TOLERANSI BERAGAMA DALAM BUDAYA MADURA
7. Teori Kontruksi Sosial dan Dakwah
58
faktor yang sangat penting untuk kehidupan suatu ideologi yang
disebarluaskan kepada khalayak ramai.35
Kearifan dalam berdakwah merupakan salah satu jalan untuk mendekati
umat dalam memahami ajaran agamanya secara baik dan benar dengan
berorientasi pada perlindungan dan penghargaan atas hak-hak asasi manusia,
dan pada saat yang sama, nilai-nilai kemanusiaan, seperti persamaan dan
keadilan dapat ditegakkan. Dalam dakwah, seorang da’i yang menyampaikan
pesan dakwah tidak cukup hanya berdakwah dengan lisan, tetapi juga dengan
perbuatan.
7. Teori Kontruksi Sosial dan Dakwah
Asal usul konstruksi sosial dari filsafat konstruktivisme yang dimulai
dari gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Menurut Von Glaserfeld,
pengertian konstruktif kognitif muncul pada abad ini dalam tulisan Mark
Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget.
Namun, apabila ditelusuri, sebenarnya gagasan-gagasan dimulai oleh
Giambatissta Vico, seorang epistemolog dari italia, ia adalah cikal bakal
konstruktivisme.36
Berger dan Luckman mulai menjelaskan realitas sosial dengan memisahkan pemahaman ‘kenyataan dan pengetahuan’. Realitas diartikan
sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas yang diakui sebagai
memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak sendiri.
35 Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 55.
59
Pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata
(real) dan memiliki karakteristik yang spesifik.37
Berger dan Luckman mengatakan terjadi dialektika antara indivdu
menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu. Proses
dialektika ini terjadi melalui eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.
Proses dialektis tersebut mempunyai tiga tahapan, Berger menyebutnya
sebagai momen. Ada tiga tahap peristiwa :38
Pertama, eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Ini sudah
menjadi sifat dasar dari manusia, ia akan selalu mencurahkan diri ke tempat
dimana ia berada. Manusia tidak dapat kita mengerti sebagai ketertutupan
yang lepas dari dunia luarnya. Manusia berusaha menangkap dirinya, dalam
proses inilah dihasilkan suatu dunia dengan kata lain, manusia menemukan
dirinya sendiri dalam suatu dunia.
Kedua, objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu menghasilkan
realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri
sebagai suatu faktisitas yang berada di luar dan berlainan dari manusia yang
menghasilkannya. Lewat proses objektivasi ini, masyarakat menjadi suatu
realitas suigeneris. Hasil dari eksternalisasi kebudayaan itu misalnya, manusia
menciptakan alat demi kemudahan hidupnya atau kebudayaan non-materiil
dalam bentuk bahasa. Baik alat tadi maupun bahasa adalah kegiatan
37 Ibid, h.lm 14 38 Ibid, hlm.15
60
ekternalisasi manusia ketika berhadapan dengan dunia, ia adalah hasil dari
kegiatan manusia. Setelah dihasilkan, baik benda atau bahasa sebagai produk
eksternalisasi tersebut menjadi realitas yang objektif. Bahkan ia dapat
menghadapi manusia sebagai penghasil dari produk kebudayaan. Kebudayaan
yang telah berstatus sebagai realitas objektif, ada diluar kesadaran manusia, ada “di sana” bagi setiap orang. Realitas objektif itu berbeda dengan
kenyataan subjektif perorangan. Ia menjadi kenyataan empiris yang bisa
dialami oleh setiap orang.
Ketiga, internalisasi. Proses internalisasi lebih merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif
individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari
dunia yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas
diluar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Melalui
internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat. Bagi Berger, realitas itu
tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan.
Tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi. Dengan pemahaman
semacam ini, realitas berwajah ganda/plural. Setiap orang bisa mempunyai
konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Setiap orang yang
mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu, dan lingkungan
pergaulan atau sosial tertentu akan menafsirkan realitas sosial itu dengan
konstruksinya masing-masing.
Berger dan Luckmann untuk memahami konstruksi sosial dimulai
61
pengetahuan. Kenyataan sosial dimaknai sebagai sesuatu yang tersirat didalam
pergaulan sosial yang diungkapkan secara sosial melalui komunikasi lewat
bahasa, bekerjasama melalui bentu-bentuk organisasi sosial dan sebagagainya.
Kenyataan sosial ditemukan didalam pengalaman intersubyektif. Sedangkan
pengetahuan mengenai kenyataan sosial dimaknai sebagai semua hal yang
berkitan dengan penghayatan kehidupan masyarakat dengan segala aspeknya
meliputi kognitif, psikomotoris, emosional dan intuitif. Kemudian dilanjutkan
dengan meneliti sesuatu yang dianggap intersubyektif tadi, karena Berger
menganggap bahwa terdapat subyektivitas dan objektivitas didalam kehidupan
manusia dan masyarakatnya.39
Dua istilah dalam sosiologi pengetahuan Berger adalah kenyataan dan
pengetahuan. Berger dan Luckmann mulai menjelaskan realitas sosial dengan
memisahkan pemahaman kenyataan dan pengetahuan. Realitas diartikan
sebagai suatu kualitas yang terdapat didalam realitas-realitas yang diakui
sebagai memiliki keberadaan (Being) yang tidak tergantung pada kehendak
kita sendiri. Sedangkan pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa
realitas-realitas itu nyata dan memiliki karakteristik yang spesifik.40
Menurut Berger dan Luckmann, terdapat dua obyek pokok realitas
yang berkenaan dengan pengetahuan, yakni realitas subyektif dan realitas
obyektif. Realitas subyektif berupa pengetahuan individu. Disamping itu,
realitas subyektif merupakan konstruksi definisi realitas yang dimiliki individu
dan dikonstruksi melalui peoses intrnalisasi. Realitas subyektif yang dimilik
39 Nur Syam, Islam Pesisir, (Yogyakarta: LKis Pelangi Aksara, 2005), h.37
62
masing-masing individu merupakan basis untuk melibatkan diri dalam proses
eksternalisasi, atau proses interaksi sosial dengan individu lain dalam sebuah
struktur sosial. Melalui proses eksternalisasi itulah individu secara kolektif
berkemampuan melakukan obyektivikasi dan memunculkan sebuah konstruksi
realitas obyektif yang baru.41 sedangkan realitas ooyektif dimaknai sebagai
fakta sosial. Disamping itu realitas obyektif merupkan suatu kompleksitas
definisi realitas serta rutinitas tindakan dan tingkah laku yang telah mapan
terpola, yang kesemuanya dihayati oleh individu secara umum sebagai fakta.
Berger dan Luckmann mengatakan institusi masyarakat tercipta dan
dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. meskipun
institusi sosial dan masyarakat terlihat nyata secara obyektif, namun pada
kenyataan semuanya dibangun dalam definisi subjektif melalui proses
interaksi. Obyektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang
yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subyektif yang sama.
Pada tingkat generalitas yang paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam
makna simbolis yang universal, yaitu pandangan hidupnya yang menyeluruh,
yang memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial serta memberi
makna pada berbagai bidang kehidupan. Pendek kata, Berger dan Luckmann
mengatakan terjadi dialektika antara individu menciptakan masyarakat dan
masyarakat menciptakan individu. Proses dialektika ini terjadi melalui
eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi.42
41 Margaret M. Polomo, Sosiologi Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), 301 42 Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa:Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklan
Televisi dan Keputusan Konsumen serta Kritik Terhadap Peter L. Berger dan Thomas Luckmann,
63
Teori konstruksi sosial dalam gagasan Berger mengandaikan bahwa
agama sebagai bagian dari kebudayaan, merupakan konstruksi manusia.
artinya terdapat proses dialektika ketika melihat hubungan masyarakat dengan
agama, bahwa agama merupakan entitas yang objektif karena berada diluar
diri manusia. dengan demikian agama, agama mengalami proses objektivasi,
seperti ketika agama berada didalam teks atau menjadi tata nilai, norma,
aturan dan sebagainya. Teks atau norma tersebut kemudian mengalami proses
internalisasi kedalam diri individu, sebab agama telah diinterpretasikan oleh
masyarakat untuk menjadi pedomannya. Agama juga mengalami proses
eksternalisasi karena ia menjadi acuan norma dan tata nilai yang berfungsi
menuntun dan mengontrol tindakan masyarakat.43
Aktivitas dakwah menjadi keniscayaan dengan melakukan
inovasi-inovasi dalam menjaga eksistensi agama secara berkesinambungan. Dalam hal
ini, Islam sebagai agama dakwah (missionary religion) menjadikan kegiatan
tersebut sebagai perekat terpeliharanya nilai-nilainya Islam. Proses transmisi
pesan-pesan dakwah dari seorang dai kehadapan khalayak mad’u yang
menjadi sasaran dakwah, tentunya dalam bingkai amar ma’ruf nahi mungkar
(menyeru pada kebaikan dan mencegah kemunkaran). Dalam konteks inilah,
fenomena tersebut sejatinya dikritisi dalam perspektif jurnalisme dakwah.
Upaya memproduksi karya-karya jurnalistik yang memuat pesan-pesan
dakwah. Hal ini diselaraskan dengan tujuan mulia kegiatan dakwah adalah
membimbing seseorang ke arah transformasi personal melalui perbaikan
43 Peter L. Berger & Thomas Lukhmann. Tafsir Sosial atas Kenyataan. (Jakarta: LP3ES,1190), h. 33-36.
64
perilaku yang dibangun dari pemahaman keagamaan secara tepat.
Transformasi personal meniscayakan pribadi yang paripurna dengan predikat
beriman dan beramal saleh. Kadar keilmuan seseorang diperoleh dari seorang
guru, termasuk di dalamnya mendengar ceramah berisi ilmu agama dari
seorang dai.
Dinamika perkembangan dakwah kontemporer diperhadapkan pada
kompleksitas persoalan umat. Karenanya, para dai harus berkiprah secara
profesional, guna member pencerahan agama bagi umat dalam menemukan
atau mengurai persoalan-persoalan kehidupan agar tetap istiqamah, konsisten,
menjalankan nilai-nilai agama yang diyakininya.
Karenanya, Islam sebagai agama dakwah meniscayakan
disebarluaskan kepada masyarakat. Kegiatan dakwah diyakini membawa
pengaruh terhadap kemajuan Islam. Sebaliknya, aktivitas dakwah yang lemah
akan berdampak pada kemunduran Islam. Dakwah adalah jalan paling utama
dan merupakan aktivitas yang dilakukan dengan iltizam di jalan dakwah
merupakan hal yang sangat menentukan nasib setiap muslim untuk memiliki
keyakinan yang mantap terhadap keselamatan arah perjalanan dakwah itu
sendiri.44
Pada prinsipnya sesungguhnya tiap-tiap muslim yang membawa
identitas Islam (baik secara aqidah atau syari’ah) mengetahui bahwa ia
diperintahkan untuk menyampaikan Islam ini kepada seluruh manusia
sehingga manusia dapat bernaung di bawah naungannya yang teduh. Di
65
situlah umat dapat menikmati ketentraman dan keamanan. Akan tetapi
ketentraman dan keamanan itu tidak akan terwujud kecuali setiap muslim
sadar bahwa dipundaknya ada amanah yang berat terhadap dakwah secara
universal yang tidak dibatasi oleh zaman, tempat, negara, lembaga dan
66
BAB III