• Tidak ada hasil yang ditemukan

DALAM POKOK PERKARA

B. Tentang Permohonan Pemohon Tidak Jelas (Obscuur Libel)

Bahwa menurut Pihak Terkait, permohonan Pemohon tidak jelas dengan alasan:

1. Bahwa berdasarkan ketentuan PMK Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati Dan Walikota:

Pasal 44 ayat (1) dijelaskan, “Permohonan Pemohon tidak dapat diterima apabila Pemohon dan/atau Permohonan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7 dan Pasal 8”

2. Bahwa berdasarkan ketentuan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2016 Pasal 8 ayat (1) huruf b poin 4 pokok permohonan Pemohon harus memuat penjelasan mengenai kesalahan hasil penghitungan suara yang ditetapkan Termohon dan hasil perhitungan suara yang benar menurut Pemohon;

3. Bahwa ketentuan selanjutnya yang tertuang pada pasal 8 ayat 1 huruf (b) poin 5 menjelaskan, Petitum, harus memuat permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon dan menetapkan hasil penghitungan yang benar menurut Pemohon. 4. Bahwa menurut Pihak Terkait, penghitungan suara sebagaimana

maksud pada Pasal 8 ayat (1) huruf b poin 4 dan 5 yang termuat dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah adanya bilangan-bilangan angka penghitungan pada masing-masing tingkatan penyelenggara mulai dari tingkat TPS, PPK dan KPU Kabupaten, sehingga harus dihitung selisih atau kesalahan penghitungan suara yang salah dari termohon dan yang benar menurut Pemohon.

5. Bahwa pada kenyataannya dalam fundamentum petendi (posita) permohonan Pemohon secara akumulatif tidak menjelaskan detail kesalahan yang memungkinkan adanya perbedaan penghitungan suara mulai dari tingkat TPS,PPK dan KPU Kabupaten berdasarkan penetapan yang dilakukan oleh Termohon.

6. Bahwa permohonan Pemohon yang termuat dalam fundamentum petendi banyak didominasi oleh jenis pelanggaran yang menyimpang dari ketentuan Pasal 8 ayat (1) huruf b poin 4 misalnya, rekomendasi Panwas untuk PSU di beberapa TPS, Form C-6 yang katanya banyak tidak dibagi kepada wajib pilih, pelanggaran pidana, dan keterlibatan ASN, Pemohon tidak secara tegas mempersoalkan tentang penghitungan yang salah dan benar menurut versi Pemohon dan Termohon sebagaimana hasil penghitungan suara pada tingkat TPS,PPK dan KPU Kabupaten Bombana.

7. Bahwa secara tegas dalam pertimbangan Hakim Konstitusi pada Perkara Nomor 75 /PHP.BUP-XIV/2016 (sengketa PHP Kabupaten Konawe Utara) halaman 136 poin 3.2.8 dijelaskan “Pembentuk Undang-Undang telah mendesain sedemikian rupa pranata penyelesaian sengekata atau perselisihan Penetapan Perolehan Suara Hasil Penghitungan Suara. Undang-Undang Pemilihan Gubernur,Bupati,dan Walikota telah menggariskan Lembaga mana yang dapat menyelesaikan persoalan atau pelanggaran apa. Pelanggaran administratif diselesaikan oleh Komisi Pemilihan Umum pada tingkatan masing-masing, Sengketa antar peserta Pemilihan diselesaikan melalui Panitia Pengawas Pemilihan disetiap tingkatan, Sengketa Penetapan Calon Pasangan melalui Peradilan Tata Usaha Negara, Tindak Pidana dalam Pemilihan diselesaikan oleh Lembaga Penegak Hukum melalui Sentra Gakumdu yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan”.

8. Bahwa membaca, mencermati permohonan Pemohon, ternyata Pemohon hanya mendalilkan beberapa macam pelanggaran yang menjadi kewenangan lembaga lain, tidak mampu menyajikan penghitungan yang salah dan benar dalam Pemohon a quo

9. Bahwa dalam pertimbangan Hakim Konstitusi pada Perkara Nomor 75 /PHP.BUP-XIV/2016 (sengketa PHP Kabupaten Konawe Utara) halaman 136 poin 3.2.8 dijelaskan Perselisihan yang dibawa ke Mahkamah untuk diperiksa dan diadili betul-betul merupakan perselisihan yang menyangkut penetapan hasil penghitungan perolehan suara, bukan sengketa atau perselisihan lain yang telah ditentukan menjadi kewenangan lembaga lain.

10. Bahwa dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi pada Perkara Nomor 75 /PHP.BUP-XIV/2016 (sengketa PHP Kabupaten Konawe Utara) halaman 130 menegaskan Mahkamah telah menetapkan Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan telah pula disosialisasikan ketengah masyarakat sehingga mengikat semua pihak yang terkait dengan pemilihan a quo.

11. Bahwa oleh sebab itu tidak ada alasan bagi pihak-pihak yang berperkara di dalam lingkup Mahkamah untuk tidak mematuhinya setiap norma yang dikeluarkan oleh tersebut.

12. Bahwa Mahkamah sendiri pun dalam pertimbangan Putusan Perkara Nomor 75 /PHP.BUP-XIV/2016 (sengketa PHP Kabupaten Konawe Utara) halaman 130 menjelaskan Mahkamah haruslah tunduk dengan UU a quo, Mahkamah tidak dibenarkan melanggar UU, apabila Mahkamah melanggar UU maka hal ini merupakan preseden buruk bagi penegakan hukum dan keadilan, sehingga senafas dengan pendapat Mahkamah tersebut Mahkamah pun harus memegang teguh Peraturan Tentang Hukum Acara yang telah dibuatnya untuk kepentingan Penyelesaian perkara a quo tanpa harus melanggarnya sediktpun, dan apabila para pihak yang berperkara tidak patuh dengan segala petunjuk atau menyimpang dari ketentuan Pasal 8 ayat (1) huruf b poin 4 dan 5 maka sudah semestinya Mahkamah lugas dan berani menjatuhkan putusan N.O (Niet Ontvankelijk Verklaard).

13. Bahwa mencermati petitum Pemohon dalam perkara a quo pada poin 3 dan 4, maka menurut pemohon adalah merupakan kandungan petitum yang sangat tidak logis dan petitum yang tidak berstandar hukum.

14. Bahwa petitum tersebut jelas-jelas telah melanggar ketentuan peraturan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 1 Tahun 2016 utamanya pada kandungan Pasal 8 ayat (1) huruf b poin 5, karena Pemohon tidak menjelaskan tentang penghitungan yang salah menurut Termohon dan penghitungan yang benar menurut Pemohon.

15. Bahwa secara tegas dalam ketentuan Pasal 44 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2016 menyatakan, “Permohonan tidak dapat diterima apabila Pemohon dan/atau permohonan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 4,5,6,7 dan Pasal 8”:

Pasal 8 ayat (1) huruf (b) poin 4 menjelaskan; “Pokok Permohonan Pemohon, memuat penjelasan mengenai kesalahan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon dan hasil penghitungan suara yang benar menurut Pemohon

Pasal 8 ayat (1) huruf b poin 5 menjelaskan: “Petitum, memuat permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut Pemohon”.

Bahwa pokok permohonan Pemohon dalam perkara a quo adalah menyangkut keberatan tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara sedangkan faktanya yang didalilkan dalam posita permohonan hanya menyangkut masalah-masalah pelanggaran yang bukan merupakan wewenang Mahkamah Konstitusi, selanjutnya dalam PETITUM, Pemohon tidak menjelaskan hal-hal atau petunjuk sesuai maksud pasal tersebut, terdapat inkonsistensi antara posita dan petitum, bertolak belakang satu dengan yang lainnya, oleh sebab itu tepat menurut hukum apabila yang mulia Majelis Hakim menyatakan permohonan pemohon Obscuur Libel (kabur) selanjutnya menyatakan Permohonan Pemohon tidak dapat diterima N.O (Niet Ontvankelijk Verklaard).

II. DALAM POKOK PERMOHONAN

A. Terkait Dalil Pemohon Tentang Adanya Pemilih yang Mencoblos Lebih