• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Intertekstual

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.2 Landasan Teori

2.2.2 Teori Intertekstual

Teks secara etimologis berasal dari bahasa latin textus yang berarti tenunan, anyaman, penggabungan, susunan, dan jalinan (Ratna 2004:172). Menurut Luxembrug (1992:86) pengertian teks adalah ungkapan bahasa yang menurut isi, sintaksis, dan pragmatiknya merupakan satu kesatuan. Akan tetapi dalam praktek ilmu sastra, teks hanya dibatasi dalam bentuk tulis dengan maksud nilai kepraktisannya. Secara teori ungkapan bahasa lisan bisa disebut sebagai teks karena merupakan sebuah kesatuan. Sejalan dengan itu, Barried ( dalam Supriyanto 2008:6 ) mengemukakan bahwa teks adalah kandungan di dalam naskah, sesuatu yang bersifat abstrak. Mulyadi mengungkapkan (1994:3) bahwa teks adalah sesuatu yang terdapat di dalam suatu naskah. Senada dengan pendapat itu, Lubis (2001:30) mengatakan bahwa teks merupakan isi atau kandungan dari suatu naskah.

Pengertian lain tentang teks juga diutarakan oleh beberapa ahli bangsa. Teeuw mengungkapkan bahwa (1983:66) teks dalam pengertian umum adalah alam semesta, bukan hanya teks tertulis ataupun teks lisan,akan tetapi sebuah teks bisa berbentuk adat istiadat, kebudayaan, sastra, film, dan lain sebagainya. Senada dengan hal tersebut, Sukadaryanto (2008:6-3) mengemukakan bahwa teks merupakan sebuah kesatuan wacana. Dilihat dari bentuknya, sebuah teks tidak hanya berbentuk sebuah tulisan tetapi bisa berbentuk lisan. Teks dalam bentuk tulisan dapat diidentifikasi melalui karya-karya sastra seperti, novel, cerkak, puisi, dan sebagainya. Teks dalan bentuk lisan dapat ditemui melalui cerita rakyat, lagu dolanan anak, teks UUD tahun 1945 yang dibacakan dan lain sebagainya.

Berdasar dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa teks secara umum adalah jalinan atau kesatuan wacana di alam semesta ini baik tertulis maupun tidak tertulis. Secara khusus merupakan isi, kandungan, atau muatan dari suatu naskah.

Dinamika teks menurut paradigma Kristeva terletak dalam transformasi dari satu genre ke dalam genre yang lain, baik sebagai negasi, oposisi, sinis, lelucon dan parody, maupun sebagai apresiasi, afirmasi, nostalgia, dan jenis pengakuan-pengakuan estetis yang lain, yang secara keseluruhan berfungsi untuk menemukan makna-makna yang baru dan orisinal. Transformasi tidak terbats semata-mata dalam kerangka literer, tetapi juga meluas dalam karya seni yang lain. Dalam kerangka multikultural, aktivitas intertekstualitas berfungsi untuk membangkitkan kesadaran masa lampau, baik sebagai citra primordial maupun nostalgia, yang pada umumnya disebut sebagai teks pastiche (Ratna 2004: 182).

Pendapat-pendapat para ahli di atas memberikan petunjuk bahwa kelahiran suatu teks merupakan akibat dari hubungan antar teks yang membentuk suatu susunan atau kesatuan baik secara tertulis maupun tidak tertulis. Pendapat-pendapat tersebut juga mempertegas bahwa pengaruh yang ditimbulkan oleh hubungan antar teks terkait dengan lahirnya teks baru. Situasi ini dimungkinkan karena teks merupakan sebuah jalinan yang tidak bisa lahir tanpa teks lainnya. Pengaruh antara teks satu dengan teks lain ini merupakan penyebab lahirnya intertekstualitas.

Pengaruh yang ditimbulkan oleh sebuah teks terhadap karya sastra baru merupakan bukti adanya intertekstualitas dalam sebuah karya sastra. Pengaruh

tersebut tidak hanya ditimbulkan oleh teks dalam bentuk tulis. Timbulnya antar teks inilah yang menengarai hadirnya teori intertekstualitas dalam pengkritisian teks-teks cerita wayang gombal yang ada pada majalah berbahasa Jawa Jaya Baya.

Konsep intertekstualitas pada awalnya berasal dari aliran strukturalisme. Konsep intertekstualitas ini lantas dikembangkan oleh Julia Kristeva (dalam Teeuw 1984:145). Menurut Kristeva, “Setiap teks itu merupakan mosaic, kutipan-kutipan, penyerapan, dan transformasi teks-teks lain.” Pada prinsipnya setiap teks harus dipahami dengan latar belakang teks-teks lain yang mempengaruhinya karena tidak ada sebuah teks yang bisa berdiri secara mandiri. Teeuw (1983:65) mengemukakan bahwa sebuah karya sastra tidak lahir dalam kekosongan budaya. Lebih lanjut, ditegaskan bahwa karya sastra merupakan sebuah tanggapan terhadap karya sastra yang hadir sebelumnya. Adanya tanggapan tersebut memungkinkan sebuah karya sastra memperoleh makna yang lengkap jika dikontraskan dengan teks-teks yang mempengaruhinya. Hubungan antar teks ini akan mencitrakan makna kemandirian dari sebuah karya sastra baru terhadap karya sastra sebelumnya.

Serupa dengan hal tersebut, hubungan antar teks sesungguhnya terbentuk karena pengaruh yang ditimbulkan karena pengalaman pengarang terhadap referensi-referensi yang ditemui (Ratih 2001:136). Lebih lanjut, diterangkan pula tentang pengertian prinsip mosaik dari Kristeva bahwa suatu teks mengambil hal-hal yang bagus dari teks lain kemudian teks-teks tersebut diolah kembali sehingga tercipta suatu teks baru. Dengan demikian seorang pengarang memperoleh

gagasan, inspirasi, atau ide setelah membaca, melihat, meresapi, menyerap, mengutip bagian-bagian tertentu dari teks-teks ke dalam karya barunya tersebut. Riffaterre (dalam Teeuw 1983:64-65) juga mengemukakan bahwa karya sastra yang ditulis kemudian, biasanya mendasarkan diri pada karya lain yang telah ada sebelumnya, baik langsung maupun tidak langsung, baik dengan cara meneruskan maupun menyimpang dari konvensi.

Nurgiyantoro (1994:50) mengemukakan bahwa secara umum kajian intertekstual merupakan kajian terhadap sejumlah teks yang diduga memiliki bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya menemukan adanya hubungan unsu-unsur intrinsik seperti: ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan, gaya bahasa, dan lain-lain, diantara teks-teks yang dikaji. Secara khusus dapat dikatakan bahwa kajian interteks berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya di dalam karya yang muncul kemudian. Terkait dengan pendapat tersebut, jelaslah bahwa penciptaan terhadap karya sastra pasti tidak akan lepas dari hubungan latar belakang lingkungan penciptaan terhadap karya sastra tersebut. Jelas pula bahwa intertekstualitas merupakan jalinan hubungan antara teks satu dengan teks yang lain. Jalinan itu bisa berupa gagasan, kutipan, rujukan, ataupun inspirasi yang meneruskan atau menolak konvensi dari teks-teks sebelumnya.

Prinsip intertekstual memiliki dua fokus, sebagaimana dikemukakan Culler (dalam Nurgiyantoro 1998:17), yakni pentingnya teks yang terdahulu sebagai penyumbang kode yang memungkinkan lahir kembangnya ragam signifikasi. Teks atau karya yang telah ada sebelum karya sastra diciptakan

disebut teks hipogram. Dan karya sastra yang lahir kemudian disebut sebagai teks transformatif. Senada dengan hal tersebut, Hutomo, (1993:13) merumuskan sebagai unsur cerita (baik berupa ide, kalimat, ungkapan, peristiwa dan lain-lain) yang terdapat di dalam suatu teks sastra pendahulu yang kemudian (teks sastra yang dipengaruhinya).

Selanjutnya menurut Riffaterre (1978:5) pendekatan suatu karya sastra di satu pihak adalah dialektik antara teks dan pembaca, dan di pihak lain adalah dialektik antara tataran mimetik dan tataran semiotik. Lebih jauh Riffaterre menjelaskan bahwa pembaca sebagai pemberi makna harus mulai dengan menemukan arti (meaning) unsur-unsurnya, yaitu kata-kata berdasar fungsi bahasa sebagai alat komunikasi yang mimetik (mimetic function), tetapi kemudian harus ditingkatkan ke tataran semiotik, yaitu kode karya sastra harus dibongkar secara struktural (decoding) atas dasar signifinance, yang hanya dapat dipahami dengan kompetensi linguistik (linguistic competence), kompetensi kesastraan (literary competence), dan terutama dalam hubungannya dengan teks lain. Hal ini disebabkan oleh karena membaca karya sastra pada dasarnya adalah membina atau membangun acuan. Adapun acauan itu didapat dari pengalaman membaca teks-teks lain dalam sistem konvensi kesastraan. Dengan demikian suatu sajak (baca: karya sastra) baru bermakna penuh dalam hubungannya atau pertentangannya dengan karya sastra lain. Karya sastra lain yang menunjukkan hubungan antarteks yang menjadi acuannya disebut hipogram (hypogram).

Pendapat di atas menyimpulkan bahwa hipogram merupakan gagasan, ide, ataupun karya sebelumnya yang dijadikan dasar bagi penulisan karya yang baru.

Wujud penghipograman dapat diamati dari karya lain sesudahnya yang disebut sebagai teks transformasi. Endraswara (dalam Widyaretno 2005:18) mengemukakan bahwa wujud pengamatan itu bisa berupa penerusan atau pemerkuat, penyimpangan, atau pemberontakan konvensi, tradisi, atau pemutarbalikan isi dan amanat, serta bentuk formal struktural karya sastra sebelumnya.

Dokumen terkait