasil panen yang diperoleh petani benih sertifikat sebagian sengaja disisihkan untuk dilakukan pembibitan kembali oleh petani secara individu. Terlebih lagi jika benih tersebut masih dalam generasi benih di tingkat G2 hingga

G4. Petani yang menggunakan benih sertifikat sebagian besar sudah memiliki

pelanggan tetap yang biasa membeli benih sehingga tidak kesulitan dalam melakukan penjualan. Petani juga secara tidak langsung ikut membantu memenuhi kebutuhan benih kentang bagi petani kentang karena sudah menjual benih kentang turunan dari benih sertifikat kepada petani lain yang merasa kesulitan dalam melakukan pembelian benih langsung ke penangkar.

Benih kentang yang dijual tersebut tidak dilengkapi dengan label dan tidak diawasi oleh pihak BPSB (Balai pengawas Sertifikasi Benih) seperti halnya benih yang dijual oleh penangkar. Petani melakukan penjualan bibit kentang sebagai tambahan penerimaan tunai karena merasa jumlah produksi yang dihasilkan cukup besar sehingga petani mampu untuk melakukan penjualan bibit kentang. Pelanggan yang membeli benih kentang pada petani terebut merasa terbantu karena dapat memenuhi kebutuhan benih kentang bagi kegiatan usahataninya walaupun kualitas dan jumlah produksinya tidak lebih baik dibandingkan dengan benih kentang sertifikat. Harga jual bibit yang ditawarkan tidak jauh berbeda dari harga jual bibit kentang yang biasa dijual oleh penangkar karena responden petani menjual bibit masih dalam generasi kelas benih G4 hingga F1. Berbeda halnya dengan petani yang menggunakan benih non sertifikat, petani yang menggunakan benih non sertifikat tidak ada yang melakukan penjualan benih kentang. Hal tersebut disebabkan karena petani yang menggunakan benih kentang non sertifikat menggunakan benih kentang hanya untuk kepentingan sendiri. Benih tersebut juga nantinya akan digunakan kembali pada musim tanam selanjutnya sehingga benih tidak dijual.

Pada penerimaan non tunai (penerimaan diperhitungkan), benih yang disimpan oleh petani yang menggunakan benih kentang sertifikat yaitu Rp19 402 597/ha/musim tanam lebih tinggi dibandingkan dengan petani yang menggunakan benih kentang non sertifikat yaitu sebesar Rp10 184 332/ha/musim tanam. Perbedaan tersebut disebabkan karena petani yang menggunakan benih sertifikat memiliki jumlah produksi yang lebih tinggi sehingga petani dapat menyisihkan hasil panen dengan jumlah yang lebih besar untuk dijadikan bibit kembali dan dapat mengehmat biaya produksi. Hal tersebut juga dilakukan oleh petani yang menggunakan benih non sertifikat, tetapi penyimpanan benih tersebut hanya untuk kepentingan sendiri bukan untuk dijual agar dapat menghemat biaya tunai dalam pembelian benih yang baru. Faktor lain yang mempengaruhi yaitu harga jual bibit. Sebagian besar petani yang menggunakan benih sertifikat pada penyimpanan benih jika dijual harganya relatif tinggi berkisar antara Rp10 000 hingga Rp12 000/kg sedangkan petani yang menggunakan benih non sertifikat harga jual bibitnya kurang dari Rp8 000/kg. Hal tersebut membuat nilai penerimaan non tunai pada benih sertifikat lebih besar dibandingkan dengan petani yang menggunakan benih non sertifikat.

Analisis Besaran Biaya Usahatani Kentang Benih Sertifikat dan Non Sertifikat di Desa Girijaya

Biaya yang dikeluarkan oleh petani dalam kegiatan usahataninya dibedakan atas biaya tunai dan biaya non tunai (biaya diperhitungkan). Biaya tersebut dibedakan berdasarkan atas penggunaan input produksi yang digunakan selama satu musim tanam. Biaya tunai terdiri dari biaya pupuk, benih, obat- obatan, sewa lahan, dan biaya tenaga kerja luar keluarga sedangkan untuk biaya non tunai terdiri dari biaya benih (benih yang disimpan oleh petani dari hasil panen pada musim tanam sebelumnya), tenaga kerja keluarga, penyusutan, dan biaya sewa lahan milik pribadi (lahan HGU yang diizinkan pengelolaannya dari pemerintah kehutanan kepada petani) yang diasumsikan sebagai biaya non tunai (Tabel 31). Perhitungan biaya yang dilakukan adalah berdasarkan luasan lahan satu hektar. Luas lahan rata-rata petani yang menggunakan benih sertifikat adalah 0.38 ha dan luas lahan rata-rata petani yang menggunakan benih non sertifikat adalah 0.17 ha.

Tabel 31 Besaran rata-rata biaya yang dikeluarkan petani benih sertifikat dan non sertifikat per ha/musim tanam

Komponen Biaya Benih kentang sertifikat Benih kentang non sertifikat Jumlah (Rp) Persentase (%) Jumlah (Rp) Persentase (%) Biaya tunai Pupuk kandang 9 269 481 15.85 13 734 447 24.04 Pupuk kimia 3 803 701 6.50 3 249 032 5.69 Obat padat 4 743 052 8.11 6 778 802 11.86 Obat cair 1 617 143 2.77 1 813 594 3.17

Tenaga kerja luar keluarga

5 949 896 10.17 5 540 518 9.70

Bensin 229 091 0.39 388 940 0.68

Sewa lahan 1 428 571 2.44 385 945 0.68

Pembelian benih 7 636 364 13.06 311 060 0.54 Total biaya tunai 34 677 299 59.29 32 202 339 56.36 Biaya non tunai

Sewa lahan HGU 4 230 519 7.23 5 138 249 8.99 Penyimpanan benih 15 974 026 27.31 11 107 373 19.44 Tenaga kerja keluarga 1 424 821 2.44 5 290 023 9.26 Penyusutan alat 2 177 430 3.72 3 403 485 5.96 Total biaya non tunai 23 806 797 40.71 24 939 130 43.64

Total Biaya 58 484 096 100 57 141 469 100

Biaya tunai

Biaya tunai merupakan biaya yang dikeluarkan secara tunai oleh petani dalam melakukan kegiatan usahataninya. Biaya tunai terdiri dari biaya input pupuk kandang, pupuk kimia, obat padat, obat cair, upah tenaga kerja luar keluarga, bensin, sewa lahan, dan pembelian benih kentang. Berdasarkan hasil perhitungan, biaya tunai yang dikeluarkan oleh petani kentang sertifikat lebih

tinggi yaitu sebesar Rp34 677 299/ha/musim tanam dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan oleh petani non sertifikat yaitu sebesar Rp32 202 339/ ha/musim tanam. Besarnya biaya kegiatan usahatani yang dilakukan oleh petani yang menggunakan benih sertifikat maupun non sertifikat terdapat perbedaan dalam besarnya biaya yang dikeluarkan. berdasarkan persentase biaya, besarnya biaya tunai yang dikeluarkan oleh petani yang menggunakan benih sertifikat adalah 59.29 persen dari keseluruhan biaya. Besarnya biaya tunai yang dikeluarkan oleh petani yang menggunakan benih non sertifikat adalah 56.36 persen dari keseluruhan biaya.

Komponen biaya tunai terbesar yang dikeluarkan oleh petani yang menggunakan benih sertifikat dan non sertifikat adalah biaya pupuk kandang yaitu sebesar 15.85 persen dari keseluruhan biaya bagi petani yang menggunakan benih sertifikat dan 24.04 persen dari keseluruhan biaya bagi petani yang menggunakan benih non sertifikat. Besarnya biaya pupuk kandang karena penggunaan pupuk pada kegiatan usahatani kentang cukup besar dan sangat penting terutama dalam proses pengolahan lahan karena untuk membuat tanah lebih gembur dan mengembalikan unsur hara dalam tanah agar petumbuhan tanaman kentang menjadi subur. Pada petani benih non sertifikat biaya yang dikeluarkan untuk pupuk kandang lebih tinggi dibandingkan dengan benih sertifikat. Hal tersebut karena penggunaan pupuk yang berlebihan dan tidak sesuai dengan aturan standar yang seharusnya diberikan sehingga membuat biaya pupuk kandang menjadi lebih besar.

Besarnya biaya tunai lainnya setelah komponen pupuk kandang adalah biaya pembelian benih bagi petani yang menggunakan benih sertifikat sebesar 13.06 persen. Hal tersebut disebabkan karena pada petani yang menggunakan benih sertifikat ada 37 persen yang membeli benih kepada penangkar dengan rata- rata jumlahnya yaitu 0.1 ton. Pembelian benih kentang tersebut adalah benih dengan generasi G2 dan G3 sehingga mempengaruhi biaya tunai secara keseluiruhan. Berbeda halnya dengan petani yang menggunakan benih non sertifikat, obat padat merupakan komponen biaya terbesar kedua setelah pupuk kandang yaitu sebesar 11.86 persen. Hal tersebut disebabkan karena penggunaan obat padat yang digunakan oleh petani benih non sertifikat lebih boros. Petani non sertifikat cenderung melakukan penyemprotan hama apabila hama tersebut telah menyerang, bukan sebagai tindakan antisipasi.

Biaya non tunai

Biaya non tunai merupakan biaya yang tetap diperhitungkan walaupun tidak dikeluarkan secara tunai dalam kegiatan usahatani. Biaya non tunai terdiri dari biaya kepemilikan lahan HGU (Hak Guna Usaha) yang diasumsikan sebagai lahan sewa, biaya bibit yang dibudiadayakan sendiri, biaya tenaga kerja dalam keluarga, serta nilai penyusutan. Berdasarkan dari hasil perhitungan biaya non tunai yang dikeluarkan oleh petani benih sertifikat lebih rendah yaitu sebesar Rp23 806 797/ha/musim tanam dibandingkan dengan non sertifikat yaitu sebesar Rp24 939 130/ha/musim tanam. Pada persentase biaya, besarnya biaya non tunai yang dikeluarkan oleh petani yang menggunakan benih sertifikat adalah 40.71 persen dari keseluruhan biaya. Besarnya biaya non tunai yang dikeluarkan oleh

petani yang menggunakan benih non sertifikat adalah 43.64 persen dari keseluruhan biaya.

Komponen biaya non tunai terbesar yang dikeluarkan oleh petani yang menggunakan benih sertifikat dan non sertifikat adalah biaya penggunaan benih yang dibudidayakan sendiri. Jumlahnya yaitu sebesar 27.31 persen dari keseluruhan biaya bagi petani yang menggunakan benih sertifikat dan 19.44 persen dari keseluruhan biaya bagi petani yang menggunakan benih non sertifikat. Perbedaan tersebut disebabkan karena jumlah produksi yang dihasilkan oleh petani benih sertifikat lebih besar dibandingkan dengan benih non sertifikat, sehingga benih yang disimpan oleh petani benih sertifikat lebih tinggi. Terlebih lagi sebanyak 70 persen petani responden benih sertifikat menggunakan benih G2 dan G3 yang benihnya masih bisa disimpan untuk musim tanam selanjutnya agar dapat menghasilkan keturunan benih G4. Perbedaan lainnya yaitu pada petani yang menggunakan benih bersertifikat. Benihnya ada yang dijual karena dapat menguntungkan dan menambah biaya penerimaan, didukung juga dengan kualitas benih yang baik. Berbeda halnya dengan petani yang menggunakan benih non sertifikat, penyimpanan benih banyak dilakukan untuk nantinya akan dibudidayakan sendiri agar dapat menghemat biaya tunai yang dikeluarkan.

Besarnya biaya non tunai lainnya setelah komponen benih yang dibudidayakan sendiri adalah biaya kepemilikan lahan HGU yang diusahakan sewa lahan. Bagi petani yang menggunakan benih sertifikat, biaya kepemilikan lahan HGU sebesar 8.03 persen. Perbedaan tersebut disebabkan karena bagi petani yang menggunakan benih sertifikat kepemilikan lahan rata-rata seluas 0.38 ha dengan persentase lahan kepemilikan HGU adalah 15 orang dari total 20 orang responden petani. Hal tersebut membuat biaya sewa lahan HGU menjadi lebih besar karena luasnya lahan membuat biaya yang dikeluarkan menjadi lebih besar. Sementara itu, bagi petani yang menggunakan benih non sertifikat, biaya non tunai terbesar setelah benih yang dibudidayakan sendiri adalah biaya tenaga kerja dalam keluarga yaitu sebesar 10.66 persen. Hal tersebut disebabkan petani benih non sertifikat tidak mampu untuk membayar upah tenaga kerja dari luar keluarga sehingga setiap kegiatan usahatani melibatkan keluarga seperti istri atau anak dari petani itu sendiri.

Biaya total

Biaya total merupakan biaya keseluruhan yang dikeluarkan oleh petani yang terdiri dari biaya tunai dan non tunai. Biaya total bagi petani bersertifikat adalah Rp58 484 096/ha sedangkan biaya total bagi petani non sertifikat adalah Rp57 141 469/ha. Biaya total bagi petani bersertifikat lebih tinggi dibandingkan dengan biaya total petani benih non sertifikat. Hal ini disebabkan karena pada biaya tunai, biaya pembelian benih dan biaya tenaga kerja luar keluarga lebih besar dibandingka dengan non sertifikat. Hal tersebut mempengaruhi jumlah biaya secara keseluruhan.

Benih merupakan perbedaan yang dianalisis dalam kajian ini, berdasarkan hasil analisis, benih banyak dikeluarkan petani baik sertifikat maupun non sertifikat sebagai biaya non tunai yang digunakan petani untuk menghemat biaya pembelian, tetapi cukup mempengaruhi besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh petani. Hal ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan

oleh Maulia (2012), Ratnawati (2001), dan Ridwan (2010) yang menghasilkan biaya benih banyak dikeluarkan sebagai biaya tunai daripada biaya non tunai.

Analisis Pendapatan Usahatani Kentang yang Menggunakan Benih Sertifikat dan Non Sertifikat di Desa Girijaya

Hasil analisis pendapatan usahatani kentang menunjukan besarnya selisih antara penerimaan yang diperoleh dan biaya yang dikeluarkan. Analisis pendapatan usahatani kentang dihitung berdasarkan pendapatan atas biaya total dan pendapatan atas biaya tunai. Besaran rata-rata pendapatan usahatani kentang dengan menggunakan benih kentang bersertifikat menghasilkan pendapatan atas biaya total yaitu sebesar Rp76 866 553/ha/musim tanam. Nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan petani yang menggunakan benih non sertifikat yaitu sebesar Rp17 931 992/ha/ musim tanam (Tabel 32).

Tabel 32 Nilai pendapatan usahatani kentang benih sertifikat dan non sertifikat per ha/ musim tanam

Komponen Pendapatan usahatani kentang

Benih sertifikat (Rp) Benih non sertifikat (Rp)

Pendapatan atas biaya total 76 866 553 17 931 992

Pendapatan atas biaya tunai 100 673 351 42 871 122

R/C atas biaya total 2.31 1.31

R/C atas biaya tunai 3.90 2.33

Jumlah rata-rata pendapatan atas biaya total yang dikeluarkan oleh petani yang menggunakan benih sertifikat lebih tinggi dibandingkan dengan petani yang menggunakan benih non sertifikat. Total penerimaan yang dihasilkan oleh petani benih sertifikat lebih tinggi dibandingkan dengan petani yang menggunakan benih non sertifikat. Hal tersebut membuktikan bahwa penggunaan benih sangat berpengaruh terhadap jumlah pendapatan petani. Pada total penerimaan menunjukkan penerimaan tunai dan non tunai benih sertifikat lebih tinggi dibandingkan dengan benih non sertifikat. Hal tersebut karena pada penerimaan tunai petani benih sertifikat rata-rata menjual benihnya, sehingga mempengaruhi biaya tunai yang dikeluarkan karena petani benih sertifikat lebih sering melakukan pembelian benih yang baru dengan harga yang cukup mahal untuk dapat menjaga kualitas dari benih kentang itu sendiri. Bebeda halnya pada petani yang menggunakan benih non sertifikat, petani tidak menjual benih tersebut dan disimpan untuk digunakan kepentingan sendiri pada musim tanam selanjutnya. Hal tersebut mempengaruhi biaya tunai yang dikeluarkan karena petani benih non sertifikat jarang melakukan pembelian benih yang baru. Jika petani yang menggunakan benih non sertifiakt melakukan pembelian beih yang baru, biaya yang dikeluarkan juga lebih rendah karena harga benih sertifiakt yang lebih murah dibandingkan membeli benih kentang sertifikat dari penangkar.

Selain benih, komponen lain pada penerimaan maupun biaya tidak jauh berbeda. Hal tersebut dapat dilihat pada komponen penerimaan non tunai yang menunjukkan bahwa antara benih sertifikat maupun non sertifikat sama-sama melakukan penyimpanan benih untuk menghemat biaya produksi. Pada komponen

biaya, penggunaan tenaga kerja juga tidak jauh berbeda. Pada benih sertifikat, biaya yang dikeluarkan untuk komponen tenaga kerja luar keluarga lebih besar dibandingkan dengan petani non sertifikat. Berbeda halnya pada petani benih non sertifikat, komponen biaya non tunai yang dikeluarkan untuk tenaga kerja dalam keluarga lebih besar dibandingkan benih sertifikat. Sehingga, nilai pendapatan atas biaya total pada benih sertifikat lebih tinggi dibandingkan dengan non sertifikat. Hal tersebut dipengaruhi oleh total penerimaan benih sertifikat yang lebih tinggi dibandingkan dengan non sertifikat yang membuat selisih antara penerimaan terhadap biaya menjadi lebih besar walaupun jumlah biaya yang dikeluarkan oleh petani benih sertifikat lebih tinggi.

Faktor lain selain benih yang dapat mempengaruhi pendapatan yaitu pengalaman bertani dan ilmu pengetahuan yang dimiliki petani. Sebagian besar petani benih sertifikat mendapatkan wawasan dan ilmu pengetahuan dari penangkar mengenai teknik budidaya kentang dan diterapkan pada kegiatan usahatani kentangnya sehingga berpengaruh ke dalam penggunaan input dan dapat menghemat biaya produksi

Sementara itu pada petani yang menggunakan benih non sertifikat, sebagian besar petani dalam menjalankan kegiatan usahataninya bergantung dari pengalaman bertani. Pengalaman bertani yang dimiliki oleh petani membuat petani yakin untuk dapat menjalankan kegiatan usahataninya dengan baik dan menguntungkan, tetapi dengan penggunaan input yang tidak sesuai dengan dosis yang dianjurkan, membuat jumlah biaya yang dikelurkan menjadi lebih besar.

Pendapatan atas biaya tunai pada benih sertifikat menunjukkan jumlah rata-rata yang lebih tinggi yaitu senilai Rp100 673 351/ha/musim tanam dibandingkan dengan benih non sertifikat yaitu senilai Rp42 871 122/ha/musim tanam. Hal tersebut disebabkan karena pada petani benih sertifikat penerimaan tunai yang dihasilkan lebih tinggi walaupun biaya tunai yang dikeluarkan lebih besar. Petani benih sertifikat, mendapatkan jumlah penerimaan tambahan dari penjualan bibit kentang. Harga bibit kentang yang dijual oleh petani yang menggunakan benih sertifikat yaitu sebesar Rp10 000/kg sampai Rp12 000/kg tergantung dari kelas benihnya.

Dokumen terkait