• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1.2 Teori Konstruksi Sosial Media Massa

Ketika konstruksionisme sosial diterapkan pada komunikasi massa, ia membuat asumsi yang mirip dengan interaksionisme simbolik; itu mengasumsikan bahwa penonton aktif. Anggota audiens yang aktif menggunakan simbol media untuk memahami lingkungan mereka dan hal-hal di dalamnya, tetapi definisi tersebut memiliki nilai yang kecil kecuali orang lain membagikannya—yaitu, kecuali jika simbol juga mendefinisikan hal-hal untuk orang lain dengan cara yang sama. (Baran dan Davis, 2011: 324)

Realitas kekuatan media membangun realitas sosial, di mana lewat kekuatan itu media memindahkan realitas sosial ke dalam pesan media dengan atau setelah dirubah citranya, kemudian media memindahkannya dengan replikasi citra ke dalam realitas sosial yang baru di masyarakat, seakan realitas itu sedang hadir di masyarakat. Realitas merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun demikian, validitas suatu realitas sosial bersifat relatif, yang berlaku sesuai konteks khusus yang dinilai relevan oleh pelaku sosial.

McLuhan dalam (Morissan, 2017: 38), dalam menggunakan media, orang cenderung mementingkan isi pesannya saja dan orang sering kali tidak menyadari bahwa media yang menyampaikan pesan juga mempengaruhi kehidupannya. Menurutnya, media membentuk dan mempengaruhi pesan atau informasi yang disampaikan.

Sementara itu, teori konstruktivisme adalah pandangan yang melihat bahwa kebenaran suatu realitas sosial dilihat sebagai hasil konstruksi sosial dan kebenaran suatu realitas sosial bersifat relatif (nisbi). Dalam bentuk aslinya, konstruktivisme mengacu pada studi tentang bagaimana struktur mental

manusia dikonstruksi dari waktu ke waktu dan bagaimana jaringan neural yang sebelumnya dilatih untuk menjalankan tindakan simbolik tertentu menjadi kondisi bagi tindakan selanjutnya. (Littlejohn, 2016: 216)

Teori konstruksi sosial bisa disebut berada di antara teori fakta sosial dan definisi sosial. Dalam teori fakta sosial, standar yang eksis-lah yang penting.

Manusia adalah produk dari masyarakat. Tindakan dan persepsi manusia ditentukan oleh struktur yang ada dalam masyarakat. Institusionalisasi, norma, struktur, dan lembaga sosial menentukan individu manusia. Sebaliknya, teori definisi sosial, manusialah yang membentuk masyarakat. Manusia digambarkan sebagai entitas yang otonom, melakukan pemaknaan dan membentuk masyarakat. Manusia yang membentuk realitas, menyusun institusi dan norma yang ada. Teori konstruksi sosial berada di antara keduanya.

(Eriyanto, 2002: 15).

Istilah konstruksi atas realitas sosial menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Berger dan Luckmann. Mereka menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, di mana individu menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif. Berger dan Luckmann (1990: 1) menjelaskan realitas sosial dengan memisahkan pemahaman ‘kenyataan’ dan ‘pengetahuan’. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas yang diakui sebagai memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak kita sendiri.

Pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik. Terdapat tiga proses sosial dalam pendekatan konstruksi sosial atas realitas yang terjadi secara simultan;

eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Dalam proses ini terjadi dialektika antara individu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu.

(Bungin, 2008: 13-15).

Berger dalam (Eriyanto, 2002: 16-17) menyebutkan ada tiga tahapan dalam peristiwa dialektis, di antaranya:

1. Ekternalisasi. Usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Ini sudah menjadi sifat dasar manusia, ia akan selalu mencurahkan diri ke tempat di mana ia berada.

Manusia tidak dapat kita mengerti sebagai ketertutupan yang lepas dari dunia luarnya. Manusia berusaha menangkap dirinya, dengan kata lain manusia menemukan dirinya sendiri dalam suatu dunia.

2. Objektivasi. Hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu menghasilkan realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berada di luar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya. Lewat proses ini, masyarakat menjadi suatu realitas sui generis.

3. Internalisasi. Proses ini lebih ke arah penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dari dunia yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas di luar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran.

Melalui internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat.

Dengan demikian, proses konstruksi sosial media massa (Bungin, 2008:

195-200) melewati tahap-tahap berikut ini, yaitu:

1. Tahap menyiapkan materi konstruksi. Menyiapkan materi konstruksi sosial media massa adalah tugas redaksi media massa, tugas itu didistribusikan pada desk editor yang ada di setiap media massa. Isu-isu yang menjadi fokus harian media massa, yaitu kedudukan (harta), harta, dan perempuan.

Ada tiga hal penting dalam penyiapan materi konstruksi sosial;

keberpihakan media massa kepada kapitalisme, keberpihakan semu kepada masyarakat, dan keberpihakan kepada kepentingan umum.

2. Tahap sebaran konstruksi. Prinsip dasar dari sebaran konstruksi sosial media massa adalah semua informasi harus sampai pada pemirsa atau pembaca secepatnya dan setepatnya berdasarkan pada agenda media. Apa

yang dipandang penting oleh media, menjadi penting pula bagi pemirsa atau pembaca.

3. Tahap pembentukan konstruksi realitas. Dalam hal ini terbagi menjadi dua, yaitu tahap pembentukan konstruksi realitas dan pembentukan konstruksi citra. Tahap pembentukan konstruksi realitas di masyarakat terjadi melalui tiga tahap; (a) konstruksi realitas pembenaran, di mana bentuk konstruksi media massa yang terbangun di masyarakat yang cenderung membenarkan apa saja yang ada (tersaji) di media massa sebagai sebuah realitas kebenaran, (b) kesediaan dikonstruksi oleh media massa, yaitu pilihan seseorang untuk menjadi pembaca dan pemirsa media massa adalah karena pilihannya untuk bersedia pikiran-pikirannya dikonstruksi oleh media massa, (c) menjadikan konsumsi media massa sebagai pilihan konsumtif, di mana seseorang secara habit tergantung pada media massa. Sedangkan pembentukan konstruksi adalah bangunan yang diinginkan oleh tahap konstruksi. Dimana bangunan konstruksi citra yang dibangun oleh media massa ini terbentuk dalam dua model; good news dan bad news. Untuk media massa, realitas citra media dikonstruksi orang oleh desk dan redaksi, namun merupakan bagian dari rekonstruksi sosial masyarakatnya.

4. Tahap konfirmasi. Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun pembaca dan pemirsa memberi argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam tahap pembentukan konstruksi. Bagi media, tahapan ini perlu sebagai bagian untuk memberi argumentasi terhadap alasan-alasannya konstruksi sosial. Sedangkan bagi pemirsa dan pembaca, tahapan ini juga sebagai bagian untuk menjelaskan mengapa ia terlibat dan bersedia hadir dalam proses konstruksi sosial.

Dokumen terkait