• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kaum Klasik percaya bahwa perekonomian yang dilandaskan pada kekuatan mekanisme pasar akan selalu menuju keseimbangan (equilibrium). Dalam posisi keseimbangan, kegiatan produksi secra otomatis akan menciptakan daya beli untuk membeli barang-barang yang dihasilkan . Daya beli tersebut diperoleh sebagai balas jasa atau faktor-faktor produksi seperti upah, gaji, suku bunga, sewa dan balas jasa dari faktor-faktor produksi lainnya. Pendapatan atas faktor-faktor produksi tersebut

seluruhnya akan dibelanjakan untuk membeli barang-barang yang dihasilkan perusahaan. Ini yang dimaksud Say bahwa pemasaran akan selalu berhasil menciptakan permintaan sendiri (Subri, 2003:5).

Dalam posisi keseimbangan tidak terjadi kelebihan maupun kekurangan permintaan. Kalaupun terjadi ketidak seimbangan (diseqilibrium), misalnya pasokan lebih besar dari permintaan, kekurangan konsumsi, atau terjadinya penganguran, maka keadaan ini dinilai kaum klasik sebagai suatu “tangan tak kentara” (invisible hands) yang akan membawa perekonomian kembali pada posisi keseimbangan (Subri,2003:5).

Ada dua teori penting perlu dikemukakan dalam kaitannya dengan masalah ketenaga kerjaan. Pertama adalah teori Lewis (1959) yang mengemukakan bahwa kelebihan pekerja merupakan kesempatan dan bukan suatu masalah. Kelebihan pekerja satu sektor akan memberikan andil terhadap pertumbuhan output dan penyediaan pekerja di sector lain.

Ada dua struktur di dalam perekonomian negara berkembang, yaitu sektor kapitalis modern dan sektor subsisten terbelakang. Menurut Lewis sektor subsisten terbelakang tidak hanya terdiri dari sektor pertanian, tetapi juga sektor informal seperti pedagang kaki lima dan pengecer Koran.

Dengan demikian menurut Lewis, adanya kelebihan penawaran pekerja tidak memberikan masalah bagi pembangunan ekonomi. Sebaiknya kelebihan pekerja justru merupakan modal untuk mengakumulasi pendapatan,dengan asumsi bahwa perpindahan pekerja dari sektor subsisten ke sektor kapitalis modern berjalan lancar dan perpindahan tersebut tidak akan pernah menjadi “terlalu banyak”.

Teori kedua adalah teori Fei-Rains (1961) yang berkaitan dengan Negara berkembang yang mempunyai cirri-ciri sebagai berikut : kelebihan buruh, sumber daya alamnya belum dapat diolah, sebagian besar penduduknya bergerak di sector pertanian, banyak pengaguran, dan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi.

Penelitian Firdausy et All (2002) menunjukkan bahwa sumber-sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat banyak termasuk modal, tenga kerja, dan peranan dari institusi dalam proses pembangunan.

2.6 Penelitian Sebelumnya

Penelitian tentang ketimpangan wilayah di Indonesia diawali oleh Hendra Esmara (1975), Islam dan Khan (1986), dan Nasjid Majidi (1997). Dengan menggunakan data PDRB riil dikemukakan bahwa selama periode 1968-1997 indeks ketimpangan pendapatan antardaerah semakin meningkat. DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Bali, dan Riau merupakan propinsi yang paling makmur, sedangkan propinsi terparah yaitu: Nusa Tenggara Timur dan Barat, Bengkulu dan Jambi. Secara umum propinsi-propinsi di daerah timur Indonesia menempati posisi rendah. Penelitian Sjafrizal (1997) dan Welly dan Waluyo (2000) dengan menggunakan data PDRB tanpa migas antara tahun 1983 – 1997 menunjukkan indeks ketimpangan bergerak dari 0,49 – 0,54. Indeks ketimpangan Indonesia jika dibandingkan dengan kelompok negara maju (0,49 - 0,54) dan berpendapatan menengah (0,46) akan berada di atas rata-rata (Waluyo, 2007).

Penelitian Takahiro Akita (2003) menggunakan data PDB per-kapita China dan Indonesia dengan teknik two stage nested Theil inequality decomposition. Menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: Satu; Dalam pandangan efisiensi, ketimpangan pendapatan antardaerah disebabkan oleh ketidakmerataan distribusi

sumber daya alam dan rendahnya kualitas transportasi dibeberapa daerah. Dua; Di China 60% wilayah dalam propinsi menunjukkan ketimpangan pendapatan yang tinggi, sedangkan di Indonesia setengahnya mengalami ketimpangan. Kim (1996), dengan penelitian di Korea menjelaskan bahwa sektor publik lokal mempumyai pengaruh yang signifikan terhadapa pertumbuhan ekonomi di Korea selama periode 1970-1991. Yilmaz (2002), meneliti bagaimana pola dan struktur perekonomian cenderung konvergen dan divergen. Hasilnya menjelaskan bahwa perbedaan wilayah dan perilaku temporal dari perekonomian nasional mempunyai efek terhadap kecepatan kondisi konvergensi. Ardani (1966) telah menganalisis kesenjangan pendapatan dankonsumsi antar daerah dengan menggunakan indeks Williamson selama 1098-1993 dan 1983-1993. Kesimpulannya mendukung hipotesis Williamson (1965) bahwa pada tahap pembangunan ekonomi terdapat kesenjangan kemakmuran antar daerah. Namun semakin majunya pembangunan ekonomi kesenjangan tersebut semakin menyempit (Waluyo,2007).

Hirschman (1958) mengemukakan konsep pengembangan wilayah menyatakan bahwa dalam satu wilayah atau daerah yang cukup luas hanya terdapat berbagai titik pertumbuhan (growth Center), dimana industri berada pada suatu kelompok daerah tertentu sehingga menyebabkan timbulnya daerah pusat dan daerah belakang (hinterland). Untuk mengurangi ketimpangan ini perlu memperbanyak titik –titik pertumbuhan baru.

Menurut Glasson (1977) pertumbuhan wilayah dapat terjadi sebagai akibat dari penentu endogen atau eksogen, yaitu faktor-faktor yang terdapat di dalam wilayah yang bersangkutan ataupun faktor-faktor luar wilayah, atau kombinasi dari keduanya. Dalam model-model ekonomi makro disebutkan bahwa ekonomi penentu intern pertumbuhan ekonomi wilayah adalah modal, tenaga kerja, tanah (sumber daya

alam), dan sistem sosio-politik, sedangkan menurut model ekspor pertumbuhan,industri ekspor dan kenaikan permintaan adalah penentu pokok pertumbuhan wilayah yang bersifat ekstern.

Pujiati, Amin (2007) telah melakukan penelitian tentang Analisis Pertumbuhan Ekonomi Di Karesidenan Semarang Era Desentralisasi Fiskal tahun 2002-2006 dengan menggunakan metode GLS(Generalized Least Square). Hasil yang didapat menunjukkan bahwa tenaga kerja (TK) memainkan peran yang penting dalam penelitian ini, dengan melihat angka koefisiennya yang besar. Koefisien tenaga kerja menunjukkan tanda yang positif dan signifikan secara statistik pada tingkat kepercayaan 1 persen untuk semua kabupaten/kota. Koefisien tenaga kerja yang besar ini belum bisa dikatakan adanya peningkatan kualitas tenaga kerja tetapi hanya dari sisi kuantitas. Hal ini bisa dilihat dari penduduk yang berumur 10 tahun keatas menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan rata-rata dari kabu-paten/kota di karesidenan Semarang sebagian besar adalah tingkat SD, yaitu sebesar 70 persen kecuali kota Salatiga dan Kota Semarang rata-rata 40 persen, meskipun apabila dilihat dari jumlah jam kerja seminggu bagi yang bekerja lebih dari 35 jam/minggu rata-rata 67 persen untuk semua kabupaten/kota pada tahun 2005. Nilai koefisien tenaga kerja 0,76 artinya jika ada peningkatan tenaga kerja sebesar 10 persen akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi (PDRB) sebesar 7,6 persen. Jumlah tenaga kerja yang lebih besar diharapkan akan menambah jumlah tenaga yang produktif yang memacu pertumbuhan ekonomi (Amin, Pujiati:2007).

Soelistianingsih, Lana (2007) telah melakukan penelitian tentang Analisis Disparitas Pendapatan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Regional tahun 1993-2005 dengan menggunakan metode GLS (Generalized Least Square). Hasil yang didapat

menunjukkan bahwa Pengeluaran pemerintah daerah memiliki efek positif signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dimana pengeluaran pemerintah kabupaten/ kota memiliki pengaruh positif signifikan sebesar 0,08 pada tingkat kepercayaan 99%. Hal itu berarti setiap kenaikan 1% pengeluaran pemerintah kabupaten/ kota akan menaikkan pertumbuhan ekonomi regional di Propinsi Jawa Tengah sebesar 0,08%. Dalam hal ini pengeluaran pemerintah menjadi fungsi fiskal stimulus yang cukup optimal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.

Grossman (1988) menemukan hubungan positif antara pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi, tanpa melihat pengeluaran persektor (regardless of the disaggregation of expenditures) Diamond (1989) mengamati pengeluaran sosial, hasilnya menunjukkan signifikan positif berdampak terhadap per- tumbuhan jangka pendek saat pengeluaran infrastruktur lebih sedikit berpengaruh (walaupun positif). Dia menemukan juga pengeluaran kapital negatif berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Sifat negatif di sini berhubungan pada periode jangka panjang dan tidak efisien berhubungan dengan pembiayaan publik. Mengikuti Barro (1990), kontribusi pengeluaran yang produktif positif terhadap pertumbuhan, dan sebaliknya untuk pengeluaran yang tidak produktif.

Dokumen terkait