• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. LANDASAN TEORI

B. Belajar

2. Sikap Siswa Terhadap Fisika

Menurut Winkel (1983) sikap adalah kecenderungan dalam subyek menerima atau menolak suatu objek berdasarkan penelitian terhadap obyek itu sebagai obyek yang berharga/baik atau tidak berharga/baik.

3. Minat

Menurut Winkel (1983) minat adalah kecenderungan yang agak menetap dalam subyek merasa tertarik pada bidang/hal tertentu dan merasa senang berkecimpung dalam bidang itu.

4. Hasil Belajar

Hasil belajar merupakan hasil yang dicapai siswa dalam kegiatan belajar atau hasil yang dicapai siswa dalam proses belajar.

E. Manfaat Penelitian

a. Bagi Sekolah dan Guru

Melalui penelitian ini diharapkan bisa memberi masukan bagi sekolah maupun guru yaitu bahwa guru perlu mengajar dan membantu siswa sesuai dengan inteligensi siswa. Guru tidak hanya mengajar dengan inteligensinya yang menonjol sehingga cara guru mengajar dan cara siswa menangkap dapat berlainan. Memberi masukan bahwa setiap guru sebenarnya mampu mengajar dengan berbagai variasi sehingga setiap siswa dapat merasakan sapaan sesuai dengan inteligensi mereka dan mengembangkannya sesuai inteligensi mereka.

b. Bagi Calon Pendidik/Guru

Calon pendidik/guru bisa menerapkan cara mengajar yang lebih bervariasi dan menyenangkan bagi siswa. Mengajar fisika tidak harus selalu terpaku dengan penjelasan soal-soal hitungan dan rumus-rumus tetapi bisa menjadi sangat menyenangkan. Calon guru diharapkan menjadi lebih berminat menjadi guru fisika dan bisa mempersiapkan diri untuk mengajar dengan menggunakan cara mengajar yang sesuai dengan teori inteligensi ganda sehingga pada akhirnya nanti minat, sikap, dan hasil belajar siswa terhadap fisika menjadi semakin baik.

c. Bagi Siswa

Siswa tahu tentang inteligensi ganda dan menyadari bahwa belajar fisika tidak hanya mengandalkan inteligensi matematis-logis saja tetapi bisa dengan inteligensi-inteligensi lain yang dimiliki siswa sehingga siswa menjadi semakin tertarik dan senang mempelajari fisika. Dengan begitu diharapkan siswa dapat belajar untuk mengembangkan inteligensi yang dimilikinya dan bisa digunakan untuk membantunya dalam belajar sehingga minat dan hasil belajar siswa semakin meningkat.

8 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Teori Inteligensi Ganda

1. Teori Inteligensi Ganda Gardner

Gardner mendefinisikan inteligensi sebagai kemampuan untuk memecahkan persoalan dan menghasilkan produk dalam suatu seting yang bermacam-macam dan dalam situasi yang nyata (Suparno, 2004: 17).

Pada awal penelitiannya Garner menerima adanya tujuh inteligensi yang dimiliki manusia. Pada bukunya Intelligence Reframed, ia menambahkan adanya dua inteligensi baru, yaitu inteligensi lingkungan/naturalis (naturalist intelligence) dan inteligensi eksistensial (existential intelligence). Maka, saat ini ada sembilan inteligensi yang diterima, yaitu: inteligensi linguistik (linguistic intelligence), inteligensi matematis-logis (logical-mathematical intelligence), inteligensi ruang (spatial intelligence), inteligensi kinestetik-badani (body-kinesthetic intelligence), inteligensi musikal (musical intelligence), inteligensi interpersonal (interpersonal intelligence), inteligensi intrapersonal (intrapersonal intelligence), inteligensi lingkungan/naturalis (naturalist intelligence), inteligensi eksistensial (existential intelligence) (Suparno, 2004: 19).

Gardner menjelaskan inteligensi linguistik sebagai kemampuan untuk menggunakan dan mengolah kata-kata secara efektif baik secara oral maupun tertulis seperti dimiliki para pencipta puisi, editor, jurnalis, dramawan, sastrawan, pemain sandiwara, maupun orator. Kemampuan ini berkaitan dengan penggunaan dan

pengembangan bahasa secara umum. Orang yang berinteligensi linguistik tinggi akan berbahasa lancar, baik, dan lengkap. Ia mudah untuk mengembangkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa, mudah belajar beberapa bahasa (Suparno, 2004: 26).

Peserta didik dengan kecerdasan bahasa yang tinggi umumnya ditandai dengan kesenangannya pada kegiatan yang berkaitan dengan penggunaan suatu bahasa seperti membaca, menulis karangan, membuat puisi, menyusun kata-kata mutiara, dan sebagainya. Peserta didik seperti ini juga cenderung memiliki daya ingat yang kuat, misalnya terhadap nama-nama orang, istilah-istilah baru, maupun hal-hal yang sifatnya detail. Mereka cenderung lebih mudah belajar dengan cara mendengarkan dan verbalisasi. Dalam hal penguasaan suatu bahasa baru, peserta didik ini umumnya memiliki kemampuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan peserta didik lainnya (Muhammad, 2004: 16).

Menurut Gardner , inteligensi matematis-logis adalah kemampuan yang lebih berkaitan dengan penggunaan bilangan dan logika secara efektif, seperti dipunyai seorang matematikus, saintis, programmer, dan logikus. Termasuk dalam inteligensi tersebut adalah kepekaan pada pola logika, abstraksi, kategorisasi dan perhitungan. Orang yang mempunyai inteligensi matematis-logis sangat mudah membuat klasifikasi dan kategorisasi dalam pemikiran dan serta cara mereka bekerja (Suparno, 2004: 29).

Peserta didik dengan kecerdasan matematika-logika tinggi cenderung menyenangi kegiatan menganalisis dan mempelajari sebab akibat terjadinya sesuatu. Ia menyenangi berpikir secara konseptual, misalnya menyusun hipotesis dan mengadakan kategorisasi dan klasifikasi terhadap apa yang dihadapinya. Peserta

didik semacam ini cenderung menyukai aktivitas berhitung dan memiliki kecepatan tinggi dalam menyelesaikan problem matematika. Apabila kurang memahami, mereka akan cenderung berusaha untuk bertanya dan mencari jawaban atas hal yang kurang dipahaminya tersebut. Peserta didik ini juga sangat menyukai berbagai permainan yang banyak melibatkan kegiatan berpikir aktif, seperti catur dan bermain teka-teki (Muhammad, 2004: 15).

Bagi Gardner, inteligensi ruang (spatial inteligensi) atau kadang disebut inteligensi ruang-visual adalah kemampuan untuk menangkap dunia ruang-visual secara tepat, seperti dipunyai para pemburu, arsitek, navigator, dan dekorator. Termasuk di dalamnya adalah kemampuan untuk mengenal bentuk dan benda secara tepat, melakukan perubahan suatu benda dalam pikirannya dan mengenali perubahan itu, menggambarkan suatu hal/benda dalam pikiran dan mengubahnya dalam bentuk nyata, serta mengungkapkan data dalam suatu grafik. Juga kepekaan terhadap keseimbangan, relasi, warna, garis, bentuk, dan ruang. Orang yang berinteligensi ruang baik dengan mudah membayangkan benda dalam ruang berdimensi tiga, mereka mudah mengenal relasi benda-benda dalam ruang secara tepat (Suparno, 2004: 31).

Peserta didik ini memiliki kemampuan, misalnya, untuk menciptakan imajinasi bentuk dalam pikirannya atau kemampuan untuk menciptakan bentuk-bentuk tiga dimensi seperti dijumpai pada orang dewasa yang menjadi pemahat patung atau arsitek suatu bangunan. Kemampuan membayangkan suatu bentuk nyata dan kemudian memecahkan berbagai masalah sehubungan dengan kemampuan ini adalah hal yang menonjol pada jenis kecerdasan visual-spasial ini. Peserta didik

demikian akan unggul, misalnya dalam permainan mencari jejak pada suatu kegiatan di kepramukaan (Muhammad, 2004: 16).

Inteligensi kinestetik-badani, menurut Gardner, adalah kemampuan menggunakan tubuh atau gerak tubuh untuk mengekspresikan gagasan dan perasaan seperti ada pada aktor, atlet, penari, pemahat, dan ahli bedah. Dalam inteligensi ini termasuk keterampilan koordinasi dan fleksibilitas tubuh. Orang yang mempunyai inteligensi kinestetik-badani dengan mudah dapat mengungkapkan diri dengan gerak tubuh mereka. Apa yang mereka pikirkan dan rasakan mudah diekspresikan dengan gerak tubuh, dengan tarian dan ekspresi tubuh. Mereka juga dengan mudah dapat memainkan mimik, drama, dan peran. Mereka dapat dengan mudah dan cepat melakukan gerak tubuh dalam olahraga dengan segala macam variasinya. Yang sangat menonjol dalam diri mereka adalah koordinasi dan fleksibilitas tubuh yang begitu besar. Secara sederhana , mereka dapat menyalurkan apa yang mereka hadapi dengan gerak tubuh (Suparno, 2004: 35).

Inteligensi kinestetik-badani menunjukkan kemampuan seseorang untuk secara aktif menggunakan bagian-bagian atau seluruh tubuhnya untuk berkomunikasi dan memecahkan berbagai masalah. Hal ini dapat dijumpai pada peserta didik yang unggul pada salah satu cabang olahraga, seperti bulu tangkis, sepakbola, tenis, renang, dan sebagainya, atau bisa pula dijumpai pada peserta didik yang pandai menari, terampil bermain akrobat, atau unggul dalam bermain sulap (Muhammad, 2004: 17).

Gardner menjelaskan inteligensi musikal sebagai kemampuan untuk mengembangkan, mengekspresikan, dan menikmati bentuk-bentuk musik dan suara.

Di dalamnya termasuk kepekaan akan ritme, melodi, dan intonasi; kemampuan memainkan alat musik; kemampuan menyanyi; kemampuan untuk mencipta lagu; kemampuan untuk menikmati lagu, musik, dan nyanyian. Orang yang kuat dalam intiligensi musikal biasanya cocok untuk mengerjakan tugas sebagai komposer musik, menginterpretasikan musik, memainkan, dan memimpin pentas musik. Dan jelas mereka juga akan sangat senang menjadi pendengar yang baik untuk berbagai bentuk musik (Suparno, 2004: 37).

Kecerdasan musikal menunjukkan kemampuan seseorang untuk peka terhadap suara-suara nonverbal yang berada di sekelilingnya, termasuk dalam hal ini adalah nada dan irama. Peserta didik jenis ini cenderung senang sekali mendengarkan nada dan irama yang indah, entah melalui senandung yang dilagukannya sendiri, mendengarkan tape recorder, radio, pertunjukan orkestra, atau alat musik dimainkannya sendiri. Mereka juga lebih mudah mengingat sesuatu dan mengekspresikan gagasan-gagasan apabila dikaitkan dengan musik (Muhammad, 2004:16).

Siswa yang mempunyai inteligensi musikal tinggi kentara dalam penampilannya bila sedang bernyanyi di kelas, juga dalam tugas-tugas yang berkaitan dengan musik. Mereka biasanya bernyanyi dengan baik, dapat memainkan suatu alat musik, mudah mempelajari not dan lagu. Dan yang menarik, siswa ini akan mudah mempelajari suatu mata pelajaran lain bila mata pelajaran itu diterangkan dengan suatu lagu atau musik (Suparno, 2004: 38).

Inteligensi interpersonal adalah kemampuan untuk mengerti dan menjadi peka terhadap perasaan, intensi, motivasi, watak, dan temperamen orang lain.

Kepekaan akan ekspresi wajah, suara, isyarat dari orang lain juga termasuk dalam inteligensi ini. Secara umunm inteligensi interpersonal berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk menjalin relasi dan komunikasi dengan berbagai orang. Inteligensi ini banyak dipunyai oleh para komunikator, fasilitator, dan penggerak massa (Suparno, 2004:39).

Orang yang memiliki inteligensi interpersonal cenderung untuk memahami dan berinteraksi dengan orang lain sehingga mudah bersosialisasi dengan lingkungan di sekelilingnya. Kecerdasan semacam ini juga sering disebut sebagai kecerdasan sosial, yang selain kemampuan menjalin persahabatan yang akrab dengan teman, juga mencakup kemampuan seperti memimpin, mengorganisir, menangani perselisihan antar teman, memperoleh simpati dari peserta didik yang lain, dan sebagainya (Muhammad, 2004: 17).

Inteligensi intrapersonal adalah kemampuan yang berkaitan dengan pengetahuan akan diri sendiri dan kemampuan untuk bertindak secara adaptif berdasar pengenalan diri itu. Termasuk dalam inteligensi ini adalah kemampuan berefleksi dan keseimbangan diri. Orang ini punya kesadaran tinggi akan gagasan-gagasannya, dan mempunyai kemampuan untuk mengambil keputusan pribadi. Ia sadar akan tujuan hidupnya. Ia dapat mengatur perasaan dan emosinya sehingga kelihatan sangat tenang (Suparno, 2004:41).

Kecerdasan intrapersonal menunjukkan kemampuan seseorang untuk peka terhadap perasaan dirinya sendiri. Ia cenderung mampu untuk mengenali berbagai kekuatan maupun kelemahan yang ada pada dirinya sendiri. Peserta didik semacam ini senang melakukan instropeksi diri, mengoreksi kekurangan maupun

kelemahannya, kemudian mencoba untuk memperbaiki diri. Beberapa diantaranya cenderung menyukai kesunyian dan kesendirian, merenung, dan berdialog dengan dirinya sendiri (Muhammad, 2004: 18).

Siswa yang menonjol dalam inteligensi intrapersonal sering kelihatan pendiam, lebih suka bermenung di kelas. Bila ada waktu istirahat, kalau ada teman-teman lain bermain, ia kadang lebih suka sendirian berefleksi atau berpikir. Ia lebih suka bekerja sendiri. Bila guru memberinya tugas bebas, siswa ini kadang diam lama merenungkan tugas itu sebelum mengerjakan sendiri. Ia tidak tertarik bahwa teman-temannya mengerjakan tugas itu berkelompok. Guru yang tidak tahu sering memarahi siswa ini karena sepertinya ia tidak mendengarkan dan hanya melamun. Padahal ia sebenarnya sedang berpikir dalam (Suparno, 2004:41).

Gardner menjelaskan inteligensi lingkungan sebagai kemampuan seseorang untuk dapat mengerti flora dan fauna dengan baik, dapat membuat distingsi konsekuensial lain dalam alam natural; kemampuan untuk memahami dan menikmati alam; dan menggunakan kemampuan itu secara produktif dalam berburu, bertani, dan mengembangkan pengetahuan akan alam. Orang yang punya inteligensi lingkungan tinggi biasanya mampu hidup di luar rumah, dapat berkawan dan berhubungan baik dengan alam, mudah membuat identifikasi dan klasifikasi tanaman dan binatang. Orang ini mempunyai kemampuan mengenal sifat dan tingkah laku binatang, biasanya mencintai lingkungan, dan tidak suka merusak lingkungan hidup (Suparno, 2004: 42)

Siswa yang berinteligensi lingkungan tinggi kiranya dapat dilihat pada kemampuannya mengenal, mengklarifikasi, dan menggolongkan tanaman-tanaman,

binatang, serta alam mini yang ada di sekolah. Siswa tersebut akan senang bila ada acara di luar sekolah, seperti berkemah bersama di pegunungan, karena dia akan dapat menikmati keindahan alam (Suparno, 2004: 43). Siswa ini juga cenderung suka mengobservasi lingkungan alam seperti aneka macam bebatuan, jenis-jenis lapisan tanah, aneka macam flora dan fauna, benda-benda angkasa, dan sebagainya (Muhammad, 2004: 18).

Gardner (2000) menambahkan satu inteligensi lagi, yaitu inteligensi eksistensial. Inteligensi ini lebih menyangkut kepekaan dan kemampuan seseorang untuk menjawab persoalan-persoalan terdalam eksistensi atau keberadaan manusia. Orang tidak puas hanya menerima keadaannya, keberadaannya secara otomatis, tetapi mencoba menyadarinya dan mencari jawaban yang terdalam. Pertanyaan itu antara lain : mengapa aku ada, mengapa aku mati, apa makna dari hidup ini, bagaimana kita sampai ke tujuan hidup. Inteligensi ini tampaknya sangat berkembang pada banyak filsuf, terlebih filsuf eksistensialis yang selalu mempertanyakan dan mencoba menjawab persoalan eksistensi hidup manusia (Suparno, 2004: 43).

2. Pengaruh Teori Inteligensi Ganda Bagi Guru yang Mengajar

Dalam penelitiannya, Gardner menemukan banyak guru yang mengajar hanya dengan satu model, yaitu yang sesuai dengan inteligensinya sendiri yang menonjol. Banyak guru mengajar selalu dengan cara yang sama, waktu yang sama, dan gaya yang sama. Padahal cara itu tidak sesuai dengan beberapa siswa yang berbeda inteligensinya. Maka, banyak siswa yang meskipun masuk sekolah, tetapi merasa tidak pernah dibantu belajar. Melihat hal itu, Gardner mencoba membantu guru-guru

tersebut untuk mengubah cara mengajar mereka, yaitu menggunakan inteligensi ganda yang lebih bervariasi dan disesuaikan dengan inteligensi siswa (Suparno, 2004: 35).

Guru perlu sadar bahwa siswa mereka di sekolah umum beraneka ragam inteligensinya. Siswa tidak sama dan cara menangkap materi pun berbeda. Dengan demikian, bila ingin membantu secara tepat, guru perlu mengembangkan model pembelajaran yang beraneka ragam sesuai dengan Inteligensi siswa. Secara umum dampak Inteligensi ganda bagi guru adalah sebagai berikut:

1) Guru perlu mengerti inteligensi siswa-siswa mereka.

2) Guru perlu mengembangkan model mengajar dengan berbagai inteligensi, bukan hanya dengan inteligensi yang menonjol pada dirinya.

3) Guru perlu mengajar sesuai dengan inteligensi siswa, bukan dengan inteligensi dirinya sendiri yang tidak cocok dengan inteligensi siswa.

4) Dalam mengevaluasi kemampan siswa, guru perlu menggunakan berbagai model yang cocok dengan inteligensi ganda.

3. Pengaruh Teori Inteligensi Ganda Bagi Guru yang Mengajar Fisika

Untuk mengajar fisika, tentunya guru tidak hanya menggunkan matematis-logis saja tetapi dapat menggunakan cara yang bervariasi dengan menggunakan pendekatan teori inteligensi ganda. Guru perlu mengerti inteligensi siswa-siswanya dan bisa menerapkan cara pengajaran yang sesuai dengan inteligensi siswa. Untuk itu guru fisika perlu mengajar sesuai dengan inteligensi siswa sehingga diharapkan hasil belajar siswa dalam fisika menjadi lebih baik. Guru bukan hanya mengajar dengan

inteligensi yang menonjol pada dirinya tetapi perlu mengembangkan model mengajar fisika dengan berbagai inteligensi supaya siswa merasa senang dan dapat belajar dengan lebih baik.

4. Pengaruh Teori Inteligensi Ganda Bagi Siswa yang Belajar

Menurut teori inteligensi ganda, siswa dapat belajar dengan baik, memahami suatu materi bila disajikan sesuai dengan inteligensi mereka yang dominan. Untuk dapat membantu siswa belajar, pertama-tama siswa perlu dibantu untuk mengerti inteligensi mereka masing-masing. Selanjutnya, mereka dibantu untuk belajar dengan inteligensi yang kuat pada diri mereka. Dengan demikian, mereka dapat melihat kekuatan dan cara belajar yang mana yang cocok dan mana yang kurang. Segi yang kurang itulah yang nantinya perlu dibantu oleh guru (Suparno, 2004: 58).

Untuk membantu siswa belajar lebih baik, perlu juga bila materi pelajaran atau dalam penyusunan buku pelajaran memperhatikan berbagai model dan penjelasan inteligensi ganda. Buku dapat disajikan dengan berbagai cara dan pendekatan, misalnya dengan gambar berwarna, tabel, atau lagu yang sesuai, sejauh memungkinkan. Tentu semua ini bila mungkin, karena buku setiap bidang studi sering mempunyai kekhasan sendiri berdasarkan keilmuannya (Suparno, 2004: 59).

5. Pengaruh Teori Inteligensi Ganda Bagi Siswa yang Belajar Fisika

Dalam pembelajaran fisika, siswa sebaiknya beraktivitas melalui berbagai kegiatan nyata dan hal ini dapat dilakukan sesuai dengan inteligensi siswa yang kuat. Dalam belajar fisika, siswa bisa menggunakan inteligensinya yang kuat untuk belajar

karena fisika tidak hanya dapat dipelajari dengan matematis-logis saja. Misalnya aktivitas belajar yang dilakukan dengan praktikum secara berkelompok di laboratorium dapat membantu siswa yang berinteligensi kinestetik-badani dan interpersonal. Siswa ini dapat tahu lebih banyak dengan berdiskusi dan bekerjasama dengan temannya, selain itu siswa yang suka aktif bergerak mendapatkan pengalaman langsung melalui praktikum. Belajar fisika dapat pula dilakukan di lingkungan sekitar sekolah, hal ini dapat membantu siswa yang memiliki inteligensi lingkungan. Siswa ini akan merasakan bahwa belajar akan lebih menyenangkan karena dia dapat mengamati fenomena-fenomena alam secara langsung.

Dengan demikian belajar fisika tidak hanya menggunakan matematis-logis, tetapi bisa juga dengan menggunakan cara belajar berdasarkan inteligensi ganda sehingga siswa yang kuat dalam inteligensi selain matematis-logis dapat terbantu.

B. Belajar

1. Definisi Belajar

Gagne, dalam buku The Conditions of Learning (1977) menyatakan bahwa: “Belajar terjadi apabila suatu situasi stimulus bersama dengan isi ingatan mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga perbuatannya (performance-nya) berubah dari waktu sebelum ia mengalami situasi itu ke waktu sesudah ia mengalami situasi tadi” (Purwanto, 1998: 84)

Para ahli telah merumuskan dan membuat tafsiran yang berbeda-beda tentang belajar. Belajar merupakan suatu proses, suatu kegiatan dan bahkan suatu hasil dan tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, tapi yang lebih luas lagi adalah mengalami.

Hasil belajar juga bukan suatu penguasaan latihan, melainkan perubahan tingkah laku (Setiawan, 2006).

Faktor-faktor yang sangat erat hubungannya dengan proses belajar ialah: kematangan, penyesuaian diri/adaptasi, menghafal/mengingat, pengertian, berpikir, dan latihan. Namun kita harus dapat membedakan antara faktor-faktor tersebut dengan pengertian belajar itu sendiri (Purwanto, 1998: 86).

2. Hasil Belajar

a. Pengertian Hasil belajar

Robert Gagne (1974) meninjau hasil belajar yang harus dicapai oleh siswa dan juga meninjau proses belajar menuju ke hasil belajar dan langkah-langkah instruksional yang dapat diambil oleh guru dalam membantu siswa belajar. Menurut gagne, hasil belajar dimasukkan dalam lima kategori. Guru sebaiknya menggunakan kategori ini dalam mencapai tujuan instruksional dan penilaian (Djiwandono, 2002: 217).

Berikut lima kategori hasil belajar menurut Gagne (Dalam Djiwandono, 2002: 218) : 1) Informasi verbal

Informasi verbal ialah tingkat pengetahuan yang dimiliki seseorang yang dapat diungkapkan melalui bahasa lisan maupun tertulis kepada orang lain. Siswa harus mempelajari berbagai bidang ilmu pengetahuan, baik yang bersifat praktis maupun teoritis.

2) Kemahiran intelektual

Kemahiran intelektual (intellectual skill) menunjuk pada “knowing how”, yaitu bagaimana kemampuan seseorang berhubungan dengan lingkungan hidup dan dirinya sendiri.

3) Pengaturan kegiatan kognitif

Pengaturan kegiatan kognitif (kognitif strategy), yaitu kemampuan yang dapat menyalurkan dan mengarahkan aktivitas kognitifnya sendiri, khususnya bila sedang belajar dan berpikir. Orang yang mampu mengatur dan mengarahkan aktivitas mentalnya sendiri dalam bidang kognitif akan dapat menggunakan semua konsep dan kaidah yang pernah dipelajari jauh lebih efisien dan efektif, daripada orang yang tidak berkemampuan demikian.

4) Sikap

Sikap yaitu sikap tertentu seseorang terhadap suatu objek. Misalnya, siswa bersifat positif terhadap sekolah, karena sekolah berguna baginya. Sebaliknya, dia bersifat negatif terhadap pesta-pesta karena merasa tidak ada gunanya, hanya menbuang waktu dan uang saja.

5) Keterampilan motorik

Keterampilan motorik yaitu seseorang yang mampu melakukan suatu rangkaian gerak-gerik jasmani dalam urutan tertentu dengan mengadakan koordinasi antara gerak-gerik berbagai anggota badan secara terpadu. Misalnya, sopir mobil dengan terampil mengendarai kendaraannya, sehingga konsentrasinya tidak hanya pada kendaraannya, tapi juga pada arus lalu lintas di jalan.

b. Hasil Belajar Fisika

Gagne mengemukakan hasil belajar sebagai kapasitas atau kemampuan yang diperoleh dari proses belajar yang meliputi lima katagori hasil belajar, yaitu: 1). Informasi verbal, 2). Ketrampilan intelektual, 3). Ketrampilan kognitif, 4). Sikap atau nilai-nilai dan 5). Keterampilan motorik. Kelimanya tidak berdiri sendiri tetapi merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sebagai tujuan yang hendak dicapai, kelimanya harus nampak sebagi hasil belajar siswa di sekolah.

Berdasarkan uraian di atas, hasil belajar fisika berarti siswa dapat mengungkapkan pengetahuannya tentang fisika secara verbal maupun tertulis, dapat memahami konsep fisika, dapat menerapkan konsep fisika yang diperolehnya secara efektif dan efisien, dapat merasakan manfaat dari pengetahuan fisika yang diperolehnya untuk dirinya, dan terampil menggunakan fisika untuk memecahkan persoalan-persoalan dalam kehidupan sehari-hari.

C. Minat

1. Pengertian Minat

Minat adalah suatu landasan yang paling meyakinkan demi keberhasilan suatu proses belajar. Jika seorang siswa memiliki rasa ingin belajar, ia akan cepat dapat mengerti dan mengingatnya. Belajar akan merupakan suatu siksaan dan tidak akan memberi manfaat jika tidak disertai sifat terbuka bagi bahan-bahan pelajaran. Guru yang berhasil membina kesediaan belajar siswa-siswinya berarti telah melakukan hal yang terpenting yang dapat dilakukan demi kepentingan belajar murid-muridnya.

Sebab minat bukanlah sesuatu yang ada begitu saja, melainkan sesuatu yang dapat dipelajari (Singer, 1987: 78).

Minat termasuk faktor yang yang paling menentukan: anak-anak akan memperlihatkan suatu minat dengan jalan menyamakan dirinya dengan para orang dewasa. Jika orang tua merasa tertarik akan sesuatu, jika guru merasa senang akan

Dokumen terkait