• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERUBAHAN PEMERINTAHAN MUKIM DI LANGSA PADA ERA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERUBAHAN PEMERINTAHAN MUKIM DI LANGSA PADA ERA"

Copied!
188
0
0

Teks penuh

(1)

PERUBAHAN PEMERINTAHAN MUKIM DI LANGSA PADA ERA 1906-1975

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora Dalam Program Studi Magister Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara

Oleh M. ZAKIR NIM. 167050001

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(2)
(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

Studi ini bertujuan untuk mengkaji sejarah eksistensi Mukim di Langsa pada era Kolonial, 1906-1975. Mukim adalah lembaga pemerintah adat di Aceh yang telah lama berdiri dan memiliki otonomi sejak era Sultan Alauddin Mansyur Syah (1579-1586). Mukim terbentuk sebagai sebuah federasi dari gampong-gampong (kampung-kampung) yang letaknya berdekatan. Penelitian ini menggunakan metode sejarah dengan memanfaatkan berbagai sumber baik primer maupun sekunder. Penelitian ini mengupas tiga permasalahan, yaitu: (1) Bagaimana perubahan struktur dan fungsi lembaga Mukim di Langsa? (2) Bagaimana Mukim di Langsa mengalami perubahan kewenangan dalam bidang sosial dan keagamaan? dan (3) Bagaimana kemunduran lembaga Mukim di Langsa dalam tatanan pemerintah Aceh setelah diberlakukannya UU Nomor 5 Tahun 1974? Temuan penelitian ini meliputi: (1) Dalam perjalanan sejarahnya, Mukim mengalami perubahan baik dalam hal struktur maupun fungsi.

Pemerintah kolonial menjadikan Mukim sebagai pemimpin tunggal pemerintah tidak langsung. Syarat untuk menjadi kepala Mukim/Imuem Mukim adalah mendapat kepercayaan pemerintah kolonial, yakni dengan mempercayai Uleebalang sebagai pemimpin wilayah.

Mukim pada era pendudukan Jepang tetap dipertahankan. Hanya saja wewenang Mukim diberikan kepada orang-orang tertentu saja menurut kebijakan Jepang. Pada era awal Kemerdekaan Indonesia, Mukim diberlakukan untuk seluruh Aceh dan kedudukan Uleebalang dihapus dan digantikan oleh tokoh-tokoh agama. (2) Perubahan yang terjadi berpengaruh terhadap otonomi dan wewenang Mukim dalam kehidupan sosial dan keagamaan di Langsa. Mukim ini dipimpin oleh seorang Imeum (Imam) yang disebut sebagai Imuem Mukim. Dengan demikian Mukim juga memiliki unsur keagamaan Islam yang kuat sebagai pengayom masyarakat setempat. Hukum adat di Aceh tetap masih memegang peranan dalam kehidupan masyarakat. Mukim mampu untuk mengakomodir sepenuhnya hak asal-usul keistimewaan Aceh. (3) Pada era Orde Baru, Mukim kehilangan legalitasnya sebagai sebuah lembaga pemerintah adat. Meskipun Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 berusaha menghilangkan fungsi Mukim, keberadaan Imuem Mukim di Aceh masih tetap diakui dan berjalan menurut masyarakat.

Kata kunci: Mukim, lembaga adat Aceh, perubahan struktur dan fungsi Mukim.

(6)

ABSTRACT

This study aims to examine the history of Mukim in Langsa in the Colonial era, 1906-1975.

Mukim is a customary government institution in Aceh that has been established and has been autonomous since the era of Sultan Alauddin Mansyur Syah (1579-1586). Mukim is formed as a federation of gampongs (villages) that are located close together. This study uses historical methods by utilizing various sources both primary and secondary. This research examines three problems, namely: (1) What is the structure and function of the Mukim institution in Langsa? (2) How did Mukim in Langsa experience changes in authority in the social and religious fields? and (3) What was the decline of the Mukim institution in Aceh?

Government structure after the Enactment of Law Number 5 of 1974? The findings include:

(1) In the course of its history, Mukim experienced changes both in terms of structure and function. The colonial government made Mukim the sole leader of the indirect government.

The requirements of the head of Mukim / Imuem Mukim are the trust of the colonial government, namely by trusting the Uleebalang as the regional leader. Mukim in the era of Japanese occupation was maintained. It's just that Mukim's authority is given to certain people according to Japanese policy. In the era of the beginning of Indonesian independence, Mukim was implemented for all Aceh and the position of the Uleebalang was removed and replaced by religious figures. (2) Changes that affect the Mukim's autonomy and authority in social and religious life in Langsa. This Mukim is led by Imeum (Imam) called Imuem Mukim.

Thus Mukim also has a strong Islamic religious element as a protector of the local community.

Customary law in Aceh still plays a role in people's lives. Mukim is able to fully accommodate the origin of the privileges of Aceh. (3) During the New Order era, Mukim lost its legality as a traditional government institution. Although the Law Number 5 of 1974 is as much as possible to eliminate the functions of the Mukim, the existence of the Mukim Imams in Aceh is still recognized.

Keywords: Mukim, Aceh traditional institutions, changes in the structure and function of the Mukim.

(7)
(8)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Boleh Berhenti Sekolah, Tapi Jangan Berhenti Belajar.

“(Achmad Mustafa Bisri)”

Dipersembahkan untuk:

Ibunda dan Istri

(9)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbli’alamin. Puji syukur kepada Allah SWT atas nikmat yang tidak terbantahkan. Shalawat dan salam kepada Rasulullah Muhammad SAW yang telah membimbing ummatnya dalam risalah yang benar. Setelah pergulatan yang panjang, akhirnya tesis ini selesai melakukan penelitian juga walaupun meleset dari waktu yang seharusnya.

Tantangan, beban dan kesulitan dalam proses penelitian sejak akhir tahun 2017 hingga penulisan tesis ini selesai pada pertengahan tahun 2018, pelan- pelan telah terlewati setelah menguras waktu dan energi yang banyak. Bagi diri penulis, tesis ini merupakan pencapaian terbaik dalam produksi karya ilmiah dalam bidang Ilmu Sejarah. Tantangan terberatnya yaitu karena unit peristiwa sejarah yang diteliti mencakup periode kesultanan hingga orde baru dengan bekal kemampuan pengolahan arsip dan penguasaan bahasa Belanda yang seadanya. Selain itu, data-data mengenai kota kecil seperti Langsa dalam arsip kolonial dikumpulkan dengan penuh kesabaran.

Oleh karena itu, proses penulisan sejarah tetap diupayakan maksimal dengan penggunaan sumber-sumber sekunder yang sezaman. Namun berkat keyakinan dan kesabaran, tugas yang sebelumnya begitu asing menjadi lebih ringan karena dilalui dengan semangat petualangan dan kecintaan terhadap sejarah. Proses penulisan pada keilmuan itu tidak mudah, sebab butuh proses penyesuaian dari pendidikan guru ke pendidikan sejarawan profesional. Jika telah menjalaninya memang tidak mudah dilalui, karena harus mengejar ketertinggalan dan segala macam proses adaptasi keilmuan. Namun segala pencapaiannya sangat bermanfaat bagi peningkatan kapasitas diri penulis.

Tema dan judul tesis ini dipilih berdasarkan kerisauan terhadap penulisan sejarah lokal yang kurang produktif. Maka, penulis sebagai putra daerah terpanggil untuk memberi sumbangan kecil ini kepada tanah air. Di dalam karya ini pula terselip harapan semoga bisa bermanfaat mengisi kekurangan ilmu historiografi tentang

(10)

Langsa. Pada awalnya penulis bermaksud menempatkan lembaga Mukim di Langsa dalam kajian sejarah Pemerintah Lokal dengan perspektif sejarah sosial, namun hal itu sulit diwujudkan karena sejarah eksistensi Pemerintah Mukim itu sendiri sebagai tidak ditemukan.

Oleh karena itu, setelah melalui banyak pertimbangan, terutama setelah mencerna banyak masukan dari berbagai pihak, maka penulis pun memutuskan menggali sendiri kekurangan yang dimaksud dalam penulisan tugas akhir ini. Dengan harapan tesis ini akan menjadi pedoman dan patokan dasar pemahaman sejarah Mukim di Langsa bagi penelitian-penelitian yang akan penulis jalani di masa depan.

Tentunya dengan segala kekurangannya, sangat diharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak bagi kesempurnaan historiografi ini.

Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada banyak pihak yang memiliki andil selama proses penulisan tesis ini. Kepada Ayahda saya (Alm) Ibrahim Andib, Ibunda saya Rukiyah, Istri saya Inggit Tri Istiarmi Amd.ANKES,SKM, Abang Pertama saya Samsul Bahri ST, Abangda Kedua Saya Muhammad Nazir, Kakak Ipar dari Abang Pertama Yunika Puspitasari S,Pd, Ayah Mertua saya Sudarman, S.Pd, Ibu Mertua saya Pawarti, serta Pak Hamzah selaku Geuchik (Kepala Desa) Gampong Alue Pineung Timue yang paling berjasa dalam hidup penulis, paling pengertian dan memahami apa yang dihadapi, paling sabar, gudangnya doa, nasihat dan semangat yang mengalir serta selalu memberi dukungan materi dan doa. Keluarga yang penulis miliki panutan terbaik kalangan kiprah di masyarakat. Semoga Allah melimpahkan Rahmat-nya. Tidak lupa kepada sahabat dan pemberi izin Arsip utama yaitu Ahmad Muhajir, S.Pd, M.Hum yang selalu mendukung serta membantu karir penulis dari awal hingga akhir sidang tertutup.

Terima kasih kepada Bapak Dr. Suprayitno, M.Hum sebagai Dosen Pembimbing I dan Bapak Warjio, Ph.D Dosen Pembimbing II serta sebagai Dosen selama masa perkuliahan dan membimbing penulisan tesis ini. Banyak hal yang penulis serap dari beliau-beliau mengenai cara menulis sejarah yang benar,

(11)

membiasakan berpikir historis, sistematis, memahami sejarah yang metodologis, pendekatan keilmuan, mencermati tata bahasa, redaksional tulisan dan sebagainya.

Dukungan, motivasi dan kesabaran dari beliau selama membimbing telah membuka mata penulis yang dulu begitu kabur memandang sejarah sebagai ilmu.

Kepada seluruh dosen-dosen yang mengajari penulis selama masa perkuliahan di Program Magister Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya USU yang tidak bisa disebut satu per satu, penulis pun mengucapkan terima kasih atas ilmu dan bimbingannya.

Begitu pula dengan teman-teman seperjuangan kuliah pascasarjana Angkatan 2016 yaitu Idrus, Murni Wahyuni, Bayu Wicaksono, Halimah, Deni Hartanto, dan Zulham Siregar yang selalu ada hingga akhir waktu studi. Kepada kalian semua penulis ucapkan terima kasih atas hari-hari bersama adanya canda tawa, kekesalan, curhatan, dukungan dan saling mendoakan selama ini. Semoga kita semua sukses di masa depan.

Penulis telah berusaha dengan segala kemampuan yang ada untuk menyajikan yang terbaik dari tesis ini, namun penulis menyadari masih banyak kekurangan baik dari isi maupun penyajiannya. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan dan kesempurnaan tesis ini dimasa yang akan datang, semoga Tesis ini dapat bermanfaat.

Akhir kata hanya kepada Allah SWT penulis memohon dan hanya kepada Nya lah kami berserah diri atas segala dosa dan kesalahan, agar penulis menjadi orang yang sukses dan bertaqwa. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca. Amin yarabbal alamin. Wassalam

Medan, 10 Desember 2018

Penulis,

M. ZAKIR

(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL... ii

PERSETUJUAN ... iii

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ... vii

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR ISTILAH ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR BAGAN STRUKTUR ... xviii

DAFTAR SALINAN SURAT KEPUTUSAN...xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 11

1.3 Fokus Penelitian ... 11

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 12

1.5 Teori dan Kerangka Konseptual ... 13

1.6 Kajian Sebelumnya ... 16

1.7 Metode Penelitian ... 24

1.8 Sistematika Tulisan ... 28

BAB II MASA KESULTANAN, MASA KOLONIAL, DAN JEPANG... 30

2.1 Geografi, Topografi, Demografi, dan Bahasa di Langsa ... 31

2.1.1 Geografis ... 31

2.1.2 Topografi... 32

2.1.3 Demografis ... 39

2.1.4 Bahasa ... 43

2.2 Pemerintah Mukim Masa Kesultanan di Langsa ... 48

2.2.1 Langsa bagian dari Kesultanan Aceh Darussalam ... 51

(13)

2.2.2 Peranan Mukim masa Kesultanan ... 57

2.3 Pemerintah Mukim Masa Kolonial ... 59

2.3.1 Pemerintahan Kolonial Belanda di Langsa ... 60

2.3.2 Pemerintah Mukim Masa Kolonial Belanda ... 72

2.4 Masuknya Jepang di Langsa ... 81

BAB III PEMERINTAHAN MUKIM MASA ORDE LAMA TAHUN 1959-1966 ... 89

3.1 Peranan Mukim masa Revolusi Kemerdekaan, 1945-1959 ... 89

3.1.1 Penetapan Jabatan Imeum Mukim Pada Ulama ... 91

3.1.2 Kondisi Urusan Teritorial dan Militer Aceh Timur ... 97

3.2 Pemerintah Mukim Masa Orde Lama ... 105

BAB IV PERUBAHAN STRUKTUR PEMERINTAHAN MUKIM MASA ORDE BARU TAHUN 1966-1975 ... 122

4.1 Pemerintah Orde Baru di Langsa ... 122

4.1.1 Perkembangan Masjid Agung Darul Falah Langsa ... 124

4.2 Berakhirnya Pemerintah Mukim Masa Orde Baru... 128

BAB V PENUTUP... 147

5.1 Kesimpulan ... 147

5.2 Kritik dan Saran ... 150

DAFTAR PUSTAKA ... 152

LAMPIRAN 1 ... 159

LAMPIRAN 2 ... 160

LAMPIRAN 3 ... 161

LAMPIRAN 4 ... 162

LAMPIRAN 5 ... 163

LAMPIRAN 6 ... 160

(14)

DAFTAR ISTILAH

Adat Meukuta Alam : Naskah perundang-undangan masa Kesultanan Aceh Afdeling : Sebuah wilayah administratif pada masa pemerintahan

kolonial Hindia Belanda setingkat Kabupaten

Assisten Residen : Pemimpin Wilayah Afdeling (Setingkat Dengan Bupati) Aneuk Jamee : Suku yang mendiami sebagian pesisir Barat Selatan di Aceh Besluit : Memutuskan atau mengambil kesimpulan

Cap Sikureueng : Stempel Kesultanan Aceh Darussalam De Facto : Pengakuan berdasarkan kenyataan (factual) De Jure : Pengakuan terhadap suatu negara

Dekrit : Keputusan yang keluarkan otoritas sebagai tindakan Distrik : Wilayah atau Bagian

Formalisasi : berkaitan dengan pekerjaan dan organisasi distandardisasi Gampong : Desa atau kampung dalam bahasa Aceh

Geuchik : Sebutan Untuk Kepala Desa di Aceh Civiel Gouverneur : Gubernur Sipil

Hierarki : Urutan tingkatan atau jenjang jabatan Haria Peukan : Kepala Adat Perdagangan Pasar.

Keresidenan : Pembagian administratif dalam sebuah provinsi di Hindia Belanda (Indonesia) hingga tahun 1950-an.

Kadhi : Bagian Hukum Keujeureun : Kejuruan

Khanduri Moulud : Kenduri Maulid

Keujeuruen Blang : Kepala Adat Persawahan

Kompleksitas : Komponen pada tingkat diferensiasi yang ada organisasi Kontroleur : Kepala Kewedanan

Krueëng : Sungai

Kuco : Imuem Mukim (Bahasa Jepang)

(15)

Landschap : Negeri Swapraja

Imuem Mukim : Pimpinan/ Kepala Mukim Manggrove : Pohon Bakau

Meuligoe : Istana Sultan

Mukim : Kediaman dan daerah.

Nanggroe : Kenegerian

Pawang Glee : Kepala Adat Kehutanan Panglima Laoet : Kepala Adat Laut

Panglima Sagoe : Panglima Wilayah Mukim

Peutoeha Meunasah : Pimpinan bagian unsur Agama untuk tingkat gampong Peutoeha Rajeu : Unsur Pimpinan Meunasah Besar

Peutoeha Tjoet : Unsur Pimpinan Meunasah Besar Peutua Seuneubok : Kepala Adat Perkebunan

Prerogatif : Hak khusus atau istimewa yang diberikan kepada pimpinan Onderafdeeling : Suatu wilayah administratif setingkat kawedanan

Onderhoorigheden : Daerah Takluk

Regerings Reglement : Undang-undang hukum pidana bagi penduduk Eropa Sarakata : Surat yang di Keluarkan Oleh Sultan/Uleebalang Syahbanda : Kepala Adat Pelabuhan dan Sungai

Toeha Lapan : Dewan pengawasan Mukim, Sekarang Bappeda-nya Desa Toeha Peut : Dewan pengawasan Mukim, Sekarang BPD di Aceh Tengku Imuem : Kultur dan agama di tingkat gampong/desa

Traktat : Perjanjian antar bangsa

Teritorial : Mengenai bagian Wilayah suatu negara Uleebalang : Kepala Ke-nanggroe-an atau Kenegerian

(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Peta Mukim (Manyad Payed ) Toealang Tjoet, 1944 ... 155 Gambar 2. Peta Mukim Bajeun Langsa, 1944 ... 156 Gambar 3. Pembagian wilayah Mukim di Langsa, 1907 ... 157

(17)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Bahasa Yang Dipakai Masyarakat Setempat Dalam Berhubungan

Dengan Lainnya ... 45

Tabel 2 : Struktur Pemerintah Mukim masa Orde Lama ... 115

Tabel 3: Struktur Pemerintah Mukim masa Orde Baru ... 118

Tabel 4 : Perubahan Lembaga Mukim Dalam Sistem Pemerintah ... 158

(18)

DAFTAR BAGAN STRUKUR

Bagan Unsur/Struktur Pemerintah Mukim Masa Kesultanan ... 52

Bagan Struktur Pemerintah Mukim masa Kolonial ... 71

Bagan Struktur Pemerintah Mukim di Langsa setelah peleburan ... 71

Bagan Unsur/Struktur Pemerintah Mukim... 159

(19)

DAFTAR SALINAN SURAT KEPUTUSAN

Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kabupaten Aceh Timur

Nomor : 6873/5 Tentang Kedudukan Kepala Mukim Langsa Tunong... 164 Surat Keputusan Koordinator Pemerintahan Untuk Aceh di Kutaradja kepada

Gubernur Sumatera Utara Di Medan Nomor: 1445/UM/R Tentang Pekerjaan Kepala Mukim Langsa Tunong Di Langsa Daerah Tingkat II Kabupaten

Aceh Timur ... 166 Surat Permohonan Bupati Aceh Timur di Langsa, Surat Nomor : 2063/5,-

tanggal 27 Juni 1951 Tentang Kepala Mukim Langsa Tunong Koordinator

Pemerintahan Untuk Keresidenan Aceh ... 168 Surat Bupati Aceh Timur kepada Bapak Koordinator Pemerintahan untuk Aceh di Kutaradja Surat Nomor : 5002/5/Pgtertanggal 01 Desember 1951 tentang

Daftar surat-surat keputusan Bupati Aceh Timur di Langsa ... 169

(20)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mukim merupakan institusi pemerintah adat di Aceh yang telah lama berdiri secara otonom.1 Mukim merupakan sebuah federasi dari beberapa gampong2 (kampung) yang letaknya berdekatan. Dalam satu Mukim, biasanya terdapat minimal 8 (delapan) gampong. Pembentukan wilayah Mukim terkait erat dengan keberadaan untuk pengaturan kehidupan sosial (adat) maupun untuk kehidupan beragama (hukum) serta menjadi unit pemerintah lokal.3 Mukim dipimpin oleh seorang Imeum (Imam), yang disebutkan sebagai Imuem Mukim. Dengan demikian Mukim bertipikal agama yang mengayomi masyarakat. Namun, tidak menjadi keharusan di setiap Mukim harus memiliki masjid.

Pada masa kesultanan apabila seorang akan dinobatkan menjadi Imuem Mukim,4 ia wajib berasal dari unsur Teungku atau Ulama yang dipercayai oleh

1 Mukim adalah suatu istilah yang ada di Aceh, namun bila di cermati dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi II) Departemen Pendidikan dan kebudayaan & Balai Pustaka 1995 Siahaan Marihot hlm 670. Mukim (orang yang tetap tinggal di Mekah lebih dari satu masa haji) penduduk tetap tempat tinggal, kediaman, daerah (Lingkungan satu masjid). Jelaslah bahwa istilah mukim diawali dari kediaman dan daerah.

2 Gampong berarti kampung dalam bahasa Aceh.

3 Kehidupan sosial (adat) mempunyai hubungan tentang kehidupan beragama pada masyarakat Aceh, terbentuknya Mukim menjadi dasar bagi pelaksaan kewajiban untuk mendirikan shalat jumat diperlukan untuk itu kehadiran empat puluh (40) orang laki-laki yang telah dewasa.

4 Sebenarnya Pemerintah Mukim telah ada sejak masa Sultan Alauddin Mansyur Syah, sultan ini berhasil melakukan penataan pemerintah Mukim di Aceh. Selain dijadikan sebagai daerah kekuasaan Sultan di Aceh, daerah Langsa menjadi wilayah yang sangat dipertahankan di ujung timur Aceh yaitu Nanggroe (Negeri) Langsa dari otoritas lainnya. Strata pemerintah Mukim di Langsa, ketika

(21)

masyarakat. Untuk menentukan siapa yang layak untuk dipilih menjadi pimpinan Imuem Mukim, maka Sultan menggunakan hak prerogatif atau hak istimewa.5 Hak tersebut diberikan kepada Uleebalang (Kepala nanggroe atau negeri).6

Sifat kesetaraan jenjang pemerintah Mukim pada masa kesultanan setingkat wilayah kecamatan saat ini. Sebagaimana pada masa kesultanan yang memiliki wewenang, lembaga Mukim memiliki salah satu bidang dan urusan kultural dan struktural. Sebenarnya komposisi Mukim disatukan menjadi 3 (tiga) unsur yaitu unsur adat, unsur agama dan unsur dewan.7 Adapun bagian unsur Adat diperbantukan oleh Keujeuruen Blang pada Kepala Adat Persawahan, Peutua Seuneubok pada Kepala Adat Perkebunan, Panglima Laoet bertanggungjawab Kepala Adat Laut, Pawang Glee di Kepala Adat Kehutanan, Syahbanda di bagian Kepala Adat Pelabuhan dan Sungai, serta Haria Peukan sebagai Kepala Adat Perdagangan Pasar.

masa sultan Aceh Darussalam menjadi tingkatan 3 (tiga) yaitu Kesultanan, Nanggroe (Negeri), Pemerintah Mukim serta Gampong.

5 Prerogatif merupakan hak khusus atau istimewa yang diberikan kepada pimpinan atau penguasa suatu negara dan diberikan kepada seorang atau sekelompok orang, yang terpisah dari hak- hak masyarakat menurut hukum yang berlaku. Hal ini merupakan aspek umum dari hukum feodal atau kerajaan. Kata "prerogatif" dalam bahasa Latin diartikan hak lebih tinggi (diberi preferensi) dalam makna hukumnya.

6 Pengangkatan Uleebalang, ditandai dengan adanya surat Sarakata berstempel Kesultanan yang dikenal dengan nama Cap Sikureueng.

7 Pemerintahan Mukim dilaksanakan oleh tiga unsur. Pertama, unsur adat yang diwakili oleh imum mukim. Kedua, unsur agama yang diwakili oleh imeum masjid, ketiga, unsur dewan yang diwakili oleh tuha lapan. Meskipun ketiga unsur itu dipilah kewenangannya, namun dalam pengambilan keputusan diperlukan adanya persetujuan bersama. Pelaksanaan putusan dipresentasikan oleh Imeum Mukim, sehingga putusan yang diambil merupakan keputusan yang kuat karena merupakan keputusan semua unsur pimpinan yang mewakili masyarakat. Sebab itu pula dapat diperkirakan didukung oleh semua unsur yang ada dalam masyarakat. Majalah Ulu Masen terbitan Fauna & Flora International Aceh Programme, Edisi Agustus 2007.

(22)

Selanjutnya bagian unsur Agama untuk tingkat gampong dalam menjalani kelembagaan Peutoeha Meunasah (Pimpinan Meunasah) dikepalai oleh Peutoeha Rajeu atau Peutoeha Tjoet.8 Unsur dari dewan pengawasan, Mukim mempunyai mitra pengawasan yaitu Toeha Peut serta Toeha Lapan. Untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab kultural dan agama tersebut seorang Imuem Mukim berkoordinasi dengan Peutoeha Meunasah (Pimpinan Meunasah). Struktural (Pemerintah Lokal) Gampong dengan Geuchik (Kepala Desa). Peutua Adat maupun Tengku Imuem Meunasah adalah kultur dan agama di tingkat gampong/desa.

Keberadaan lembaga Mukim di Aceh, dari masa ke masa mengalami transisi perubahan secara perlahan. Satu diantaranya Tokoh Aceh Sultan Alauddin Mansyur Syah, telah berhasil menata Mukim dari pemerintah kultural ke struktural.9 Kedudukan beliau dinotbatkan menjadi Sultan, +23 (Dua Puluh Tiga) tahun sebelum Sultan Iskandar Muda menjadi Sultan Aceh Darussalam. Sehingga, secara struktur wilayah Mukim berada di bawah Nanggroe.10 Akan tetapi, sewaktu Aceh berada di

8 Lembaga Peutoeha Meunasah dipimpin oleh Peutoeha Rajeu atau Peutoeha Tjoet merupakan lembaga agama tingkat gampong.

9 Sultan Alauddin Mansyur Syah telah memerintah Aceh sejak tahun 1579 s/d tahun 1586.

Berpedoman pada naskah Qanun Syara’ Kesultanan Aceh Darusalam yang ditulis oleh Teungku di Mulek. Pada 1270 Hijriah, atau pada masa berkuasanya Sultan Alauddin Mansyur Syah (mulai memerintah pada Tahun 1257 H), dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keberadaan Mukim sebagai persekutuan gampong-gampong di Aceh mulai mendapatkan penataan sebagaimana mestinya ketika berkuasanya Sultan Alauddin Johan Ali Ibrahim Mughayat Syah atau sekitar Tahun 913 Hijriah atau 1507 Masehi. Dalam Pasal bab kedua, ayat dua, nomor sepuluh dari Qanun Syara’ Tahun 1270 Hijriah tersebut dinyatakan jumlah gampong atau meunasah dari sebuah Mukim. Teungku di Mulek adalah gelar dari Sayed Abdullah bin Ahmad Jamalullail, pada masa itu beliau menetap di Garut Keutapang Dua, Aceh Rayeuk. Lihat juga Abdullah Sani, Nilai Sastera Kenegaraan dan Undang- Undang dalam Qanun Syara’ Kesultanan Aceh. Ibid., hlm. 6.

10 Istilah ‘negeri’ digunakan untuk menyebut kata nanggròë atau nanggri dalam bahasa Aceh yang berarti daerah; tanah; dan negeri. Sama dengan istilah negeri dalam bahasa Melayu; nagori dalam

(23)

bawah pengaruh kolonial Belanda hingga masa Orde Baru, sehingga kedudukan institusi Mukim mengalami perubahan tatanan struktur dan fungsi.11 Perubahan terhadap lembaga Mukim pada tiap-tiap periode pemerintahan juga terjadi di Langsa.12 Pada saat itu, Mukim di bawah kendali Onderafdeeling Langsa13, sebab terjadi dampak peleburan wilayah Mukim di Langsa menjadi 4 (empat) Oeleebalang-tjoet- schappen (Uleebalang Kecil).14 Hal itu merupakan kebijakan dari dampak membuka perkebunan karet di sekitar Langsa dan sekitarnya. Kebijakan tersebut untuk memudahkan pengontrolan perkebunan.15

Perkembangan Mukim terjadi karena adanya sebuah dinamika politik nasional dan pemerintahan lokal yang ada pada masa itu, termasuk karena lahirnya berbagai

bahasa Batak; dan nagari dalam bahasa Minangkabau. Periksa J. Kreemer, Atjèhsch Handwoordenboek: Atjèhsch- Nederlandsch (Leiden: E.J. Brill, 1931), hlm. 192.

11 Setelah pemerintah kesultanan Aceh berhasil ditaklukan tahun 1906. Kemudian pemerintah kolonial Belanda mulai mengadakan perubahan tata kelola pemerintah. Kekuasaan uleebalang tetap dipertahankan dan dipaksa ditandatangani demikian juga terjadi Uleebalang Langsa. Dari perubahan Negeri diubah menjadi status Onderafdeeling, yang semulanya jumlah Mukim berjumlah enam (6) dileburkan menjadi (empat) 4 wilayah Mukim untuk kepentingan politik Belanda serta dampak perkebunan di wilayah Onderafdeeling Langsa.

12 Memang secara De Jure, Uleebalang diangkat dengan surat pengangkatan (Sarakata) dari sultan yang di bubuhi cap Sikureung. Sarakata ini dinilai tinggi bagi Kesultanan Aceh Darusslam.

13 Langsa yang merupakan daerah dikuasai kesultanan Aceh, pada awalnya memiliki 6 (enam) Mukim (1907) yaitu meliputi wilayah Bayeun Langsa, Birem Rajeu (Birem Rayeuk), Manja Pajet (Manyak Payed), Langsa lama, Langsa Toenong, dan Koeala Langsa). Akan tetapi masa kolonial ke 6 (enam) wilayah Mukim tersebut di Langsa dileburkan menjadi 4 (empat) yaitu Bayeun Langsa, Birem Rajeu (Birem Rayeuk), Manja Pajet (Manyak Payed), dan Langsa Tunong.

14 Mededeelingen van het Bureau voor de Bestuurszaken der Buitenbezittingen Bewerkt door het Encyclopaedisch Buraeu de Buitenbezittingen, Deel II, Aflevering 2. Atjeh en Onderhoorigheden, 1917, hlm. 74-75.

15 Untuk memudah kontrolnya perkebunan, maka di wilayah Mukim Langsa dileburkan menjadi satu serta dibentuk pemerintah yang baru.

(24)

undang-undang yang baru.16 Wilayah Afdeeling Aceh Timur dipusatkan menjadi perekonomian kolonial dan menunjuk seorang pegawai Kolonial Belanda sebagai Assisten Resident yang berkedudukan di Langsa.

Langsa menjadi kepentingan kolonial sebagai pusat wilayah administrasi serta wilayah industrialisasi kolonial. Pemerintah kolonial Belanda berhasil mempengaruhi pemerintah lokal untuk menjadi pemerintah tak langsung untuk kepentingan mereka (Belanda). Tatanan lembaga Mukim terkena imbas dari kebijakan yang dikeluarkan pihak kolonial. Akan tetapi adanya kolonial mengatur serta menempatkan orang- orang kepercayaan kolonial pada posisi yang strategis untuk wilayah Mukim.

Sementara itu Imeum Chik (Teungku) serta Uleebalang mengalami persaingan kepemimpinan sehingga keberhasilan kolonial memindahkan kekuasaan dari pemimpin agama menjadi pemimpin wilayah berjalan mulus.

Pada tanggal 1 Januari 1916 Kolonial Belanda di Bagian Pantai Timur Aceh (Afdeeling Oostkust van Atjeh) mencoba mengubah salah satu sistem tata pemerintah yang bersifat lokal. Pemerintah Mukim yang ada hanya dibagi menjadi bagian kecil seperti Oeleebalang-tjoet-schappen (Uleebalang Kecil).17 Sementara pemerintah Mukim di Langsa di bawah kendali pemerintahan Assisten Residen dari pantai Timur

16 Mukhlis, Perkembangan Mukim di Aceh. (Banda Aceh : Jurnal Nanggroe ISSN 2302-6219 Volume 4 Nomor 2 Agustus 2015) hlm. 2.

17 Mededeelingen van het Bureau voor de Bestuurszaken der Buitenbezittingen bewerkt door het Encyclopaedisch Buraeu de Buitenbezittengen, Deel II, Aflevering 2. Atjeh en Onderhoorigheden, 1917, hlm. 74.

(25)

Aceh, yang ditetapkan berdasarkan Staatsblad No. 401 tahun 1908 yang menyatakan bahwa Mukim di Langsa berdiri secara mutlak. Berdasarkan ketetapan tersebut maka perencanaan awal pusat administrasi Afdeeling Aceh Timur ditetapkan di Bayeun.18 Pada tahun 1908, perencanaan semula yang akan didirikan di Bayeun dibatalkan.

Sehingga pusat administrasi dipindahkan ke Langsa, karena tak memungkinkan untuk pengembangan sebuah kota.19

Onderafdeeling Langsa pada akhirnya berada di bawah kendali Pemerintah Gubernur Militer dan Sipil Belanda. Melalui salinan tertulis dari pemerintah kolonial, Langsa dibagi ke dalam beberapa bagian wilayah. Secara resmi surat keputusan yang ditandatangani pada tanggal 30 Maret 1931 dengan Nomor: 53 /P.2.1931 tentang pembagian wilayah Onderafdeeling Langsa, dibagi ke dalam wilayah Manja Pajet (Manyak Payed), Langsa Tunong, Birem Rajeu (Birem Rayeuk), dan Bayeun.20 Wilayah Langsa Tunong adalah salah satu wilayah yang dipimpin oleh Imuem Mukim yaitu Teuku Raja Muhammad Ali (Pj).

Pada masa kolonial Belanda, pemerintahan Mukim tetap diakui dalam sistem pemerintahan tradisional di Aceh. Melalui Besluit van Gouverneur Generaal van

18 Bayeun Langsa dulu yang dimaksud adalah di gampong Aramiah, namun wilayah ini terdiri dari wilayah tambak dan rawa-rawa tak mungkin untuk mengembangan sebuah wilayah pemerintah, maka perencanaan tersebut dibatalkan sehingga dipindahkan ke wilayah Langsa Toenong.

19 Penetapan Bayeun pusat pemerintah Afdeeling Aceh Timur didasari adanya pusat pendidikan Dayah Zawiyah Cot Kala, ketika kolonial peninjaun lokasinya mengubah perencanaan tersebut tak memungkinkan kondisi topologi daerahnya.

20 O Treffers. Bestuurmemories tevens Memorie van Overgave van den Controleur der Onderafdeeling Langsa, 1934, hlm 3.

(26)

Nederland Indie Nomor 8 tanggal 18 Nopember 1937,21 Pemerintahan tersebut diatur secara khusus. Memasuki pemerintah Jepang berkuasa, maka kedudukan Mukim tetap dipertahankan.22 Akan tetapi namanya disesuaikan dengan bahasa Jepang yaitu “KU”

dan Imuem Mukim disebut “Kuco”.23 Perubahan nama Mukim tersebut, bertujuan agar para Imuem Mukim tetap loyal terhadap Pemerintahan Jepang.24 Imuem Mukim tetap diakui berdasarkan Osamu Sairei Nomor 7 Tahun 1944.25

Setelah Indonesia merdeka ada beberapa hal yang menyangkut ketentuan- ketentuan tentang Pemerintah Mukim tetap diberlakukan, yaitu berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi:

Semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar dan belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini. Untuk mempertahankan kedudukan Kemukiman dalam struktur pemerintahan desa/Gampong, Keresidenan Aceh mengeluarkan Peraturan Keresidenan Aceh Nomor 2 dan Nomor 5 Tahun 1946, yang menurut kedua peraturan tersebut, Pemerintahan Mukim diberlakukan untuk seluruh Aceh. Namun disisi lain kedudukannya tidak lagi

21 Mahdi Syahbandir. “Sejarah Pemerintahan Imeum Mukim Di Aceh” (The History Of Imuem Mukim Governance In Aceh), (Banda Aceh: Qanun Jurnal Ilmu Hukum No. 62, Th. XVI (April, 2014), pp. 1-17 2014) hlm. 1-2.

22 Pemerintah Jepang berhasil mengakunsisi Mukim, sebelum pada masa belanda beranda dibawah Uleebang. Akan tetapi pemerintah Jepang berhasil mengembalikan Mukim ke Ulama. Dengan memainkan politik dan Agama menjadi satu tujuan dalam penguasaan wilayah yang diperlukan oleh jepang.

23 Pada masa penjajahan Jepang Pemerintahan Imeum Mukim juga tetap diakaui keberadaannya dengan diatur dalam Osamu Seirei Nomor 7 Tahun 1944. Berdasarkan peraturan tersebut Mukim diubah namanya menjadi “Ku” dan Imuem mukimnya disebut “Kuco”.

24 Mahdi Syahbandir. “Sejarah Pemerintahan Imeum Mukim Di Aceh” (The History Of Imuem Mukim Governance In Aceh), (Banda Aceh : Qanun Jurnal Ilmu Hukum No. 62, Th. XVI (April, 2014), pp. 1-17 2014) hlm. 2.

25 Mukhlis. “Perkembangan Mukim di Aceh” Jurnal (Nanggroe ISSN 2302-6219 Volume 4 Nomor 2 Agustus 2015), hlm. 21.

(27)

berada di bawah Uleebalang,26 sedangkan lembaga ini sudah dihapus dengan kedua peraturan tersebut di atas. Sebab lembaga tersebut berada di bawah camat dan membawahi beberapa gampong.27

Selanjutnya peralihan UUD 1945 berlaku untuk semua wilayah Aceh, termasuk Langsa. Pemerintahan Mukim di bawah Uleebalang telah dihapus dengan peraturan tersebut. Setelah Indonesia merdeka, maka status wilayah peninggalan Mukim yang awalnya di bawah Onderafdeeling Langsa dinaikan statusnya menjadi wilayah Kecamatan pada tahun 1949. Dengan demikian keberadaan Mukim ada di bawah camat, akan tetapi di atas gampong sebagai unit pemerintahan. Wilayah tersebut meliputi 3 (Tiga) kecamatan: Langsa, Manyad Payed, dan Rantau Selamat (wilayah Birem Rayeuk).28

26 Sejauh ini pengertian Uleebalang masih memunculkan beragam pendapat. (a).

Uleebalang adalah gelar yang diberikan kepada kepala atau panglima balatentara yang menunjukkan, bahwa dalam peperangan ia harus bertindak selaku kepala untuk memimpin pasukan-pasukan bersenjata di dalam daerah gabungan Mukimnya. Lihat K.F.H. Van Langen, Susunan Pemerintahan Aceh Semasa Kesultanan, Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 2002, hlm. 13. (b).

Definisi lain mengenai uleebalang adalah yang dipertuan dinegeri masing-masing dan merupakan kepala wilayah par excellence, maka disebut Raja dari wilayah masing-masing. Snouck juga menambahkan makna uleebalang adalah panglima tentara. Lihat Snouck Hurgronje, Aceh Di Mata Kolonialis, Jakarta:Yayasan Soko Guru, 1985, hlm. 99. (c). Pendapat lain mengatakan uleebalang adalah kepala pemerintahan daerah sendiri otonom dan pemangku hukum adat di daerahnya. Dan beliau menyangkal pendapat yang mengatakan uleebalang adalah kepala laskar. Lihat A.K. Jakobi, Aceh Dalam Perang Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 1945-1949 Dan Peranan Teuku Hamid Azwar Sebagai Pejuang, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1998, hlm. 39. (d). Selain itu definisi uleebalang adalah penguasa lokal yang memerintah secara tradisional di Aceh hingga 1946.

Lihat Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997, hlm. 540. Terlepas dari semua pendapat tersebut yang dimaksud penulis mengenai pengertian uleebalang di sini adalah sebagai kepala-pemimpin nanggroe yang otonom karena fungsi mereka selanjutnya bukan hanya sebagai panglima perang saja melainkan menjadi penguasa di segala bidang.

27 Peraturan Keresidenan Aceh Nomor 2 dan Nomor 5 Tahun 1946.

28 Ketiga wilayah mukim pada saat ini telah terpisah menjadi tiga wilayah kabupaten kota yang meliputi kecamatan Langsa (Kota Langsa), Manyad Payed (Kabupaten Aceh Tamiang), dan Rantau Selamat (Kabupaten Aceh Timur).

(28)

Pengalihan status Mukim yang silih berganti kepemimpinan di bawah Uleebalang dan unsur Teungku atau Ulama setelah sekian lama akunsisi kekuasaan lembaga tradisional. Tidak lain dan bukan penuh dinamika masa perjalanan periodesasinya, sehingga dimana masa pasca Revolusi Kemerdekaan baru aturan Mukim dibuat dengan dilakukan pemilihan secara musyawarah. Selama masa Kesultanan, Kolonial Belanda dan Jepang, silih berganti kepemimpinan melalui sistem penunjukan penguasa masa itu.29

Memasuki masa Orde Baru, barulah dinamika besar hadir di Lembaga yang telah lama berdiri. Hanya berjarak delapan tahun sejak tahun 1966 berganti Rezim baru pada masa itu. Legitimasi Mukim seketika hilang secara legalitasi menghilangkan fungsi mukim dan gampong tersebut di Aceh.30 Prosesnya masih tetap diakui dan berjalan, ketika Pemerintah Presiden Suharto turunnya peraturan baru yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pemerintah Daerah dan Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.31

Pada saat pemerintah pusat mengeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 yang menyatakan penyetaraan tingkat desa sebagai penyeragaman nama. Tidak ada lagi perbedaan dalam penyebutan pada tingkat desa maupun kelurahan seluruh

29 Perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat dapat dilihat melalui ketidaksesuaian antara unsur-unsur sosial yang ada pada masyarakat. Sehingga akan mengubah struktur dan fungsi dari unsur-unsur sosial masyarakat tertentu.

30 Kehilangan wewenang mukim, seolah-olah pemerintah tidak kompromi dulu sebelum turunnya undang-undang baru.

31 Presiden Suharto melalui Menteri dalam Negeri mengelurkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa

(29)

Indonesia. Mukim terkena dampak tersebut sehingga kedudukan Mukim di Aceh dihapuskan. Akan tetapi Mukim masih tetap diakui oleh masyarakat Aceh, terutama untuk urusan agama dan hukum.32 Keberadaan Imeum Mukim diperkuat kembali dengan surat keputusan Bupati Nomor 1 Tahun 1977 tentang susunan pemerintahan di daerah pedesaan Aceh Besar.33 Berdasarkan keputusan bupati tersebut, maka Imeum Mukim masih memiliki tugas seperti sebelumnya.

Sebagai lembaga yang sudah lama berdiri di Aceh, tentu saja kajian tentang lembaga Mukim ini sudah ditulis dari berbagai disiplin ilmu seperti Ilmu Hukum, Ilmu Adminitrasi Negara dan Ilmu Sejarah. Akan tetapi kajian tersebut dilakukan secara umum, sementara lembaga Mukim khusus di Langsa yang dibahas secara luas masih belum ada. Terlebih lagi perkembangannya pada beberapa periode pemerintahan sejak masa kesultanan Aceh, pemerintah kolonial, hingga Indonesia merdeka.

Periodesasi yang di bahas dalam tulisan ini ialah perjalan dinamika Mukim yang ada di Aceh, khusunya di Langsa. Satu diantaranya lembaga yang menjadi kepentingan penguasa pada saat Aceh silih berganti kepemimpinannya. Terkait dengan perkembangannya, tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan politik dan pemerintahan lokal yang ada pada masa tersebut menyebabkan lahirnya berbagai

32 Meskipun dengan dikeluarkannya Undang-undang pada saat itu, dengan berusaha menghilangkan fungsi mukim dan gampong tersebut di Aceh masih tetap diakui dan berjalan. Hukum adat di Aceh masih tetap memegang peran dalam kehidupan masyarakat.

33 Keputusan Bupati tersebut menjadi sebuah landasan hukum (legal formal) bagi Keberadaan Imeum Mukim khusunya di Aceh Besar. Namun dengan diberlakukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, mengakibatkan pemerintahan Imeum Mukim tidak lagi dakui sebagai pemerintahan formal di Aceh.

(30)

peraturan perundang-undangan. Maka dari itu keberadaan Mukim yang ada di Langsa menjadi kajian menarik dalam penulisan ini. Tujuan tersebut digunakan sebagai catatan riwayat keberadaan lembaga Mukim untuk menjadi kajian khusus bagi wilayah Langsa.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana perubahan struktur dan fungsi pada pemerintah Mukim di Langsa.

2. Bagaimana Mukim Langsa mengalami perubahan kewenangan dalam bidang sosial (adat) dan keagamaan (hukum).

3. Bagaimana kemunduran Pemerintahan Mukim di Langsa dalam tatanan pemerintahan Aceh setelah dikeluarkan UU Nomor 5 Tahun 1974.

1.3 Fokus Penelitian

Kajian mengenai Mukim sangat menarik untuk dikaji, karena keberadaan lembaga Mukim di Langsa mengalami perubahan dari masa kolonial Belanda sampai masa Orde Baru. Perubahan-perubahan itu terjadi pada struktur, sistem dan fungsi Mukim. Banyaknya studi tentang Mukim tentunya menambah pengetahuan penulis untuk menerangkan lembaga Mukim. Dalam konteks ini penulis akan memfokuskan secara khusus pada penelitian Pemerintahan Mukim di Langsa. Pada perubahan yang menarik dari pemerintah Kultural ke Struktural di Aceh.

Tahun 1906 dipilih sebagai temporal awal masuknya dan berkuasanya Kolonial Belanda di Langsa. Dengan adanya sebuah perkembangan politik dan pemerintahan lokal menyebabkan pergeseran ikatan sistem hukum pengaturan instusi Mukim. Sementara tahun 1975, dimana status hukum Mukim dihapuskan akibat

(31)

dampak Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, sehingga adanya persamaan Desa seluruh Indonesia di masa Orde Baru.

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan Penelitian ini adalah sebagai berikut

1. Menganalisis kedudukan wilayah Mukim di Langsa dari berbagai zaman, sejak masa kesultanan hingga Indonesia merdeka khususnya Orde Baru.

2. Menganalisis perubahan kewenangan terhadap kehidupan sosial dan budaya serta hukum keagamaan di Langsa pada wilayah Mukim.

3. Mengetahui pemerintahan Mukim di Aceh, khususnya Langsa, yang kehilangan legalitas setelah dikeluarkan UU Nomor 5 Tahun 1974 pada masa Orde Baru.

Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Dalam bidang ilmu sejarah untuk menambah referensi dan khasanah kajian tentang sejarah pemerintah lokal di Indonesia, khususnya Aceh.

2. Bagi masyarakat umum, penelitian ini diharapkan dapat memberi pengetahuan baru tentang lembaga Mukim Langsa mulai dari perkembangan wilayah, perubahan fungsi hingga penetapannya sebagai lembaga pemerintahan di Aceh yang menjelaskan betapa kuatnya lembaga lokal yang pernah ada sebelum masuknya kolonial.

(32)

3. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi lebih lanjut dan masukan terhadap dampak perkebunan terhadap keberadaan lembaga Mukim di Langsa.

1.5 Teori dan Kerangka Konseptual

Penelitian dengan tema jenis ini dapat digolongkan bahwa, Mukim dapat dikhususkan dalam sejarah tatanan negara. Secara sederhana, Mukim Langsa memiliki kategori perubahan sistem pemerintah tradisional sampai pada bidang kewenangan dan fungsinya. Satuan pemerintah Mukim dalam sistem birokrasi diberi kewenangan dan fungsi tertentu dalam hukum dan adat. Mukim menyelenggarakan pemerintahannya serta berkoordinasi dengan lembaga yang ada di bawahnya. Namun perubahan ini dapat dipahami dalam waktu yang lama dan kompleks. Ketika sebuah kekuasaan pemerintahan berdiri, maka berbagai perubahan kewenangan bisa dilakukan untuk keuntungannya. Demikian pula yang berlaku pada masa kolonial Belanda.

Perubahan-perubahan sosial yang terjadi di dalam masyarakat dapat diketahui dengan cara membandingkan keadaan masyarakat pada waktu tertentu dengan periode belakangan. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat dapat dilihat melalui ketidaksesuaian antara unsur-unsur sosial yang ada pada masyarakat. Sehingga akan mengubah struktur dan fungsi dari unsur- unsur sosial masyarakat tertentu. Permasalahan selanjutnya yang akan dibahas dalam bab ini adalah modernisasi. Modernisasi merupakan persoalan-persoalan

(33)

yang berhubungan erat dengan pembagian kerja, aktivitas dalam mengisi waktu- waktu senggang dan sebagainya.

Selain terjadi perubahan secara perlahan, namun sebuah lembaga akan berdampak pada masyarakat sekitar. Satu diantarnya sejarawan sependapat, bahwa modernitas muncul sebagai akibat dari revolusi besar. Adanya pergeseran seperti revolusi di Amerika dan Perancis menyediakan landasan institusional politik modernitas. Demokrasi menjadi konstitusi berdasarkan kekuasaan yang berlandaskan hukum dan prinsip kedaulatan negara bangsa. Dampak perubahan birokrasi ini juga lahir secara historis dari berbagai revolusi di Eropa dengan menyediakan landasan ekonomi, berupa produksi industri oleh tenaga kerja bebas. Dengan didukung kawasan urban yang menyebabkan industrisme dan urbanisme, menjadi gaya hidup dan kapitalisme menjadi bentuk distribusi yang baru.34

Akan tetapi Weber berpendapat bahwa birokrasi itu bisa diterapkan dalam kondisi organisasi tertentu, dan apa yang membedakan kondisi tersebut dengan organisasi lainnya. Sebab, tipe ideal memberikan penjelasan kepada kita bahwa kita mengabstraksikan aspek-aspek yang amat penting dan krusial yang membedakan antara kondisi organisasi tertentu dengan lainnya. Ada cara dalam menciptakan ide yang ideal semacam itu.

34 Piotr Sztompka. “Sosiologi Perubahan Sosial” (Jakarta: Prenada Media Group 2011) hlm.82.

(34)

Masih menurut Weber, tipe ideal itu bisa dipergunakan untuk membandingkan birokrasi antara organisasi yang satu dengan organisasi yang lain di dunia ini. Perbedaan antara kejadian senyatanya dengan tipe ideal itulah justru yang amat penting untuk dikaji dan diteliti. Jika suatu birokrasi tidak bisa berfungsi dalam tipe ideal organisasi tertentu, maka kita bisa menarik suatu penjelasan mengapa hal tersebut bisa terjadi dan apa faktor-faktor yang membedakannya.35

Pada birokrasi lainnya, terjadi perombakan pada ikatan-ikatan tradisi.

Pada keadaan tertentu tersebut, maka kekuatan-kekuatan ini dapat memakai kekuatan militer mereka sendiri untuk menundukkan kekuasaan tradisonal.36 Situasi itu telah terjadi dalam lima revolusi besar yang menentukan masa depan Barat yaitu satu pada revolusi Italia, dua pada Revolusi Belanda, serta tiga pada Revolusi Inggris. 37

Sebuah teori tunggal tentang perubahan sosial hadir dalam dukungan itu semua. Munculnya asumsi atau pendapat-pendapat yang menyatakan bahwa, tak

35 Irfan Setiawan, Rekonstruksi Birokrasi Pemerintahan Daerah. (Jatinanggor: IPDN, 2014) hlm 35-36.

36 Max weber yakni seorang pakar modernisasi dunia berkembang membedakan jenis birokrasi modern dengan patrimonial. Jika pada birokrasi rasional lebih menitikberatkan pada unsur prestasi, maka pada birokrasi patrimonial justru sebaliknya yakni menekan pada ikatan-ikatan patriomonial (patrimonial ties) yang secara administrasi sebagai urusan pribadi dan kelompok. Secara lebih dapat menegaskan bahwa dalam birokrasi, terdapat individu-individu dan golongan penguasa berupaya mengontrol kekuasaan dan otoritas jabatan untuk kepentingan penguasa.

37 Stanislav Andreski, “Max Weber : Kapitalisme, Birokrasi, dan Agama”. (Yogyakarta PT Tiara Wacana Yogya.1989) hlm. 70.

(35)

ada suatu teori perubahan sosial yang didasarkan pada ketidakpahaman terhadap hakikat sistem-sistem sosial. Serta didorong perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya, tentu ada suatu variabel tunggal yang menggerakan. Terjadi perubahan dengan membawa ciri serta pola tunggal. Sebab, adanya asumsi-asumsi tersebut menimbulkan teori-teori monistis atau determinisme. Oleh karena tidak ada suatu teori yang tunggal mengenai struktur sosial, maka tidak ada alasan yang tepat untuk mengharapkan adanya teori tunggal tentang perubahan sosial.38

1.6 Kajian Sebelumnya

Kajian-kajian terdahulu sangat erat berkaitan dengan tujuan utama penelitian, apakah peneliti bermaksud untuk menjelasan hasil pengukuran suatu variabel apa adanya atau membandingkan antara aspek yang diteliti ataupun menghubungkan antara variabel. Penelitian biasanya diawali dengan ide-ide atau gagasan dan konsep- konsep yang dihubungkan satu sama lain melalui hipotesis tentang hubungan yang diharapkan. Ide-ide dan konsep-konsep untuk penelitian dapat bersumber dari gagasan peneliti sendiri dan dapat juga bersumber dari sejumlah kumpulan pengetahuan hasil kerja sebelumnya yang kita kenal juga sebagai literatur atau pustaka. Literatur atau bahan pustaka ini kemudian kita jadikan sebagai referensi atau landasan teoritis dalam penelitian.

Pemerintahan Aceh dibentuk berdasarkan Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik

38 Soerjono Soekanto. “Teori Sosiologi Tentang Perubahan Sosial”. (Jakarta : Ghalia Indonesia.1983) hlm. 40.

(36)

Indonesia Tahun 1945, mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syari’at Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi salah satu daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan Legalisasi Mukim.39

Beberapa buah karya yang membahas tentang Lembaga Mukim ataupun yang berkaitan dengan Langsa. Penulis tampilkan sebagai kajian terdahulu karena erat kaitannya dengan kajian ini. Beberapa kajian tersebut di antaranya:

1. Mukhlis, 2015. Perkembangan Mukim di Aceh. Hasil Pembahasan ini Menunjukan : Keberadaan Mukim di Aceh mengalami pasang surut dari masa ke masa sejak pada masa kesultanaan Aceh, masuknya pengaruh kolonial Belanda, Jepang pada masa kemerdekaan. Perkembangan politik dan pemerintahan yang ada pada masa tersebut menyebabkan lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan. Maka dari itu saya selaku penulis sangat tertarik ingin menulis tentang keberadaan Mukim yang ada di Langsa. Dalam tujuan penulisan ini bermanfaat sebagai catatan riwayat lembaga Mukim di Langsa, karena selama ini belum ada yang menulis tentang mukim Langsa hanya saja secara umum seluruh Aceh.

2. Afrizalwoy, 2014.“Relasi Pemerintahan Mukim dengan Gampong dalam Pelaksanaan Pemerintahan Daerah (studi penelitian di Mukim Meuko Kabupaten Aceh Barat dan Mukim Meuraxa Kota Banda Aceh)”. (Tesis

39 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

(37)

Pascasarjana Unsyiah) Hasil Pembahasan ini Menunjukan : Qanun Pemerintah Aceh didefenisikan gampong atau desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung berada di bawah Mukim atau nama lain yang menempati wilayah tertentu, yang dipimpin oleh keuchik atau nama lain dan berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri.

3. Ahmad Muhajir, 2016. Industriasasi di Kota Langsa pada era Kolonial (dari kapitalisme negara ke Swasta, (1907-1942), Semarang: Tesis Program studi Ilmu Sejarah FIB Universitas Diponegoro Semarang Provinsi Jawa Tengah.

Hasil Pembahasan ini Menunjukan : Studi ini mengkaji eksistensi Langsa sebagai kota kolonial pada paruh pertama abad ke-20, yang difokuskan pada perkembangan kapitalisme di sektor industri dan hubungannya dengan pembangunan kota tersebut. Pemerintah kolonial didorong untuk mengembangkan kapitalisme melalui industrialisasi untuk mengakomodir kepentingan kapitalis swasta. Dahulu Rakyat Aceh Timur memiliki basis ekonomi tradisional pada pertanian lada namun hancur akibat perang dan kemudian digantikan oleh kapitalisme Belanda.

4. Mawardi. 2005. Menyadap Getah untuk Onderneming: Dinamika Sosial Ekonomi Buruh Perkebunan Karet di Aceh Timur, 1900-1939. Yogyakarta : Program Magister Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Hasil Pembahasan ini Menunjukan : kondisi sosial ekonomi buruh perkebunan karet di Aceh Timur dalam kaitannya dengan perubahan tingkat

(38)

eksploitasi perusahaan perkebunan tempat mereka bekerja antara tahun 1907- 1939. Penelitian ini sangat penting artinya karena sampai saat ini masih belum ada satupun kajian tentang buruh perkebunan pada masa kolonial.

5. Kamaruddin, dkk. 2013. Model Penyelesaian Konflik Di Lembaga Adat. IAIN Ar-Raniry Aceh (Jurnal Volume 21, Nomor 1, Mei 2013). Hasil Pembahasan ini Menunjukan : Lembaga adat adalah mediasi tetapi pada tataran realitasnya menunjukkan ada perbedaan dalam prinsip dan prosedur macam-macam konflik yang sering terjadi dalam masyarakat Aceh dan melihat pola kerjasama yang dilakukan lembaga adat dalam menyelesaikan konflik serta siapakah di antara mereka yang paling dominan dalam menyelesaikan konflik.

Lembaga adat memainkan peran yang sangat signifikan dalam menyelesaikan konflik di kalangan masyarakat Aceh. Meskipun semua unsur lembaga adat terlibat dalam menyelesaikan konflik, pada tingkat gampong, keuchik telah menduduki peran yang sangat penting dan strategis.

6. Kabupaten Aceh Timur, 2010. Peranan Imeum Mukim terhadap Perencanaan Partisipatif Masyarakat Kemukiman Blang Siguci Kecamatan Idi Tunong Kabupaten Aceh Timur Provinsi Aceh. Hasil Pembahasan ini Menunjukan : Kedudukan Imeum Mukim diakui dan diberikan kedudukan sebagai koordinator Kepala Desa dan Kepala Kelurahan dan Lembaga Adat sepanjang yang menyangkut hukum adat, adat istiadat dan kebiasaan masyarakat.

Kemudian diperkuat lagi dengan dikeluarkannya Peraturan daerah Nomor 5

(39)

Tahun 1996 Tentang Mukim sebagai Kesatuan masyarakat adat dalam Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

7. Tim Penyusun Naskah Akademik Bagian Hukum Setdakab Aceh Timur.

2013. Naskah Akademik Rancangan Qanun Kabupaten Aceh Timur Tentang Pembentukan Mukim Matang Keupula Kecamatan Madat Kabupaten Aceh Timur. Hasil Pembahasan ini Menunjukan : Persetujuan Pembentukan Mukim Akibat Pemekaran Dalam Kabupaten Aceh Timur, sehingga nantinya diharapkan dapat menjadi sebuah alternatif baru untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dalam menuju Kabupaten Aceh Timur yang efektif dan efisien dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, sehingga dengan sendirinya dapat meningkatkan dan mengoptimalkan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Aceh Timur.

8. Agus Halim Wardana. 2013. Pengembalikan Kuasa Mukim Atas Sumber Daya Alam Di Aceh. Pembahasannya mengenai peraturan perundang-undangan nasional pada umumnya yang mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dan peran hukum adat dalam pengelolaan sumber daya alam. Pada masyarakat hukum adat mendapat jaminan dari Konstitusi Indonesia. Tidak hanya itu, masyarakat hukum adat berkedudukan sebagai subjek hukum yang berarti menjadi penyandang hak dan kewajiban. Salah satu hak tradisional dan merupakan hak bawaan yang penting yang dinamakan hak ulayat. Hak ini merupakan ekspresi kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam.

(40)

9. Muklis, M. Akmal, dan Aiyub yang berjudul Penataan Lembaga Mukim Dalam Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Studi di Kabupaten Aceh Besar Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam). Hasil Pembahasan ini Menunjukan : Lembaga Mukim telah berkembang di tengah- tengah masyarakat serta sekaligus merespons fungsi Lembaga Mukim ini.

Sebagai sistem kelembagaan yang mampu untuk menjalankan roda pemerintahan atau organisasi secara optimal, efektif, efisien dan bertanggungjawab.

10. Mahdi Syahbandir, 2014. Sejarah Pemerintahan Imeum Mukim Di Aceh (The History Of Imuem Mukim Governance In Aceh). Jurnal Ilmu Hukum No. 62, Th. XVI (April, 2014). Hasil Pembahasan ini Menunjukan : Pada masa Pemerintahan Kerajaan Aceh, dikenal ada empat (4) satuan pemerintahan yang berada di bawah Sulthan yaitu, Panglima Sagoe, Ulhee Balang, Imeum Mukim dan Keuchik. Imeum Mukim merupakan Pemimpin Mukim. Mukim adalah daerah teritorial yang merupakan gabungan dari beberapa Gampong yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu dan pemimpinnya disebut Keuchik. Keuchik merupakan pemerintahan terendah dalam sistem pemerintahan Kesultanan Aceh.

11. Kurniawan dalam tulisan yang berjudul Eksistensi Masyarakat Hukum Adat dan Lembaga-Lembaga Adat di Aceh Dalam Penyelenggaraan Keistimewaan dan Otonomi Khusus Di Aceh. Hasil Pembahasan ini Menunjukan : Eksistensi (kedudukan) masyarakat hukum adat dan lembaga-lembaga adat di Aceh

(41)

dalam penyelenggaraan keistimewaan dan otonomi khusus Aceh. Selain itu, menjelaskan tugas, fungsi, dan wewenang lembaga-lembaga adat yang ada di Aceh saat ini. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif (Legal Research). Keberadaan lembaga-lembaga adat di Aceh hakikatnya memiliki fungsi dan peran sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat.

12. Maya Zahara, 2015. Perkembangan Kota Langsa, Suatu Tinjauan Dalam aspek Ekonomi (1945-2013). Banda Aceh: Skripsi Program studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala Banda Aceh Provinsi Aceh. Hasil Pembahasan ini Menunjukan : Pada sisi lain perekonomian yang berkembang di wilayah Kota Langsa dapat kita ketahui bukan hanya dari perekonomian Pemerintahnya saja, tetapi perekonomian dalam masyarakat yang masih berkembang sampai saat ini. Dalam sejarah kota berkembang beberapa bidang garapan seperti berikut : pertama ialah perkembangan ekologi kota, yang kedua ialah transformasi sosial ekonomi dan ketiga ialah sistem sosial.

13. Septi Satriani dalam karangannya yang berjudul Dinamika Kelembagaan Mukim Era Otonomi Khusus Aceh, Hasil Pembahasan ini Menunjukan : Penggambaran Evolusi Mukim periode sebelum Orde Baru yang dilakukan guna memperlihatkan bagaimana hubungan yang terjalin antara negara dengan bentuk institusi lokal tersebut serta bagaimana strategi yang dijalankan. Pada bagian selanjutnya Mukim dibingkai dalam realita sekarang di bawah

(42)

peraturan perundangan No 11 Tahun 2006 sebagai peningkatan lembaga administratif dengan kondisi lokal yang menginginkan lebih dari sebelumnya.

Tulisan-tulisan di atas memberi kontribusi dalam penelitian ini namun sceara khusus penulisan ini ternyata pada kedudukan dan fungsi Mukim terutama pada kurun waktu 1906-1975 di Langsa. Seharusnya dalam tahapan penulisan tesis ini, kita sudah mengetahui tujuan alur cerita tentang kajian Mukim di Langsa sebelumnya, sebab kajian tentang pembahasan perubahan stuktur dan fungsi belum pernah dibahas pada kajian-kajian terdahulu. Maka dari kekurangan dari pembahasan itu, penulis memulai tahapan penulisan apa jadi kekeruangan dalam penelitian yang terdahulu.

Pada aparat pemerintahan itu, daerah Mukim yang dikepalai oleh seorang Ulèebalang maupun Ulama secara turun-temurun. Mukim merupakan kesatuan territorial yang paling tinggi antara federasi Gampong (Desa). Kendatipun para pemimpin Mukim secara nominal dahulu merupakan "bawahan" Uleebalang serta Sultan yang telah memberikan kepada mereka surat-surat pengangkatan ("sarakata") yang dibubuhi Cap Sikureueng (cap sembilan).

Seperti halnya di daerah-daerah lain di kepulauan Nusantara, di daerah Aceh pun kebijaksanaan pemerintah dijalankan dengan perantaraan aparat-aparat pemerintahan adat yang telah terbentuk secara turun-menurun.40 Penulis ingin berkontribusi dalam proses penulisan sejarah lokal, khususnya dalam penulisan

40 Piekaar, A.J. Aceh dan Peperangan dengan Jepang, Buku I, terjemahan Aboe Bakar, (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh,1977) hlm 5

(43)

tentang Mukim di Langsa. Pada tulisan ini akan dibahas 5 (lima) periodesasi perjalanan Mukim yaitu: Masa Kesultanan, Kolonial Belanda, Jepang, Orde lama dan Orde Baru.

1.7 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan untuk menyelesaikan tulisan ini yaitu menggunakan metode sejarah. Terdiri dari heuristik, kritik atau verifikasi, interpretasi atau penafsiran dan historiografi.41

1. Heuristik (Pengumpulan Sumber)

Heuristik diartikan sebagai tahap pencarian dan pengumpulan sumber-sumber berupa data-data dan materi yang bermuatan informasi sejarah ataupun evidensi (bukti) sejarah.42 Sumber-sumber primer diperoleh oleh peneliti dari Arsip Nasional Republik Indonesia. Dari penelusuran sumber arsip, dokumen, dan wawancara penelitian ini menempatkan tulisan berikut sebagai sumber primer. Heuristik yaitu tahap sebagai pengumpulan data yang dikumpulkan oleh penulis dari berbagai tempat.

Sumber data penelitian terbagi dua, yaitu sumber primer dan sumber sekunder.43 a) Sumber Primer

Sumber Primer yaitu berupa dokumen fisik yang mencakup: surat-surat keputusan resmi pejabat tinggi pemerintah, laporan-laporan resmi, surat-surat

41 Sugeng Priyadi, “Sejarah Lokal, Konsep Metode dan Tantangannya” (Yogyakarta: Ombak, 2012) hlm. 67.

42 Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2007), hlm. 86.

43 Etta Mamang Mangadji, “Metodologi Penelitian, Pendekatan Praktis dalam Penelitian”

(Yogyakarta: Andi, 2010) hlm. 44.

(44)

korespondensi pejabat, memori serah jabatan, lembaran negara, dsb. Perlu disinggung bahwa walaupun sumber primer yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah arsip-arsip kolonial Hindia Belanda, terlepas dari segala kelemahan dan sudut pandang eropasentrisme, bukan berarti penulisan sejarah akan berat sebelah.

Keberadaan arsip-arsip tersebut justru sangat membantu memberikan informasi yang objektif guna merekonstruksi sebuah peristiwa sejarah. Sumber-sumber kolonial dipakai dengan tujuan melengkapi kelangkaan sumber-sumber primer lokal atau sumber tradisional yang sangat sulit ditemukan.

b) Sumber Sekunder

Sumber sekunder merupakan hasil penelitian atau penulisan ulang dari sumber pertama. Sumber sekunder ini berupa informasi yang diberikan oleh orang yang tidak langsung mengamati atau orang yang tidak langsung terlibat dalam suatu kejadian, keadaan tertentu atau tidak langsung mengamati objek tertentu. Sumber tersebut sebagai landasan atau tambahan sumber untuk tulisan ini. Sumber-sumber sekunder dikumpulkan oleh penulis dengan mengunjungi beberapa perpustakaan seperti:

Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, Pusat dokumentasi dan Informasi Aceh.

Sumber yang diperoleh berupa buku, koran, jurnal dan lain sebagainya.

Selain itu, diperoleh juga salinan surat keputusan Bupati Aceh Timur dan surat permohonan Koordinator Pemerintahan di Aceh. Dalam tahap pengumpulan sumber yang dikumpulkan merupakan sumber-sumber sejarah yang banyak tersimpan di Langsa serta Dinas Perpustakaan dan Arsip Aceh yang satunya berada di Banda Aceh.

Pada umumnya sumber-sumber yang dicari dan dikumpulkan yang kemudian

Gambar

Tabel  1  :  Bahasa  Yang  Dipakai  Masyarakat  Setempat  Dalam  Berhubungan  Dengan Lainnya
Tabel 1 : Struktur Pemerintah Mukim masa Orde Lama             Tingkat Pemerintah
Tabel 3 : Struktur Pemerintah Mukim masa Orde Baru             Tingkat Pemerintah

Referensi

Dokumen terkait

RT.037 Kelurahan Batu Ampar, Kecamatan Balikpapan Utara, yang dibutuhkan untuk menyelesaikan proyek pembangunan ruko 3 lantai ini dengan menggunakan harga satuan

Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi Program Revitalisasi Perkebunan Sawit di Desa Tapung Jaya Kecamatan Tandun

OCB dapat meningkatkan produktifitas tenaga kerja, menghemat sumber daya perusahaan, OCB dapat bekerja secara efektif, dalam mengkoordinasikan kegiatan antar

Rumusan masalah penelitian ini bagaimana peningkatan proses pembelajaran, peningkatan kompetensi, dan perubahan perilaku siswa dalam pembelajaran menulis teks

Setelah dilaksanakan sosialisasi pemanfaatan media online sebagai media pemasaran produk bagi para anggota APIK, maka tingkat keberhasilan penyelenggaraan kegiatan

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang terdapat dalam pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: penerapan model pembelajaran kooperatif tipe

Pada pembahasan ini akan dijelaskan proses pelaksanaan penelitian sehingga menghasilkan data yang diperoleh pada observasi awal hingga siklus kedua. Seperti yang telah

Biasanya 6 bulan sampai setahun sebelum hari H sudah melakukan persiapan dari melakukan perencanaan, membuat konsep acara, dana dan lain-lain termasuk diantaranya adalah