BAB I PENDAHULUAN
1.5 Teori dan Kerangka Konseptual
Penelitian dengan tema jenis ini dapat digolongkan bahwa, Mukim dapat dikhususkan dalam sejarah tatanan negara. Secara sederhana, Mukim Langsa memiliki kategori perubahan sistem pemerintah tradisional sampai pada bidang kewenangan dan fungsinya. Satuan pemerintah Mukim dalam sistem birokrasi diberi kewenangan dan fungsi tertentu dalam hukum dan adat. Mukim menyelenggarakan pemerintahannya serta berkoordinasi dengan lembaga yang ada di bawahnya. Namun perubahan ini dapat dipahami dalam waktu yang lama dan kompleks. Ketika sebuah kekuasaan pemerintahan berdiri, maka berbagai perubahan kewenangan bisa dilakukan untuk keuntungannya. Demikian pula yang berlaku pada masa kolonial Belanda.
Perubahan-perubahan sosial yang terjadi di dalam masyarakat dapat diketahui dengan cara membandingkan keadaan masyarakat pada waktu tertentu dengan periode belakangan. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat dapat dilihat melalui ketidaksesuaian antara unsur-unsur sosial yang ada pada masyarakat. Sehingga akan mengubah struktur dan fungsi dari unsur-unsur sosial masyarakat tertentu. Permasalahan selanjutnya yang akan dibahas dalam bab ini adalah modernisasi. Modernisasi merupakan persoalan-persoalan
yang berhubungan erat dengan pembagian kerja, aktivitas dalam mengisi waktu-waktu senggang dan sebagainya.
Selain terjadi perubahan secara perlahan, namun sebuah lembaga akan berdampak pada masyarakat sekitar. Satu diantarnya sejarawan sependapat, bahwa modernitas muncul sebagai akibat dari revolusi besar. Adanya pergeseran seperti revolusi di Amerika dan Perancis menyediakan landasan institusional politik modernitas. Demokrasi menjadi konstitusi berdasarkan kekuasaan yang berlandaskan hukum dan prinsip kedaulatan negara bangsa. Dampak perubahan birokrasi ini juga lahir secara historis dari berbagai revolusi di Eropa dengan menyediakan landasan ekonomi, berupa produksi industri oleh tenaga kerja bebas. Dengan didukung kawasan urban yang menyebabkan industrisme dan urbanisme, menjadi gaya hidup dan kapitalisme menjadi bentuk distribusi yang baru.34
Akan tetapi Weber berpendapat bahwa birokrasi itu bisa diterapkan dalam kondisi organisasi tertentu, dan apa yang membedakan kondisi tersebut dengan organisasi lainnya. Sebab, tipe ideal memberikan penjelasan kepada kita bahwa kita mengabstraksikan aspek-aspek yang amat penting dan krusial yang membedakan antara kondisi organisasi tertentu dengan lainnya. Ada cara dalam menciptakan ide yang ideal semacam itu.
34 Piotr Sztompka. “Sosiologi Perubahan Sosial” (Jakarta: Prenada Media Group 2011) hlm.82.
Masih menurut Weber, tipe ideal itu bisa dipergunakan untuk membandingkan birokrasi antara organisasi yang satu dengan organisasi yang lain di dunia ini. Perbedaan antara kejadian senyatanya dengan tipe ideal itulah justru yang amat penting untuk dikaji dan diteliti. Jika suatu birokrasi tidak bisa berfungsi dalam tipe ideal organisasi tertentu, maka kita bisa menarik suatu penjelasan mengapa hal tersebut bisa terjadi dan apa faktor-faktor yang membedakannya.35
Pada birokrasi lainnya, terjadi perombakan pada ikatan-ikatan tradisi.
Pada keadaan tertentu tersebut, maka kekuatan-kekuatan ini dapat memakai kekuatan militer mereka sendiri untuk menundukkan kekuasaan tradisonal.36 Situasi itu telah terjadi dalam lima revolusi besar yang menentukan masa depan Barat yaitu satu pada revolusi Italia, dua pada Revolusi Belanda, serta tiga pada Revolusi Inggris. 37
Sebuah teori tunggal tentang perubahan sosial hadir dalam dukungan itu semua. Munculnya asumsi atau pendapat-pendapat yang menyatakan bahwa, tak
35 Irfan Setiawan, Rekonstruksi Birokrasi Pemerintahan Daerah. (Jatinanggor: IPDN, 2014) hlm 35-36.
36 Max weber yakni seorang pakar modernisasi dunia berkembang membedakan jenis birokrasi modern dengan patrimonial. Jika pada birokrasi rasional lebih menitikberatkan pada unsur prestasi, maka pada birokrasi patrimonial justru sebaliknya yakni menekan pada ikatan-ikatan patriomonial (patrimonial ties) yang secara administrasi sebagai urusan pribadi dan kelompok. Secara lebih dapat menegaskan bahwa dalam birokrasi, terdapat individu-individu dan golongan penguasa berupaya mengontrol kekuasaan dan otoritas jabatan untuk kepentingan penguasa.
37 Stanislav Andreski, “Max Weber : Kapitalisme, Birokrasi, dan Agama”. (Yogyakarta PT Tiara Wacana Yogya.1989) hlm. 70.
ada suatu teori perubahan sosial yang didasarkan pada ketidakpahaman terhadap hakikat sistem-sistem sosial. Serta didorong perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya, tentu ada suatu variabel tunggal yang menggerakan. Terjadi perubahan dengan membawa ciri serta pola tunggal. Sebab, adanya asumsi-asumsi tersebut menimbulkan teori-teori monistis atau determinisme. Oleh karena tidak ada suatu teori yang tunggal mengenai struktur sosial, maka tidak ada alasan yang tepat untuk mengharapkan adanya teori tunggal tentang perubahan sosial.38
1.6 Kajian Sebelumnya
Kajian-kajian terdahulu sangat erat berkaitan dengan tujuan utama penelitian, apakah peneliti bermaksud untuk menjelasan hasil pengukuran suatu variabel apa adanya atau membandingkan antara aspek yang diteliti ataupun menghubungkan antara variabel. Penelitian biasanya diawali dengan ide-ide atau gagasan dan konsep-konsep yang dihubungkan satu sama lain melalui hipotesis tentang hubungan yang diharapkan. Ide-ide dan konsep-konsep untuk penelitian dapat bersumber dari gagasan peneliti sendiri dan dapat juga bersumber dari sejumlah kumpulan pengetahuan hasil kerja sebelumnya yang kita kenal juga sebagai literatur atau pustaka. Literatur atau bahan pustaka ini kemudian kita jadikan sebagai referensi atau landasan teoritis dalam penelitian.
Pemerintahan Aceh dibentuk berdasarkan Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik
38 Soerjono Soekanto. “Teori Sosiologi Tentang Perubahan Sosial”. (Jakarta : Ghalia Indonesia.1983) hlm. 40.
Indonesia Tahun 1945, mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syari’at Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi salah satu daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan Legalisasi Mukim.39
Beberapa buah karya yang membahas tentang Lembaga Mukim ataupun yang berkaitan dengan Langsa. Penulis tampilkan sebagai kajian terdahulu karena erat kaitannya dengan kajian ini. Beberapa kajian tersebut di antaranya:
1. Mukhlis, 2015. Perkembangan Mukim di Aceh. Hasil Pembahasan ini Menunjukan : Keberadaan Mukim di Aceh mengalami pasang surut dari masa ke masa sejak pada masa kesultanaan Aceh, masuknya pengaruh kolonial Belanda, Jepang pada masa kemerdekaan. Perkembangan politik dan pemerintahan yang ada pada masa tersebut menyebabkan lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan. Maka dari itu saya selaku penulis sangat tertarik ingin menulis tentang keberadaan Mukim yang ada di Langsa. Dalam tujuan penulisan ini bermanfaat sebagai catatan riwayat lembaga Mukim di Langsa, karena selama ini belum ada yang menulis tentang mukim Langsa hanya saja secara umum seluruh Aceh.
2. Afrizalwoy, 2014.“Relasi Pemerintahan Mukim dengan Gampong dalam Pelaksanaan Pemerintahan Daerah (studi penelitian di Mukim Meuko Kabupaten Aceh Barat dan Mukim Meuraxa Kota Banda Aceh)”. (Tesis
39 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Pascasarjana Unsyiah) Hasil Pembahasan ini Menunjukan : Qanun Pemerintah Aceh didefenisikan gampong atau desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung berada di bawah Mukim atau nama lain yang menempati wilayah tertentu, yang dipimpin oleh keuchik atau nama lain dan berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri.
3. Ahmad Muhajir, 2016. Industriasasi di Kota Langsa pada era Kolonial (dari kapitalisme negara ke Swasta, (1907-1942), Semarang: Tesis Program studi Ilmu Sejarah FIB Universitas Diponegoro Semarang Provinsi Jawa Tengah.
Hasil Pembahasan ini Menunjukan : Studi ini mengkaji eksistensi Langsa sebagai kota kolonial pada paruh pertama abad ke-20, yang difokuskan pada perkembangan kapitalisme di sektor industri dan hubungannya dengan pembangunan kota tersebut. Pemerintah kolonial didorong untuk mengembangkan kapitalisme melalui industrialisasi untuk mengakomodir kepentingan kapitalis swasta. Dahulu Rakyat Aceh Timur memiliki basis ekonomi tradisional pada pertanian lada namun hancur akibat perang dan kemudian digantikan oleh kapitalisme Belanda.
4. Mawardi. 2005. Menyadap Getah untuk Onderneming: Dinamika Sosial Ekonomi Buruh Perkebunan Karet di Aceh Timur, 1900-1939. Yogyakarta : Program Magister Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Hasil Pembahasan ini Menunjukan : kondisi sosial ekonomi buruh perkebunan karet di Aceh Timur dalam kaitannya dengan perubahan tingkat
eksploitasi perusahaan perkebunan tempat mereka bekerja antara tahun 1907-1939. Penelitian ini sangat penting artinya karena sampai saat ini masih belum ada satupun kajian tentang buruh perkebunan pada masa kolonial.
5. Kamaruddin, dkk. 2013. Model Penyelesaian Konflik Di Lembaga Adat. IAIN Ar-Raniry Aceh (Jurnal Volume 21, Nomor 1, Mei 2013). Hasil Pembahasan ini Menunjukan : Lembaga adat adalah mediasi tetapi pada tataran realitasnya menunjukkan ada perbedaan dalam prinsip dan prosedur macam-macam konflik yang sering terjadi dalam masyarakat Aceh dan melihat pola kerjasama yang dilakukan lembaga adat dalam menyelesaikan konflik serta siapakah di antara mereka yang paling dominan dalam menyelesaikan konflik.
Lembaga adat memainkan peran yang sangat signifikan dalam menyelesaikan konflik di kalangan masyarakat Aceh. Meskipun semua unsur lembaga adat terlibat dalam menyelesaikan konflik, pada tingkat gampong, keuchik telah menduduki peran yang sangat penting dan strategis.
6. Kabupaten Aceh Timur, 2010. Peranan Imeum Mukim terhadap Perencanaan Partisipatif Masyarakat Kemukiman Blang Siguci Kecamatan Idi Tunong Kabupaten Aceh Timur Provinsi Aceh. Hasil Pembahasan ini Menunjukan : Kedudukan Imeum Mukim diakui dan diberikan kedudukan sebagai koordinator Kepala Desa dan Kepala Kelurahan dan Lembaga Adat sepanjang yang menyangkut hukum adat, adat istiadat dan kebiasaan masyarakat.
Kemudian diperkuat lagi dengan dikeluarkannya Peraturan daerah Nomor 5
Tahun 1996 Tentang Mukim sebagai Kesatuan masyarakat adat dalam Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
7. Tim Penyusun Naskah Akademik Bagian Hukum Setdakab Aceh Timur.
2013. Naskah Akademik Rancangan Qanun Kabupaten Aceh Timur Tentang Pembentukan Mukim Matang Keupula Kecamatan Madat Kabupaten Aceh Timur. Hasil Pembahasan ini Menunjukan : Persetujuan Pembentukan Mukim Akibat Pemekaran Dalam Kabupaten Aceh Timur, sehingga nantinya diharapkan dapat menjadi sebuah alternatif baru untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dalam menuju Kabupaten Aceh Timur yang efektif dan efisien dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, sehingga dengan sendirinya dapat meningkatkan dan mengoptimalkan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Aceh Timur.
8. Agus Halim Wardana. 2013. Pengembalikan Kuasa Mukim Atas Sumber Daya Alam Di Aceh. Pembahasannya mengenai peraturan perundang-undangan nasional pada umumnya yang mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dan peran hukum adat dalam pengelolaan sumber daya alam. Pada masyarakat hukum adat mendapat jaminan dari Konstitusi Indonesia. Tidak hanya itu, masyarakat hukum adat berkedudukan sebagai subjek hukum yang berarti menjadi penyandang hak dan kewajiban. Salah satu hak tradisional dan merupakan hak bawaan yang penting yang dinamakan hak ulayat. Hak ini merupakan ekspresi kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam.
9. Muklis, M. Akmal, dan Aiyub yang berjudul Penataan Lembaga Mukim Dalam Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Studi di Kabupaten Aceh Besar Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam). Hasil Pembahasan ini Menunjukan : Lembaga Mukim telah berkembang di tengah-tengah masyarakat serta sekaligus merespons fungsi Lembaga Mukim ini.
Sebagai sistem kelembagaan yang mampu untuk menjalankan roda pemerintahan atau organisasi secara optimal, efektif, efisien dan bertanggungjawab.
10. Mahdi Syahbandir, 2014. Sejarah Pemerintahan Imeum Mukim Di Aceh (The History Of Imuem Mukim Governance In Aceh). Jurnal Ilmu Hukum No. 62, Th. XVI (April, 2014). Hasil Pembahasan ini Menunjukan : Pada masa Pemerintahan Kerajaan Aceh, dikenal ada empat (4) satuan pemerintahan yang berada di bawah Sulthan yaitu, Panglima Sagoe, Ulhee Balang, Imeum Mukim dan Keuchik. Imeum Mukim merupakan Pemimpin Mukim. Mukim adalah daerah teritorial yang merupakan gabungan dari beberapa Gampong yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu dan pemimpinnya disebut Keuchik. Keuchik merupakan pemerintahan terendah dalam sistem pemerintahan Kesultanan Aceh.
11. Kurniawan dalam tulisan yang berjudul Eksistensi Masyarakat Hukum Adat dan Lembaga-Lembaga Adat di Aceh Dalam Penyelenggaraan Keistimewaan dan Otonomi Khusus Di Aceh. Hasil Pembahasan ini Menunjukan : Eksistensi (kedudukan) masyarakat hukum adat dan lembaga-lembaga adat di Aceh
dalam penyelenggaraan keistimewaan dan otonomi khusus Aceh. Selain itu, menjelaskan tugas, fungsi, dan wewenang lembaga-lembaga adat yang ada di Aceh saat ini. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif (Legal Research). Keberadaan lembaga-lembaga adat di Aceh hakikatnya memiliki fungsi dan peran sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat.
12. Maya Zahara, 2015. Perkembangan Kota Langsa, Suatu Tinjauan Dalam aspek Ekonomi (1945-2013). Banda Aceh: Skripsi Program studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala Banda Aceh Provinsi Aceh. Hasil Pembahasan ini Menunjukan : Pada sisi lain perekonomian yang berkembang di wilayah Kota Langsa dapat kita ketahui bukan hanya dari perekonomian Pemerintahnya saja, tetapi perekonomian dalam masyarakat yang masih berkembang sampai saat ini. Dalam sejarah kota berkembang beberapa bidang garapan seperti berikut : pertama ialah perkembangan ekologi kota, yang kedua ialah transformasi sosial ekonomi dan ketiga ialah sistem sosial.
13. Septi Satriani dalam karangannya yang berjudul Dinamika Kelembagaan Mukim Era Otonomi Khusus Aceh, Hasil Pembahasan ini Menunjukan : Penggambaran Evolusi Mukim periode sebelum Orde Baru yang dilakukan guna memperlihatkan bagaimana hubungan yang terjalin antara negara dengan bentuk institusi lokal tersebut serta bagaimana strategi yang dijalankan. Pada bagian selanjutnya Mukim dibingkai dalam realita sekarang di bawah
peraturan perundangan No 11 Tahun 2006 sebagai peningkatan lembaga administratif dengan kondisi lokal yang menginginkan lebih dari sebelumnya.
Tulisan-tulisan di atas memberi kontribusi dalam penelitian ini namun sceara khusus penulisan ini ternyata pada kedudukan dan fungsi Mukim terutama pada kurun waktu 1906-1975 di Langsa. Seharusnya dalam tahapan penulisan tesis ini, kita sudah mengetahui tujuan alur cerita tentang kajian Mukim di Langsa sebelumnya, sebab kajian tentang pembahasan perubahan stuktur dan fungsi belum pernah dibahas pada kajian-kajian terdahulu. Maka dari kekurangan dari pembahasan itu, penulis memulai tahapan penulisan apa jadi kekeruangan dalam penelitian yang terdahulu.
Pada aparat pemerintahan itu, daerah Mukim yang dikepalai oleh seorang Ulèebalang maupun Ulama secara turun-temurun. Mukim merupakan kesatuan territorial yang paling tinggi antara federasi Gampong (Desa). Kendatipun para pemimpin Mukim secara nominal dahulu merupakan "bawahan" Uleebalang serta Sultan yang telah memberikan kepada mereka surat-surat pengangkatan ("sarakata") yang dibubuhi Cap Sikureueng (cap sembilan).
Seperti halnya di daerah-daerah lain di kepulauan Nusantara, di daerah Aceh pun kebijaksanaan pemerintah dijalankan dengan perantaraan aparat-aparat pemerintahan adat yang telah terbentuk secara turun-menurun.40 Penulis ingin berkontribusi dalam proses penulisan sejarah lokal, khususnya dalam penulisan
40 Piekaar, A.J. Aceh dan Peperangan dengan Jepang, Buku I, terjemahan Aboe Bakar, (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh,1977) hlm 5
tentang Mukim di Langsa. Pada tulisan ini akan dibahas 5 (lima) periodesasi perjalanan Mukim yaitu: Masa Kesultanan, Kolonial Belanda, Jepang, Orde lama dan Orde Baru.
1.7 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan untuk menyelesaikan tulisan ini yaitu menggunakan metode sejarah. Terdiri dari heuristik, kritik atau verifikasi, interpretasi atau penafsiran dan historiografi.41
1. Heuristik (Pengumpulan Sumber)
Heuristik diartikan sebagai tahap pencarian dan pengumpulan sumber-sumber berupa data-data dan materi yang bermuatan informasi sejarah ataupun evidensi (bukti) sejarah.42 Sumber-sumber primer diperoleh oleh peneliti dari Arsip Nasional Republik Indonesia. Dari penelusuran sumber arsip, dokumen, dan wawancara penelitian ini menempatkan tulisan berikut sebagai sumber primer. Heuristik yaitu tahap sebagai pengumpulan data yang dikumpulkan oleh penulis dari berbagai tempat.
Sumber data penelitian terbagi dua, yaitu sumber primer dan sumber sekunder.43 a) Sumber Primer
Sumber Primer yaitu berupa dokumen fisik yang mencakup: surat-surat keputusan resmi pejabat tinggi pemerintah, laporan-laporan resmi, surat-surat
41 Sugeng Priyadi, “Sejarah Lokal, Konsep Metode dan Tantangannya” (Yogyakarta: Ombak, 2012) hlm. 67.
42 Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2007), hlm. 86.
43 Etta Mamang Mangadji, “Metodologi Penelitian, Pendekatan Praktis dalam Penelitian”
(Yogyakarta: Andi, 2010) hlm. 44.
korespondensi pejabat, memori serah jabatan, lembaran negara, dsb. Perlu disinggung bahwa walaupun sumber primer yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah arsip-arsip kolonial Hindia Belanda, terlepas dari segala kelemahan dan sudut pandang eropasentrisme, bukan berarti penulisan sejarah akan berat sebelah.
Keberadaan arsip-arsip tersebut justru sangat membantu memberikan informasi yang objektif guna merekonstruksi sebuah peristiwa sejarah. Sumber-sumber kolonial dipakai dengan tujuan melengkapi kelangkaan sumber-sumber primer lokal atau sumber tradisional yang sangat sulit ditemukan.
b) Sumber Sekunder
Sumber sekunder merupakan hasil penelitian atau penulisan ulang dari sumber pertama. Sumber sekunder ini berupa informasi yang diberikan oleh orang yang tidak langsung mengamati atau orang yang tidak langsung terlibat dalam suatu kejadian, keadaan tertentu atau tidak langsung mengamati objek tertentu. Sumber tersebut sebagai landasan atau tambahan sumber untuk tulisan ini. Sumber-sumber sekunder dikumpulkan oleh penulis dengan mengunjungi beberapa perpustakaan seperti:
Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, Pusat dokumentasi dan Informasi Aceh.
Sumber yang diperoleh berupa buku, koran, jurnal dan lain sebagainya.
Selain itu, diperoleh juga salinan surat keputusan Bupati Aceh Timur dan surat permohonan Koordinator Pemerintahan di Aceh. Dalam tahap pengumpulan sumber yang dikumpulkan merupakan sumber-sumber sejarah yang banyak tersimpan di Langsa serta Dinas Perpustakaan dan Arsip Aceh yang satunya berada di Banda Aceh.
Pada umumnya sumber-sumber yang dicari dan dikumpulkan yang kemudian
dijadikan sebagai bahan informasi untuk penelitian ini terdiri dari dua golongan besar.
Selain itu, yang tergolong sumber sekunder dengan didukung data lainnya yaitu buku-buku terbitan sezaman maupun kontemporer dan karya ilmiah dari berbagai perguruan tinggi. Selain itu digunakan buku, laporan dan jurnal dalam bentuk digital website pendukung, di antaranya: acehbooks.org, library.leiden.edu, digitalcollections.anu.edu.au, ebooks.library.cornell.edu.
2. Verifikasi (Kritik Sumber)
Kritik sumber yaitu penilaian atau pengujian terhadap sumber-sumber yang telah dikumpulkan. Pada tahap ini dilakukan dua jenis kritik, yaitu ekstern dan intern.
Kritik ekstern dilakukan melalui pemeriksaan dan pengujian atas fisik sumber.
Pemeriksaan dilakukan terhadap keaslian sumber (autentisitas) berdasarkan usia sumber dan kecocokan dengan isi yang terdapat di dalamnya. Kemudian terhadap pembuat sumber berdasarkan latar belakang orang yang terlibat langsung ataupun sebagai saksi. Selanjutnya terhadap kelengkapan sumber berdasarkan ketersediaan lampiran penjelasan dan sejenisnya. Kritik intern dilakukan melalui pengujian terhadap isi sumber yang bertujuan mencari relevansi antar sumber-sumber sejarah dengan menggunakan analisis komparatif dari beberapa sumber lainnya, termasuk tingkat kelayakan sumber (kredibilitas) itu sebagai sumber informasi.
3. Interpretasi (Penafsiran)
Interpretasi atau penafsiran sering disebut sebagai bidang subjektivitas.
Menurut Kuntowijoyo, hal itu sebagian benar, tetapi sebagian salah. Benar, karena tanpa penafsiran sejarawan, data tidak bisa bicara. Sejarawan yang jujur akan
mencantumkan data dan keterangan dari mana data itu diperoleh sehingga orang lain dapat melihat dan menafsirkan ulang.44 Interpretasi meliputi dua macam, yaitu analisis dan sintesis. Analisis berarti menguraikan fakta dari sumber yang mengandung beberapa kemungkinan menjadi kesimpulan yang lebih mendekati objektivitas dan layak digunakan sebagai informasi sejarah oleh sejarawan yang menafsirkannya. Sintesis berarti menyatukan data-data yang dikelompokkan ke dalam suatu konsep yang diperoleh dari hasil informasi yang disintesiskan oleh sejarawan.
Secara sederhana, kritik dilakukan terhadap berbagai sumber, informasi-informasi dihimpun dalam suatu periode sejarah yang sedang diteliti. Penafsiran dilakukan terhadap fakta-fakta sejarah, kemudian diseleksi, disusun, dianalisis dan disintesiskan dalam urutan kronologi dan dalam konteks hubungan kausalitas.
Informasi hasil penafsiran itulah yang kemudian ditulis oleh sejarawan sebagai karya sejarah.
4. Historiografi (Penulisan Sejarah)
Historiografi merupakan suatu kegiatan penulisan hasil penelitian sejarah secara deskriptif-analitik, berdasarkan sistematika dan kronologi. Menulis sejarah sebagai suatu kegiatan intelektual merupakan suatu cara yang utama untuk memahami sejarah. Penulisan sejarah juga merupakan upaya rekonstruksi yang imajinatif terhadap masa lampau berdasarkan sumber yang diperoleh. Hasil akhir berupa karya historiografi sangat ditentukan oleh kemampuan imajinasi dan keterampilan yang dimiliki seorang sejarawan. Penulisan sejarah juga harus menggunakan bahasa dan
44 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013), hlm. 78.
ejaan yang baku, baik dan disempurnakan sehingga mudah dimengerti oleh pembaca dan tidak menimbulkan kesalahpahaman penafsiran.
Selain itu, dalam tulisan ini juga menggunakan metode pemikiran ini, bersifat deskriptif dan analisis. Dalam penelitian yang bersifat deskriptif bukan angka, namun data yang diambil adalah data berupa gejala-gejala, kejadian dan peristiwa yang kemudian dianalisis dalam bentuk kategori-kategori-katogori berupa data primer dan data skunder.45 Proses dan makna (perseptif subjek) lebih ditonjolkan dalam penelitian ini. Namun landasan teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus penelitian sesuai dengan fakta di lapangan. Sedangkan analisis, metode analisis data pendekatan dalam pengelohan data sumber yang terkumpul. Melalui pemilahan sumber yang sangat bermanfaat, untuk pemilihan bahan hasil penelitian. Karena, tidak semua sumber digunakan yang didapat dalam bahan kajian tahap penulisan tesis ini.
1.8 Sistematika Tulisan
Bab I sebagai Pendahuluan berisi uraian mengenai latar belakang, Fokus Penelitian, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Teori dan Kerangka Konseptual, Kajian Sebelumnya, Metode Penelitian, Sistematika Tulisan. Bab II. Berjudul Pemerintah
Bab I sebagai Pendahuluan berisi uraian mengenai latar belakang, Fokus Penelitian, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Teori dan Kerangka Konseptual, Kajian Sebelumnya, Metode Penelitian, Sistematika Tulisan. Bab II. Berjudul Pemerintah