PENDAHULUAN
alam kebanyakan peristiwa komunikasi yang berlangsung, hampir
D
selalu melibatkan penggunaan lambang-lambang verbal dan nonverbal secara bersama-sama. Keduanya, bahasa verbal dan nonverbal, memiliki sifat holistik, bahwa masing-masing tidak dapat saling dipisahkan. Dalam banyak tindakan komunikasi, bahasa nonverbal menjadi komplemen atau pelengkap bahasa verbal. Namun lambang-lambang nonverbal juga dapat berfungsi kontradiktif, pengulangan bahkan pengganti ungkapan-ungkapan verbal. Ketika kita menyatakan terima kasih (bahasa verbal), kita melengkapinya dengan tersenyum (bahasa nonverbal); kita setuju terhadap pesan yang disampaikan orang lain dengan anggukan kepala (bahasa nonverbal). Dua peristiwa komunikasi tersebut merupakan contoh bahwa bahasa verbal dan nonverbal bekerja secara bersama-sama dalam menciptakan makna suatu perilaku komunikasi. Modul ini akan membahas komunikasi verbal dan nonverbal dalam tataran teoretis. Namun, guna mempermudah memahaminya, kedua lambang komunikasi tersebut dipisahkan pembahasannya. Bahasan dalam modul ini akan terdiri dari empat kegiatan belajar. Pertama, bahasan akan diawali dengan bagaimana memahami komunikasi verbal dan nonverbal dilihat dari perbedaan di antara keduanya. Sedangkan kegiatan belajar kedua akan mendeskripsikan tentang komunikasi nonverbal. Hal-hal yang akan dibicarakan adalah bagaimana. memahami komunikasi nonverbal, dan sejarah atau perkembangan dari studi komunikasi nonverbal. Kegiatan belajar tiga akan membahas beberapa pendekatan yang mendasari teori-teori dalam komunikasi nonverbal. Kegiatan belajar keempat akan mengungkapkan tindak komunikasi verbal yang uraiannya akan mencakup pengertian bahasa, sifat bahasa, dan pemahaman teoretik tentang komunikasi verbal.
Masing-masing kegiatan belajar akan membahas dengan lebih rinci beberapa aspek penting yang berkaitan dengan kegiatan belajar tersebut. Karenanya, mempelajari materi dari modul ini dengan cermat merupakan langkah terbaik untuk memahami tindak komunikasi yang menggunakan lambang-lambang verbal dan nonverbal.
Setelah mempelajari modul ini, Anda diharapkan memiliki kemampuan
Teori Komunikasi Verbal dan
Nonverbal
untuk memahami peristiwa-peristiwa komunikasi yang dalam pelaksanaannya menggunakan lambang-lambang verbal dan nonverbal.
Setelah mempelajari masing-masing kegiatan belajar dengan baik, Anda diharapkan mampu:
1. menguraikan dengan lebih rinci karakteristik komunikasi verbal dan
nonverbal;
2. menjelaskan ciri, fungsi, dan kategori komunikasi nonverbal; 3. menguraikan latar belakang sejarah dari komunikasi nonverbal; 4. mengenal dan menjelaskan beberapa pendekatan teoritis dalam
komunikasi nonverbal;
5. menjelaskan pengertian bahasa; 6. menguraikan sifat bahasa;
7. mengenal dan menjelaskan beberapa pendekatan teoritis dalam komunikasi verbal.
KEGIATAN
BELAJAR 1
Pemahaman mengenai Komunikasi
Verbal
dan Nonverbal
etidaknya ada tiga ciri utama yang menandai wujud atau bentuk
komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal. Pertama, lambang-lambang nonverbal digunakan paling awal sejak kita lahir di dunia ini,
sedangkan setelah tumbuh pengetahuan dan kedewasaan kita, barulah bahasa
verbal kita pelajari. Kedua, komunikasi verbal dinilai kurang universal
dibanding dengan komunikasi nonverbal, sebab bila kita pergi ke luar negeri
misalnya dan kits tidak mengerti bahasa yang digunakan oleh masyarakat di negara tersebut, kita bisa menggunakan isyarat-isyarat nonverbal dengan orang asing yang kita ajak berkomunikasi. Dan ciri yang ketiga adalah, bahwa komunikasi verbal merupakan aktivitas yang lebih intelektual dibanding dengan bahasa nonverbal yang lebih merupakan aktivitas emosional. Artinya, bahwa dengan bahasa verbal, sesungguhnya kita mengkomunikasikan gagasan dan konsep-konsep yang abstrak, sementara melalui bahasa nonverbal, kita mengkomunikasikan hal-hal yang berhubungan dengan kepribadian, perasaan dan emosi yang kita miliki.
1.Defnisi
Sebelum terlalu jauh kita memahami komunikasi verbal dan nonverbal,
ada baiknya kita mengawalinya dengan mendeskripsikan defnisi atau
batasan mengenai komunikasi nonverbal. Mengapa hanya komunikasi
nonverbal saja yang didefnisikann Don Stacks dalam bukunya Introduction
to Communication Theory menjelaskan bahwa perhatian untuk mempelajari
aspek-aspek dalam komunikasi nonverbal masih sangat kecil, sehingga dari
banyak referensi tentang komunikasi antarmanusia, kita lebih banyak
menemukan batasan mengenai komunikasi verbal. Dicontohkannya Frank
EX Dance dan Carl E. Larson menawarkan lebih dari seratus defnisi tentang
komunikasi verbal, namun mereka hanya menawarkan satu defnisi tentang
komunikasi nonverbal. Dengan landasan inilah, kita mencoba untuk lebih
banyak memberi penekanan pada defnisi komunikasi nonverbal. Secara sederhana, komunikasi nonverbal dapat didefnisikan sebagai
berikut: Non berarti tidak, verbal bermakna kata-kata (words), sehingga
Menurut Adler dan Rodman dalam bukunya Understanding Human Communication, batasan yang sederhana tersebut merupakan langkah awal untuk membedakan apa yang disebut dengan vocal communication yaitu
tindak komunikasi yang menggunakan mulut dan verbal communication
yaitu tindak komunikasi yang menggunakan kata-kata. Dengan demikian, defnisi kerja dari komunikasi nonverbal adalah pesan lisan dan bukan lisan
yang dinyatakan melalui alat lain di luar alat kebahasaan (oral and nonoral
messages expressed by other than linguistic means).
Untuk memahami dengan lebih jelas, kita dapat melihat tabel mengenai
tipe-tipe komunikasi berikut ini.
TABEL TIPE-TIPE KOMUNIKASI
KOMUNIKASI
VOKAL NONVOKAL
KOMUNIKASI VERBAL Bahasa Lisan Bahasa Tertulis
(spoken words) (written words)
KOMUNIKASI NONVERBAL Nada suara Isyarat (gesture), (tone of voice), gerakan
(movement), Desah (sighs) penampilan jeritan (screams),
(appearance),
kualitas vokal ekspresi wajah (vocal quality) (facial expression)
Sumber : Ronald B. Adler, George Rodman, Understanding Human Communica tion, Second Edition, hal.96
Tabel tipe-tipe komunikasi di atas dapat dibaca sebagai berikut: komunikasi verbal yang termasuk dalam komunikasi vokal adalah bahasa
lisan, sedang yang tergolong dalam komunikasi nonvokal adalah bahasa
tertulis. Sementara, komunikasi nonverbal yang termasuk dalam komunikasi
Batasan lain mengenai komunikasi nonverbal dikemukakan oleh beberapa ahli lainnya, yaitu.
a. Frank EX Dance dan Carl E. Larson:
Komunikasi nonverbal adalah sebuah stimuli yang tidak bergantung pada isi simbolik untuk memaknainya (a stimulus not dependent on symbolic content meaning).
b. Edward Sapir:
Komunikasi nonverbal adalah sebuah kode yang luas yang ditulis tidak di mana pun juga, diketahui oleh tidak seorang pun dan dimengerti oleh semua (an elaborate code that is written nowhere, known to none, and understood by all).
c. Malandro dan Barker yang dikutip dari Ilya Sunarwinadi: Komunikasi
Antar Budaya memberikan batasan-batasannya sebagai berikut. 1) Komunikasi nonverbal adalah komunikasi tanpa kata-kata. 2) Komunikasi nonverbal terjadi bila individu berkomunikasi
tanpa menggunakan suara.
3) Komunikasi nonverbal adalah setiap hal yang dilakukan oleh seseorang yang diberi makna oleh orang lain.
4) Komunikasi nonverbal adalah studi mengenai ekspresi wajah, sentuhan, waktu, gerak isyarat, bau, perilaku mata dan lain-lain.
2. Perbedaan antara Komunikasi Verbal dan Nonverbal
Secara sekilas telah diuraikan pada bagian awal tulisan ini, bahwa antara
komunikasi verbal dan nonverbal merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan, dalam arti. kedua bahasa tersebut bekerja bersama-sama untuk
menciptakan suatu makna. Namun, keduanya juga memiliki
perbedaan-perbedaan. Dalam pemikiran Don Stacks dan kawan-kawan, ada tiga
perbedaan utama di antara keduanya yaitu kesengajaan pesan (the
intentionality of the message), tingkat simbolisme dalam tindakan atau pesan
(the degree of symbolism in the act or message), dan pemrosesan mekanisme
(processing mechanism). Kita mencoba untuk menguraikannya satu per satu.
a. Kesengajaan (intentinolity)
Satu perbedaan utama antara komunikasi verbal dan nonverbal adalah persepsi mengenai niat (intent). Pada umumnya niat ini menjadi lebih penting ketika kita membicarakan lambang atau kode verbal. Michael Burgoon dan Michael Rufner menegaskan bahwa sebuah pesan verbal adalah komunikasi kalau pesan tersebut
Komunikasi nonverbal tidak banyak dibatasi oleh niat. atau intent
tersebut. Persepsi sederhana mengenai niat ini oleh seorang penerima
sudah cukup dipertimbangkan menjadi komunikasi nonverbal. Sebab,
komunikasi nonverbal cenderung kurang dilakukan dengan sengaja dan
kurang halus apabila dibandingkan dengan komunikasi verbal. Selain itu,
komunikasi nonverbal mengarah pada norma-norma yang berlaku,
sementara niat atau intent tidak terdefnisikan dengan jelas. Misalnya,
norma-norma untuk penampilan fsik. Kita semua berpakaian, namun
berapa Bering kita dengan sengaja berpakaian untuk sebuah situasi
tertentun Berapa kali seorang teman memberi komentar terhadap
penampilan kitan Persepsi receiver mengenai niat ini sudah cukup untuk
memenuhi persyaratan guna mendefnisikan komunikasi nonverbal.
b. Perbedaan perbedaan simbolik (symbolic diferences)
Kadang-kadang niat atau intent ini dapat dipahami karena beberapa dampak simbolik dari komunikasi kita. Misalnya, memakai pakaian dengan warna atau model tertentu, mungkin akan dipahami sebagai suatu `pesan' oleh orang lain (misalnya berpakaian dengan warna hitam akan diberi makna sebagai ungkapan ikut berduka cita).
Komunikasi verbal dengan sifat-sifatnya merupakan sebuah bentuk komunikasi yang diantarai (mediated form of communication). Dalam arti kita mencoba mengambil kesimpulan terhadap makna apa yang diterapkan pada suatu pilihan kata. Kata-kata yang kita gunakan adalah abstraksi yang telah disepakati maknanya, sehingga komunikasi verbal bersifat intensional dan harus 'dibagi' (shared) di antara orang-orang yang terlibat dalam tindak komunikasi. Sebaliknya, komunikasi nonverbal lebih alami, isi beroperasi sebagai norma dan perilaku yang didasarkan pada norma. Mehrabian menjelaskan bahwa komunikasi verbal dipandang lebih eksplisit dibanding bahasa nonverbal yang bersifat implisit. Artinya, isyarat-isyarat verbal dapat didefnisikan melalui sebuah kamus yang eksplisit dan lewat aturan-aturan sintaksis (kalimat), namun hanya ada penjelasan yang samar-samar dan informal mengenai signifkansi beragam perilaku nonverbal.
Mengakhiri bahasan mengenai perbedaan simbolik ini, kita mencoba
(simbol). Tanda adalah sebuah representasi alami dari suatu kejadian
atau tindakan. la adalah apa yang kita lihat atau rasakan. Sedangkan
lambang merupakan sesuatu yang ditempatkan pada sesuatu yang lain.
Lambang merepresentasikan tanda melalui abstraksi. Contoh, tanda dari
sebuah kursi adalah kursi itu sendiri, sedangkan lambang adalah bagaimana kita menjelaskan kursi tersebut melalui abstraksi. Dengan
perkataan lain, apa yang secara fsik menarik bagi kita adalah tanda
(sign) dan bagaimana menciptakan perbedaan yang berubah-ubah untuk
menunjukkan derajat ketertarikan tersebut adalah lambang (simbol).
Komunikasi verbal lebih spesifk dari bahasa nonverbal, dalam arti is dapat dipakai untuk membedakan hal-hal yang sama dalam sebuah cara yang berubah-ubah, sedangkan bahasa nonverbal lebih mengarah pada reaksi-reaksi alami seperti perasaan atau emosi.
c. Mekanisme pemrosesan (processing mechanism)
Perbedaan ketiga antara komunikasi verbal dan nonverbal berkaitan
dengan bagaimana kita memproses informasi. Semua informasi termasuk
komunikasi diproses melalui otak, kemudian otak kita menafsirkan
informasi ini lewat pikiran yang berfungsi mengendalikan
perilaku-perilaku fsiologis (refeks) dan sosiologis (perilaku-perilaku yang dipelajari dan
perilaku sosial).
Satu perbedaan utama dalam pemrosesan adalah dalam tipe informasi
pada setiap belahan otak. Secara tipikal, belahan otak sebelah kiri adalah
tipe informasi yang lebih tidak berkesinambungan dan berubah-ubah,
sementara belahan otak sebelah kanan, tipe informasinya Iebih berkesinambungan dan alami (pada uraian di bawah, Malandro dan
Barker juga menjelaskan mengenai hal ini).
Berdasarkan pada perbedaan tersebut, pesan-pesan verbal dan nonverbal
berbeda dalam konteks struktur pesannya. Komunikasi nonverbal kurang
nonverbal adalah lebih sederhana dibanding komunikasi verbal yang mempersyaratkan aturan-aturan tata bahasa dan sintaksis. Komunikasi
nonverbal secara tipikal diekspresikan pada saat tindak komunikasi
berlangsung. Tidak seperti komunikasi verbal, bahasa nonverbal tidak
bisa mengekspresikan peristiwa komunikasi di masa lalu atau masa
mendatang. Selain itu, komunikasi nonverbal mempersyaratkan sebuah
pemahaman mengenai konteks di mana interaksi tersebut terjadi,
sebaliknya komunikasi verbal justru menciptakan konteks tersebut.
Perbedaan lain tentang komunikasi verbal dan nonverbal dapat dilihat dari dimensi-dimensi yang dimiliki keduanya. Gagasan ini dicetuskan oleh Malandro dan Barker seperti yang dikutip dalam buku Komunikasi Antar Budaya tulisan Dra. Ilya Sunarwinadi, M.A.
a. Struktur >< Nonstruktur
Komunikasi verbal sangat terstruktur dan mempunyai hukum atau aturan-aturan tata bahasa. Dalam komunikasi nonverbal hampir tidak ada atau tidak ada sama sekali struktur formal yang mengarahkan komunikasi. Kebanyakan komunikasi nonverbal terjadi secara tidak disadari, tanpa urut-urutan kejadian, yang dapat diramalkan sebelumnya. Tanpa pola yang jelas, perilaku nonverbal yang sama dapat memberi arti yang berbeda pada saat yang berlainan.
b. Linguistik >< Nonlinguistik
Linguistik adalah ilmu yang mempelajari anal usul, struktur, sejarah,
variasi regional dan ciri-ciri fonetik dari bahasa. Dengan kata lain,
linguistik mempelajari macam-macam segi bahasa verbal, yaitu suatu
sistem dari lambang-lambang yang sudah diatur pemberian maknanya. Sebaliknya. pada komunikasi nonverbal, karena tidak adanya struktur khusus, maka sulit untuk memberi makna pada lambang. Belum ada sistem bahasa nonverbal yang didokumentasikan, walaupun ada usaha untuk memberikan arti khusus pada ekspresi-ekspresi wajah tertentu. Beberapa teori mungkin akan memberikan pengecualian pada bahasa kaum tuna-rungu yang berlaku universal, sekalipun ada juga lambang-lambangnya yang bersifat unik.
oleh orang lain atau diri kita sendiri, berarti komunikasi nonverbal dapat terjadi. Tidak sama halnya dengan kata-kata dan simbol dalam komunikasi verbal yang mempunyai titik awal dan akhir yang pasti.
d. Dipelajari ><Didapat secara Ilmiah
Jarang sekali individu yang diajarkan cara untuk berkomunikasi secara
nonverbal. Biasanya is hanya mengamati dan mengalaminya. Bahkan
ada yang berpendapat bahwa manusia lahir dengan naluri-naluri dasar
nonverbal. Sebaliknya komunikasi verbal adalah sesuatu yang harus
dipelajari.
e. Pemrosesan dalam Bagian Otak sebelah Kiri >< Pemrosesan dalam
Bagian Otak sebelah Kanan
Pendekatan neurofsiologik melihat perbedaan dalam pemrosesan stimuli
verbal dan nonverbal pada diri manusia. Pendekatan ini menjelaskan
bagaimana kebanyakan stimuli nonverbal diproses dalam bagian otak
sebelah kanan, sedangkan stimuli verbal yang memerlukan analisis dan
penalaran, diproses dalam bagian otak sebelah kiri. Dengan adanya
perbedaan ini, maka kemampuan untuk mengirim dan menerima pesan
berbeda pula.
Masih dalam buku Komunikasi Antar Budaya karya Ilya SunarwinadiSamovar, Porter dan Jain melihat perbedaan antara komunikasi verbal dan nonverbal dalam hal sebagai berikut.
a. Banyak perilaku nonverbal yang diatur oleh dorongan-dorongan biologik. Sebaliknya komunikasi verbal diatur oleh aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang dibuat oleh manusia, seperti sintaks dan tata bahasa.
Misalnya, kita bisa secara sadar memutuskan untuk berbicara, tetapi
dalam berbicara secara tidak sadar pipi menjadi memerah dan mata
berkedip terus-menerus.
b. Banyak komunikasi nonverbal serta lambang-lambangnya yang bermakna universal. Sedangkan komunikasi verbal lebih banyak yang bersifat spesifk bagi kebudayaan tertentu.
c. Dalam komunikasi nonverbal bisa dilakukan beberapa tindakan sekaligus dalam suatu waktu tertentu, sementara komunikasi verbal terikat pada urutan waktu.
d. Komunikasi nonverbal dipelajari sejak usia sangat dini. Sedangkan
masa sosialisasi sampai pada tingkat tertentu.
e. Komunikasi nonverbal lebih dapat memberi dampak emosional dibanding komunikasi verbal.
3. Fungsi Komunikasi Verbal dan Nonverbal
Meskipun komunikasi verbal dan nonverbal memiliki perbedaan-perbedaan, namun keduanya dibutuhkan untuk berlangsungnya tindak
komunikasi yang efektif. Fungsi dari lambang-lambang verbal maupun
nonverbal adalah untuk memproduksi makna yang komunikatif. Secara
historis, kode nonverbal sebagai suatu multi saluran akan mengubah pesan
verbal melalui enam fungsi: pengulangan (repetition), berlawanan (contradiction), pengganti (substitution), pengaturan (regulation), penekanan
(accentuation) dan pelengkap (complementation).
Dalam tahun 1965, Paul Ekman menjelaskan bahwa pesan nonverbal
akan mengulang atau meneguhkan pesan verbal. Misalnya dalam suatu
lelang, kita mengacungkan satu jari untuk menunjukkan jumlah tawaran yang
kita minta, sementara secara verbal kila mengatakan "satu'. Pesan-pesan
nonverbal juga berfungsi untuk mengkontradiksikan atau menegaskan pesan
verbal seperti dalam sarkasme atau sindirian-sindiran tajam. Kadang-kadang,
komunikasi nonverbal mengganti pesan verbal. Misalnya, kita tidak perlu
secara verbal menyatakan kata "menang", namun cukup hanya mengacungkan dua jari kita membentuk huruf `V' (victory) yang bermakna kemenangan. Fungsi lain dari komunikasi nonverbal adalah mengatur pesan verbal. Pesan-pesan nonverbal berfungsi untuk mengendalikan sebuah interaksi dalam suatu cara yang sesuai dan halus, seperti misalnya anggukan kepala selama percakapan berlangsung. Selain itu, komunikasi nonverbal juga memberi penekanan kepada pesan verbal, seperti mengacungkan kepalan tangan. Dan akhirnya fungsi komunikasi nonverbal adalah pelengkap pesan verbal dengan mengubah pesan verbal, seperti tersenyum untuk menunjukkan rasa bahagia kita.
Pemikiran yang sama juga diungkapkan oleh Samovar (Ilya Sunarwinadi, Komunikasi Antar Budaya), bahwa dalam suatu peristiwa
komunikasi, perilaku nonverbal digunakan secara bersama-sama dengan
Bahasa verbal:
a. Perilaku nonverbal memberi aksen atau penekanan pada pesan verbal.
b. Perilaku nonverbal sebagai pengulangan dari bahasa verbal. Misalnya
menyatakan arah tempat dengan menjelaskan "Perpustakaan Universitas
Terbuka terletak di belakang gedung ini", kemudian mengulang pesan
yang sama dengan menunjuk arahnya.
c. Tindak komunikasi nonverbal melengkapi pernyataan verbal, misalnya
mengatakan maaf pada teman karena tidak dapat meminjamkan uang;
dan agar lebih percaya, pernyataan itu ditambah lagi dengan ekspresi
muka sungguh-sungguh atau memperlihatkan saku atau dompet yang
kosong.
d. Perilaku nonverbal sebagai pengganti dari komunikasi verbal. misalnya
menyatakan rasa haru tidak dengan kata-kata, melainkan dengan mata
yang berlinang-linang.
Dalam perkembangannya sekarang ini, fungsi komunikasi nonverbal
dipandang sebagai pesan-pesan yang holistik, lebih dari pada sebagai sebuah
fungsi pemrosesan informasi yang sederhana. Fungsi-fungsi holistik
mencakup identifkasi, pembentukan dan manajemen kesan, muslihat, emosi
dan struktur percakapan. Karenanya, komunikasi nonverbal terutama
berfungsi mengendalikan (controlling), dalam arti kita berusaha supaya orang
lain dapat melakukan apa yang kita perintahkan. Hickson dan Stacks
menegaskan bahwa fungsi-fungsi holistik tersebut dapat diturunkan dalam 8
fungsi, yaitu pengendalian terhadap percakapan, kontrol terhadap perilaku
orang lain, ketertarikan atau kesenangan, penolakan atau ketidaksenangan,
peragaan informasi kognitif, peragaan informasi afektif, penipuan diri
(self-deception) dan muslihat terhadap orang lain.
KEGIATAN BELAJAR
2
Komunikasi Nonverbal
alam Kegiatan Belajar 2 berikut ini, kits akan mempelajari komunikasi
D
nonverbal dengan lebih mendalam. Pembahasan akan mencakup bagaimana kita memahami komunikasi nonverbal dan deskripsi ringkas mengenai sejarah komunikasi nonverbal.
Bagaimana kita memahami komunikasi nonverbal, setidaknya dapat kita
lihat dari dua nisi. Pertama, karakteristik komunikasi nonverbal yang
meliputi eksistensinya, perannya dalam mentransmisikan perasaan, sifat
menduanya, dan keterikatannya dengan suatu budaya tertentu. Selain itu,
upaya untuk memahami komunikasi nonverbal dapat pula dilihat dari
kategorinya yang mencakup postur, isyarat (gestural), penggunaan wajah dan
mata, suara, sentuhan, cara berpakaian, dan sebagainya. Pada bagian lain, kita akan mempelajani juga-sejarah singkat komunikasi nonverbal dari masa Yunani dan Romawi sampai pendekatan yang sekarang digunakan.
Karenanya, mempelajari dengan sungguh-sungguh materi yang ada
dalam Kegiatan Belajar 2 ini merupakan langkah awal untuk dapat memahami komunikasi manusia secara verbal dan nonverbal.
A. MEMAHAMI KOMUNIKASI NONVERBAL
1. Karakteristik Komunikasi Nonverbal
Komunikasi nonverbal sebagaimana yang telah diuraikan dalam Kegiatan Belajar 1, terdiri dari pesan-pesan yang dinyatakan melalui alat-alat nonlinguistik. Namun demikian, kurang tepat apabila kita mempunyai pikiran
bahwa semua ekspresi yang tanpa kata-kata (wordless) merupakan komunikasi nonverbal atau semua pernyataan yang terungkapkan secara lisan merupakan komunikasi verbal (pelajari kembali tabel mengenai tipe-tipe
komunikasi yang ada pada Kegiatan Belajar 1).
Menurut Ronald Adler dan George Rodman, komunikasi nonverbal memiliki empat karakteristik yaitu keberadaannya, kemampuannya menyampaikan pesan tanpa bahasa verbal, sifat ambiguitasnya dan keterikatannya dalam suatu kultur tertentu.
ketika kita melakukan tindak komunikasi secara verbal, maupun pada saat
bahasa verbal tidak digunakan. Atau dengan kata lain, komunikasi nonverbal
akan selalu muncul dalam setiap tindakan komunikasi, disadari maupun tidak
disadari. Keberadaan komunikasi nonverbal ini pada gilirannya akan
membawa kepada cirinya yang lain, yaitu bahwa kita dapat berkomunikasi
secara nonverbal, karena setiap orang mampu mengirim pesan secara
nonverbal kepada orang lain, tanpa menggunakan tanda-tanda verbal.
Karakteristik lain dari komunikasi nonverbal adalah sifat ambiguitasnya,
dalam arti ada banyak kemungkinan penafsiran terhadap setiap perilaku. Sifat
ambigu atau mendua ini sangat penting bagi penerima (receiver) untuk
menguji setiap interpretasi sebelum sampai pada kesimpulan tentang makna
dari suatu pesan nonverbal. Dan karakteristik terakhir adalah bahwa
komunikasi nonverbal terikat dalam suatu kultur atau budaya tertentu.
Maksudnya, perilaku-perilaku yang memiliki makna khusus dalam satu
budaya, akan mengekspresikan pesan-pesan yang berbeda dalam ikatan
kultur yang lain.
2. Kategori Komunikasi Nonverbal
Kategori komunikasi nonverbal yang dimaksudkan dalam bahasan ini
adalah beragam cara yang digunakan orang-orang untuk berkomunikasi
secara nonverbal, yaitu vocalics atau paralanguage, kinesics yang mencakup
gerakan tubuh, lengan, dan kaki, serta ekspresi wajah (facial expression),
perilaku mata (eye behavior), lingkungan yang mencakup objek benda dan
artifak, proxemics: yang merupakan ruang dan teritori pribadi, haptics
(sentuhan), penampilan fsik (tubuh dan cara berpakaian), chronemics
(waktu), dan olfaction (bau).
dari kategori komunikasi nonverbal ini adalah desah (sighing), menjerit (screaming), merintih (groaning), menelan (swallowing) menguap (yawning), di samping bentuk-bentuk seperti jeda, intonasi, dan penekanan dalam pembicaraan lisan.
Kategori lain dari komunikasi nonverbal adalah kinesics. Ketika kita
berkomunikasi dengan orang lain, ekspresi wajah kita akan selalu berubah
tanpa melihat apakah kita sedang berbicara atau mendengarkan. Paul Ekman
dan Wallace Friesen telah mengidentifkasikan enam emosi dasar bahwa ekspresi wajah mencerminkan keheranan, ketakutan, kemarahan, kebahagiaan, kesedihan, dan kebencian atau kejijikan.
Bentuk lain dari kinesics adalah gerakan tangan, kaki dan kepala.
Orang-orang yang terlibat dalam tindak komunikasi sering menggerakkan kepala
dan tangannya selama interaksi berlangsung. Beberapa dari gerakan kepala
dan tangan tersebut dilakukan secara sadar dan beberapa lainnya dilaksanakan secara tidak sengaja, namun semuanya memiliki makna.
Gerakan tangan cenderung digunakan paling banyak oleh orang yang sedang
berbicara, sedangkan pendengar cenderung, memakai gerakan kepala.
Gerakan kepala yang paling umum digunakan oleh orang-orang yang sedang
mendengar adalah anggukan dan gelengan kepala. Gerakan kepala yang lain
adalah dengan mengernyitkan atau mengerutkan dahi. Gerakan ini bermakna
bahwa orang yang sedang mendengarkan memberikan umpan balik
(feedback) kepada pembicara.
Gerakan tangan menyajikan banyak fungsi pesan bagi pembicara selama
interaksi berlangsung, yaitu menegaskan atau menjelaskan apa yang
dikatakan, memberi penekanan pada pembicaraan dan mengilustrasikan apa
yang sedang dikatakan. Selain itu, ada jugs gerakan tangan yang tidak
memiliki hubungan yang nyata terhadap apa yang sedang dikatakan. Tujuan
dari gerakan tangan ini adalah untuk menunjukkan intensitas pesan, misalnya
berjabat tangan dengan cepat untuk mengekspresikan kegembiraan.
hanya selama interaksi tetapi jugs sebelum dan sesudah interaksi berakhir. Dengan memelihara kontak mata dan tersenyum, orang-orang yang terlibat mengindikasikan bahwa mereka tertarik dengan persoalan yang sedang diperbincangkan.
Kategori selanjutnya dari komunikasi nonverbal adalah proxemics, yaitu
suatu cara bagaimana orang-orang yang terlibat dalam suatu tindak
komunikasi berusaha untuk merasakan dan menggunakan ruang (space).
Antropolog Edward T. Hall mendefnisikan empat jarak yang kita gunakan
dalam kehidupan sehari-hari, Ia menjelaskan bahwa kita memilih satu jarak
khusus bergantung pada bagaimana kita merasakan terhadap orang lain pada
suatu situasi tertentu, konteks percakapan dan tujuan-tujuan pribadi kita.
Keempat jarak tersebut adalah intimate distance, personal distance, social
distance dan public distance. Namun empat jarak yang dikemukakan oleh Hal ini hanya menggambarkan perilaku orang-orang dari Amerika Utara dan
sangat mungkin berbeda dengan orang-orang yang berasal dari budaya lain.
Adapun klasifkasi Hall tersebut adalah sebagai berikut. a. Intimate Distance
Percakapan dalam jarak yang akrab ini berlangsung dengan bisikan atau
suara yang sangat pelan. Dalam jarak ini, orang-orang yang berkomunikasi secara emosional sangat dekat dan dalam situasi yang
sangat pribadi. Orang-orang yang terlibat dalam interaksi dengan jarak
yang akrab ini merupakan suatu tanda bahwa di antara mereka tumbuh
rasa saling percaya. Namun demikian, interaksi dalam jarak yang akrab
ini juga terjadi dalam lingkungan yang kurang akrab, seperti ketika kita
berobat ke dokter. b. Personal distance
Dalam jarak personal ini, kontak komunikasi yang berlangsung masih
tertutup, namun percakapan-percakapannya tidak lagi bersifat pribadi
dibanding dengan interaksi dalam jarak akrab. c. Social distance
Interaksi yang berlangsung dalam jarak sosial ini biasanya terjadi dalam
pembeli/pelanggan. Dalam kontak komunikasi ini, suara yang lebih keras
sangat dibutuhkan, d. Public distance
Contoh nyata dari komunikasi yang menggunakanjarak publik ini adalah perkuliahan dalam kelas dan pidato yang disampaikan pada suatu ruang tertentu. Dalam jarak publik ini, komunikasi yang bersifat dua arah (twoway trafc) sulit untuk dilaksanakan, sebab ada jarak yang cukup jauh antara pembicara dengan para pendengarnya.
Faktor lingkungan sebagai salah satu karakteristik penandaan nonverbal
dapat berupa lingkungan atau benda-benda yang digunakan atau dimiliki
seseorang yang dapat merefeksikan makna tertentu yang berkaitan dengan
orang tersebut. Misalnya, ketika kita memasuki ruang atau rumah seseorang,
dengan segera kita dapat memperoleh kesan mengenai kepribadian penghuninya. Demikian pula dengan kesan yang kita berikan pada seseorang
dengan melihat mobil yang dikendarainya, perabot rumahnya, asesorisnya,
dan sebagainya. Hal ini terjadi karena orang cenderung memilih benda atau
lingkungan yang dapat merefeksikan citra diri dan kepribadiannya.
Penampilan fsik acapkali mengekspresikan penandaan nonverbal tertentu. Hal ini dapat kita rasakan ketika memberikan stereotipe tertentu yang berkaitan dengan keadaan fsik seseorang. Misalnya orang yang gemuk dianggap sebagai periang dan orang yang kurus sebagai orang yang serius. Demikian pula dengan panjang atau potongan rambut tertentu. Beberapa karakter fsik lainnya yang dianggap berperan dalam penandaan nonverbal mencakup berat badan, tinggi badan, wama kulit, kontur wajah, dan berbagai jenis bekas luka atau cacat fsik. Sementara itu atribut lain yang berhubungan erat dengan penampilan fsik, dan sangat jelas berperan sebagai penanda makna tertentu adalah cars berpakaian.
Biasanya ketika orang memilih dan memutuskan untuk memakai pakaian
tertentu, maka dia secara sadar telah menggunakan tanda nonverbal untuk
mengekspresikan makna melalui kesan tertentu dalam penampilannya.
Seperti dikemukakan oleh Ronald B. Adler dan George Rodman dalam
bukunya Understanding Human Communication, bahwa salah satu kategori
Pakaian yang dikenakan merupakan satu alat komunikasi. Orang-orang
dengan sengaja mengirimkan pesan tentang diri mereka melalui apa yang
mereka kenakan dan kits berusaha menginterpretasikannya berdasarkan pada
pakaian yang dikenakan. Dengan demikian, pakaian tidak hanya melindungi
kita dari panas dan dingin, namun melalui pakaian dapat menjadi indikator
dari status sosial ekonomi seseorang, penanda dari peran-peran tertentu
(ABRI, Pegawai Negeri Sipil) dan sebagainya.
Haptics atau sentuhan atau kontak tubuh dikatakan oleh Emmert dan
Donaghy sebagai cara terbaik untuk mengkomunikasikan sikap pribadi, baik
yang positif maupun yang negatif. Frekuensi dan durasi sentuhan dapat
menjadi indikator tentang persahabatan dan rasa suka di antara orang yang
melakukannya. Sentuhan dapat pula menjadi indikator yang paling ekstrim
dari rasa tidak suka atau kemarahan, seperti menampar, menyepak, memukul,
dan sebagainya. Cara-cara atau bentuk sentuhan dapat pula menunjukkan
posisi orang dalam hubungan dengan orang lainnya, khususnya dalam
pengertian dominan dan submisif (seperti mengelus kepala, mencium tangan,
dan sebagainya).
Waktu atau chronemics juga dapat menjadi penanda nonverbal yang
digunakan ketika seseorang berkomunikasi. Bentuk nyata yang dapat kita
rasakan adalah mengenai orang yang tepat/tidak tepat waktu, orang yang mengulur-ulur waktu untuk menyampaikan pesan bahwa dia tidak menyukai apa yang sedang dilakukannya, dan sebagainya.
3. Deskripsi Historis Komunikasi Nonverbal
Kajian pertama mengenai komunikasi nonverbal ditemukan pada zaman
Aristoteles sekitar 400 sampai 600 tahun Sebelum Masehi. Namun studi
ilmiahnya yang berkaitan dengan retorika, barn dilakukan pada zaman Yunani dan Romawi Kuno.
menggunakan suara dan gerakan-gerakan ragawi dalam konteks public speaking. Dari hasil karya Cicero ini, kemudian orang lain mengkaji pengaruh bahasa nonverbal terhadap komunikasi dalam hampir keseluruhan situasi public speaking.
Dalam tahun 1775, Joshua Steele memusatkan kajiannya mengenai
komunikasi nonverbal pada suara sebagai satu instrumen atau pada suatu
konsep yang disebut Prosody. Konsep dari Steele ini menjelaskan bahwa
bahasa dalam drama atau puisi dapat "dibaca" hampir seperti notasi musik.
Kemudian pada tahun 1806, Gilbert Austin mengkonsentrasikan kajiannya
pada gerakan-gerakan badan yang dihubungkan dengan bahasa. Pendekatan
ini menghasilkan sebuah sistem yang disebut dengan elocutionary system di
mana isyarat-isyarat yang" pantas" dipelajari dan digunakan dalam pertunjukan drama. Elocutionary system adalah seni deklamasi atau keahlian
membaca/mengucapkan kalimat dengan logat dan lagu yang baik di muka
umum.
Kajian yang lebih kompleks tentang komunikasi nonverbal dikembangkan oleh Francois Delsarte. Delsarte menggabungkan suara dan gerakan-gerakan badan sekaligus. Dalam kajiannya tersebut, Delsarte berusaha meyakinkan bahwa pesan-pesan atau komunikasi secara nonverbal merupakan "agents of the heart".
KEGIATAN BELAJAR 3
Beberapa Pendekatan dalam Teori
Komunikasi Nonverbal
ermulaan dari studi komunikasi nonverbal modern seringkali diidentifkasikan dengan karya Darwin: The Expression of Emotions in
Man and Animals. Perhatian Darwin terhadap komunikasi nonverbal terutama berkaitan dengan fungsinya sebagai sebuah teori untuk menjelaskan mengenai penampilan (theory of performance), sebuah cara berpidato yang mengindikasikan suasana hati, sikap atau perasaan.
Dari karya Darwin ini, perhatian terhadap komunikasi nonverbal telah memunculkan kajian antardisiplin. Dari hasil karyanya pula, telah dikembangkan tiga perspektif teoritis, yaitu the ethological approach (studi mengenai kesamaan-kesamaan antara perilaku manusia dengan perilaku binatang), the anthropological approach dan the functional approach. Dari ketiga pendekatan ini muncul sejumlah teori-teori yang menjelaskan tentang fenomena nonverbal yang dapat diterapkan dalam konteks komunikasi.
1. Ethological Approach (Pendekatan Etologi)
Menurut Darwin, emosi manusia seperti halnya emosi dari binatang
dapat dilihat dari wajahnya. Darwin mengasumsikan bahwa komunikasi
nonverbal dari makhluk hidup (species) yang berbeda sebenarnya adalah
sama. Orang-orang yang mendukung pandangan Darwin seperti Morris,
Ekman dan Friesen percaya bahwa ekspresi nonverbal pada budaya mana pun
esensinya sama, karena komunikasi nonverbal tidak dipelajari, is adalah
bagian alami dari keberadaan manusia. Dua contoh etologis yang sering
disebut-sebut adalah senyuman dan ekspresi wajah yang dapat ditemukan
pada kultur mana pun juga. a. Teori struktur kumulatif
Dalam teorinya ini, Ekman dan Friesen memfokuskan analisisnya pada
makna yang diasosiasikan dengan kinesic. Teori mereka disebut cumulative structure atau meaning centered karena lebih banyak membahas mengenai makna yang berkaitan dengan gerak tubuh dan
ekspresi wajah ketimbang struktur perilaku. Mereka beranggapan bahwa
seluruh komunikasi nonverbal merefeksikan dua hal: apakah suatu
tindakan yang disengaja dan apakah tindakan harus menyertai pesan
verbal. Hal ini dapat dicontohkan pada kasus ketika seseorang menceritakan sesuatu sambil gerak tangannya yang menunjukkan tinggi
dan ekspresi wajah yang gembira. Gerak tangan yang menunjukkan
tindakan ini disengaja dan memiliki makna tertentu. Lain halnya dengan
ekspresi wajah yang gembira, yang dapat berdiri sendiri dan dapat
diartikan tanpa bantuan pesan verbal. Meskipun demikian, kedua
tindakan tersebut telah menambahkan kepada makna yang berkaitan
dengan interaksi antara kedua orang tersebut, dan ini oleh Ekman dan
Friesen disebut sebagai `expressive behavior'.
Selanjutnya, Ekman dan Friesen mengidentifkasi lima kategori dari expressive behavior yaitu emblem, ilustrator, regulator, adaptor, dan penggambaran perasaan, di mana masing-masing memberikan kedalaman pada makna yang berkaitan dengan situasi komunikasi. Emblem adalah gerakan tubuh atau ekspresi wajah yang memiliki nilai sama dengan pesan verbal, yang disengaja, dan dapat berdiri sendiri tanpa bantuan pesan verbal. Contohnya adalah setuju, pujian, atau ucapan selamat jalan yang dapat digantikan dengan anggukan kepala, acungan jempol, atau lambaian tangan.
Ilustrator adalah gerakan tubuh atau ekspresi wajah yang mendukung dan melengkapi pesan verbal. Misalnya raut muka yang serius ketika memberikan penjelasan untuk menunjukkan bahwa yang dibicarakan adalah persoalan serius, atau gerakan tangan yang menggambarkan sesuatu yang sedang dibicarakan. Sementara itu, regulator adalah tindakan yang disengaja yang biasanya digunakan dalam percakapan, misalnya mengenai giliran berbicara. Bentuk-bentuk lain dari regulator dalam percakapan antara lain adalah senyuman, anggukan kepala, tangan yang menunjuk, mengangkat alis, orientasi tubuh, dan sebagainya, yang kesemuanya berperan dalam mengatur anus informasi pada suatu situasi percakapan.
Kategori keempat adalah adaptor yaitu tindakan yang disengaja, yang digunakan untuk menyesuaikan tubuh dan menciptakan kenyamanan bagi tubuh atau emosi. Terdapat dua subkategori dari adaptor, yaitu: `self' (seperti menggaruk kepala, menyentuh dagu atau hidung) dan `object' (menggigit pinsil, memainkan kunci).. Perilaku ini biasanya dipandang sebagai refeksi kecemasan atau perilaku negatif. Kategori kelima adalah penggambaran emosi atau `afect display' yang dapat disengaja maupun tidak, dapat menyertai pesan verbal maupun berdiri sendiri. Menurut Ekman dan Friesen, terdapat tujuh bentuk afect display yang pengungkapannya cukup universal, yaitu: marah, menghina, malu, takut, gembira, sedih, dan terkejut. Mereka mengemukakan pula bahwa beberapa afect display yang berbeda dapat diungkapkan secara bersamaan, dan bentuk seperti ini disebut "afect bland".
b. Teori tindakan (Action theory)
lebih didasarkan pada tindakan. Dia mengasumsikan bahwa perilaku
tidak terbentuk dengan sendirinya, melainkan terbagi ke dalam suatu
rangkaian panjang peristiwa yang terpisah-pisah. Menurutnya, terdapat
lima kategori yang berbeda dalam tindakan yaitu: pembawaan (inborn),
ditemukan (discovered), diserap (absorb), dilatih (trained), dan campuran
(mixed). Inborn merupakan insting yang dimiliki sejak lahir, seperti
perilaku menyusu. Discovered diperoleh secara sadar dan terbatas pada
struktur genetik tubuh, seperti menyilangkan kaki. Absorbed. Diperoleh
secara tidak sadar melalui interaksi dengan orang lain (biasanya teman)
seperti meniru ekspresi atau gerakan seseorang. Trained diperoleh dengan
belajar, seperti berjalan, mengetik dan sebagainya. Sedangkan mixed
actions diperoleh melalui berbagai macam cara yang mencakup keempat
hal di atas.
2. Anthropological Approach (Pendekatan Anthropologis)
Pendekatan antropologis menganggap komunikasi nonverbal terpengaruh oleh kultur atau masyarakat, dan pendekatan ini diwakili oleh dua teori yang dikemukakan oleh Birdwhistell dan Edward T. Hall.
a. Analogi Linguistik
Dalam teorinya ini Birdwhistell mengasumsikan bahwa komunikasi
nonverbal memiliki struktur yang sama dengan komunikasi verbal.
Bahasa distrukturkan atas bunyi dan kombinasi bunyi yang membentuk
apa yang kita sebut kata. Kombinasi kata dalam suatu konteks akan
membentuk kalimat, dan berikutnya kombinasi kalimat akan membentuk
paragraf. Birdwhistell mengemukakan bahwa hal yang sama terjadi
dalam konteks nonverbal, yaitu terdapat `bunyi nonverbal' yang disebut
allokines (satuan gerakan tubuh terkecil yang sering kali tidak dapat
dideteksi). Kombinasi allokines akan membentuk trines dalam suatu
sebagai analogi linguistik.
Teori ini mendasarkan penjelasannya pada enam asumsi sebagai berikut.
1) Terdapat tingkat Baling ketergantungan yang tinggi antara kelima
indera manusia, yang bersama-sama dengan ungkapan verbal akan
membentuk `infracommunicational system'.
2) Komunikasi kinesic berbeda antarkultur dan bahkan antara
mikrokultur.
3) Tidak ada simbol bahasa tubuh yang universal.
4) Prinsip-prinsip pengulangan (redundancy) tidak terdapat pada
perilaku kinesic.
5) Perilaku kinesic lebih primitif dan kurang terkendali dibanding
komunikasi verbal.
6) Kita harus membandingkan tanda-tanda nonverbal secara berulang-ulang sebelum kita dapat memberikan interpretasi yang akurat.
Keenam prinsip yang mendasari analogi linguistik ini pada dasarnya
menyatakan bahwa kelima indera kita berinteraksi atau bekerja
bersama-sama untuk menciptakan persepsi, dan dalam setiap situasi, satu atau
lebih indera kita akan mendominasi indera lainnya. Menurut Birdwhistell,
perilaku kinesic bersifat unik bagi tiap kultur atau subkultur, sehingga
perbedaan individu dalam komunikasi nonverbal merupakan fungsi kultur
atau subkultur di mana individu tersebut berada. Oleh karenanya, kultur
harus diperhitungkan dalam studi tentang komunikasi nonverbal.
Prinsip ketiga menegaskan kembali bahwa perilaku nonverbal lebih
banyak diperoleh sebagai hasil belajar daripada faktor genetik yang
diturunkan antar generasi. Dia juga menganggap bahwa komunikasi
nonverbal lebih bersifat melengkapi komunikasi verbal dari pada
mengulang atau menggantikannya, yaitu keduanya bekerja
bersama-sama dalam menghasilkan makna. Dan akhirnya, karena komunikasi
kita cenderung untuk melupakan apa yang kita 'katakan' secara nonverbal.
Selanjutnya Birdwhistell menjelaskan bahwa fenomena parakinesic
(yaitu kombinasi gerakan yang dihubungkan dengan komunikasi verbal)
dapat dipelajari melalui struktur gerakan. Struktur ini mencakup tiga
faktor yaitu: intensitas dari tegangan yang tampak dari otot, durasi dari
gerakan yang tampak, dan luasnya gerakan. Dari faktor-faktor ini kita
dapat mengenal isi berbagai klasifkasi gerakan/perilaku yang meliputi
allokine, kine, kineme (pengelompokan kine yang artinya menyerupai
suatu `kata' dalam bahasa), dan kinemorpheme (yang menyerupai
kalimat dalam konteks bahasa). Jadi kita dapat menganalisis komunikasi nonverbal seperti jika kita melakukannya pada komunikasi verbal, namun kita mengganti unit analisisnya dari `bunyi dan kata' menjadi `gerak dan gerakan'.
b. Analogi kultural
Analogi kultural yang dikemukakan oleh Edward T. Hall membahas
komunikasi nonverbal dari aspek proxemics dan chronemics. Teori Hall
zero- proxemic). Kelima, frekuensi dan cara-cara kontak mata (faktor visual code). Keenam, persepsi tentang panas tubuh yang dapat dirasakan ketika berinteraksi (faktor thermal code). Ketujuh, odor atau bau yang tercium ketika berinteraksi (faktor olfactory code). Delapan, kerasnya atau volume suara dalam interaksi (faktor voice loudness).
Dalam analisisnya mengenai chronemics atau waktu sebagai salah
satu tanda nonverbal, Hall mengemukakan bahwa norma-norma waktu
ditemukan dalam berbagai kultur dalam bentuknya yang berbeda-beda.
Waktu memiliki apa yang disebut dengan `formal time, 'informal time ,
dan 'technical time' Formal time mencakup susunan dan siklus, memiliki nilai, memiliki durasi dan kedalaman. Informal time biasanya didefnisikan secara lebih longgar dalam kultur, dan bekerja pada tataran psikologis atau sosiologis, serta diungkapkan melalui individu atau kelompok. Penggunaannya dapat berupa ungkapan `sebentar lagi', `nanti', atau `sekarang'. Sedangkan technical time menggambarkan penggunaan waktu secara lebih spesifk, seperti `kilometer perjam', `tahun matahari' atau `meter per detik'.
3. Functional Approach (Pendekatan Fungsional)
Pendekatan fungsional memandang komunikasi nonverbal sebagai
bertujuan dan dibatasi oleh suatu kerangka waktu tertentu. Ini berbeda dari
pendekatan ethologis di mana komunikasi nonverbal dipandang sebagai suatu
proses evolusi yang berkesinambungan dari spesies yang lebih rendah sampai kepada manusia. Ini juga berbeda dari pendekatan antropologis di mana fungsi tertentu dapat terjadi dalam setiap kultur. Dalam teori fungsional, norma-norma kultural dianggap sebagai sesuatu yang telah ada (given) dan diperhitungkan dalam kerangka waktu sebagai `variasi kultural'. Persoalan yang muncul dengan pendekatan fungsional adalah bahwa teori-teorinya mengemukakan sejumlah fungsi yang berbeda, beberapa di antaranya menunjukkan kesamaan sementara sejumlah lainnya berbeda.
a. Teori metaforis dari Mehrabian
Teori Mehrabian menempatkan perilaku nonverbal ke dalam pengelompokan fungsi. Dia memandang komunikasi nonverbal berada di antara tiga kontinum, yaitu: dominan-submisif, menyenangkan tidak menyenangkan, dan mengairahkan tidak menggairahkan. Perilaku nonverbal dapat ditempatkan pada setiap kontinum dan dianalisis melalui tiga metafora yang berkaitan dengan kekuasaan dan status,
men-cerminkan tingkatan di mana perilaku nonverbal mengkomunikasikan
dominasi atau submisi. Metafora kesukaan didasarkan pada kontinum
menyenangkan-tidak menyenangkan, sedangkan metafora responsif
didasarkan pada kontinum menggairahkan-tidak menggairahkan. Hampir setiap pesan nonverbal dapat dianalisis oleh setiap fungsinya dan diinterpretasikan dari satu atau kombinasi fungsi-fungsi tersebut.
Misalnya senyuman dapat mengindikasikan adanya kesenangan,
kegairahan dan kesukaan. Teori Mehrabian dapat diterapkan pada semua komunikasi nonverbal, meskipun paling sesuai untuk diterapkan pada penandaan kinesic, para language, sentuhan danjarak/ruang.
b. Teori Equilibrium
Michael Argyle dan Janet Dean mengemukakan suatu teori komunikasi
nonverbal yang didasarkan pada suatu metafora keintiman-ekuilibrium.
Mereka mengemukakan bahwa seluruh interaksi dibatasi dalam konfik
antara kekuatan-kekuatan penarik dan penolak. Kekuatan yang menarik dan mendorong antara satu orang dengan orang lainnya cenderung untuk menyeimbangkan suatu hubungan. Kekuatan tersebut dijumpai dalam perilaku nonverbal yang berkaitan dengan pendekatan (jarak yang lebih dekat, kontak mata yang lebih banyak, sentuhan dan gerakan tubuh yang lebih sering) dan penghindaran (jarak yang lebih jauh, kurangnya kontak mata, dan jarangnya sentuhan dan gerakan tubuh). Lebih lanjut Argyle dan Dean mengemukakan bahwa ketika kita berinteraksi, kits mengalami atau menggunakan seluruh saluran komunikasi yang ada, dan suatu perubahan dalam satu saluran nonverbal akan menghasilkan perubahan pada saluran lainnya sebagai kompensasi.
c. Teorifungsional dari Patterson
Patterson mengemukakan bahwa komunikasi nonverbal memiliki lima
fungsi, yaitu: memberikan informasi, mengekspresikan keintiman,
mengatur interaksi, melaksanakan kontrol sosial, dan membantu
pencapaian tujuan. Memberikan informasi antara lain membiarkan
seseorang mengerti tentang perasaan kita. Mengekspresikan keintiman
mengatur giliran berbicara dalam percakapan. Melaksanakan kontrol
sosial digunakan ketika kits mengekspresikan pandangan. Membantu
pencapaian tujuan biasanya bersifat impersonal, misalnya sentuhan yang terjadi ketika seorang penata rambut sedang menata rambut kita.
d. Teori Fungsional Komunikatif
Teori yang dikemukakan oleh Burgoon ini memfokuskan kepada
`kegunaan, motif, atau hasil dari komunikasi'. Teori ini menjelaskan
peran yang dimiliki oleh komunikasi nonverbal terhadap hasil komunikasi, seperti persuasi dan desepsi (pengelabuan). Dengan
demikian teori ini telah mengalihkan perhatian dari suatu pemahaman
mengenai bagaimana cara kerja komunikasi nonverbal, kepada apa yang dilakukan komunikasi nonverbal. Burgoon mengemukakan terdapat sedikitnya sembilan fungsi, dari komunikasi emosional sampai
pemrosesan informasi dan pemahaman. Teori ini memandang suatu
inisiatif untuk berinteraksi sebagai bersifat multi fungsional dan sebagai suatu bagian penting dari proses komunikasi. Jadi fokusnya bukan sekedar pada apa yang ditampilkan oleh perilaku nonverbal, tetapi juga pada hubungan antara perilaku tersebut dengan tujuan-tujuan yang ada di baliknya.
KEGIATAN BELAJAR 4
Teori-teori Komunikasi Verbal
ertanyaan mengenai bagaimana kita memperoleh dan menggunakan bahasa (komunikasi verbal) untuk berkomunikasi telah menjadi bahasan teoritis selama berabad-abad. Kemampuan kita untuk melakukan
P
kombinasi tertentu dari penggunaan kata, yang merefeksikan cara-cara kita menyampaikan dan menerima pesan.
Pada bagian berikutnya kita akan masuk pada suatu pendekatan yang mempelajari dampak dari penggunaan bahasa dalam menciptakan realitas, yaitu bagaimana kita `memberi label' atau 'atribut' pada dunia kita dan bagaimana 'label' tersebut menghasilkan `realitas' (narture approach). Kita kemudian akan beralih kepada pandangan fungsional yang mencoba menjawab pertanyaan: mengapa kita bereaksi terhadap bahasa, seolah-olah kata adalah benda yang direpresentasikannyan Pada bagian akhir kita akan mendiskusikan suatu pendekatan yang berorientasi pada pesan dalam bahasa, dan membahas proses berpikir yang berkaitan dengan bahasa yang mendahului aktivitas transmisi pesan.
1. Nature Approach (Pendekatan Natural)
Seorang ahli yang menaruh perhatian pada bagaimana orang memperoleh bahasa adalah Noam Chomsky yang memandang pembelajaran bahasa sebagai suatu fungsi biologis, sama seperti cara Darwin memandang
komunikasi nonverbal. Teori Chomsky yang disebut `struktur dalam' (deep
structure) mengasumsikan bahwa suatu tata bahasa atau struktur bawaan
(innategrammar) yang ada pads diri manusia sejak dia lahir merupakan
landasan bagi semua bahasa. Teori ini mencakup suatu pendekatan umum
yang universal. Dengan mendasarkan pada sejumlah besar penelitiannya,
Chomsky mengidentifkasi adanya tiga struktur dalam semua bahasa.
Pertama, adanya hubungan antara subjek-predikat. Apa pun subjeknya,
predikat akan selalu menunjukkan tindakan apa yang dilakukan oleh subjek.
Demikian pula sebaliknya, apa pun predikatnya, subjek akan selalu menunjukkan apa atau siapa yang melakukan tindakan tersebut. Misalnya
'orang makan', `gajah makan', 'monyet makan', kesemuanya menunjukkan
bahwa subjek sedang melakukan tindakan tertentu, yaitu makan. Sementara
dari visi predikat `orang lari', `orang bermain', `orang makan', menunjukkan
bahwa `orang' yang melakukan tindakan, apa pun bentuknya. Kedua,
hubungan antara kata kerja (verb) dengan objek yang mengekspresikan
atau untuk apa suatu tindakan dilakukan. Misalnya `orang memakai topi',
`orang memakai jas', `orang memakai kaos', kesemuanya menunjukkan
bahwa objek (apa pun jenisnya) dipakai oleh orang tersebut. Ketiga,
modifkasi,' yang menunjukkan adanya pertautan kelas (intersection of classes). Misalnya orang memakai `topi hitam', 'orang memakai topi kuning,'orang memakai topi putih', di mana kesemuanya menunjuk adanya pertautan (intersection) antara topi dan warna tertentu.
Dengan demikian, Chomsky beranggapan bahwa manusia dilahirkan
dengan membawa kemampuan alamiah untuk berbahasa. Kita dapat
memformulasikan bentuk-bentuk kombinasi kata tertentu hingga terasa
masuk akal. Namun penjelasan bahwa bahasa dapat dipilah dalam struktur
tata bahasa, belum dapat menjawab bagaimana bahasa mengungkapkan
makna. Seorang teoretisi lain, Dan I. Slobin, mengemukakan bahwa bayi
terlahir dengan pemahaman tata bahasa yang telah terprogram, anak
sebenarnya memiliki suatu mekanisme pemrosesan atau sistem untuk
mengorganisasikan informasi linguistik yang diperoleh dari lingkungan anak
tersebut.
Slobin mengemukakan bahwa perkembangan kognitif mendahului
perkembangan bahasa. Dengan berbagai bukti ilmiah dia menunjukkan
bahwa anak dari kelompok bahasa yang berbeda, mempelajari bahasa secara
berbeda tergantung pada tingkat kesulitan dari bahasa tersebut. Bahasa yang
lebih kompleks membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mempelajarinya,
karena anak harus membuat sejumlah pengecualian pada prinsip bawaan
yang ada dalam setiap bahasa. Slobin sendiri mengidentifkasi adanya empat
prinsip yang bekerja pada semua bahasa, yaitu: memperhatikan susunan kata,
menghindari pengecualian, menghindari interupsi atau penataan kembali
unit-unit bahasa, dan memperhatikan kata yang ada pada bagian terakhir
Walau ada perbedaan antara teori Chomsky dan Slobin, namun pada
dasarnya keduanya mendasarkan diri pada prinsip natural, yang memandang
bahwa bahasa diperoleh secara natural. Meskipun demikian keduanya belum
dapat menjawab makna apa yang dikaitkan dengan penggunaan bahasa
tersebut.
2. Nurture Approach (Pendekatan Nurtural)
Edward Sapir dan Benyamin Whorf mengemukakan teori yang menentang perspektif alamiah (nature). Dengan memusatkan kajiannya pada semantik (makna dari kata), mereka mengembangkan suatu teori kultural mengenai bahasa. Mereka mengatakan bahwa latar belakang dari sistem linguistik (atau tata bahasa) dari setiap bahasa bukan hanya suatu alat reproduksi untuk menyampaikan gagasan, tetapi lebih sebagai pembentuk gagasan, pembentuk dan pemandu bagi aktivitas mental individu, untuk menganalisis kesan, untuk mensintesiskan aktivitas mental dalam komunikasi. Formulasi gagasan bukan merupakan suatu proses independen dan bukan aktivitas rasional semata, tetapi suatu tata bahasa tertentu yang berbeda di antara berbagai tata bahasa lain.
Jadi, bahasa adalah kultural (seperti pandangan Birdwhistel mengenai
komunikasi nonverbal). Bahkan aturan-aturan bahasa sangat bervariasi dari
satu kultur ke kultur lain, oleh karenanya individu dari kultur yang berbeda
akan berbeda pula cara-caranya dalam memandang dunia. Misalnya, beberapa bahasa memiliki begitu banyak istilah untuk menyebut 'saiju', sementara sejumlah bahasa lainnya bahkan tidak memiliki satu istilah pun, terutama bagi yang belum pernah melihatnya. Menurut Sapir dan Whorf, bahasa dari suatu kultur akan berkaitan langsung dengan bagaimana cara-cara kita berpikir dalam kultur tersebut_ Asumsi ini sejalan dengan pandangan antropologis tentang relativitas kultural, yang menyatakan bahwa, karena kultur yang berbeda memiliki bahasa yang berbeda dan pandangan hidup yang berbeda, maka mereka juga memiliki keyakinan dan nilai-nilai yang berbeda pula.
Kedua teori yang berlawanan ini (nature vs nurture) menunjukkan bahwa baik dalam komunikasi verbal maupun nonverbal, terdapat dua aliran yang berangkat dari posisi yang berlawanan dalam menjelaskan bagaimana
orang memperoleh bahasa. Kontroversi ini masih terus berlangsung tanpa
salah satu dapat mengklaim bahwa teorinya yang paling benar, karena buktibukti yang ditunjukkan oleh kedua belah pihak belum cukup memadai.
Hanya dengan memfokuskan pada makna dari kata (dan bagaimana
makna tersebut mempengaruhi perilaku), aliran general semantics menganggap bahwa bahasa harus dapat lebih merefeksikan dunia di mana
kita hidup. Asumsi yang mendasari pemikiran general semantik adalah
bahwa 'the word is not the thing'. Kata dianggap sebagai abstraksi dari
realitas. Oleh karenanya general semantics memandang bahwa kata harus
sedekat mungkin dengan realitas yang direfeksikannya. Meskipun demikian
mereka menyadari bahwa ini suatu hal yang sulit, karena ketika kata
merupakan suatu konsep yang statis dalam waktu yang panjang, realitas selalu dalam kondisi yang berubah. Untuk memahami apa yang menjadi kajian general semantics, kita hares mempelajari sifat-sifat simbol dan bagaimana kita menggunakannya.
Penggunaan Simbol
Pandangan ini mengasumsikan bahwa seluruh perilaku manusia berangkat dari penggunaan simbol. Salah seorang ahlinya yang bemama Alfred Korzybski menganggap adanya ketidaktepatan dalam penggunaan bahasa sehari-hari kita. Argumentasinya adalah bahwa manusia hidup dalam
dua lingkungan yang berbeda, lingkungan fsik dan lingkungan simbolik.
Untuk memahami hal ini kita dapat menganalogikannya dengan penggunaan
peta. Misalnya kita bertanya kepada teman kita berapa jarak antara
Jakarta-Surabaya, dan dia menjawab: "Menurut peta sekitar 10 cm". Informasi ini
hanya memiliki arti bagi kita jika kita mengetahui skala dari peta tersebut,
dan tentunya skala peta tersebut bukanlah 1:1 Karena jika skalanya serupa
itu peta tersebut akan sama luasnya dengan wilayah yang digambarkannya. Hal serupa berlaku pula pada kata. Ada satu anekdot untuk mencontohkan hal ini, ketika seorang pengemudi sampai pada suatu perempatan jalan dan bertanya pada orang disebelahnya apakah ada kendaraan lain yang akan melintasi jalanan yang akan diseberanginya, dan orang yang ditanya menjawab `hanya kijang'. Baru setelah mobil yang mereka tumpangi menyeberang dan ditabrak oleh sebuah Toyota Kijang yang sedang melaju, arti semantik dari 'kijang' dipahami oleh keduanya.
Kata, dan pada kenyataannya semua jenis simbol, tidak sama dengan