• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Fungsional tentang Bahasa (General Semantics)

Dalam dokumen Teori Komunikasi Verbal dan Nonverbal (Halaman 29-35)

Teori-teori Komunikasi Verbal

3. Teori Fungsional tentang Bahasa (General Semantics)

Hanya dengan memfokuskan pada makna dari kata (dan bagaimana

makna tersebut mempengaruhi perilaku), aliran general semantics menganggap bahwa bahasa harus dapat lebih merefeksikan dunia di mana

kita hidup. Asumsi yang mendasari pemikiran general semantik adalah

bahwa 'the word is not the thing'. Kata dianggap sebagai abstraksi dari

realitas. Oleh karenanya general semantics memandang bahwa kata harus

sedekat mungkin dengan realitas yang direfeksikannya. Meskipun demikian

mereka menyadari bahwa ini suatu hal yang sulit, karena ketika kata

merupakan suatu konsep yang statis dalam waktu yang panjang, realitas selalu dalam kondisi yang berubah. Untuk memahami apa yang menjadi kajian general semantics, kita hares mempelajari sifat-sifat simbol dan bagaimana kita menggunakannya.

Penggunaan Simbol

Pandangan ini mengasumsikan bahwa seluruh perilaku manusia berangkat dari penggunaan simbol. Salah seorang ahlinya yang bemama Alfred Korzybski menganggap adanya ketidaktepatan dalam penggunaan bahasa sehari-hari kita. Argumentasinya adalah bahwa manusia hidup dalam

dua lingkungan yang berbeda, lingkungan fsik dan lingkungan simbolik.

Untuk memahami hal ini kita dapat menganalogikannya dengan penggunaan

peta. Misalnya kita bertanya kepada teman kita berapa jarak antara

Jakarta-Surabaya, dan dia menjawab: "Menurut peta sekitar 10 cm". Informasi ini

hanya memiliki arti bagi kita jika kita mengetahui skala dari peta tersebut,

dan tentunya skala peta tersebut bukanlah 1:1 Karena jika skalanya serupa

itu peta tersebut akan sama luasnya dengan wilayah yang digambarkannya. Hal serupa berlaku pula pada kata. Ada satu anekdot untuk mencontohkan hal ini, ketika seorang pengemudi sampai pada suatu perempatan jalan dan bertanya pada orang disebelahnya apakah ada kendaraan lain yang akan melintasi jalanan yang akan diseberanginya, dan orang yang ditanya menjawab `hanya kijang'. Baru setelah mobil yang mereka tumpangi menyeberang dan ditabrak oleh sebuah Toyota Kijang yang sedang melaju, arti semantik dari 'kijang' dipahami oleh keduanya.

Kata, dan pada kenyataannya semua jenis simbol, tidak sama dengan

fenomena yang digambarkannya. Menurut Ogden dan Richards simbol

adalah representasi ide dan ide adalah representasi objek. Dan ketiganya

merupakan fenomena yang berbeda. Persoalan menjadi menarik ketika kita

berbuat seolah-olah kata adalah objek yang digambarkannya. Kita tahu

bahwa orang yang takut ular akan ketakutan jika benar-benar melihat seekor

ular, namun kadang-kadang ada orang yang begitu takutnya sehingga denyut

nadinya meningkat ketika mendengar kata ular. Interaksi antara kata, maknanya dan perilaku manusia inilah yang menjadi perhatian Korzybski

ketika dia mengemukakan teori general semantics.

Untuk mempelajari teori ini lebih jauh kita akan membahas sejumlah

konstruk: `silent assumptions'. reaksi dan respons, penggunaan identitas,

waktu dan ruang, multi ordinalitas, orientasi intensional dan ekstensional, dan

tataran-tataran abstraksi. Silent Assumptions

Dan P Millar dan Frank E. Millar mengemukakan bahwa makna dari

suatu kata tidak terbatas dari yang kita temukan dalam kamus. Jadi kesalahpahaman semantik terjadi karena kita terlalu sering menggunakan

asumsi secara diam-diam. General semantics menjelaskan bahwa kita

memiliki kecenderungan untuk berurusan dengan objek atau benda pada

tataran abstrak. Misalnya kita tidak berurusan dengan fenomena pada tataran

atomis, meskipun sebenarnya fenomena berubah pada tataran ini. Seperti

telah dikemukakan oleh Korzybski bahwa tataran objektif bukan kata dan

tidak dapat dicapai hanya dengan kata. Untuk dapat mencapai atau memahami tataran objektif, general semantics mengajarkan kita untuk diam

(silent), dan kondisi diam ini memungkinkan kita untuk merespons kata

sebagai manusia daripada bereaksi terhadapnya sebagaimana yang dilakukan

oleh hewan.

Persoalan yang muncul dari silent assumption ini adalah ketika mengantisipasi apa yang dikatakan oleh orang lain. Oleh karenanya ketika

kita melakukan silent asssumption, kita harus menanyakan pada diri kita

sendiri tiga pertanyaan tentang apa yang sedang dikatakan orang lain, yaitu:

apa yang dimaksudkannyan (apakah yang dimaksudkannya berbeda dengan

yang dikatakannya), bagaimana dia mengetahui hal yang dibicarakannyan

(mengacu kepada sumber informasi), dan mengapa dia mengatakan hal ini

kepada sayan (apakah kita pendengar yang sesuai dan apakah kita merupakan sasaran dari kata-kata yang kita dengar).

Reaksi/Respons

Konstruk ini diawali oleh asumsi bahwa manusia bereaksi seperti yang

dilakukan hewan melalui apa yang disebut respons yang dikondisikan. Orang

dapat dengan mudah dipaksa untuk bereaksi pada slogan, nama, hasrat, dan

sebagainya, dalam bentuk yang hampir sama seperti ketika hewan dikondisikan untuk bereaksi terhadap suatu tanda tertentu. Misalnya hat ini

terlihat pada reaksi pengikut Hitler pada Swastika dan lambang-lambang

lainnya, demikian pula dengan reaksi terhadap simbol AIDS, di mana banyak dari kita tidak ingin diasosiasikan dengan simbol tersebut.

Korzybski, sebaliknya, menekankan bahwa kita seharusnya tidak meniru

binatang. Respons kita haruslah kondisional, bukan dikondisikan. Artinya

respons kits harus melalui penundaan (delayed) dan modifkasi, bukan

otomatis. Untuk mencapai hat ini kits harus belajar menghindar dari suatu reaksi yang baku (stereo type) terhadap kelas atau kelompok orang, dan menyadari adanya perbedaan-perbedaan di antara individu anggota kelompok atau kelas dan menyesuaikan respons kita.

Identitas

Alasan utama mengapa kits cenderung untuk bereaksi daripada merespons adalah karena kita melihat kesamaan absolut atau identitas.

Sedikitnya ada tiga alasan bagi kecenderungan ini, yaitu: nama adalah suatu

karakteristik penting dari benda atau objek, keunikan benda atau objek

berada di dalam nama, dan jika suatu benda atau objek tidak memiliki nama

maka is menjadi tidak eksis atau tidak dianggap. Jadi terdapat orang-orang

yang beranggapan bahwa, misalnya, semua "perceraian" memiliki makna

yang sarna atau semua pengertian `demonstrasi' adalah sama, padahal dalam

situasi yang nyaris sama orang atau hat-hat lainnya akan selalu berbeda.

Konstruk tentang identitas berkaitan erat dengan dua konstruk lain dalam

teori general semantics, yaitu: `nonallness' dan 'nonadditivity'. Nonallness

berarti bahwa kita tidak dapat mengatakan segala sesuatunya secara lengkap

mengenai semua hat. Oleh karenanya ketika melihat adanya kesamaan dalam

beberapa hat, kita cenderung untuk mengabaikan perbedaan-perbedaannya.

General semantics merekomendasikan kita untuk menggunakan 'dan

sebagainya' untuk memberikan gambaran bahwa terdapat hal-hal lain yang

tidak kita ketahui ketika mendeskripsikan sesuatu pada saat berbicara.

Konstruk nonadditivity kita lakukan ketika kita menambahkan sesuatu

dan hasilnya dapat memiliki arti yang lain. Misalnya ketika seorang guru

berkata kepada guru lainnya: "Bisakah Anda menerima seorang murid lagi

untuk kelas Andan" Karena tidak ada dua hat yang sama persis, menerima

seorang murid yang sekedar duduk di dalam kelas adalah berbeda dengan

menerima seorang murid yang sangat partisipatif di dalam kelas. Oleh

karenanya menambahkan sesuatu tidak hanya sekedar menghasilkan hat yang

sama dalam jumlah yang lebih besar, seperti yang dikondisikan oleh kata atau

bunyi, melainkan menghasilkan suatu perilaku komunikatif yang berbeda.

Keterikatan pada Waktu dan Ruang

General semantics mengemukakan bahwa segala sesuatu di dalam

lingkungan fsik akan terus-menerus berubah. Kita tidak sama dengan diri

kita sepuluh tahun yang lalu, bahkan juga tidak sama dengan diri kita sepuluh

detik yang lalu, karena set dalam tubuh kita berkembang, mati dan sebagainya. Hal yang sama juga terjadi pada benda mati, karena molekul

akan selalu berubah atau bergerak. Fenomena ini kita sebut `keterikatan

waktu' (time-binding). Selain itu jugs terjadi `keterikatan ruang'

(space-binding). Karena orang berada dalam. tempat atau ruang yang berbeda,

mereka akan mempersepsikan sesuatu secara berbeda-beda. Contoh yang

paling sederhana dari hat ini adalah sebab-sebab dari terjadinya suatu

kecelakaan lalulintas. Dua aspek dalam dimensi ruang adalah jarak dan posisi

relatif. Seperti halnya dengan waktu, ruang adalah suatu fenomena yang pasif

dan penyebab perubahan (catalytic). Benda atau objek atau hal, harus berada di dalarn suatu ruang, harus memiliki jarak (dekat atau jauh) dari benda,

objek, atau hal lainnya, dan meskipun memiliki jarak yang sama, mereka

harus menempati posisi yang berbeda. Dimensi ruang mencakup tataran fsik

(persepsi dan jarak), tataran psikologis (perasaan, keadaan, dan sebagainya),

dan tataran kultural (norma, nilai) Multiordinalitas

Multiordinalitas menjelaskan mengenai pernyataan yang

bertingkat-tingkat. Misalnya kita berkata bahwa `kucing belang berlari lebih cepat

daripada kucing hitam'. Lalu kita bergerak pada tataran abstraksi yang lebih

tinggi dan membuat pernyataan lain mengenai pernyataan ini, seperti misalnya `itu benar' atau `itu salah' atau `kalau pernyataan itu benar berarti ada hubungan antara pigmen dengan struktur otot'. Pemyataan-pernyataan ini ada pada tataran abstrak yang lebih tinggi daripada pernyataan yang pertama, karena semuanya merupakan pernyataan mengenai pernyataan yang pertama. Jadi kata 'pernyataan' dianggap memiliki multiordinal yang dapat digunakan pada tataran, atau tingkatan abstraksi yang berbeda, dan makna dari tiap-tiap tatarannya juga berbeda.

Contoh lain adalah kata 'cinta' Kita dapat mencintai suatu bangunan, seorang gadis, sebuah lukisan, sebuah teori, sebuah pertarungan sengit. Semua 'cinta' ini berada pada tataran abstraksi yang sama, tetapi cinta juga dapat bergerak ke tataran yang lain. Jadi kita dapat mencintai `kecintaan' kita terhadap seorang gadis, dan sebagainya. Ini adalah cinta pada tataran kedua, yang berbeda dari cinta pada tataran pertama karena melibatkan proses psikoneurologis yang berbeda.

Orientasi Intensional dan Ekstensional

Konstruk ini menjelaskan bagaimana orientasi orang ketika merespons

suatu hal. Menurut Irving J. Lee, orientasi `intensional' didasarkan pada

defnisi verbal, asosiasi, dan sebagainya, yang mengabaikan observasi. Jadi

seperti ungkapan `bicara dulu, tanpa peduli bagaimana kenyataannya'.

Orientasi ekstensional didasarkan pada susunan observasi, investigasi, dan sebagainya, terlebih dahulu sebelum membicarakannya.

Beberapa karakteristik dari orientasi internal adalah: orang lebih memperhatikan nama dan apa yang dikatakan mengenai suatu hal daripada kepada kenyataan; orang merespon kata atau pernyataan sebagaimana merespon objek yang digambarkan oleh kata tersebut; orang tidak merasa yakin dengan kenyataan yang dihadapinya; dan orang menggunakan pembuktian verbal, ketimbang fakta yang nyata.

General semantics lebih mendukung orientasi eksternal, yang artinya

merekomendasikan seseorang untuk lebih dulu mencari faktanya. Oleh

karenanya, kata-kata lain yang banyak menandai teori ini adalah seperti

`observasi', `keingintahuan' `pengungkapan', `penelitian', dan 'pengujian'

Dalam dokumen Teori Komunikasi Verbal dan Nonverbal (Halaman 29-35)

Dokumen terkait