Dosis dexamethasone akan tergantung pada penyakit atau gejala yang ditangani.
Umumnya, dosis awal yang akan diresepkan dokter berada di antara 0.75-9 mg per harinya. Perlu diketahui bahwa dosis dexamethasone
juga akan disesuaikan dengan perkembangan penyakit/gejala dan respons tubuh pasien
terhadap obat ini. Untuk pengguna anak-anak, berat badan mereka juga perlu
dipertimbangkan dalam menentukan dosis
dexamethasone. Untuk informasi lebih lengkap, tanyakan pada dokter.
Dexamethasone dapat menyebabkan efek samping dan bentuk efek samping tersebut bisa berbeda-beda pada penggunanya. Ada beberapa efek samping yang mereda seiring dengan tubuh menyesuaikan diri dengan obat ini.
Beberapa efek samping dexamethasone yang umum adalah:
Badan terasa lelah atau lemas
Gangguan pola tidur
Sakit kepala
Vertigo
Keringat berlebihan
Jerawat
Kulit kering dan menipis serta gampang memar
Pertumbuhan rambut yang tidak biasa
Perubahan suasana hati seperti depresi dan mudah tersinggung
Mudah haus
Sering buang air kecil
Nyeri otot
Nyeri pada sendi atau/dan tulang
Sakit perut atau perut terasa kembung
Metilprednisolon merupakan kortikosteroid dengan kerja intermediate yang termasuk kategori adrenokortikoid, antiinflamasi dan imunosupresan.
Adrenokortikoid:
Sebagai adrenokortikoid, metilprednisolon berdifusi melewati membran dan membentuk komplek dengan reseptor sitoplasmik spesifik. Komplek tersebut
kemudian memasuki inti sel, berikatan dengan DNA,
dan menstimulasi rekaman messenger RNA (mRNA) dan selanjutnya sintesis protein dari berbagai enzim akan bertanggung jawab pada efek sistemik adrenokortikoid. Bagaimanapun, obat ini dapat menekan perekaman
mRNA di beberapa sel (contohnya: limfosit).
Anti-inflamasi (steroidal)
Glukokortikoid menurunkan atau mencegah respon jaringan terhadap proses inflamasi, karena itu menurunkan gejala inflamasi tanpa
dipengaruhi penyebabnya.
Glukokortikoid menghambat akumulasi sel inflamasi, termasuk makrofag dan leukosit pada lokasi inflamasi. Metilprednisolon juga
menghambat fagositosis, pelepasan enzim lisosomal, sintesis dan atau pelepasan beberapa mediator kimia inflamasi. Meskipun mekanisme yang pasti belum diketahui secara lengkap, kemungkinan efeknya melalui blokade faktor penghambat makrofag (MIF), menghambat lokalisasi makrofag: reduksi atau dilatasi permeabilitas kapiler yang terinflamasi dan mengurangi lekatan leukosit pada endotelium kapiler, menghambat pembentukan edema dan migrasi leukosit; dan
meningkatkan sintesis lipomodulin (macrocortin), suatu inhibitor fosfolipase A2-mediasi pelepasan asam arakhidonat dari membran fosfolipid, dan hambatan selanjutnya terhadap sintesis asam
arakhidonat-mediator inflamasi derivat (prostaglandin, tromboksan dan leukotrien). Kerja immunosupresan juga dapat mempengaruhi efek
antiinflamasi.
lanjuta
n
Immunosupresan
Mekanisme kerja immunosupresan belum dimengerti secara lengkap tetapi kemungkinan dengan pencegahan atau penekanan sel mediasi (hipersensitivitas tertunda)
reaksi imun seperti halnya tindakan yang lebih spesifik yang mempengaruhi respon imun, Glukokortikoid mengurangi
konsentrasi limfosit timus (T-limfosit), monosit, dan eosinofil. Metilprednisolon juga menurunkan ikatan immunoglobulin ke reseptor permukaan sel dan menghambat sintesis dan atau pelepasan interleukin, sehingga T-limfosit
blastogenesis menurun dan mengurangi perluasan respon immun primer. Glukokortikoid juga dapat menurunkan
lintasan kompleks immun melalui dasar membran,
konsentrasi komponen pelengkap dan immunoglobulin.
Abnormalitas fungsi adrenokortikal, untuk pengobatan:
Insufisiensi adrenokortikal akut dan kronik primer:
Hidrokortison dan kortison lebih dipilih sebagai terapi pengganti karena aktivitas mineralokortikoidnya yang berarti. Penggantian sodium dan cairan juga dibutuhkan. Pada beberapa pasien penggantian mineralokortikoid tambahan juga mungkin diperlukan.
Insufisiensi adrenokortikoid sekunder:
Penggantian dengan glukokortikoid umumnya mencukupi, mineralokortikoid tidak selalu dibutuhkan.
Dewasa
Secara intramuskular atau intravena, 10-40 mg (base), diulangi sesuai keperluan.
Untuk dosis tinggi (pulse terapi): intravena, 30 mg (base) per kg berat badan diberikan sekurang-kurangnya 30 menit. Dosis dapat diulangi setiap 4-6 jam sesuai kebutuhan.
Untuk eksaserbasi akut pada sklerosis ganda: intramuskular atau intravena, 160 mg (base) perhari selama satu minggu, diikuti dengan 64 mg setiap hari selama satu bulan.
Untuk pengobatan luka tulang punggung akut: intravena, 30 mg
(base) per kg berat badan diberikan selama 15 menit, diikuti dengan 45 menit infus, 5,4 mg per kg berat badan per jam, selama 23 jam.
Untuk pengobatan tambahan pada AIDS yang berhubungan dengan pneumosistis carinii: intravena, 30 mg (base) dua kali sehari pada hari pertama sampai kelima, 30 mg sekali sehari pada hari keenam sampai kesepuluh, 15 mg sekali sehari pada hari ke sebelas sampai dua puluh satu.
Bayi dan anak:
Insufisiensi adrenokortikal: intramuskular, 117 mikrogram (0,117 mg) (base) per kg berat badan atau 3,33 mg (base) permeter persegi permukaan tubuh sehari (dalam dosis terbagi tiga) setiap hari ke tiga; atau 39 sampai 58,5 mikrogram (0,039 sampai 0,0585 mg) (base) per kg berat badan atau 1,11 sampai 1,66 mg (base) permeter persegi permukaan tubuh sekali sehari.
Untuk pengobatan luka tulang punggung akut: intravena, 30 mg (base) per kg berat badan diberikan selama 15 menit, diikuti selama 45 menit dengan infus 5,4 mg per kg berat badan per jam, selama 23 jam.
Indikasi lain: intramuskular, 139-835 mikrogram (0,139-0,835 mg) (base) per kg berat badan atau 4,16-25 mg (base) permeter persegi permukaan tubuh setiap 12 sampai 24 jam.
Untuk pengobatan tambahan pada AIDS yang berhubungan dengan
pneumosistis carinii: Anak-anak berusia 13 tahun atau kurang: dosis belum ditentukan secara pasti. Anak-anak berusia lebih dari 13 tahun: sama dengan dosis dewasa.
Insufisiensi adrenokortikal:
Dosis tinggi untuk periode lama dapat terjadi penurunan sekresi endogeneous kortikosteroid dengan menekan pelepasan kortikotropin pituitary insufisiensi adrenokortikal sekunder.
Efek muskuloskeletal:
Nyeri atau lemah otot, penyembuhan luka yang tertunda, dan atropi matriks protein tulang yang menyebabkan osteoporosis, retak tulang belakang karena tekanan, nekrosis aseptik pangkal humerat atau femorat, atau retak patologi tulang panjang.
Gangguan cairan dan elektrolit:
Retensi sodium yang menimbulkan edema, kekurangan kalium, hipokalemik alkalosis, hipertensi, serangan jantung kongestif.
Efek pada mata:
Katarak subkapsular posterior, peningkatan tekanan intra okular, glaukoma, eksoftalmus.
Efek endokrin:
Menstruasi yang tidak teratur, timbulnya keadaan cushingoid, hambatan pertumbuhan pada anak, toleransi glukosa menurun, hiperglikemia, bahaya diabetes mellitus.
Efek pada saluran cerna:
Mual, muntah, anoreksia yang berakibat turunnya berat badan,
peningkatan selera makan yang berakibat naiknya berat badan, diare atau konstipasi, distensi abdominal, pankreatitis, iritasi lambung, ulceratif
esofagitis.
Juga menimbulkan reaktivasi, perforasi, perdarahan dan penyembuhan peptik ulcer yang tertunda.
Efek sistem syaraf:
Sakit kepala, vertigo, insomnia, peningkatan aktivitas motor, iskemik neuropati, abnormalitas EEG, konvulsi.
Efek dermatologi:
Atropi kulit, jerawat, peningkatan keringat, hirsutisme, eritema fasial, striae, alergi dermatitis, urtikaria, angiodema.
Efek samping lain:
Penghentian pemakaian glukokortikoid secara tiba-tiba akan menimbulkan efek mual, muntah, kehilangan nafsu makan, letargi, sakit kepala, demam, nyeri sendi, deskuamasi, mialgia, kehilangan berat badan, dan atau hipotensi.
Enzim penginduksi mikrosom hepatik.
Obat seperti barbiturat, fenitoin dan rifampin yang menginduksi enzim hepatik dapat meningkatkan metabolisme glukokortikoid, sehingga mungkin diperlukan dosis tambahan atau obat tersebut tidak diberikan bersamaan.
Anti inflamasi nonsteroidal.
Pemberian bersamaan dengan obat ulcerogenik seperti indometasin dapat meningkatkan resiko ulcerasi saluran pencernaan. Aspirin harus diberikan secara hati-hati pada pasien hipotrombinernia. Meskipun pemberian bersamaan dengan salisilat tidak tampak
meningkatkan terjadinya ulcerasi saluran pencernaan, kemungkinan efek ini harus dipertimbangkan.
Obat yang mengurangi kalium.
Diuretik yang mengurangi kadar kalium (contoh: thiazida, furosemida, asam etakrinat) dan obat lainnya yang mengurangi kalium oleh glukokortikoid. Serum kalium harus dimonitor secara seksama bila pasien diberikan obat bersamaan dengan obat yang mengurangi kalium.
Bahan antikolinesterase.
Interaksi antara glukokortikoid dan antikolinesterase seperti ambenonium, neostigmin, ataupyridostigmin dapat menimbulkan kelemahan pada pasien dengan myasthenia gravis. Jika mungkin, pengobatan antikolinesterase harus dihentikan 24 jam sebelum pemberian awal terapi glukokortikoid.
Vaksin dan toksoid.
Karena kortikosteroid menghambat respon antibodi, obat dapat menyebabkan pengurangan respon toksoid dan vaksin inaktivasi atau hidup.