• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN TEORITIS. laju pertumbuhan regional yang cukup besar antar provinsi di Indonesia telah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN TEORITIS. laju pertumbuhan regional yang cukup besar antar provinsi di Indonesia telah"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN TEORITIS 2.1 Ketimpangan Pendapatan

Disparitas pendapatan antar daerah merupakan hal yang wajar dalam konsep pembangunan nasional. Pada tahap awal pembangunan ekonomi nasional, perbedaan laju pertumbuhan regional yang cukup besar antar provinsi di Indonesia telah mengakibatkan disparitas dalam distribusi pendapatan antar provinsi.

Peningkatan pendapatan perkapita memang menunjukkan tingkat kemajuan perekonomian suatu daerah. Namun meningkatnya pendapatan perkapita tidak selamanya menunjukkan bahwa distribusi pendapatan telah merata. Seringkali di negara-negara berkembang dalam perekonomiannya lebih menekankan penggunaan modal daripada penggunaan tenaga kerja sehingga keuntungan dari perekonomian tersebut hanya dinikmati sebagian masyarakat saja. Apabila ternyata pendapatan nasional tidak dinikmati secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa telah terjadi ketimpangan dalam distribusi pendapatan.

Berkaitan dengan pembangunan regional, Williamson (1965) meneliti hubungan antara disparitas regional dengan tingkat pembangunan ekonomi, dengan menggunakan data ekonomi negara yang sudah maju dan yang sedang berkembang selama dalam tahap awal pembangunan, disparitas regional menjadi lebih besar dan pembangunan terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu. Pada tahap yang lebih maju, dilihat dari pertumbuhan ekonomi tampak bahwa keseimbangan antar daerah dan disparitas berkurang dengan signifikan.

Ketimpangan antar daerah disebabkan oleh mobilisasi sumber-sumber daya yang dimiliki oleh suatu daerah. Sumber-sumber daya tersebut antara lain akumulasi modal, tenaga kerja, dan sumber daya alam yang dimiliki. Adanya heterogenitas dan

(2)

beragam karakteristik suatu wilayah menyebabkan kecenderungan terjadinya ketimpangan antar daerah dan antar sektor ekonomi suatu daerah. Melihat fakta ini dapat dikatakan bahwa disparitas regional merupakan konsekuensi dari pembangunan itu sendiri (Safrizal,2008: 104).

Pendapatan perkapita banyak digunakan sebagai tolok ukur untuk mengukur ketimpangan dalam suatu daerah. Pendapatan ini tidak dilihat dari tinggi rendahnya pendapatan melainkan apakah pendapatan tersebut terdistribusikan secara merata atau tidak ke seluruh masyarakat.

Terkonsentrasinya kegiatan ekonomi hanya di suatu daerah tertentu , secara lansung berdampak pada disparitas pendapatan daerah yang sangat bervariasi. Daerah yang satu mampu memberikan pendapatan yang tinggi, sebaliknya daerah yang lain memberikan pendapatan yang relatif rendah. Pada gilirannya, semua itu akan berimbas kembali pada kemampuan regional untuk tumbuh dan berkembang di masa mendatang.

Konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi di daerah tertentu menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya disparitas pembangunan antar daerah. Pembangunan ekonomi di daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi tinggi cenderung tumbuh pesat dibandingkan daerah yang memiliki tingkat konsentrasi kegiatan ekonomi daerah. Begitu pula, konsentrasi penduduk di dalam dan di sekitar kota-kota besar biasanya diikuti dengan adanya disparitas pendapatan antar daerah (Akita dan Lukman,1995).

Dalam usaha untuk menekan laju ketimpangan ini, maka harus ditentukan kebijakan yang tepat. Pemilihan kebijakan yang tepat akan menciptakan stabilitas pertumbuhan ekonomi yang cukup baik sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh pemerintah dan masyarakat. Oleh karena itu keterlibatan semua pelaku ekonomi

(3)

dalam pembangunan daerah harus dilaksanakan sebaik-baiknya. Pertumbuhan ekonomi daerah yang berbeda-beda akan menyebabkan terjadinya katimpangan disparitas ekonomi dan ketimpangan pendapatan antar daerah.

Richardson (1991) menyatakan bahwa perekonomian daerah merupakan ekonomi terbuka, dimana pertumbuhan ekonomi daerah sebagai akibat dari perpindahan faktor (factor movement). Kemudian perpindahan tenaga kerja maupun arus modal adalah menjadi bagian penting bagi terjadinya perbedaan tingkat pertumbuhan daerah. Dengan demikian bahwa perkembangan dan pertumbuhan ekonomi daerah akan lebih cepat dicapai apabila memiliki keuntungan absolut kaya akan sumber daya alam dan memiliki keuntungan komparatif apabila daerah tersebut lebih efisien dari daerah lain dalam melakukan kegiatan produksi dan perdagangan.

North dalam Jhingan (1990) mengemukakan bahwa pertumbuhan wilayah sangat tergantung pada keberhasilan dari suatu kegiatan yang dilakukan terhadap suatu wilayah yang merupakan hasil pengembangan ekspor baru. Kecenderungan peningkatan ketimpangan distribusi pendapatan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi tidak saja terjadi di negara-negara sedang berkembang saja, namun juga terjadi di negara-nagara industri maju.

2.1.1 Hipotesa Neo klasik

Kuznets (1976), seperti dikutip oleh Todaro (2004) mengemukakan hipotesis Neo Klasik tentang ketimpangan wilayah (regional disparity) mengikuti suatu pola yang berbentuk huruf U terbalik, dimasa pada proses permulaan pembangunan, ketimpangan wilayah akan cenderung meningkat. Akan tetapi bila pembangunannya berlanjut terus dan mobilitas modal serta tenaga kerja telah lancar, barulah ketimpangan wilayah mulai berkurang.

(4)

Berdasarkan hipotesa ini, dapat diambil suatu kesimpulan sementara bahwa pada negara-negara sedang berkembang umumnya ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung lebih tinggi, sedangkan pada negara maju ketimpangan tersebut akan lebih rendah.

Kebenaran hipotesa Neo Klasik ini kemudian diuji kebenarannya oleh Jefrey G. Williamson pada tahun 1966 melalui suatu studi tentang ketimpangan pendapatan antarwilayah pada negara maju dan negara sedang berkembang dengan menggunakan data time series dan cross section . Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa Hipotesa Neo Klasik yang di formulasikan secara teoritis ternyata terbukti benar secara empiris (Safrizal,2008:106).

Ukuran ketimpangan pendapatan antar wilayah yang mula-mula ditemukan oleh Jeffrey G. Williamson yang digunakan dalam studinya pada tahun 1966 disebut dengan indeks Williamson. Secara statistik , indeks ini adalah cooefficient of variation yang lazim digunakan untuk mengukur suatu perbedaan. Indeks Williamson menggunakan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebagai data dasar (Safrizal,2008:107-108). Formulasi indeks Williamson ini sacara statistik dapat ditampilkan sebagai berikut:

Vw = , 0<Vw<1

Dimana :

Vw = indeks Williamson

yi = PDRB perkapita di kabupaten/kota i Y = total pendapatan perkapita provinsi fi = jumlah penduduk di kabupaten/kota i n = total penduduk di provinsi

(5)

2.2 Produk Domestik Regional Bruto(PDRB)

2.2.1 Pengertian Produk Domestik Regional Bruto

Produk Domestik Regional Bruto pada dasarnya merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. Nilai akhir dari Produk Domestik Regional Bruto akan sama dengan total nilai nominal dari konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, serta ekspor bersih. Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu daerah dalam satu periode tertentu adalah Produk Domestik Regional Bruto.

Produk Domestik Regional Bruto digunakan untuk berbagai tujuan, tetapi yang terpenting adalah untuk mengukur kinerja perekonomian secara keseluruhan. Jumlah ini akan sama dengan jumlah nilai nominal dari konsumsi, investasi kotor, pengeluaran pemerintah untuk barang nominal dan jasa, serta ekspor netto.

Umumnya Produk Domestik Regional Bruto dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga berlaku (Nominal) dan Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga konstan (Riil). Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga berlaku pada setiap tahun. Jadi, pada Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga berlaku sudah termasuk unsur inflasi. Sedangkan Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga konstan menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada tahun tertentu. Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga konstan meningkat hanya jika jumlah barang dan jasa meningkat, sedangkan Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga berlaku bisa meningkat karena produksi naik atau harga turun.

(6)

2.2.2 Metode Penghitungan Produk Domestik Regional Bruto

Metode perhitungan pendapatan regional dapat dibagi menjadi dua yakni :

1. Metode Lansung

Metode langsung adalah perhitungan dengan menggunakan data daerah atau data asli yang menggambarkan kondisi daerah atau data asli yang menggambarkan kondisi daerah dan digali dari sumber data yang ada di daerah itu sendiri. Metode lansung dapat dilakukan dengan mempergunakan tiga macam cara, yakni :

a. Pendekatan produksi

Pendekatan dengan cara ini dimaksudkan untuk menghitung netto barang dan jasa yang diproduksi ini dinilai pada harga produsen yaitu harga yang belum termasuk biaya transport dan pemasaran karena biaya transport dan pemasaran karena biaya transport akan dihitung sebagai pendapatan sektor perdagangan.

Nilai barang dan jasa pada harga produsen ini merupakan nilai produksi bruto, sebab masih termasuk di dalamnya biaya-biaya barang dan jasa-jasa yang dipakai dan dibeli dari sektor lain.

Untuk menghindari perhitungan dua kali (double account), maka biaya-biaya barang dan jasa-jasa harus dikeluarakan sehinnga diperoleh nilai produksi netto atau disebut juga nilai tambah bruto (termasuk penyusutan dan pajak tidak lansung).

Y = P1Q1 + P2Q2 +…. +PnQn

Dimana :

Y = PDRB (Produk Domestik Regional Bruto)

(7)

Q1, Q2, …,Qn = Jumlah produk pada satuan masing-masing sector ekonomi

b. Pendekatan pendapatan

Produk Domestik Regional Bruto dirumuskan jumlah seluruh balas jasa yang diterima oleh faktor produksi (berupa gaji dan upah, bunga, sewa dan laba) yang ikut serta dalam proses produksi suatau wilayah/region dalam jangka waktu tertentu, biasanya satu tahun. Berdasarkan pengertian di atas , maka nilai tambah bruto adalah jumlah dari upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal, keuntungan , semuanya sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak lansung lainnya.

Y = Yw + Yr + Yi + Yp

Dimana :

Y = Pendapatan regional atau PDRB Yw = Pendapatan upah / gaji

Yr = Pendapatan Sewa

Yi = Pendapatan Bunga

Yp = Pendapatan laba/profit.

c. Pendekatan Pengeluaran

Produk Domestik Regional Bruto dihitung jumlah seluruh komponen pengeluaran akhir, meliputi pengeluaran konsumsi rumah tangga dan swasta yang tidak mencari keuntungan, pengeluaran konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap domestik bruto serta ekspor neto (yaitu ekspor dikurangi impor) di dalam suatu wilayah / region dengan jangka tertentu/setahun.

(8)

Dimana :

Y = PDRB ( Pendapatan Domestik Regional Bruto)

C = Pengeluaran Rumah tangga konsumen untuk konsumsi I = Pengeluaran rumah tangga perusahaan untuk investasi G = Pengeluaran rumah tangga pemerintah

( X-M) = Ekspor netto atau pengeluaran rumah tangga luar negeri

2. Metode Tidak Lansung

Metode tidak lansung adalah suatu cara mengalokasikan produk domestik bruto dari wilayah yang lebih luas ke masing-masing bagian wilayah, misalnya mengalokasikan PDB Indonesia ke setiap provinsi dengan menggunakan alokator tertentu, alokator yang dapat digunakan, yaitu:

a. Nilai produksi bruto atau neto setiap sector/subsector, pada wilayah yang dialokasikan,

b. Jumlah produksi fisik, c. Tenaga kerja

d. Penduduk,

e. Alokator tidak lansung lainnya.

Dengan menggunakan salah satu atau kombinasi dari beberapa alokator dapat diperhitugkan persentase bagian masing-masing provinsi terhadap nilai tambah setiap sektor dan subsektor( Robinson, 2005:25-26).

(9)

2.3 Pertumbuhan Ekonomi

2.3.1 Pengertian Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output perkapita dalam jangka panjang (Budiono, 1988). Ada empat faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi menurut pandangan para ekonom klasik maupun ekonom neoklasik, yaitu jumlah penduduk, jumlah stok barang modal, luas tanah dan kekayaan alam serta tingkat teknologi yang digunakan (Mudrajad Kuncoro, 2004).

Pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan kenaikan output perkapita. Yang perlu diperhatikan adalah sisi output totalnya dan jumlah penduduknya. Output perkapita adalah kenaikan output total dibagikan dengan jumlah penduduk (Budiono, 1988). Sedangkan untuk melihat pertumbuhan ekonomi regional digunakan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) perkapita.

Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu gambaran mengenai dampak kebijaksanaan pemerintah yang dilaksanakan khususnya dalam bidang ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan laju pertumbuhan yang dibentuk dari berbagai macan sector ekonomi yang secara tidak lansung menggambarkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Bagi daerah, indikator ini penting untuk mengetahui keberhasilan pembangunan di masa yang akan datang. Pertumbuhan merupakan ukuran utama keberhasilan pembangunan, dan hasil pertumbuhan ekonomi akan dapat pula dinikmati masyarakat sampai di lapisan paling bawah, baik dengan sendirinya maupun dengan campur tangan pemerintah (Sirojuzilam,2005:4). Untuk menghitung tingkat pertumbuhan ekonomi digunakan formula berikutnya:

(10)

g = X 100

Dalam persamaan tersebut, arti setiap unsur dinyatakan di bawah ini :

g = Tingkat (persentase) pertumbuhan ekonomi

GDP1 = (Gross Domestic Product) atau produk Domestik Bruto (PDB) adalah

pendapatan nasional riil yaitu pendapatan nasional yang dihitung pada harga tetap yang dicapai pada suatu tahun (tahun 1)

GDP0 = Pendapatan nasional pada tahun sebelumnya.

Yang dimaksud dengan pendapatan nasional adalah nilai barang dan jasa yang diproduksikan dalam suatu Negara pada tahun tertentu. Nilai tersebut dapat dihitung berdasarkan harga berlaku (yaitu pada harga –harga berlaku pada tahun dimana PDB dihitung) dan menurut harga tetap yaitu pada harga-harga yang berlaku pada tahun dasar (Sukirno,2006 : 9-10).

Pertumbuhan regional adalah produk dari banyak faktor, sebagian bersifat intern dan sebagian lainnya bersifat extern dan sosio politik. Faktor – faktor yang berasal dari daerah itu sendiri meliputi distribusi faktor produksi, seperti tanah, tenaga kerja, modal sedangkan salah satu penentu extern yang penting adalah tingkat permintaan dari daerah – daerah lain terhadap komoditi yang dihasilkan oleh daerah tersebut (Sirojuzilam, 2008:21).

Dalam kenyataannya banyak fenomena yang timbul berkaitan dengan pembangunan ekonomi, yaitu kesenjangan wilayah dan pemerataan pembangunan. Dimana para ahli berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi wilayah tidak akan bermanfaat dalam hal pemecahan masalah kemiskinan (Sirojuzilam, 2005). Hal ini dikarenakan banyak wilayah yang pertumbuhan ekonominya tidak sejalan dengan

(11)

pemerataannya, dimana kesenjangan semakin tinggi disaat pertumbuhan ekonominya juga meningkat. Hal inilah yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi bukanlah pemecahan masalah dalam pengentasan kemiskinan.

2.3.2 Teori Pertumbuhan Ekonomi

Menurut Prof. Simon Kuznets, pertumbuhan ekonomi sebagai kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu Negara untuk menyediakan semakin banyak jenis barang – barang ekonomi kepada penduduknya. Kemampuan ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi dan penyesuaian kelembagaan dan ideologi yang diperlukan. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi ditandai dengan 3 ciri pokok, yaitu: laju pertumbuhan, pendapatan perkapita riil, distribusi angkatan kerja menurut sektor kegiatan produksi yang menjadi sumber nafkah dan pola persebaran penduduk.

1.Teori Pertumbuhan Klasik

Perhatian Adam Smith terhadap masalah pembangunan dapat dilihat dari bukunya “An Incuiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations”. Adam Smith sebagai pelopor teori klasik mengatakan bahwa output akan berkembang sejalan dengan perkembangan penduduk. Pertambahan penduduk berarti peningkatan produk nasional. Teori pertumbuhan klasik juga mengemukakan keterkaitan antara pendapatan perkapita dengan jumlah penduduk yang dikenal dengan teori penduduk optimum.

Teori ini menyatakan bahwa :

a. Apabila produksi marginal lebih tinggi dari pada pendapatan perkapita, jumlah penduduk sedikit dan tenaga kerja masih kurang, maka pertambahan jumlah penduduk akan menambah tenaga kerja dan menaikkan pertumbuhan ekonomi.

(12)

b. Apabila produk marginal makin menurun, pendapatan nasional semakin meningkat dengan perlahan, maka pertambahan penduduk akan meningkatkan jumlah tenaga kerja yang tersedia, tetapi terjadi penurunan pendapatan perkapita dan pertumbuhan ekonomi yang peningkatannya semakin kecil. c. Apabila produk marginal bernilai sama dengan pendapatan per kapita, yang

berarti pendapatan perkapita yang maximum dengan jumlah penduduk optimal, maka pertambahan penduduk akan membawa pengaruh yang tidak baik terhadap pertumbuhan ekonomi (Robinson,2005:47).

2. Teori Ricardian (1817)

David Ricardo mengungkapkan pandangannya mengenai pembangunan ekonomi dengan cara yang tidak sistematis dalam bukunya the principle of political economy and taxion. David Ricardo mengungkapkan bahwa faktor yang penting dalam pertumbuhan ekonomi adalah buruh, pemupukan modal dan perdagangan luar negeri. Seperti ahli ekonomi modern, teori Ricardo menekannkan pentingnya tabungan bagi pembentukan modal. Dibanding pajak, Ricardo lebih menyetujui pemupukan modal melalui tabungan (Jhingan, 2000).

Tabungan dapat dibentuk melalui penghematan pengeluaran, memproduksi lebih banyak, dan meningkatkan keuntungan serta mengurangi harga barang. Semakin banyak tabungan berarti semakin banyak pula pemupukan modal bagi kegiatan penanaman modal berikutnya. Selain itu, Ricardo juga memberi tekanan khusus pada perdagangan luar negeri sebagai sarana memperbaiki perekonomian. Sebab perdagangan luar negeri akan menyebabkan pemamfaatan sumber daya secara maksimum dan meningkatkan pendapatan.

(13)

3. Teori Pertumbuhan Ekonomi Solow-Swan

Menurut teori ini garis besar proses pertumbuhan mirip dengan teori Harrod-Domar, dimana asumsi yang melandasi model ini yaitu:

a. Tenaga kerja penduduk tumbuh dengan laju tertentu, misalnya P per tahun.

b. Adanya fungsi produksi Q = f (K, L) yang berlaku bagi setiap periode. c. Adanya kecenderungan menabung (prospensity to save) oleh masyarakat

yang dinyatakan sebagai proporsi (s) tertentu dari output (Q). Tabungan masyarakat S = sQ; bila Q naik S juga naik, dan sebaliknya.

d. Semua tabungan masyarakat di investasikan S = I = AK.

Sesuai dengan anggapan mengenai kecenderungan menabung, maka dari output disisakan sejumlah proporsi untuk ditabung dan kemudian diinvestasikan. Dengan begitu, maka terjadi penambahan stok capital (Boediono, 1992: 81-82).

4. Teori Keynes (1936)

Teori Keynes didasarkan pada adanya pengangguran sikklis yang terjadi akibat depresi ekonomi. Menurut Keynes pengangguran merupakan akibat dari kurangnya permintaan efektif dan untuk mengatasinya Keynes menyarankan agar memperbesar pengeluaran konsumsi. Dalam hal ini, maka keynes menganjurkan adanya campur tangan pemerintah melalui kebijakan fiskal dan kebijakan moneter yang dapat mempengaruhi permintaan efektif (Jhingan,2000).

Dalam teorinya, Keynes menganggap tabungan sabagai sifat sosial yang buruk karena kelebihan tabungan menyebabkan terjadinya kelebihan supply sehingga produsen dapat merugi yang akhirnya dapat terjadinya pemutusan hubungan kerja besar-besaran yang akhirnya menciptakan suatu kondisi yang buruk. Oleh sebab itu

(14)

maka Keynes merasa pemerintah perlu mempengaruhi tingkat suku bunga yang berkorelasi lansung dengan jumlah uang yang beredar yang dapat meningkatkan permintaan efektif (Jhingan,2000).

5. Teori Schumpeter (1934)

Schumpeter berpandangan bahwa pertumbuhan ekonomi sangat ditentukan oleh kemampuan kewirausahaan (enterpreneurship). Sebab para pengusahalah yang mempunyai kemampuan dan keberanian mengaplikasikan penemuan-penemuan baru dalam aktivitas produksi.

Menurut Schumpeter, kemajuan perekonomian kapitalis disebabkan karena diberinya keleluasaan untuk para entrepreneurship. Sayangnya keleluasaan tersebut cenderung memunculkan masalah-masalah non ekonomi, terutama social politik yang akhirnya dapat menghancurkan kapitalis itu sendiri (Jhingan,2000).

6. Teori Pertumbuhan Neoklasik

Teori pertumbuhan ekonomi Neo-klasik berkembang sejak tahun 1950-an. Teori ini berkembang berdasarkan analisis-analisis mengenai pertumbuhan ekonomi menurut pandangan ekonomi klasik. Menurut teori ini, pertumbuhan ekonomi tergantung pada pertambahan penyediaan faktor-faktor produksi (penduduk, tenaga kerja, dan akumulasi modal) dan tingkat kemajuan teknologi.

Menurut teori ini, rasio modal output bisa berubah. Dengan kata lain, untuk menciptakan sejumlah output tertentu, bisa digunkan jumlah modal yang berbeda dengan yang dibutuhkan. Jika lebih banyak modal yang digunakan, maka lebih banyak tenaga kerja yang digunakan.

(15)

7. Teori Pertumbuhan Ekonomi Regional

Pada dasarnya pembangunan daerah dalah berkenaan dengan tingkat dan perubahan selama kurun waktu tertentu suatu set variable-variabel, seperti produksi, penduduk, angkatan kerja, rasio modal tenaga, dan imbalan bagi faktor (factor returns) dalam daerah dibatasi secara jelas. Laju pertumbuhan dari daerah-daerah biasanya diukur melalui output atau tingkat pendapatan adalah sangat berbeda-beda, dan beberapa daerah mengalami kemunduran jangka panjang.

Pertumbuahan regional adalah produk dari banyak faktor , sebagian besifat intern dan sebagian lainnya bersifat extern dan sosio politik. Faktor-faktor yang berasal dari daerah itu sendiri meliputi distribusi faktor produksi seperti tanah , tenaga kerja, modal sedangkan salah satu penentu extern yang penting adalah tingkat permintaan dari daerah- daerah lain terhadap komoditi yang dihasilkan oleh daerah tersebut.

Laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi bukan berarti telah terjadinya pembangunan. Kriteria pendapatan perkapita sebagai dasra pengukuran pembangunan mulai diragukan kebenarannya. Dalam keadaan demikian terjadi penyimpangan pengertian antara pertumbuahn ekonomi dengan pembangunan( development).

Pertumbuhan ekonomi merupakan kondisi yang diperlukan tetapi tidak mencukupi bagi proses pembanguan. Pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan peningkatan produksi barang-barang dan jasa-jasa dalam masyarakat sebaliknya pembangunan bukan saja memerlukan peningkatan produksi barang-barang dan jasa-jasa tetapi juga harus menjamin pembangiannya secara lebih merata kepada segenap lapisan masyarakat.

Strategi pertumbuhan ekonomi mengabaikan masalah pemerataan ini. Dengan laju pertumbuhan yang tinggi diharapkan secara otomatis akan terjadi perembesan ke

(16)

bawah (trickle-down effect) sehingga menguntungkan juga kelompok masyarakat miskin. Pertumbuhan ekonomi merupakan ukuran utama keberhasilan pembangunan, dan hasil pertumbuhan ekonomi akan dapat pula dinikmati masyarakat sampai di lapisan paling bawah, baik dengan sendirinya maupun dengan campur tangan pemerintah.

Pertumbuhan ekonomi harus berjalan secara beriringan dan terencana, mengupayakan terciptanya pemerataan kesempatan dan pembagian hasil-hasil pembangunan dengan lebih merata. Dengan demikian maka daerah yang miskin, tertinggal tidak produktif akan menjadi produktif, yang akhirnya akan mempercepat pertumbuhan itu sendiri. Strategi ini dikenal dengan istilah “Redistribution With Growth”

Pada dasarnya pembangunan daerah adalah berkenaan dengan tingkat dan perubahan selama kurun waktu tertentu suatu set variable-variabel, seperti produksi, penduduk, angkatan kerja, rasio modal tenaga dan imbalan bagi faktor dan dalam daerah dibatasi secara jelas. Laju pertumbuhan dari daerah-derah biasanya diukur menurut output atau tingkat pendapatan. Ada beberapa teori pertumbuhan ekonomi regional yang lazim dikenal yaitu:

a. Export Base Models, oleh North (1955) yang kemudian dikembangkan oleh Tiebout (1956).

Mereka mendasarkan pandangannya dari sudut teori lokasi, yg berpendapat bahwa jenis keuntungan lokasi yang dapat digunakan daerah tersebut sebagai kekuatan ekspor. Keuntungan lokasi tersebut umumnya berbeda-beda setiap region dan hal ini tergantung pada keadaan geografi daerah setempat.

(17)

Pertumbuhan ekonomi suatu daerah ditentukan oleh eksploitasi pemanfaatan alamiah dan pertumbuhan basis ekspor daerah yang bersangkutan yang juga dipengaruhi oleh tingkat permintaan eksternal dari daerah-daerah lain. Pendapatan yang diperoleh dari penjualan ekspor akan mengakibatkan berkembangnya kegiatan - kegiatan penduduk setempat, perpindahan modal dan tenaga kerja, keuntungan - keuntungan eksternal dan pertumbuhan ekonomi regional lebih lanjut. Ini berarti bahwa untuk meningkatkan pertumbuhan suatu region, strategi pembangunannya harus disesuaikan dengan keuntungan lokasi yang dimilikinya dan tidak harus sama dengan strategi pembangunan pada tingkat nasional.

b. Cumulative Causation Models oleh Myrdal (1975) dan kemudian diformulasikan oleh Kaldor.

Teori ini berpendapat bahwa peningkatan pemerataan pembangunan antar daerah tidak hanya dapat diserahkan pada kekuatan pasar (market mechanism), tetapi perlu adanya campur tangan pemerintah dalam bentuk program - program pembangunan regional terutama untuk daerah – daerah yang relatif masih terbelakang.

c. Core Periphery Models dikemukakan oleh Friedman (1966)

Teori ini menekankan analisa pada hubungan yang erat dan saling mempengaruhi antara pembangunan kota (core) dan desa (periphery). Menurut teori ini, gerak langkah pembangunan daerah perkotaan akan lebih banyak ditentukan oleh keadaan desa-desa disekitarnya. Sebaliknya corak pembangunan pedesaan tersebut juga sangat ditentukan oleh arah

(18)

pembangunan perkotaan. Dengan demikian aspek interaksi antar daerah (spatial interaction) sangat ditentukan.

Adapun yang menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, yakni dibedakan atas dua jenis:

1. Faktor ekonomi

Para ahli ekonomi menganggap faktor produksi sebagai kekuatan utama yang mempengaruhi pertumbuhan, jatuh atau berkembangnya perekonomian adalah konsekuensi dari perubahan yang terjadi dalam faktor produksi tersebut.

a. Sumber daya alam

Faktor utama yang mempengaruhi perkembangan suatu perekonomian adalah sumber daya alam atau tanah. Tanah sebagaimana dipergunakan dalam ilmu ekonomi mencakup sumber daya alam seperti kesuburan tanah, letak dan susunannya, kekayaan hutan, mineral, iklim, sumber air, sumber lautan, dan sebagainya. Bagi pertumbuhan ekonomi, tersedianya sumber daya alam secara melimpah merupakan hal penting. Suatu Negara yang kekurangan sumber alam tidak dapat membangun dengan cepat.

b. Akumulasi Modal

Faktor ekonomi kedua yang penting dalam pertumbuhan ekonomi adalah akumulasi modal. Modal berarti persediaan faktor produksi yang secara fisik dapat direproduksi. Apabila stok modal naik dalam batas waktu tertentu, hal ini disebut akumulasi modal atau pembentukan modal. Dalam ungkapan Nurkse, makna pembentukan modal adalah masyarakat tidak melakukan saat ini sekedar untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumsi yang mendesak akan tetapi

(19)

menggairahkan sebagian daripadanya untuk pembuatan barang modal, alat-alat, mesin-mesin, pabrik dan peralatannya. Dalam arti ini pembentukan modal merupakan investasi dalam bentuk barang-barang modal yang dapat menaikkan stok modal, output nasional dan pendapatan nasional.

c. Sumber Daya Manusia

Sumber daya manusia merupakan faktor terpenting dalam pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi tidak semata-mata tergantung pada jumlah sumber daya manusia saja, tetapi lebih menekankan kepada efisiensi mereka. Untuk mendorong agar sumber daya manusia dapat bekerja secara efisien dan maksimal, maka diperlukan pembentukan modal insan, yaitu proses peningkatan ilmu pengetahuan, keterampilan dan kemampuan seluruh penduduk negara/ wilayah yang bersangkuatan. Proses ini mencakup kesehatan, pendidikan dan pelayanan social pada umumnya. Sehingga pada kondisi dimana penduduk dapat berproduktivitas secara efisien akan mendorong laju pertumbuhan ekonomi.

d. Tenaga Manajerial dan Organisasi Produksi

Organisasi produksi merupakan bagian penting dalam proses pertumbuhan ekonomi. Organisasi ini berkaitan dengan penggunaan faktor produksi dalam berbagai kegiatan perekonomian. Organisasi produksi ini dilaksanakan dan diatur oleh tenaga manajerial dalam berbagai kegiatannya sehari-hari. Dan dalam perkembangan dan pertumbuhan ekonomi, para wiraswasta tampil sebagai tenaga organisator dalam menggerakkan berbagai sumber produksi dengan memperkenalkan penemuan baru yang dikenal sebagai inovasi.

(20)

2. Faktor Non Ekonomi

a. Faktor pemamfaatan teknologi

Kemajuan teknologi merupakan faktor yang penting dalam proses pertumbuhan ekonomi. Dan perubahan dan kemajuan teknologi tersebut dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja, modal dan faktor produksi lainnya.

b. Faktor Politik dan Administrasi Pemerintahan

Struktur dan politik serta administrasi pemerintahan yang lemah merupakan faktor penghambat yang besar bagi pertumbuhan ekonomi Negara-negara berkembang. Politik yang tidak stabil serta pemerintahan yang lemah dan koruptor sangat menghambat kemajuan ekonomi.

c. Aspek Sosial Budaya

Aspek sosial budaya dalam kehidupan masyarakat meliputi antara lain sikap, tingkah laku, pandangan masyarakat, motivasi kerja, kelembagaan masyarakat dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan itu. Sebagai ilustrasi, misalnya pendidikan dan kebudayaan Barat membawa pemikiran dan pandangan kearah penalaran, sikap dan skeptisme, dan semangat untuk menghasilkan penemuan baru, yang kesemuanya dapat menunjang pertumbuhan ekonomi.

d. Susunan dan tertib hukum

Susunan dan tertib hukum serta pelaksanaan hukum dan peraturan dan perundang-undangan yang keliru sering kali menghambat kemajuan ekonomi,

(21)

sehingga tidak mendukung terlaksananya pertumbuhan ekonomi. Sehubungan dengan itu maka hukum harus dilaksanakan secara tertib dan konsekuen, yang ditujukan untuk menunjang pertumbuhan ekonomi.

2.4 Pengeluaran Pemerintah

2.4.1 Pengeluaran Pemerintah

Dalam kebijakan fiskal dikenal ada beberapa kebijakan anggaran, yaitu anggaran berimbang, anggaran surplus dan anggaran defisit. Dalam pengertian umum, anggaran berimbang adalah suatu kondisi dimana penerimaan sama dengan pengeluaran (G = T ). Anggaran surplus yaitu pengeluaran lebih kecil dari penerimaan (G<T) sedangkan anggaran defisit adalah anggaran dimana komposisi pengeluaran lebih besar dari penerimaan (G>T).

Anggaran surplus digunakan jika pemerintah mengatasi masalah inflasi, sedangkan anggaran defisit digunakan jika pemerintah ingin mengatasi masalah pengangguran dan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Jika pemerintah merencanakan peningkatan perumbuhan untuk mengurangi angka pengangguran, pemerintah dapat meningkatkan pengeluarannya.

Di Indonesia, pengeluaran pemerintah terbagi atas 2 yakni:

1. Pengeluaran Rutin

Pengeluaran rutin yaitu pengeluaran untuk pemeliharaan / penyelenggaraan roda pemerintahan sehari-hari, meliputi: belanja pegawai, belanja barang, berbagai macam subsidi (subsidi daerah dan subsidi harga), angsuran dan bunga utang pemerintah serta jumlah pengeluaran rutin lainnya. Melalui pengeluaran rutin, pemerintah dapat menjalankan misinya dalam rangka menjaga kelancaran

(22)

penyelenggara pemerintah, kegiatan operasional dan pemeliharaan aset negara, pemenuhan kewajiban pemerintah kepada pihak ketiga, perlindungan kepada masyarakat miskin dan kurang mampu, serta menjaga stabilitas perekonomian (Djunasien dan Hidayat, 1989).

Anggaran belanja rutin memegang peranan penting untuk menunjang kelancaran mekanisme sistem pemerintahan serta upaya peningkatan efisiensi dan produktivitas, yang pada gilirannya akan menunjang tercapainya sasaran dan tujuan setiap tahap pembangunan. Penghematan dan efisiensi pengeluaran rutin perlu dilakukan untuk menambah besarnya tabungan pemerintah yang diperlukan untuk pembiayaan pembangunan nasional. Penghematan dan efisiensi tersebut antara lain diupayakan melalui penajaman alokasi pengeluaran rutin, pengendalian dan koordinasi pelaksanaan pembelian barang-barang dan jasa kebutuhan departemen/lembaga negara non departemen dan pengurangan berbagai macam subsidi secara bertahap.

2. Pengeluaran Pembangunan

Pengeluaran pembangunan yaitu pengeluaran yang bersifat menambah modal masyarakat dalam bentuk pembangunan baik prasarana fisik dan non fisik. Pengeluaran pembangunan merupakan pengeluaran yang ditujukan unutk membiayai program-program pembangunan sehingga anggarannya selalu dapat disesuaikan dengan dana yang dimobilisasi. Dana ini kemudian dialokasikan pada berbagai bidang sesuai dengan prioritas yang telah direncanakan. Semakin besar pengeluaran pemerintah untuk membiayai program pembangunan, berarti semakin tinggi tingkat pembangunan ekonomi di wilayah tersebut. Semakin besar pembangunan wilayah

(23)

berarti semakin besar pula kegiatan ekonominya. Hal ini akan memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut.

Pengelolaan anggaran pembangunan juga harus tetap ditempatkan sebagai bagian yang utuh dari upaya menciptakan anggaran pendapatan dan belanja negara yang sehat, melalui upaya mengurangi sacara bertahap peran pembiayaan yang bersumber dari luar negeri tanpa mengurangi upaya untuk mencipatakan pertumbuhan yang berkesinambungan.

Menurut Wagner, ada beberapa hal yang menyebabkan pengeluaran pemerintah selalu meningkat, yaitu tuntutan peningkatan perlindungan keamanan dan pertahanan, kenaikan tingkat pendapatan nasional, perkembangan demokrasi dan ketidakefisienan birokrasi yang mengiringi perkembangan pemerintahan.

Dalam teori ekonomi makro, pengeluaran pemerintah terdiri dari 3 bagian utama yang dapat digolongkan sebagai berikut:

1. Pengeluaran pemerintah untuk pembelian barang-barang dan jasa 2. Pengeluaran pemerintah untuk gaji pegawai

3. Pengeluaran pemerintah untuk transfer payments yakni merupakan pos yang mencatat pembayaran atau pemberian pemerintah lansung kepada warganya yang meliputi pembiayaan subsidi/ bantuan lansung kepada berbagai golongan masyarakat, pembiayaan pensiunan, pembayaran bunga untuk pinjaman pemerintah kepada masyarakat. Secara ekonomis, transfer payment mempunyai status dan pengaruh yang sama dengan gaji pegawai meskipun administrasi keduanya berbeda (Boediono,2001).

Pengeluaran pemerintah dalam arti riil dapat dipakai sebagai indikator besarnya kegiatan pemerintah yang dibiayai oleh pengeluaran pemerintah itu. Semakin besar

(24)

dan semakin banyak kegiatan pemerintah, semakin besar pula pengeluaran pemerintah yang bersangkutan.

2.4.2 Teori Pengeluaran Pemerintah 1. Pengeluaran Pemerintah Versi Keynes

Identitas keseimbangan pendapatan nasional Y = C+I+G merupakan pandangan kaum Keynesian akan relevansi campur tangan pemerintah dalam perekonomian tertutup. Formula ini dikenal sebagai identitas pendapatan nasional. Variabel Y (Pendapatan Nasional ), C (Pengeluaran Konsumsi), I (Investasi), dan G (Pengeluaran pemerintah). Dengan membandingkan nilai G terhadap Y serta mengamati dari waktu ke waktu dapat diketahui seberapa besar kontribusi pengeluaran pemerintah dalam pembentukan pendapatan nasional (Dumairy, 1997).

Menurut Keynes untuk menghindari timbulnya stagnasi dalam perekonomian, pemerintah berusaha untuk meningkatkan jumlah pengeluaran pemerintah (G) dengan tingkat yang lebih tinggi dari pendapatan nasioanl, sehingga dapat mengimbangi penurunan nilai APC (Average Prospensity to Consume) dalam perekonomian. Pendapatan setelah diperhitungkan transfer pemerintah dari pajak yang harus dibayarkan kepada pemerintah disebut sebagai Dispossible Income suatu masyarakat sama dengan besarnya transfer pemerintah (Tr) dikurangi besarnya pajak (tax) yang dipungut oleh pemerintah. (Reksoprayitna,1985).

2. Model pembangunan tentang perkembangan pengeluaran pemerintah.

Model ini dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yaitu tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan

(25)

ekonomi, prosentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana seperti pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin besar. Peranan pemerintah tetap besar pada tahap menengah, oleh karena peranan swasta semakin besar akan menimbulkan banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak. Selain itu pada tahap ini perkembangan ekonomi menyebabkan terjadinya hubungan antarsektor yang makin komplek. Misalnya pertumbuhan ekonomi yang ditimbulkan oleh perkembangan sektor industri akan menimbulkan semakin tingginya pencemaran atau polusi. Pemerintah harus turun tangan mengatur dan mengurangi dampak negatif dari polusi. Pemerintah juga harus melindungi buruh dalam meningkatkan kesejahteraannya.

Musgrave(1980) berpendapat bahwa dalam suatu proses pembangunan, investasi swasta dalam prosentase terhadap Produk Domestik Bruto semakin besar dan prosentase investasi pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto akan semakin kecil. Pada tingkat ekonomi lebih lanjut, Rostow mengatakan bahwa aktivitas pemerintah dalam pembangunan ekonomi beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari tua dan pelayanan kesehatan masyarakat (Guritno,1993: 170).

3. HukumWagner

Wagner mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah yang semakin besar dalam prosentase terhadap PDB. Wagner

(26)

mengemukakan pendapatnya bahwa dalam suatu perekonomian apabila pendapatan per kapita meningkat maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Hukum Wagner dikenal dengan “The Law of Expanding State Expenditure”. Dasar dari hukum tersebut adalah pengamatan empiris dari negara-negara maju (Amerika Serikat, Jerman, Jepang). Dalam hal ini Wagner menerangkan mengapa peranan pemerintah menjadi semakin besar , terutama disebabkan karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat. Kelemahan hukum Wagner adalah karena hukum tersebut tidak didasarkan pada suatu teori mengenai pemilihan barang-barang publik. Wagner mendasarkan pandangannya dengan suatu teori yang disebut teori organis mengenai pemerintah (organic theory of the state) yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas dari anggota masyarakat lainnya.

Hukum Wagner diformulasikan sebagai berikut:

PkPP : pengeluaran pemerintah perkapita PPK : pendapatan perkapita

1,2,…,n : jangkawaktu(tahun)

Hukum Wagner ditunjukkan dalam Gambar 1 dimana kenaikan pengeluaran pemerintah mempunyai bentuk ekponential yang ditunjukkan oleh kurva 1 dan bukan kurva 2(Guritno,1993:171-172).

(27)

Gambar 2.1

Teori Pengeluaran Pemerintah Menurut Hukum Wagner

4. Teori Peacok dan Wiseman

Peacock dan Wiseman adalah dua orang yang mengemukakan teori mengenai perkembangan penge-luaran pemerintah yang terbaik. Teori mereka didasarkan pada suatu pandangan bahwa pemerintah senantiasa berusaha untuk memperbesar pengeluaran sedang-kan masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang semakin besar tersebut. Teori Peacock dan Wiseman merupakan dasar teori pemungutan suara. Peacock dan Wiseman mendasarkan teori mereka pada suatu teori bahwa masyarakat mempunyai suatu tingkat toleransi pajak, yaitu suatu tingkat dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Jadi masyarakat menyadari bahwa pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai aktivitas pemerintah sehingga mereka mempunyai tingkat kesediaan masyarakat untuk membayar pajak. Tingkat toleransi ini merupakan kendala bagi pemerintah untuk menaikkan pemungutan pajak secara semena-mena.

(28)

Teori Peacock dan Wiseman adalah sebagai berikut: Pertumbuhan ekonomi (PDB) menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah; dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah

jugasemakinmeningkat.

Oleh karena itu, dalam keadaan normal, meningkatnya PDB menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar. Apabila keadaan normal tersebut terganggu, misalnya karena adanya perang, maka pemerintah harus memperbesar pengeluarannya untuk membiayai perang. Karena itu penerimaan pemerintah dari pajak juga meningkat dan pemerintah meningkat-kan penerimaannya tersebut dengan cara menaikkan tarif pajak sehingga dana swasta untuk investasi dan konsumsi menjadi berkurang. Keadaan ini disebut efek pengalihan (displacement effect) yaitu adanya gangguan sosial menyebabkan aktivitas swasta dialihkan pada aktivitas pemerintah. Perang tidak hanya dibiayai dengan pajak, akan tetapi pemerintah juga melakukan pinjaman ke negara lain. Akibatnya setelah perang sebetulnya pemerintah dapat kembali menurunkan tarif pajak, namun tidak dilakukan karena pemerintah masih mempunyai kewajiban untuk mengembalikan pinjaman tersebut.Sehingga pengeluaran pemerintah meningkat karena PDB yang mulai meningkat , pengembalian pinjaman dan aktivitas baru setelah perang. Ini yang disebut efek inspeksi (inspection effect). Adanya gangguan sosial juga akan menyebabkan terjadinya konsentrasi kegiatan ke tangan pemerintah dimana kegiatan ekonomi tersebut semula dilaksanakan untuk swasta. Ini disebut efek konsentrasi (concentration effect). Adanya ketiga efek tersebut menyebabkan aktivitas pemerintah bertambah. Setelah perang selesai dan keadaan kembali normal maka tingkat pajak akan turun kembali. Bird mengkritik hipotesa yang dikemukakan oleh Peacock dan

(29)

Wiseman . Bird menyatakan bahwa selama terjadinya gangguan sosial memang terjadi pengalihan aktivitas pemerintah dari pengeluaran sebelum gangguan ke pengeluaran yang berhubungan dengan gangguan tersebut. Hal ini akan diikuti oleh peningkatan prosentase pengeluaran pemerintah terhadap PDB. Akan tetapi setelah terjadinya gangguan, prosentase pengeluaran pemerintah terhadap PDB akan menurun secara perlahan-lahan kembali ke keadaan semula. Jadi menurut Bird ,efek pengalihan merupakan gejala dalam jangka pendek, tetapi tidak terjadi dalam jangka panjang.

Satu hal yang perlu dicacat dari teori Peacock dan Wiseman adalah bahwa mereka mengemukakan adanya toleransi pajak, yaitu suatu limit perpajakan, akan tetapi mereka tidak menyatakan pada tingkat berapa toleransi pajak tersebut. Clarke menyatakan bahwa limit perpajakan adalah sebesar 25 persen dari pendapatan nasional . Apabila limit dilampaui maka akan terjadi inflasi dan gangguan lainnya (Guritno,1993:173-176).

Pengeluaran konsumsi pemerintah yang terlalu kecil akan merugikan pertumbuhan ekonomi, pengeluaran pemerintah yang proporsional akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran konsumsi pemerintah yang boros akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Tetapi pada umumnya pengeluaran pemerintah membawa dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi(Yoenanto dan Lana,2007).

2.5 KETENAGAKERJAAN

2.5.1 Pengertian Tenaga kerja

Yang dimaksud dengan tenaga kerja adalah penduduk yang pada usia kerja (15-64 tahun) yang secara potensial dapat bekerja.tenaga kerja terdiri dari angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja adalah penduduk yang bekerja dan

(30)

yang tidak bekerja tetapi siap untuk mencari kerja. Sedangkan yang tergolong bukan angkatan kerja adalah mereka yang sedang bersekolah, ibu rumah tangga dan golongan lain-lain penerima pendapatan.

Pengertian penduduk yang bekerja adalah:

1. Mereka yang selam seminggu sebelum pencacahan melakukan pekerjaan atau bekerja dengan maksud memperoleh penghasilan paling sedikit satu jam dalam seminggu yang lalu dengan tidak boleh terputus

2. Mereka yang selam seminggu sebelum pencacahan tidak melakukan pekerjaan, tetapi mereka adalah pekerja tetap, pegawai-pegawai pemerintahan atau swata yang sedang tidak masuk kerja, petani-petani yang tidak bekerja karena sedang menunggu panenan dan orang-orang yang bekerja di bidang keahlian seperti dokter,tukang pangkas dan sebagainya. Sedangkan yang termasuk ke dalam kelompok penganggur adalah mereka yang tidak bekerja dan sedang mencari pekerjaan menurut referensi waktu tertentu.

Di Indonesia semula dipilih batas umur minimum adalah 10 tahun. Pemilihan umur 10 tahun sebagai batas umur minimum adalah berdasarkan kenyataan bahwa dalam umur tersebut sudah banyak penduduk berumur muda terutama di desa-desa sudah bekerja dan mencari pekerjaan.(Payaman,2001:2).

Dengan bertambahnya kegiatan pendidikan maka penduduk dalam usia sekolah yang melakukan kegiatan ekonomi akan berkurang. Bila wajib sekolah Sembilan tahun diterapkan maka anak-anak sampai dengan umur 14 tahun akan berada di sekolah. Dengan kata lain, jumlah penduduk yang bekerja dalam batas umur tersebut akan menjadi sangat kecil sehingga batas umur lebih tepat dinaikkan menjadi 15 tahun. Atas pertimbangan tersebut, undang-undang no.25 tahun 1997 tentang ketentuan- ketentuan pokok ketenagakerjaan disebutkan bahwa :Tenaga kerja adalah

(31)

setiap orang laki-laki atau perempuan yang sedang mencari pekerjaan, baik di dalam atau di luar hubungan kerja, guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat (Payaman, 2001:2).

Jumlahnya atau besarnya penduduk umumnya dikaitkan dengan pertumbuhan income perkapita suatu negara, yang secara kasar mencerminkan kemajuan perekonomian suatu negara. Ada pendapat yang mengatakan bahwa jumlah penduduk yang besar adalah menguntungkan bagi pembangunan ekonomi. Tetapi ada juga yang berpendapat lain yaitu bahwa justru jumlah penduduk yang jumlahnya sedikit yang dapat mempercepat proses pembangunan ekonomi ke arah yang lebih baik. Disamping itu juga, ada yang berpendapat bahwa jumlah penduduk suatu negara harus seimbang dengan jumlah sumber-sumber ekonominya, baru dapat diperoleh kenaikan pendapatan nasionalnya. Ini berarti jumlah penduduk tidak boleh terlampau banyak (Mulyadi:2003).

Pertambahan penduduk bukanlah merupakan suatu masalah, melainkan sebaliknya justru merupakan unsur penting yang akan memacu pembangunan ekonomi. Populasi yang lebih besar adalah pasar potensial yang menjadi sumber permintaan akan berbagai macam barang dan jasa yang kemudian akan menggerakkan berbagai macam kegitan ekonomi sehingga menciptakan skala ekonomis (economics of scale) produk yang menguntungkan semua pihak, menurunkan biaya-biaya produksi dan menciptakan sumber-sumber pasokan atau penawaran tenaga kerja murah dalam jumlah yang memadai sehingga pada gilirannya meransang tingkat output atau produksi agregat yang lebih tinggi lagi (Todaro,2003).

Sumber daya manusia merupakan salah satu faktor dinamika dalam perkembangan ekonomi jangka panjang, bersama dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, sumber daya alam, dan kapasitas produksi yang terpasang dalam

(32)

masyarakat yang bersangkutan. Keempat faktor dinamika itu harus dilihat dalam kaitan interaksinya satu dengan yang lainnnya. Namun diantaranya peranan sumber daya manusia mengambil tempat yang sentral, khususnya dalan pembangunan ekonomi Negara-negara berkembang dimana kesejahteraan manusia dijadikan tujuan pokok dari ekonomi masyarakat. Berpangkal pada masalah penduduk dan angkatan kerja, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, wajib diberi perhatian utama dalam ekonomi pembangunan (Sumitro,1994).

Penduduk berfungsi ganda dalam perekonomian, dalam konteks pasar ia berada baik di sisi permintaan maupun di sisi penawaran. Di sisi permintaan jumlah penduduk yang besar merupakan pangsa pasar yang baik dan penduduk adalah konsumen, sumber permintaan akan barang-barang dan jasa dan di sisi penawaran penduduk yang besar juga sangat menguntungkan penduduk dalam hal produsen.

Bertitik tolak dalam masalah penduduk dan angkatan kerja baik secara kuantitatif maupun kualitatif wajib diberi perhatian yang utama dalam ekonomi pembangunan, karena kenaikan jumlah penduduk secara otomatis akan menaikkan jumlah angkatan kerja. Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan angkatan kerja secaa tradisionil dinggap salah satu faktor yang positif yang memacu pertumbuhan ekonomi, jumlah tenaga kerja yang lebih besar berarti ukuran pasar domestiknya akan lebih besar.

2.5.2 Teori Ketenagakerjaan/ Kependudukan 1. Teori Klasik Adam Smith

Adam Smith (1729-1790) merupakan tokoh utama dari aliran ekonomi yang kemudian dikenal sebagai aliran klasik. Smith menganggap bahwa manusialah sebagai faktor produksi utama yang menetukan kemakmuran bangsa-bangsa.

(33)

Alasannya, alam (tanah) tidak ada artinya kalau tidak ada sumber daya manusia yang pandai mengolahnya sehingga bermamfaat bagi kehidupan.

Smith juga melihat bahwa alokasi sumber daya manusia yang efektif adalah pemula pertumbuhan ekonomi. Setelah ekonomi tumbuh, akumulasi modal (fisik) baru mulai dibutuhkanuntuk menjaga agar ekonomi tumbuh. Dengan kata lain, alokasi Sumber daya manusia yang efektif merupakan syarat perlu (necessary Condition) bagi pertumbuhan ekonomi (subri, 2003:2).

2. Teori Lewis (1959)

Lewis menyebutkan bahwa kelebihan pekerja bukan merupakan suatu masalah, melainkan suatu kesempatan. Kelebihan pekerja satu sektor akan memeberikan andil terhadap pertumbuhan output dan penyediaan pekerja di sector lain.

Ada dua struktur di dalam perekonomian Negara berkembang, yaitu sector kapitalis modern dan sector subsisten terbelakang. Menurut Lewis sector subsisten terbelakang. Menurut lewis sector subsisten terbelakang todak hanya terdiri dari sector pertanian, tetapi juga sector informal lainnya.

Sector subsisten terbelakang mempunyai kelebihan penawaran pekerja dan tungkat upah relative murah daripada sector kapitalis modern. Lebih murahnya biaya upah pekerja asal pedesaan akan dapat menjadi pendorong bagi pengusaha di perkotaan untuk memanfaatkan pekerja tersebut dalm pengembangan industry modern perkotaan. Selama berlansungnya proses industrialisasi, kelebihan penwaran pekerja di sector subsisten terbelakang akan diserap.

Bersamaan dengan terserapnya kelebihan pekerja di sector industri modern, maka pada suatu saat tingkat upah di pedesaan akan meningkat.Selanjutnya

(34)

peningkatan upah ini akan mengurangi perbedaan/ketimpangan tingkat pendapatan antara perkotaan dan pedesaan.

Dengan demikian menurut Lewis, adanya kelebihan penawaran pekerja tidak memberikan masalah pada pembangunan ekonomi. Sebainya kelebihan pekerja justru merupakan modal untuk mengakumulasi pendapatan, dengan asumsi bahwa perpindahan pekerja justru merupakan modal untuk mengakumulasi pendapatn, dengan asumsi bahwa perpindahan pekerja dari sector subsisten ke sector kapitalis modern berjalan lancar dan perpindahan tersebut tidak akan pernah menjadi “terlalu banyak”. (Subri,2003:56).

3. Teori Fei-Ranis (1961)

Teori Fei-Ranis berkaitan dengan Negara berkembang yang mempunyai ciri-ciri kelebihan buruh, sumber daya alamnya belum dapat diolah, sebagian besar penduduknya bergerak di sector pertanian, banyak pengangguran, dan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi.

Menurut Fei-Ranis ada tiga tahap pembangunan ekonomi dalam kondisi kelebihan buruh. Pertama dimana para penganggur semua dialihkan ke sector industry dengan upah institusional yang sama. Kedua, tahap di mana pekerja pertanian menambah output tetapi memproduksi lebih kecil dari upah institusional yang mereka peroleh, dialihkan pula ke sector industry. Ketiga, tahap diatandai awal pertumbuhan swasembada pada saat buruh pertanian menghasilkan output lebih besar daripada perolehan upah institusional. Dan dalam hal ini kelebihan pekerja terserap ke sector jasa dan industry yang meningkat terus menerus sejalan dengan pertambahan output dan perluasan usahanya. (Subri,2003:57).

(35)

4. Teori Klasik J.B. Say

Kontribusi Jean Baptise Say (1767-1832) terhadap aliran klasik ialah pandangannya yang mengatakan bahwa setiap penawaran akan menciptakan permintaannya sendiri (Supply creates its own demand). Pendapat Say ini disebut Hukum Say (Say’ s Law).

Hukum Say didasarkan pada asumsi bahwa nilai produksi selalu sama dengan pendapatan.Tiap ada produksi, akan ada pendapatan, yang besarnya persis sama dengan nilai produksi tadi. Dengan demikian dalam keadaan keseimbangan, produksi cenderung menciptakan permintaannya sendiri akan produksi barang yang bersangkutan.

Dengan dasar asumsi seperti ini ia menganggap bahwa peningkatan produksi akan selalu diiringi oleh peningkatan pendapatan, yang akhirnya akan diiringi pula oleh peningkatan permintaan. Jadi, dalam perekonpomian yang menganut pasar persaingan sempurna tidak akan pernah terjadi kelebihan penawaran (Excess Supply). Kalupun terjadi, sifatnya hanya sementara. Pasar lewat “tangan tak kentara” akan mengatur dirinya kembali ke arah keseimbangan (Subri, 2003: 2).

5. Teori Keynes

Kaum Klasik percaya bahwa perekonomian yang dilandaskan pada kekuatan mekanisme pasar akan selalu menuju keseimbangan (equilibrium). Dalam posisi keseimbangan, kegiatan produksi secra otomatis akan menciptakan daya beli untuk membeli barang-barang yang dihasilkan . Daya beli tersebut diperoleh sebagai balas jasa atau faktor-faktor produksi seperti upah, gaji, suku bunga, sewa dan balas jasa dari faktor-faktor produksi lainnya. Pendapatan atas faktor-faktor produksi tersebut

(36)

seluruhnya akan dibelanjakan untuk membeli barang-barang yang dihasilkan perusahaan. Ini yang dimaksud Say bahwa pemasaran akan selalu berhasil menciptakan permintaan sendiri (Subri, 2003:5).

Dalam posisi keseimbangan tidak terjadi kelebihan maupun kekurangan permintaan. Kalaupun terjadi ketidak seimbangan (diseqilibrium), misalnya pasokan lebih besar dari permintaan, kekurangan konsumsi, atau terjadinya penganguran, maka keadaan ini dinilai kaum klasik sebagai suatu “tangan tak kentara” (invisible hands) yang akan membawa perekonomian kembali pada posisi keseimbangan (Subri,2003:5).

Ada dua teori penting perlu dikemukakan dalam kaitannya dengan masalah ketenaga kerjaan. Pertama adalah teori Lewis (1959) yang mengemukakan bahwa kelebihan pekerja merupakan kesempatan dan bukan suatu masalah. Kelebihan pekerja satu sektor akan memberikan andil terhadap pertumbuhan output dan penyediaan pekerja di sector lain.

Ada dua struktur di dalam perekonomian negara berkembang, yaitu sektor kapitalis modern dan sektor subsisten terbelakang. Menurut Lewis sektor subsisten terbelakang tidak hanya terdiri dari sektor pertanian, tetapi juga sektor informal seperti pedagang kaki lima dan pengecer Koran.

Dengan demikian menurut Lewis, adanya kelebihan penawaran pekerja tidak memberikan masalah bagi pembangunan ekonomi. Sebaiknya kelebihan pekerja justru merupakan modal untuk mengakumulasi pendapatan,dengan asumsi bahwa perpindahan pekerja dari sektor subsisten ke sektor kapitalis modern berjalan lancar dan perpindahan tersebut tidak akan pernah menjadi “terlalu banyak”.

(37)

Teori kedua adalah teori Fei-Rains (1961) yang berkaitan dengan Negara berkembang yang mempunyai cirri-ciri sebagai berikut : kelebihan buruh, sumber daya alamnya belum dapat diolah, sebagian besar penduduknya bergerak di sector pertanian, banyak pengaguran, dan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi.

Penelitian Firdausy et All (2002) menunjukkan bahwa sumber-sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat banyak termasuk modal, tenga kerja, dan peranan dari institusi dalam proses pembangunan.

2.6 Penelitian Sebelumnya

Penelitian tentang ketimpangan wilayah di Indonesia diawali oleh Hendra Esmara (1975), Islam dan Khan (1986), dan Nasjid Majidi (1997). Dengan menggunakan data PDRB riil dikemukakan bahwa selama periode 1968-1997 indeks ketimpangan pendapatan antardaerah semakin meningkat. DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Bali, dan Riau merupakan propinsi yang paling makmur, sedangkan propinsi terparah yaitu: Nusa Tenggara Timur dan Barat, Bengkulu dan Jambi. Secara umum propinsi-propinsi di daerah timur Indonesia menempati posisi rendah. Penelitian Sjafrizal (1997) dan Welly dan Waluyo (2000) dengan menggunakan data PDRB tanpa migas antara tahun 1983 – 1997 menunjukkan indeks ketimpangan bergerak dari 0,49 – 0,54. Indeks ketimpangan Indonesia jika dibandingkan dengan kelompok negara maju (0,49 - 0,54) dan berpendapatan menengah (0,46) akan berada di atas rata-rata (Waluyo, 2007).

Penelitian Takahiro Akita (2003) menggunakan data PDB per-kapita China dan Indonesia dengan teknik two stage nested Theil inequality decomposition. Menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: Satu; Dalam pandangan efisiensi, ketimpangan pendapatan antardaerah disebabkan oleh ketidakmerataan distribusi

(38)

sumber daya alam dan rendahnya kualitas transportasi dibeberapa daerah. Dua; Di China 60% wilayah dalam propinsi menunjukkan ketimpangan pendapatan yang tinggi, sedangkan di Indonesia setengahnya mengalami ketimpangan. Kim (1996), dengan penelitian di Korea menjelaskan bahwa sektor publik lokal mempumyai pengaruh yang signifikan terhadapa pertumbuhan ekonomi di Korea selama periode 1970-1991. Yilmaz (2002), meneliti bagaimana pola dan struktur perekonomian cenderung konvergen dan divergen. Hasilnya menjelaskan bahwa perbedaan wilayah dan perilaku temporal dari perekonomian nasional mempunyai efek terhadap kecepatan kondisi konvergensi. Ardani (1966) telah menganalisis kesenjangan pendapatan dankonsumsi antar daerah dengan menggunakan indeks Williamson selama 1098-1993 dan 1983-1993. Kesimpulannya mendukung hipotesis Williamson (1965) bahwa pada tahap pembangunan ekonomi terdapat kesenjangan kemakmuran antar daerah. Namun semakin majunya pembangunan ekonomi kesenjangan tersebut semakin menyempit (Waluyo,2007).

Hirschman (1958) mengemukakan konsep pengembangan wilayah menyatakan bahwa dalam satu wilayah atau daerah yang cukup luas hanya terdapat berbagai titik pertumbuhan (growth Center), dimana industri berada pada suatu kelompok daerah tertentu sehingga menyebabkan timbulnya daerah pusat dan daerah belakang (hinterland). Untuk mengurangi ketimpangan ini perlu memperbanyak titik –titik pertumbuhan baru.

Menurut Glasson (1977) pertumbuhan wilayah dapat terjadi sebagai akibat dari penentu endogen atau eksogen, yaitu faktor-faktor yang terdapat di dalam wilayah yang bersangkutan ataupun faktor-faktor luar wilayah, atau kombinasi dari keduanya. Dalam model-model ekonomi makro disebutkan bahwa ekonomi penentu intern pertumbuhan ekonomi wilayah adalah modal, tenaga kerja, tanah (sumber daya

(39)

alam), dan sistem sosio-politik, sedangkan menurut model ekspor pertumbuhan,industri ekspor dan kenaikan permintaan adalah penentu pokok pertumbuhan wilayah yang bersifat ekstern.

Pujiati, Amin (2007) telah melakukan penelitian tentang Analisis Pertumbuhan Ekonomi Di Karesidenan Semarang Era Desentralisasi Fiskal tahun 2002-2006 dengan menggunakan metode GLS(Generalized Least Square). Hasil yang didapat menunjukkan bahwa tenaga kerja (TK) memainkan peran yang penting dalam penelitian ini, dengan melihat angka koefisiennya yang besar. Koefisien tenaga kerja menunjukkan tanda yang positif dan signifikan secara statistik pada tingkat kepercayaan 1 persen untuk semua kabupaten/kota. Koefisien tenaga kerja yang besar ini belum bisa dikatakan adanya peningkatan kualitas tenaga kerja tetapi hanya dari sisi kuantitas. Hal ini bisa dilihat dari penduduk yang berumur 10 tahun keatas menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan rata-rata dari kabu-paten/kota di karesidenan Semarang sebagian besar adalah tingkat SD, yaitu sebesar 70 persen kecuali kota Salatiga dan Kota Semarang rata-rata 40 persen, meskipun apabila dilihat dari jumlah jam kerja seminggu bagi yang bekerja lebih dari 35 jam/minggu rata-rata 67 persen untuk semua kabupaten/kota pada tahun 2005. Nilai koefisien tenaga kerja 0,76 artinya jika ada peningkatan tenaga kerja sebesar 10 persen akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi (PDRB) sebesar 7,6 persen. Jumlah tenaga kerja yang lebih besar diharapkan akan menambah jumlah tenaga yang produktif yang memacu pertumbuhan ekonomi (Amin, Pujiati:2007).

Soelistianingsih, Lana (2007) telah melakukan penelitian tentang Analisis Disparitas Pendapatan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Regional tahun 1993-2005 dengan menggunakan metode GLS (Generalized Least Square). Hasil yang didapat

(40)

menunjukkan bahwa Pengeluaran pemerintah daerah memiliki efek positif signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dimana pengeluaran pemerintah kabupaten/ kota memiliki pengaruh positif signifikan sebesar 0,08 pada tingkat kepercayaan 99%. Hal itu berarti setiap kenaikan 1% pengeluaran pemerintah kabupaten/ kota akan menaikkan pertumbuhan ekonomi regional di Propinsi Jawa Tengah sebesar 0,08%. Dalam hal ini pengeluaran pemerintah menjadi fungsi fiskal stimulus yang cukup optimal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.

Grossman (1988) menemukan hubungan positif antara pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi, tanpa melihat pengeluaran persektor (regardless of the disaggregation of expenditures) Diamond (1989) mengamati pengeluaran sosial, hasilnya menunjukkan signifikan positif berdampak terhadap per- tumbuhan jangka pendek saat pengeluaran infrastruktur lebih sedikit berpengaruh (walaupun positif). Dia menemukan juga pengeluaran kapital negatif berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Sifat negatif di sini berhubungan pada periode jangka panjang dan tidak efisien berhubungan dengan pembiayaan publik. Mengikuti Barro (1990), kontribusi pengeluaran yang produktif positif terhadap pertumbuhan, dan sebaliknya untuk pengeluaran yang tidak produktif.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Dalam kedudukannya sebagai pengelola barang, dan dihubungkan dengan amanat pasal 6 ayat (2) Undang-undang nomor 17 tahun 2003, Gubernur juga berwenang mengajukan usul untuk

Lintasan berkas proton tersebut tergantung pada distribusi medan listrik pemercepat dan medan magnet di dalam siklotron, yang dapat dihitung dengan perangkat lunak Opera3D (dalam

Persoalan cabai merah sebagai komoditas sayuran yang mudah rusak, dicirikan oleh produksinya yang fluktuatif, sementara konsumsinya relatif stabil. Kondisi ini menyebabkan

Marketing politik bukanlah konsep untuk “menjual” partai politik (parpol) atau kandidat kepada pemilih, namun sebuah konsep yang menawarkan

Setiap aset dapat diperoleh dengan cara pengadaan baru, proses penggantian karena aset lama rusak dan mutasi dari distrik lain.Untuk beberapa kasus sering ditemukan aset yang

Termasuk yang juga bisa menolong untuk khusyu’ dalam shalat, yaitu tidak mengganggu orang lain dengan bacaan al Qur`an, tidak shalat dengan pakaian atau baju yang ada

Pada diatas, dapat dilihat bahwa hasil fermentasi cincalok udang rebon yang dibuat dengan metode Backslopping berpengaruh nyata terhadap nilai kadar air, abu,

Penelitian ini bertujuan untuk mengukur sejauh mana pengaruh variabel self efficacy dan social support terhadap individual performance baik secara langsung atau melalui burnout