• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Teori dan Pendekatan yang Diadaptasi

Problem Based Learning mengambil psikologi kognitif sebagai dukungan teoritisnya. Fokusnya tidak banyak pada apa yang sedang dikerjakan peserta didik (perilaku mereka), tetapi pada apa yang mereka pikirkan selama mengerjakannya.

Ada beberapa teori dan pendekatan yang diadaptasi dalam penelitian ini, yaitu Dewey dan kelas berorientasi masalah, Piaget, Bruner, serta pendekatan open ended.

2.4.1 Dewey dan Kelas Berorientasi Masalah

Dewey sebagaimana dikutip dalam Arends (2008) mendeskripsikan pandangan tentang pendidikan dengan sekolah sebagai cermin masyarakat yang lebih besar dan kelas akan menjadi laboratorium untuk penyelidikan dan pengatasan masalah kehidupan nyata. Pedagogi Dewey mendorong guru untuk melibatkan peserta didik di berbagai proyek berorientasi masalah dan membantu mereka menyelidiki berbagai masalah sosial dan intelektual penting.

Dewey dan peserta didiknya, seperti Kilpatrick mengatakan bahwa pembelajaran di sekolah seharusnya purposeful (memiliki maksud yang jelas) dan tidak abstrak dan bahwa pembelajaran yang purposeful itu dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya dengan memerintahkan anak-anak dalam kelompok kecil untuk menangani proyek-proyek yang mereka minati dan mereka pilih sendiri. Visi pembelajaran yang purposeful dan problem centered (dipusatkan pada masalah) yang didukung oleh hasrat bawaan peerta didik untuk mengeksplorasi

situasi-situasi yang secara personal berarti baginya jelas berhubungan dengan PBL dengan filosofi dan pedagogi pendidikan Dewey.

2.4.2 Piaget

Perspektif kognitif-konstruktivis yang menjadi landasan PBL, banyak meminjam pendapat Piaget. Perspektif ini mengatakan seperti yang juga dikatakan oleh Piaget bahwa pelajar dengan umur berapapun terlibat secara aktif dalam proses mendapatkan informasi dan mengonstruksikan pengetahuannya sendiri. Pengetahuan tidak statis, tetapi berevolusi dan berubah secara konstan selama pelajar mengonstruksikan pengalaman-pengalaman baru yang memaksa mereka untuk mendasarkan diri dan memodifikasi pengetahuan sebelumnya.

Menurut Piaget sebagaimana dikutip dalam Arends (2008) menyatakan bahwa pedagogi yang baik itu harus melibatkan penyodoran berbagai situasi di mana anak bisa bereksperimen, yang dalam artinya yang paling luas mengujicobakan berbagai hal untuk melihat apa yang terjadi, memanipulasi benda-benda, memanipulasi simbol-simbol, melontarkan pertanyaan dan mencari jawabannya sendiri, merekonsiliasikan apa yang ditemukannya pada suatu waktu dengan apa yang ditemukannya pada waktu yang lain, membandingkan temuannya dengan temuan anak-anak lain.

Dalam hubungannya dengan teori belajar konstruktivisme, Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif seseorang bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi

terhadap lingkungannya. Peserta didik akan memahami pelajaran bila peserta didik aktif sendiri membentuk atau menghasilkan pengertian dan hal-hal yang diinderanya. Pengertian yang dimiliki peserta didik merupakan bentukannya sendiri dan bukan hasil bentukan orang lain. Ini berarti bahwa pembelajaran sebagai proses aktif sehingga pengetahuan yang diberikan kepada peserta didik tidak diberikan dalam ”bentuk jadi” melainkan mereka harus membentuknya sendiri, sehingga dalam hal ini guru dalam proses belajar mengajar berfungsi sebagai fasilitator.

Dalam hubungannya dengan penelitian ini, teori dan pandangan konstruktivisme ini adalah bahwa untuk memperoleh konsep baru, peserta didik selalu diajak bahkan ditugaskan dalam kerja kelompok untuk mencari, menyelesaikan masalah, menggeneralisasikan, dan menyimpulkan hasil kajian atau temuan mereka.

2.4.3 Bruner dan Discovery Learning

Menurut Sugandi sebagaimana dikutip oleh Setyawan (2011:14), penyajian dalam pembelajaran (mode of representation) dilakukan melalui tiga tahapan sebagai berikut.

(1) Tahap enaktif

Dalam tahap ini peserta didik di dalam belajarnya menggunakan atau memanipulasi objek-objek secara langsung.

(2) Tahap ikonik

yang merupakan gambaran dari objek-objek. Dalam tahap ini, peserta didik tidak memanipulasi langsung objek-objek, melainkan sudah dapat memanipulasi dengan menggunakan gambaran dari obyek. Pengetahuan disajikan oleh sekumpulan gambar-gambar yang mewakili suatu konsep.

(3) Tahap simbolik

Tahap ini anak memanipulasi simbol-simbol secara langsung dan tidak ada lagi kaitannya dengan objek-objek. Anak mencapai transisi dari penggunaan penyajian ikonik ke penggunaan penyajian simbolik yang didasarkan pada sistem berpikir abstrak dan lebih fleksibel. Dalam penyajian suatu pengetahuan akan dihubungkan dengan sejumlah informasi yang dapat disimpan dalam pikiran dan diproses untuk mencapai pemahaman.

Dengan demikian keterkaitan penelitian ini dengan teori Brunner adalah penggunaan media dalam pembelajaran berupa CD pembelajaran dapat membantu menyampaikan pengalaman kepada peserta didik serta memberikan gambaran mengenai objek yang mewakili suatu konsep.

2.4.4 Pendekatan Open Ended

Menurut Suryadi sebagaimana dikutip oleh Dwijanto (2007:47), menyatakan bahwa problem yang diformulasikan memiliki multi jawaban yang benar disebut problem tak lengkap atau problem terbuka atau problem open-ended. Penerapan problem open-ended dalam pembelajaran adalah untuk mengembangkan metode, cara, pendekatan yang berbeda ketika menjawab suatu permasalahan, dan bukan hanya berorientasi kepada hasil akhir.

Pembelajaran dengan pendekatan open-ended dimulai dengan memberikan problem terbuka kepada peserta didik. Mereka diminta untuk mengembangkan metode, cara yang berbeda-beda dalam upaya memperolah jawaban yang benar. Dari hasil jawaban tersebut didiskusikan adanya berbagai kemungkinan cara menjawab dan berbagai hasil akhir yang mungkin berbeda. Penyampaian jawaban ini penting guna memberikan kepercayaan kepada peserta didik bahwa cara mengerjakan suatu masalah maupun jawaban akhir yang benar tidak selalu sama.

Kegiatan ini diharapkan pula dapat membawa peserta didik untuk menjawab permasalahan dengan banyak cara, sehingga mengundang potensi intelektual dan pengalaman dalam proses menemukan sesuatu yang baru. Dengan demikian, proses pembelajaran akan mengembangkan kemampuan berpikir kreatif peserta didik. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Sullivan, bahwa open-ended dapat memberikan dorongan kepada peserta didik untuk menghadapi tantangan, mengembangkan kreativitas, dan memberikan kontribusi terhadap pemahaman konsep peserta didik.

Pada penelitian ini, pendekatan pembelajaran open-ended ini digunakan ketika peserta didik diberi masalah dengan banyak cara dan/atau jawabannya tidak tunggal.

2.5 Motivasi Belajar

Dokumen terkait