• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Teori Konstruksi Realitas Sosial

Peter L. Berger dan Thomas Luckmann pertama kali memperkenalkan istilah konstruksi sosial atau realitas sosial (construction of reality) pada tahun 1966 melalui bukunya yang berjudul “The Sosial Construction of Reality. A Treatise in the Sosiological of Knowledge” yang menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya yang mana individu menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. Asal mula konstruksi sosial yaitu dari filsafat konstruktivisme, yang dimulai dari gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Menurut Von Glaserfeld pengertian konstruksi kognitif muncul pada abad ini. Dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas di per dalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun apabila ditelusuri, sebenarnya gagasan-gagasan tokoh konstruktivisme sebenarnya telah dimulai oleh Giambatissta Vico, seorang epistimolog dari Italia, ia adalah cikal bakal konstruktivisme (Bungin, 2013:193).

Menurut Bungin (2013:193) dalam aliran filsafat, gagasan konstruktivisme telah muncul sejak Socrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia sejak Plato menemukan akal budi dan ide. Gagasan tersebut semakin lebih konkret setelah Aristoteles mengenalkan istilah informasi, relasi, individu, substansi, materi, esensi dan sebagainya. Ia mengatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah fakta. Descartes kemudian memperkenalkan ucapan “Cogito, Ergo Sum” yang berarti saya berpikir karena itu saya ada. Kata-kata Descartes yang terkenal itu menjadi dasar yang kuat bagi perkembangan gagasan gagasan konstruktivisme sampai saat ini. Pada tahun 1710, Vico dan Riko dalam “De Antiquissima Italorum Sapientia” mengungkapkan filsafatnya dengan berkata

“Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan. Artinya bahwa Tuhan sajalah yang dapat mengerti alam raya ini karena hanya Dia yang tahu bagaimana membuatnya dan dari apa ia membuatnya. Sementara itu orang hanya mengetahui sesuatu yang telah dikonstruksikannya.

Berger dan Luckmann dalam Bungin (2013: 195) mengatakan, institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara objektif, namun pada kenyataannya semuanya dibangun dalam definisi secara subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subjektif yang sama. Pada tingkat generalitas yang paling tinggi manusia menciptakan dunia dalam makna simbolis yang universal atau menyeluruh, yang memberi

legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial serta memberi makna pada berbagai bidang kehidupannya.

Jika dilihat dari perspektif teori Berger dan Luckmann, terjadi dialektika diantara individu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu. Konstruksinya berlangsung melalui interaksi sosial yang dialektis dari tiga bentuk realitas yaitu realitas objektif, realitas simbolis dan realitas subjektif. Pertama, realitas objektif adalah realitas yang dibentuk dari pengalaman di dunia objektif yang berada di luar dari individu dan realitas ini dianggap sebagai kenyataan. Realitas ini merupakan suatu kompleksitas definisi realitas termasuk ideologi dan keyakinan. Kedua, realitas simbolis merupakan ekspresi simbolis dari realitas objektif dalam berbagai bentuk. Semua bentuk-bentuk simbolis tersebut dari realitas objektif yang biasanya diketahui oleh khalayak dalam bentuk karya seni beserta isi media. Ketiga, realitas subjektif adalah realitas yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas objektif dan simbolis ke dalam individu melalui proses internalisasi.

Selain itu, Berger dan Luckmann menemukan konsep untuk menghubungkan antara subjektif dan objektif melalui konsep dialektika yang dikenal dengan eksternalisasi-objektivasi-internalisasi. Pertama, eksternalisasi ialah penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia. Pada tahap ini masyarakat dilihat sebagai produk manusia (society is human product). Maksud dari proses ini adalah ketika sebuah produk sosial telah menjadi sebuah bagian penting dalam masyarakat yang setiap saat dibutuhkan oleh individu, maka produk sosial itu menjadi bagian penting dalam kehidupan seseorang untuk

melihat dunia luar. Dengan demikian tahap eksternalisasi ini berlangsung ketika produk sosial tercipta di masyarakat, kemudian individu mengeksternalisasikan atau menyesuaikan diri ke dalam dunia sosiokultural nya sebagai bagian dari produk manusia. Proses ini merupakan proses dimana individu belajar dan bersentuhan dengan produk-produk budaya yang sudah ada di lingkungannya. Dalam proses eksternalisasi bagi masyarakat yang mengedepankan ketertiban sosial individu berusaha sekeras mungkin untuk menyesuaikan diri dengan peranan-peranan sosial yang sudah dilembagakan.

Kedua, tahap objektivasi produk sosial, terjadi dalam dunia intersubjektif masyarakat yang dilembagakan. Pada tahap ini sebuah produk sosial berada dalam proses institusionalisasi, sedangkan individu oleh Berger dan Luckmann dikatakan memanifestasikan diri dalam produk-produk kegiatan manusia yang tersedia, baik bagi produsen-produsennya, maupun bagi orang lain sebagai unsur dari dunia bersama. Pada tahap ini masyarakat dilihat sebagai realitas objektif (society is an objective reality) atau proses interaksi sosial dalam dunia interaktif yang dilembagakan. Melalui proses institusionalisasi dalam proses objektivasi ini individu mulai melebur dengan banyak individu dan melakukan interaksi. Perkembangan proses objektivasi tidak pernah berhenti dan terus berlanjut, banyak guncangan dan ubahan konsep. Hal tersebut terlihat dari sikap dan bagaimana seseorang menerapkan dalam kehidupannya, yang terpenting dalam tahap objektivasi adalah melakukan signifikasi memberikan tanda bahasa dan simbolisasi terhadap benda yang di signifikasi yang kemudian menjadi objektivasi linguistik yaitu pemberian tanda verbal maupun simbolis yang kompleks.

Ketiga, internalisasi. Internalisasi adalah pemahaman atau penafsiran yang langsung dari suatu peristiwa objektif sebagai pengungkapan suatu makna, artinya sebagai suatu manifestasi dari proses-proses subjektif orang lain yang dengan demikian menjadi bermakna sebagai subjektif bagi individu itu sendiri. Internalisasi lebih merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Pada proses ini individu melakukan persiapan kembali atas realitas yang terbentuk di masyarakat sebagai struktur yang objektif dan mengaplikasikannya dalam diri sebagai realitas subjektif. Dalam arti lain,

internalisasi ialah dasar bagi pemahaman mengenai “sesama saya”, yaitu

pemahaman individu dan orang lain serta pemahaman mengenai dunia sebagai sesuatu yang maknawi dari kenyataan sosial (Bungin, 2013: 197-202).

Dari ketiga dialektika tersebut, eksternalisasi dalam konteks penelitian ini, wartawan berusaha mengekpresikan diri, baik dalam kegiatan mental ataupun fisik dengan melakukan penyesuaian diri terhadap idealismenya. Wartawan dalam proses ini memahami nilai dan norma tentang idealisme dalam profesinya terkait Pilkada. Kemudian objektivasi, wartawan berinteraksi sosial dan melebur dengan wartawan lainnya untuk kemudian memaknai idealismenya. Terakhir, internalisasi berkaitan dengan pemaknaan idealisme sebagai pengungkapan suatu makna realistas melalui sebuah tindakan yang akan dilakukan dalam menghadapi pemberitaan Pilkada.