• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Perdagangan Internasional

2.1.1 Teori Klasik

Aliran merkantilis lahir di kawasan Eropa Timur dan salah satu tokoh yang paling berpengaruh adalah Thomas Munn (1571-1641). Teori ini berpendapat bahwa untuk mencapai kesejahteraan diperoleh melalui proses akumulasi pengumpulan logam mulia atau emas. Untuk memperoleh emas yang lebih banyak dari pada emas yang dikeluarkan maka dalam perdagangan internasional harus surplus. Doktrin merkantilisme berpendapat bahwa, proses keuntungan perdagangan internasional hanya dapat diperoleh dari surplus neraca

perdagangan (ekspor lebih besar dari pada impor atau X > M). Hal ini dapat dilakukan dengan memacu kegiatan ekspor sebagai tujuan utama untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Upaya yang perlu dilakukan melalui peningkatan produksi domestik yaitu dengan menggali sepenuhnya sumber daya yang tersedia.

Kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah suatu negara sebagai intervensi dalam perkembangannya sangat diperlukan, yaitu bagaimana agar volume ekspor lebih besar dari pada volume impor. Apakah dengan memberikan berbagai subsidi dan fasilitas pada produksi untuk memacu sektor ekspor di satu sisi dan menekan impor disisi lain. Oleh karena itu, merkantilisme menghendaki proteksi setinggi-tingginya pada barang impor untuk melindungi produksi dalam negeri. Pembatasan impor bermanfaat bagi upaya pengembangan sekaligus perluasan kesempatan kerja melalui peningkatan output domestic sebagai sasaran utama dari peningkatan ekspor.

Merkantilisme berpendapat bahwa surplus neraca perdagangan sekaligus terjadinya penumpukan logam mulia, negara menjadi kaya, ketahanan nasional sangat kuat, dan pada akhirnya pencapaian tujuan tingkat kesejahteraan masyarakat semakin meningkat. Kekayaan suatu negara berdasarkan penumpukan logam mulia (emas) sebanyak-banyaknya juga mempunyai tujuan untuk memperluas kekuasaan dan kekuatan negara. Semakin banyak emas yang dikumpulkan, berarti negara semakin kuat dan semakin berkuasa. Negara yang kuat akan sulit bagi negara lain untuk menyerang negara tersebut dan tidak mungkin untuk dijajah, akhirnya negara yang kuat menjadi negara penjajah.

Pandangan merkantilis adalah pemerintah harus menggunakan seluruh kekuatannya untuk mendorong ekspor dan mengurangi atau membatasi impor, hal ini pada akhirnya mengandung makna mengorbankan negara lain. Merkantilisme menyebarluaskan nasionalisme ekonominya dan percaya pada suatu saat akan timbul konflik kepentingan nasional sehingga dengan mudah dapat dikuasai oleh negara. Sikap yang ditanamkan oleh merkantilis ini sebagai upaya melakukan penjajahan kepada negara lain dan telah terbukti bagaimana Uni Soviet dengan beberapa negara jajahannya.

Kaum merkantilis mengukur bahwa kekayaan suatu negara yaitu melalui cadangan logam mulia (emas atau perak) yang dimiliki. Akan tetapi tidak demikian perkembangannya sekarang ini, dimana ukuran kekayaan suatu negara terletak pada cadangan sumber daya manusia, hasil-hasil produksi, dan kekayaan alam yang tersedia. Semakin besar sumber kekayaan, maka akan semakin besar pula arus barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia, sehingga semakin tinggi pula standar hidup manusia atau masyarakat itu sendiri. Demikian pula penjajahan sudah hampir hilang dan setiap negara hanya berpikir bagaimana melakukan pembangunan ekonomi khususnya agar taraf hidup masyarakat terus lebih baik dan meningkat.

Dalam perkembangannya, pendapat merkantilis ini membawa dampak negatif yaitu berupa tekanan inflasi bagi perkembangan perkonomian domestik. Dengan semakin menumpuknya cadangan logam mulia (emas), berarti sekaligus peningkatan jumlah uang yang beredar sehingga secara perlahan dan pasti membawa konsekuensi berupa tekanan laju inflasi domestik yang diakibatkan

oleh kenaikan tingkat harga di dalam negeri yang pada gilirannya produk domestik tujuan ekspor menjadi tidak kompetitif di pasar dunia (David Hume dalam The Price Specie Flow Mechanism). Doktrin merkantilis ini tidak dapat bertahan lama dan bahkan masyarakat dalam negeri sendiri pada era merkantilis mengalami tekanan yang ditandai dengan kecenderungan kenaikan harga barang yang berlangsung secara terus menerus. Namun demikian perlu pula dipahami apa sebenarnya yang menjadi tujuan utama doktrin merkantilis, yaitu dalam rangka melakukan penjajahan. Negara yang kaya dan kuat tidak mungkin dapat diganggu oleh negara lain untuk dijajah, akan tetapi lebih jauh justru negara tersebut bermaksud untuk menjajah (Sumanjaya, Nasution, dan Hamzah, 2012: 12).

2.1.1.2 Adam Smith

Adam Smith berpendapat bahwa sumber tunggal pendapatan yaitu melalui produksi dari hasil tenaga kerja serta sumber daya ekonomi. Dalam hal ini Adam Smith setuju dengan doktrin merkantilis yang menyatakan bahwa kekayaan suatu negara dicapai dari surplus ekspor. Kekayaan suatu negara akan bertambah dengan meningkatnya skill, serta efisiensi tenaga kerja yang digunakan sesuai dengan presentase penduduk yang melakukan pekerjaan. Menurut Smith suatu negara akan mengekspor barang tertentu karena negara tersebut bisa menghasilkan barang dengan biaya yang lebih murah dibandingkan dengan negara lain, karena memiliki keunggulan mutlak dalam produksi barang tersebut. Menurut Adam Smith, keunggulan mutlak merupakan kemampuan suatu negara untuk menghasilkan suatu barang dan jasa per unit dengan menggunakan sumber

daya yang lebih sedikit dibandingkan dengan kemampuan negara-negara yang lain.

Teori Absolute Advantage lebih mendasarkan pada besaran/variabel rill bukan moneter sehingga sering dikenal dengan nama teori murni (pure theory) perdagangan internasional. Teori murni dalam hal ini merupakan teori memusatkan perhatiannya pada variabel rill misalnya seperti nilai suatu barang diukur dengan banyaknya tenaga kerja yang digunakan untuk menghasilkan barang, makin banyak tenaga kerja yang digunakan akan semakin tinggi nilai barang tersebut (Labor Theory of Value).

Teori Absolute Advantage oleh Adam Smith yang sederhana menggunakan teori nilai tenaga kerja. Teori nilai kerja ini bersifat sangat sederhana sebab menggunakan asumsi bahwa tenaga kerja itu sifatnya homogen

serta merupakan satu-satunya faktor produksi. Dalam kenyataannya tenaga kerja itu tidak homogen, faktor produksi tidak hanya satu dan mobilitas tenaga kerja tidak terbatas. Adam Smith memaparkan bagaimana perdagangan dapat menguntungkan kedua belah pihak, dalam pengertian menciptakan output tertentu dengan menggunakan tenaga kerja lebih sedikit dibanding output yang sama dihasilkan oleh negara lain, atau dapat pula dinyatakan per satuan waktu jika barang yang sama dihasilkan oleh tenaga kerja yang berasal dari negara yang berbeda.

Kemudian spesialisasi produk sebagai konsentrasi yang mempunyai keunggulan terhadap kedua negara yang melakukan perdagangan dan saling memberi keuntungan. Pada akhirnya volume perdagangan maupun konsumsi

kedua negara tersebut akan meningkat, demikian juga terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat kedua negara yang berdagang. Adam Smith menyajikan

absolute advantage (keunggulan mutlak) dengan menggunakan ilustrasi secara sederhana sebagai berikut:

Tabel 2.1 Penggunaan tenaga kerja (orang) untuk menghasilkan per unit output dalam satuan waktu

Barang Jepang Indonesia

X 8 10

Y 4 2

Untuk menciptakan barang X per unit, terungkap bahwa Jepang menggunakan tenaga kerja sebanyak 8 orang, lebih sedikit dibandingkan Indonesia sebanyak 10 orang tenaga kerja. Dengan demikian, Jepang mempunyai keunggulan mutlak dalam menggunakan tenaga kerja yang lebih sedikit dibandingkan dengan Indonesia terhadap barang X. Sebaliknya untuk barang Y, Indonesia lebih unggul secara mutlak dari Jepang. Perdagangan internasional antara Indonesia dan Jepang akan berlangsung dan memberikan keuntungan bagi kedua negara. Hal ini menunjukkan bahwa Jepang konsentrasi atau spesialisasi menciptakan barang X dan tentunya Indonesia terhadap barang Y. Jepang lebih murah memproduksi barang X sekaligus mengekspornya ke Indonesia. Sebaliknya, Indonesia lebih murah memproduksi barang Y dan sekaligus mengekspornya ke Jepang. Hal ini sekaligus memberikan makna bahwa Jepang mengekspor barang X dan mengimpor barang Y dari Indonesia, begitu pun Indonesia sendiri akan mengimpor barang X dari Jepang.

Teori absolute advantage yang diajukan oleh Adam Smith ini, bahwa tenaga kerja sebagai input produksi sekaligus mengukur nilai suatu barang. Sedangkan upah tenaga kerja pada masing-masing negara tidak diperhitungkan (diabaikan). Belum tentu labor cost di Jepang lebih murah atau sebaliknya juga bagi Indonesia. Keterangan ini perlu di lihat mengingat penentuan tingkat harga produk sangat dipengaruhi oleh proporsi penggunaan input. Disinilah letak salah satu kelemahan absolute advantage yang diajukan oleh Adam Smith.

Absolute Advantage Theory oleh Adam Smith kemudian dikritik oleh David Ricardo dimana merupakan sesama aliran klasik. Kritik yang dikatakan oleh David Ricardo terhadap absolute advantage sangat sederhana sekali. Bagaimana seandainya negara tersebut tidak memiliki keunggulan mutlak sama sekali terhadap kedua barang yang diciptakan? Hal ini berarti negara tersebut tidak dapat melakukan perdagangan internasional dengan negara lain. menurut David Ricardo, perdagangan internasional dapat saja terjadi meskipun negara itu tidak memiliki keunggulan mutlak, tetapi memiliki keunggulan komparatif dari negara lain. Ilustrasi comparative advantage diungkapkan sebagai berikut:

Tabel 2.2 Penggunaan tenaga kerja (orang) untuk menghasilkan satuan unit output per satuan waktu

Barang Jepang Indonesia

X 2 10

Y 1 2

Jepang memiliki keunggulan mutlak pada produksi barang X dan barang Y, karena untuk kedua komoditas tersebut Jepang lebih sedikit menggunakan

tenaga kerja, akan tetapi keunggulan mutlak Jepang lebih besar pada barang X dari pada barang Y. Terlihat bahwa 2/10 (20 persen) lebih kecil dari ½ (50 persen) atau kebutuhan tenaga kerja untuk memproduksi barang X di Jepang lebih murah dibandingkan produksi barang Y. Hal ini berarti Jepang memiliki keunggulan komparatif terhadap barang X daripada memproduksi barang Y. Sebenarnya Jepang memiliki keunggulan mutlak atas Indonesia untuk memproduksi barang X dan barang Y. Untuk memproduksi barang X, Indonesia memerlukan 10/2 dan untuk barang Y dengan perbandingan 2/1. Menurut David Ricardo, perdagangan dapat terjadi antara Jepang dan Indonesia karena Indonesia memiliki keunggulan komparatif pada produksi barang Y disebabkan 2/1 atau 2 lebih kecil dari 10/2 atau 5. Konsep comparative advantage David Ricardo dibangun dengan sejumlah asumsi:

1. Dua negara masing-masing memproduksi dua jenis komoditi dengan hanya menggunakan satu faktor produksi tenaga kerja.

2. Kedua komoditi bersifat identik (homogen).

3. Kedua komoditi dapat dipindahkan antar negara dengan biaya transportasi nol.

4. Tenaga kerja merupakan faktor produksi yang bersifat homogen dalam suatu negara, namun heterogen tidak identik antar negara.

5. Tenaga kerja dapat bergerak antar industri dalam suatu negara namun tidak antar negara.

Dokumen terkait