• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI TENTANG KEWENANGAN DAN LEMBAGA

B. Teori Tentang Lembaga Negara

Di dalam suatu Negara, tentunya memiliki organ-organ Negara yang biasa disebut dengan istilah Lembaga Negara. Istilah lembaga Negara dalam kepustakaan Inggris, biasa disebut dengan istilah Political Institution, sedangkan dalam terminologi bahasa Belanda terdapat istilah Staat Organen. Sementara itu, bahasa Indonesia menggunakan lembaga negara, badan negara, atau organ Negara.35

Dalam memahami istilah organ atau lembaga Negara secara dalam, dapat dilihat dari pandangan Hans Kelsen sebagaimana yang dikutip oleh Jimly Asshidiqie mengenai “The concept of state organ” dalam bukunya “General Theory of Law and State”, dimana dalam bukunya tersebut Hans Kelsen menguraikan bahwa “Whoever fulfills a function determined by the legal order is an organ”.36

Dari kalimat tersebut dapat diartikan bahwa siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang ditentukan oleh suatu hukum (legal order) adalah suatu organ. Artinya, organ Negara itu tidak selalu berbentuk organik. Di samping organ Negara yang berbentuk organik, lebih luas lagi, setiap jabatan yang ditentukan oleh hukum dapat juga disebut sebagai organ,

35

Firmansyah Arifin dkk., Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara (Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), 2005), h. 88.

36

Jimly Asshidiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi

asalkan fungsi-fungsinya bersifat menciptakan norma (norm creating) dan/atau menjalankan norma (norm applying).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagaimana yang dikutip oleh Firmansyah Arifin, dkk, kata “lembaga” memiliki beberapa arti, salah satu arti yang paling relevan digunakan dalam penelitian ini adalah badan atau organisasi yang tujuannya melakukan suatu usaha. Kamus tersebut juga memberi contoh frase yang menggunakan kata lembaga, yaitu “lembaga

pemerintah” yang diartikan sebagai badan-badan pemerintahan dalam

lingkungan eksekutif. Apabila kata “pemerintah” diganti dengan kata “negara”, maka frase “lembaga negara” diartikan sebagai badan-badan negara di semua lingkungan pemerintahan Negara (khususnya di lingkungan eksekutif, legislatif, dan yudikatif).37

Seiring dengan perkembangannya, pemahaman tentang lembaga Negara muncul dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-1/2003 atas pengujian Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran yang menyatakan bahwa “dalam sistem ketatanegaraan Indonesia istilah lembaga Negara tidak selalu dimaksudkan sebagai lembaga Negara yang dimaksudkan dalam UUD yang keberadaannya atas dasar perintah konstitusi, tetapi juga ada yang dibentuk atas perintah undang-undang dan bahkan ada lembaga Negara yang dibentuk atas dasar keputusan presiden”.

37

Firmansyah Arifin dkk.,Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara

Pertimbangan tersebut dikutip kembali pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 031/PUU-IV/2006 atas pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

Dari pengertian-pengertian mengenai istilah lembaga Negara, penulis sependapat dengan pendapat mahkamah konstitusi di dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-1/2003 dan menarik kesimpulan bahwa lembaga Negara adalah suatu organ Negara yang dibentuk oleh Negara baik melalui UUD 1945, Undang-undang maupun Keputusan Presiden yang memiliki tugas dan fungsinya serta wewenang yang diatur oleh peraturan yang terkait sebagai penyelenggara Negara.

2. Jenis-jenis Lembaga Negara

Ketentuan UUD 1945 tidak mengklasifikasikan jenis-jenis lembaga Negara. dalam memahami jenis-jenis Lembaga Negara secara teori ada 3 jenis lembaga Negara yaitu antara lain: Lembaga Negara Utama, Lembaga Negara Kedua, Lembaga Negara Ketiga. Sebagaimana penjelasan sebagai berikut: a. Lembaga Negara Utama

Lembaga Negara utama adalah lembaga tinggi Negara yang tugas dan wewenangnya diatur oleh Undang-undang dasar 1945. Lembaga tinggi Negara ini terbagi atas Lembaga Legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Adapun organ Negara yang termasuk lembaga Negara utama antara lain: DPR, DPD, MPR, Presiden dan Wakil Presiden, MA, MK, dan BPK.

b. Lembaga Negara Kedua

Lembaga Negara kedua adalah Lembaga Negara yang kewenangannya disebutkan di dalam UUD 1945 dan Undang-undang. Lembaga Negara kedua ini disebutkan secara eksplisit ataupun Implisit di dalam Undang-undang dasar 1945 selain lembaga Negara Utama/lembaga tinggi Negara.38 Adapun organ Negara yang termasuk lembaga Negara kedua antara lain: Kementerian, Kepolisian RI, Kejaksaan RI, TNI, Bank Sentral, dan lain sebagainya.

c. Lembaga Negara Ketiga

Lembaga Negara ketiga adalah lembaga Negara dalam lingkup pemerintahan daerah. Adapun organ Negara yang termasuk lembaga Negara ketiga antara lain: Gubernur/Bupati/Walikota Pemerintahan Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota dan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota. 3. Lembaga Negara Penunjang (Auxiliary State Organs)

Dalam memahami istilah Lembaga Negara Penunjang (Auxiliary State Organs), ada beberapa istilah-istilah yang disamakan dengan Auxiliary State Organs, ada yang menyebutkan komisi Negara, ada yang menyebutkan Auxiliary State bodies, Auxiliary State Agencies dan adapula yang menyebutkan sebagai lembaga Negara Independen.

38

Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945 (Jakarta: Kencana, 2010), h. 179.

Menurut Jimly Asshidiqie yang menyebutkan lembaga Negara penunjang sebagai komisi Negara memberikan definisi yaitu komisi Negara adalah organ Negara (state organ) yang diedealkan independen dan karenanya berada diluar kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.39 Dengan demikian dapat dipahami bahwa Lembaga Negara penunjang ini bebas dari pengaruh dan intervensi manapun. Lembaga Negara penunjang (Auxiliary State Organs) dibagi menjadi 2 yaitu:40

a. Komisi Negara Eksekutif (Executive Branches Agencies)

Komisi Negara Eksekutif adalah Komisi Negara yang tugas dan fungsinya dimaksudkan untuk membantu kinerja dari lembaga eksekutif. Adapun organ Negara yang termasuk dalam Komisi Negara Eksekutif antara lain: Komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan, Komisi Hukum Nasional, ,Komite Akreditasi Nasional, dan lain sebagainya.

b. Komisi Negara Independen (Independent Regulatory Agencies)

Komisi Negara Independen adalah Suatu organ Negara/komisi yang independen, karena berada diluar dari kekuasaan manapun (kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif) dan bertanggung jawab langsung kepada rakyat melalui DPR sebagai representatif dari rakyat, namun mempunyai fungsi dari ketiga lembaga tersebut (legislatif,

39

Denny Indrayana, Negara Antara Ada Dan Tiada Refomasi Hukum Ketatanegaraan

(Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2008), h. 265-266.

40

Sri Sumantri, Lembaga Dan Auxikiary Bodies Dalam Sitem Ketatanegaraan Mnurut UUD 1945 (Surabaya, Airlangga University Press, 2002), h. 204.

eksekutif, dan yudikatif). Adapun organ Negara yang termasuk dalam Komisi Negara Eksekutif antara lain: Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Komisi Penyiaran Indonesia, PPATK, Komnas HAM, dan lain sebagainya.41

Dalam hal ini, penulis menghubungkan teori tentang Lembaga Negara Penunjang/Independen (auxiliary state organs) dengan penelitian ini karena Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan salah satu dari Lembaga Negara Penunjang/Independen (auxiliary state organs). KPK merupakan Lembaga Negara yang dalam menjalankan kewenangannya bebas dari pengaruh dan intervensi pihak atau lembaga manapun baik dalam upaya pemberantasan korupsi maupun tindak pidana pencucian uang termasuk kewenangan KPK dalam penuntutan tindak pidana pencucian, meskipun dalam banyak pihak memperdebatkan perihal kewenangan KPK dalam penuntutan TPPU seperti halnya dissenting opinion hakim TIPIKOR dalam putusan pengadilan terkait tindak pidana pencucian uang.

41

Sri Sumantri, Dan Auxikiary Bodies Dalam Sitem Ketatanegaraan Mnurut UUD 1945, h. 208.

BAB III

KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DAN PENCUCIAN UANG

A. Komisi Pemberatasan Korupsi

1. Latar Belakang dan Tujuan Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam penanganan tindak pidana korupsi, harus diakui bahwa eksistensi lembaga pemerintahan yang menangani perkara korupsi belum berfungsi secara efektif dan effesien dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal demikian diperparah oleh indikasi adanya keterlibatan aparat penegak hukum dalam penanganan kasus korupsi. Paling tidak terdapat 3 alasan yang membuat hal demikian terjadi yaitu: Pertama, melalui media massa seringkali ditemukan adanya beberapa kasus korupsi besar yang tidak pernah jelas ujung akhir penanganannya. Kedua, pada kasus tertentu juga sering terjadi adanya pengeluaran SP3 (surat perintah penghentian penyidikan) oleh aparat terkait sekalipun bukti awal secara yuridis dalam kasus tersebut sesungguhnya cukup kuat. Ketiga, kalaupun suatu kasus korupsi penanganannya sudah sampai di persidangan pengadilan, seringkali public dikejutkan bahkan dikecewakan oleh adanya vonis-vonis yang melawan arus dan rasa keadilan masyarakat.42

Selain itu, penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami

42

Mahrus Ali, Hukum Pidana Korupsi Di Indonesia (Yogyakarta: UII Press, 2011), h.169.

berbagai hambatan. Untuk itulah diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, propesional serta berkesinambungan.43 Pembentukan lembaga yang diharapkan mampu memberantas atau paling tidak meminimalisir maraknya kasus korupsi salah satunya adalah dengan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam bagian konsideran huruf a dan b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan, bahwa debentuknya Komisi tersebuat karena di satu sisi realitas korupsi di Indonesia dinilai semakin memperihatinkan dan menimbulkan kerugian besar terhadap keuangan maupun perekonomian Negara sehingga menghambat pembangunan nasional dalam mewujudkan kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan masyarakat. Pada sisi lain, upaya pemberantasan korupsi yang telah berjalan selama ini dinilai pula belum terlaksana secara optimal. Karena aparat penegak hukum yang bertugas menangani perkara tindak pidana korupsi dipandang belum dapat berfungsi secara efektif dan effesien.44

Mengenai latar belakang dan tujuan terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, penulis sependapat dengan pendapat yang

43

Romli Atmasasmita, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional Dan Aspek Internasional

(Bandung: Mandar Maju, 2004), h. 26-29.

44

dikemukakan oleh Ryaas Rasyid sebagaimana dikutip oleh Ni‟matul Huda yang menyatakan “Fenomena menjamurnya komisi Negara memberi kesan bahwa Indonesia berada dalam darurat karena pelbagai institusi yang ada selama ini tidak berperan serta berjalan efektif sesuai dengan ketatanegaraan dan konstitusi. DPR belum mampu menjalankan fungsi pengawasan terhadap kinerja lembaga Negara yang berada di bawah lembaga eksekutif. Di sisi lain, lembaga kuasi Negara adalah terobosan sekaligus perwujudan ketidakpercayaan rakyat dan pimpinan Negara terhadap lembaga kenegaraan yang ada”.45

Atas dasar itulah, penulis menyimpulkan bahwa tujuan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi adalah untuk mengoptimalkan pemberantasan tindak pidana korupsi yang sulit diwujudkan jika masih mengandalkan lembaga penegak hukum yang telah ada seperti kepolisian dan kejaksaan. Hal ini disebabkan karena pada kenyataannya aparat penegak hukum itu sendiri seringkali terlibat dalam praktik korupsi atas perkara yang mereka tangani.

2. Tugas, Wewenang dan Kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi

Menurut ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa terdapat lima tugas Komisi Pemberantasan Korupsi yang harus dilaksanakan yaitu Pertama, Koordinasi dengan dengan instansi yang berwenang

45 Ni‟matul Huda, Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi (Yogyakarta: UII Press, 2007), h. 207.

melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Kedua, Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan suvervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Ketiga, Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Keempat, Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan Kelima, Melakukan monitor terhadap penyelenggara pemerintahan Negara.

Dalam hal agar tugas Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut berjalan efektif dan dapat mewujudkan tujuan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi diberi kewenangan-kewenangan hukum yang secara eksplisit tercantum dalam ketentuan Pasal 7, Pasal 8, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.46 Dalam hal tugas koordinasi dengan instansi lain, Komisi Pemberantasan Komisi Korupsi diberikan kewenangan hukum berdasarkan ketentuan pasal 7 yaitu Pertama, Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi. Kedua, Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi. Ketiga, Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait. Keempat, Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak

46

pidana korupsi. Kelima, Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.

Untuk dapat melaksanakan tugas dan wewenang yang diberikan undang-undang kepada Komisi Pemberantasan Korupsi agar tidak disalahgunakan, maka ketentuan pasal 15 di undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi membebankan kewajiban-kewajiban tertentu kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, yaitu Pertama, Memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi. Kedua, Memberikan informasi kepada masyarakat yang memerlukan atau memberikan bantuan untuk memperoleh data lain yang berkaitan dengan hasil penuntutan tindak pidana korupsi yang ditanganinya. Ketiga, Menyusun laporan tahunan dan menyampaikannya kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Keempat, Menegakkan sumpah jabatan. Kelima, Menjalankan tugas, tanggungjawab, dan wewenangnya berdasarkan asas kepastian hukum, asas keterbukaan, asas akuntabilitas, asas kepentingan umum, dan asas proporsionalitas.

3. Visi dan Misi Komisi Pemberantasan Korupsi

Sebuah lembaga Negara memiliki Visi dan Misi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki Visi dan Misi yang diharapkan dan hendak dicapai. Visi Komisi Pemberantasan Korupsi adalah “Mewujudkan Indonesia yang Bebas dari Korupsi”. Visi ini

menunjukan suatu tekad kuat dari Komisi Pemberantasan Korupsi untuk dapat segera menuntaskan segala permasalahan yang menyangkut korupsi, kolusi dan nepotisme.Lalu adapun misi dari Komisi Pemberantasan Korupsi adalah “Penggerak Perubahan Untuk Mewujudkan Bangsa yang Antikorupsi”. Dengan misi tersebut diharapkan nantinya komisi ini dapat menjadi sebuah lembaga yang mampu membudayakan antikorupsi di masyarakat, pemerintah dan swasta.

4. Landasan Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi

Adapun Landasan/Dasar hukum KPK dalam menjalankan tugas dan fungsinya adalah sebagai berikut:

1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi Kolusi, dan Nepotisme;

3. Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Dokumen terkait