• Tidak ada hasil yang ditemukan

E. Teologi Feminis

3. Teologi Feminis Asia

Bagi penulis belumlah cukup ketika kita membaca Alkitab dalam terang feminis secara umun, sehingga dianggap penting bagi penulis untuk membaca Alkitab dalam kaca mata feminis Asia; yang akan membantu untuk melihat feminis pada masa dimana penulis menyusun tulisan ini.

107

Pandangan lain datang dari para ahli feminis Asia seperti Chandra Mohanty dalam

artikelnya „Under Wastern Eyes‟ mengkritik pandangan feminis barat yang menggunakan

„female experience‟ sebagai titik tolak dalam menafsirkan Kitab Suci. Mengacu pada suatu pengandaian bahwa manusia berasal dari jenis kelamin yang sama di kelas sosial dan budaya, dan secara sosial perempuan merupakan bagian dari kelompok yang dapat diidentifikasikan secara beragam. Sebelum adanya proses analisis homogenitas perempuan sebagai kelompok, perempuan tidak diklasifikasikan atas dasar biologis melainkan atas dasar sosiologi dan antropologi. Misalnya, dalam bagian tertentu dari analisi feminis, wanita ditandai sebagai kelompok tunggal berdasakan penindasan, dan mengikat secara keseluruhan perempuan adalah gagasan sosiologis dari kesamaan penindasan.108 Mohanty mengfokuskan cara pandang feminis barat terhadap perempuan dunia ketiga, di mana adanya kecenderungan pelabelan bahwa perempuan dunia ketiga sebagai korban sistem budaya dan sosial-ekonomi yang identik dengan; ketidakberdayaan, dimanfaatkan, dilecehkan secara seksual, emosional dll. dengan adanya penghomogenesian terhadap perempuan maka akan merujuk padat sifat Eurosentris, serta kecenderungan untuk menyederhanakan atau meromantisir pengalaman wanita di dunia ketiga.109

Dalam analisanya Kwok Pui-Lan mengemukakan empat alasan mengapa teologi- teologi feminis barat perlu dikritis. Pertama, para feminis barat berasal dari sebuah konteks budaya di mana Kekristenan merupakan tradisi yang dominan sedangankan di Asia (terkecuali Filipina dan Korea Utara) merupakan kelompok minoritas. Kedua, teologi feminis muncul dengan kecenderungan untuk menguniversalkan pengalaman Barat yang seoalah-olah dapat mewakili kehidupan semua perempuan. Kegagalan untuk menghormati keberagaman dan sikap menggenereralisasi „sang liyan‟ sebenarnya berakar dalam matriks sosial dan

108

Chandra Mohanty, “Under Western Eyes: Feminist Scholarshid and Colonial Discourses, dalam Reina Lewis and Sara Mills, ed, Feminist Postcolonial Theory: A Reader (Edinburgh, UK: Edenburgh University Press, 2003), 54.

109

budaya kolonialisme. Ketiga, dengan memberikan pengertian patriakal sebagai bentuk penguasaan laki-laki atas perempuan menunjukan kegagalan dalam menyediakan alat-alat yang diperlukan untuk memeriksa kolonialisme, kebudayaan imperialisme, pluralisme agama, dan kekerasan horizontal perempuan atas perempuan. Keempat, beberapa dari teolog feminis menampilkan orientasi-orientasirasis dan etnosentris meskipun di saat yang sama mereka menyuarakan persaudaran anatar kaum perempuan yang bersifat global.110 Dari penjelasan diatas maka Kwok Pui-Lan menyarankan bahwa para perempuan Eropa dan Eropa-Amerika dapat berpatisipasi sepenuhnya di dalam perjuangan pembebasan perempuan ke dalam konteks negara-negara berkembang ketika mereka dengan rela mau membebaskan diri dari kecenderungan mendekolonisasikan cara mereka berfikir.

Pandangan lain hadir dalam pendapat Schussler Fiorenza, yang mengusulkan sebuah pemindahan dari patriarki yang didasarkan oleh dualisme gender kepada kyriarki yang mengandung arti kekuasan dari master atas mereka yang berada di bawahnya. Perpindahan ini akan menolong kita untuk melihat struktur dan sistem antara yang menguasai dan dikuasi.111 Dengan memahami patriarki sebagai sebuah piramida kyriarki yang saling berhubungan dengan sistem dominasi, Schussler Fiorenza mengidentifikasikan

eurocentricism sebagai „univerlsalist kyriocentric‟ yaitu pendominasian dari aturan ayah berkulit putih dan para perempuan kulit putih yang beragama Kristen sejauh mereka masih menjabat sebagai sumber pengatahuan patriakal, nilai-nilai, agama dan kebudayaan. Untuk menghindari kecenderungan terhadap retorika kyriarki maka Fiorenza mengusulkan „eklesia of women‟ sebagai ruang retorika feminis yang ditandai dengan pergeseran logika identitas dari Barat ke logika kesetaraan yang bersifat radikal.112 Dalam cara berfikir yang radikal,

110

Ira D. Mangililo, “Pendekatan Post-kolonial Feminis di Indonesia,” dalam Jalan-jalan Mendekati Firman Tuhan, ed. oleh R.F. Bhanu Viktroraha (Kanasius: Yogyakarta, 2014), 71-72.

111

Schussler Fiorenza, But The Said: Feminist Practices of Biblical Interpretation (Boston, MA: Beacon Press, 1992), 115

112

eklesia dikonsepskan sebagai para perempuan yang berjuang untuk mengubah lembaga sosial dan keagamaan. Kemuadian Fiorenza mengubah istilah ekklesia of women menjadi ekklesia wo/men, pengubahan istilah ini merupakan penolakan terhadap perempuan yang dianggap sebagai kelompok sosial, karena baginya pandangan terhadap perempuan tercipta oleh karena hasil dari suatu sistem struktur ras, kelas, agama, hetroseksual, kolonialisme, usia dan kesehatan.113

Dube mengungkapkan kekuatirannya terhadap penggunaan istilah patriarki/kyriarki sebagai imperialisme yang di usung oleh Fiorenza, karena di jajah memiliki berbagai bentuk hirarkis dan sistem patriaki yang berlapis tetapi mereka tidak setara dengan imperialisme. Runtuhnya patriarki dan imperialisme tidak memberikan sumbangsih untuk wanita Barat menyadari akan bentuk penindasan yang berbeda dari penindasan non Barat. Imperalisme melibatkan pengonstruksikan orang-orang yang tunduk sehingga mereka percaya bahwa adanya ketergantungan terhadap para penguasa.114

Berdasarkan pemaparan teori-teori diatas, jelas menunjukan bahwa upaya para ahli dalam memberikan pemahaman tentang pentingnya identitas dalam kehidupan berinteraksi antar perorangan dengan suatu kelompok masyarakat. Persoalan seperti ini pun terlihat dalam teks Ezra 9-10, oleh sebab itu dengan menggunakan konsep identitas penulis akan memeriksa bagaimana pengalaman-pengalaman bangsa Israel yang terbentuk selama pembuangan dapat mempengaruhi suatu komunitas secara pribadi dalam mepersepsikan kuminitas yang dianggap berbeda, serta penulis juga akan melihat konsep identitas diri yang direkonstruksi Ezra dan pengikutnya sebagai bagian dari bentuk pertahanan diri ketika diperhadapkan dengan situasi yang terancam.

113

Schussler Fiorenza, Jesus: Mariam‟s Child, Sophia‟s Prophet: Critical Issue in Feminist

Christology (New York: Continum, 1994), 24.

114

Musa W. Dube, Postcolonial Feminist Interpretation of The Bible (St.Louise MO: Chalice Press, 2000), 35-36.

Ketika bangsa Israel dengan pengalaman serta budaya dan ajaran agama yang mereka pelihara sebagai seuatu komunitas mampu mengidentifikasi dirinya diantara kehidupan berinteraksi maka akan terciptanya ruang bagi yang lain yakni perempuan asing menjadi tersisihkan. Di sinilah penting sekali untuk memahami teks Ezra 9-10 di dalam keterhubungannya dengan isu gender guna melihat bagaimana penggambaran perempuan asing sebagai sang liyan merupakan salah satu strategi yang digunakan untuk mengkonstruksi identitas keagamaan bangsa Israel yang dipercaya sebagai salah satu cara untuk mempertahankan eksistensi mereka.

Dengan demikian, pembahasan-pembahasan dalam bab ini menjadi titik tolak bagi penulis dalam menganalisa keterhubungan antara Persia sebagai bangsa penjajah namun sekaligus sebagai bangsa yang mengijinkan bangsa Israel kembali ke Yerusalem. Dan untuk mendapatkan analisa yang mendalam terhadap kehidupan bangsa Israel yang tergambarkan dalam kitab Ezra, maka bab berikutnya penulis akan memfokuskan pada dinamika kehidupan yang tercipta dalam periode pra-pembuangan dan paska-pembuangan bangsa Israel serta apa dampak yang ditimbukan dari interaksi tersebut.

Dokumen terkait