• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Manajemen Tradisional

Dalam dokumen Manajemen SDM di Pemerintahan (Halaman 33-38)

Teori Manajemen Sumberdaya Manusia

A. PEMAHAMAN TENTANG TEORI MSDM

1. Teori Manajemen Tradisional

Menurut Siagian (1993:38), pada awal pertumbuhannya, gerakan manajemen tradisional yang juga dikenal dengan nama manajemen ilmiah lebih menyoroti peningkatan efisiensi dan produktivitas para pekerja dalam menggunakan mesin-mesin yang mahal, dan bukan pada perlakuan para pekerja yang sesuai dengan harkat dan martabatnya. Pada model manajemen klasik, manajemen ilmiah atau manajemen

tradisional bersumber dari tiga teori pokok yang ditulis oleh para filosof serta para penerjemahnya pada abad XIX. Yang pertama adalah The Social Darwinists (The Natural Law), khususnya dari Herbert Spencer yang berargumen bahwa manusia sebagaimana species lainnya tidak hanya hidup sebagaimana adanya, tetapi bahwa seterusnya mereka mempertahankan hidup. Oleh sebab itu, mereka mampu dan memberi sumbangan secara tidak seimbang pada apa yang mereka peroleh. Seba- liknya usaha-usaha yang dibuat untuk melindungi dan mempertahankan sejumlah kejanggalan tidak hanya mahal, tetapi juga berpotensi merusak evolusi perkembangan manusia.

Filosofi ini cenderung di dukung oleh kelompok protestan yang kemudian mengilhami usahawan Amerika untuk memperluas kekayaan dan meningkatkan kesejahteraan nya. Filosofi ini bila ditransfer ke dalam kehidupan organisasi menyarankan kepada mereka yang karena kemam- puan lebihnya mencapai posisi yang tinggi harus mementingkan kema- juan dan efisiensi, menggunakan bakatnya untuk secara sungguh-sungguh mengarahkan dengan cara yang adil buat mereka-mereka yang tertinggal kemampuannya. Dalam konteks organisasi, teori mengajarkan bahwa hanya ada segelintir orang yang dapat menggapai posisi puncak organisasi karena kecakapannya dan kemampuannya. Demikian pula teori eko- nomi klasik yang bersumber dari warisan Judeo-christian hingga Adam Smith maupun teori ekonomi modern yang berasumsi bahwa manusia dapat bekerja secara efisien dan mampu meraih kepuasannya jika mendapatkan upah yang tinggi.

Sumbangan kedua berasal dari The Scientific Management Move- ment yang dipelopori oleh Fredrick W. Taylor berdasarkan penelitian yang mereka lakukan di lapangan ternyata banyak departemen dan pekerjaan yang memiliki struktur yang tidak efisien dan banyak pekerja yang keterampilannya sangat rendah. Penyebabnya bukan saja berasal

dari sikap dan kemampuan yang buruk yang dimiliki pekerja, tetapi juga berasal dari buruknya manajemen dan tidak memadai nya system penghargaan. Untuk mengatasi hal itu mereka menyarankan agar orga- nisasi membuat standar pegawai yang jelas, spesialisasi pegawai, control pegawai yang kuat, dan penempatan pegawai berdasarkan keahlian, serta system penggajian berdasarkan jenis dan kelas pegawai. Menurut Massie (1979:17), Sebagai bapak manajemen ilmiah, sampai dengan mening- galnya pada tahun 1915, Taylor memperjelas filsafat barunya, dengan menekankan bahwa inti manajemen ilmiah itu tidak terletak pada tek- nik individual melainkan dalam sikap baru dalam memanejemen usaha. Esensi manajemen ilmiah (scientific management) mencakup empat bidang:

1. Penemuan elemen dasar pekerjaan orang untuk menggantikan “hukum ibu jari” (manajemen uji coba) dengan menggunakan metode ilmiah.

2. Identifikasi fungsi perencanaan pekerjaan dari manajemen untuk menggantikan metode yang dipilih sendiri oleh pekerja.

3. Seleksi dan training untuk pekerja dan pengembangan kerja sama, untuk menggantikan dorongan kepada usaha individual.

4. Pembagian kerja antara manajemen dan pekerja, sehingga masing- masing dapat menjalankan tugasnya yang paling cocok akan mening- katkan efektivitas.

Jika dikaitkan dengan teori Manajer dari Miles mengenai asumsi manajemen ilmiah atau tradisional, esensi manajemen ilmiah yang dikemukakan di atas masih identik dengan pelaksanaan kegiatan- kegiatan manajemen secara dasar yaitu bagaimana tugas pokok manajer yang hanya harus mengawasi pekerjaan dari dekat, merinci tugas supaya dapat lebuh mudah dan sederhana, serta harus mengembangkan tugas- tugas dan prosedur yang ditaati secara sungguh-sungguh, sehingga masing-

masing pegawai atau pekerja dapat menjalankan aktivitasnya dalam bekerja secara efektif dan efisien.

Dalam buku Manajemen Sumber Daya Manusia, Kolonel Purn. Susilo Martoyo (2000:9) juga memaparkan Manajemen ilmiah atau sering disebut “scientific management” dimulai sejak adanya hubungan antara atasan dan bawahan. Sejak permulaan abad ke dua puluh, perhatian terhadap factor produksi tenaga kerja atau manusia sebagai sumber daya menjadi jauh lebih besar dari pada sebelumnya yang menganggap bahwa manusia sebagai mesin dan barang dagangan. Menurut Manullang (2004:13), penyebab timbulnya perhatian terhadap manusia tersebut adalah:

a. Perkembangan Scientific Management yang dipelopori oleh Taylor. b. Kekurangan tenaga kerja pada perang dunia I bagi Negara-negara

yang terlibat peperangan.

c. Kemajuan yang dicapai serikat-serikat sekerja.

d. Semakin meningkatnya campur tangan pemerintah dalam hubungan antara majikan dan buruh.

e. Akibat depresi besar tahun 1930.

Penyumbang terakhir berasal dari ide-ide yang dikembangkan Max Weber. Weber menyarankan adanya spesialisasi pekerjaan yang berdasar- kan keahlian dan pengetahuan tertentu. Selain itu organisasi perlu di atur dalam suatu hierarki yang memiliki wewenang dan tanggung jawab sesuai level nya. Wewenang ini adalah bersifat formal artinya berasal dari organisasi bukan dari pribadi. Oleh karena itu harus dibedakan secara jelas kepentingan organisasi dengan kepentingan pribadi. Berda- sarkan bukti-bukti tersebut, dapat diketahui bahwa model tradisional ini tidak terlepas dari pengaruh teori birokrasi. Adapun menurut Nicholas Henry (1980) model birokrasi Weber adalah seperti di bawah ini: 1. Hierarki

2. Promosi atas dasar ukuran professional dan keahlian 3. Adanya jenjang karier

4. Ketergantungan dan penggunaan peraturan dan regulasi

5. Hubungan impersonalitas di antara para professional karier dalam birokrasi dan hubungan mereka terhadap nasabah (pihak yang dila- yaninya)

Menurut Weber, dari ke lima karakteristik model birokrasi tersebut, dengan aspek impersonal, tangan besi, efisien, dan kesan agunglah para pemimpin bisa menarik dukungan masa Jerman yang pada saat teori itu dibangun yang terpecah secara politik, namun sombong dan naïf. Keadilan tidaklah didasarkan pada hukum yang resmi, melainkan didasarkan atas kehendak sang pemimpin yang kharismatik dan kondisi ini pun ternyata disukai oleh rakyat. Singkatnya dari uraian tersebut, bukan berarti Weber anti humanis, akan tetapi keadaan pada waktu itu yang menghendaki demikian dan keadaan inilah yang digunakan We- ber sebagai bahan pembangunan teorinya tersebut.

Kesimpulan secara umum yang diperoleh dari pendekatan tradisional adalah dua konsep pokok yang mendominasi pemikiran ini yaitu: keteraturan dan stabilitas; serta kewenangan yang berdasarkan kemam- puan. Sedangkan SDM dalam teori ini ditempatkan pada posisi yang sama seperti sumber daya organisasi lainnya. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila perlakuan manajemen terhadap SDM cenderung disamakan dengan mesin. Dan sebagai suatu mesin, manusia dianggap tidak memiliki perasaan, kebutuhan, atau keinginan. Perlakuan terhadap pekerja menurut teori ini kemudian dipaksakan sesuai keinginan manajer. Sebagai akibat dari teori ini adalah partisipasi pekerja sangat diabaikan baik dalam pembuatan keputusan yang menyangkut organisasi apalagi kepentingan pekerja sendiri.

Dalam dokumen Manajemen SDM di Pemerintahan (Halaman 33-38)

Dokumen terkait