• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Maslahah

Dalam dokumen BAB II TINJAUAN PUSTAKA (Halaman 26-34)

a. Pengertian Maslahah

Secara etimologi, kata maslahah adalah seperti lafazh al-manfa’at, baik artinya ataupun wajan-nya (timbangan kata), yaitu kalimat mashdar yang sama artinya dengan kalimat ash-shalah, seperti halnya lafazh al-manfa’at sama artinya dengan al-naf’u. Al-maslahah juga merupakan bentuk mufrad (tunggal) dari kata al-mashalih yang berarti kepentingan, kemanfaatan, kemaslahatan (Ali dan Ahmad, 2003, 1736). Semuanya mengandung arti adanya manfaat baik secara asal maupun melalui proses, seperti menghasilkan kenikmatan dan faedah, ataupun pencegahan dan penjagaan, seperti menjauhi kemadaratan dan penyakit (Syafe’i, 2015, 117).

Sedangkan menurut istilah maslahah adalah kemanfaatan yang dikehendaki oleh Allah SWT. untuk hamba-hambanya, baik berupa pemeliharaan agama mereka, pemeliharaan jiwa/diri mereka, pemeliharaan kehormatan diri serta keturunan mereka, pemeliharaan akal budi mereka, maupun berupa pemeliharaan harta kekayaan (Asmawi, 2011, 127-128). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan Nasional, 2013, 884) kata maslahat berarti sesuatu yang mendatangkan (keselamatan dsb), faedah, dan guna.

Maslahah menurut beberapa ulama ushul menyimpulkan bahwa hakikat al-maslahah dalam syariat Islam adalah setiap manfaat yang tidak didasarkan pada nash khusus yang menunjukkan mu’tabar (diakui) atau tidaknya manfaat itu (Syafe’i, 2015, 120). Imam Malik menganggap maslahah sebagai salah satu dalil syara’ yang berdiri sendiri. Setiap hukum yang didirikan atas dasar maslahat dapat ditinjau dari tiga segi yaitu (Syafe’i, 2010, 118):

1) Melihat maslahah yang terdapat pada kasus yang dipersoalkan.

Adanya kemaslahatan pada kasus akan tetapi tidak didasarkan pada

38

dalil yang menunjukkan kemalahatan tersebut. Kemaslahatan tersebut masih sejalan dengan petunjuk-petunjuk umum syari’at Islam. Hal ini disebut al-maslahah al-mursalah.

2) Melihat sifat yang sesuai dengan tujuan syara’ (washf al-munasib) yang mengharuskan adanya suatu ketentuan hukum agar tercipta suatu kemaslahatan. Maksudnya adalah kemaslahatan sudah sesuai dengan tujuan syara’ tetapi, kesesuaian tersebut tidak ditunjukkan oleh dalil khusus. Oleh karena itu, dari sisi ini disebut al-munasib al-mursal yaitu kesesuaian dengan tujuan syara’ yang terlepas dari dalil syara’ yang khusus.

3) Melihat proses penetapan hukum terhadap suatu maslahah yang ditunjukkan oleh dalil khusus. Proses ini disebut istislah yaitu menggali dan menetapkan suatu maslahah.

Tujuan utama dalam hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemasalahatan. Memelihara harta adalah salah satu tujuan hukum Islam, harta wakaf harus dipelihara dan dijaga untuk tujuan-tujuan yang tepat. Peruntukan tanah wakaf yang dikehendaki oleh wakif hendaknya dapat mewujudkan banyak maslahah, Wujud pemanfaatan tanah wakaf sesuai dengan peruntukan tanah wakaf sehingga menghasilkan manfaat yang lebih luas. Menurut Imam al-Ghazali berdasarkan pendekatan maqasid syariah bahwa maslahah merupakan sesuatu yang dapat mendatangkan manfaat dan menghindari keburukan (Al-Ghazali, 1998). Hal ini berarti bahwa perbuatan yang lebih banyak mendatangkan kemanfaatan dan lebih memilih untuk menghindari kemudharatan.

Berlaku kaidah fiqh dalam pengurusan harta wakaf “jalbu al-masalih wa dar-u mafasid” mencari kebaikan dan menghindari kemudharatan. “laa dharara wa la dhirara” artinya dapat menambah kebaikan harta dari sumber dan penggunaannya atau memilih untuk menolak sebab menjaga harta dari kerusakan atau berkurangnnya nilai manfaat. Berdasarkan pendapat Ibnu Taimiyah bahwa harta wakaf

39

yang tidak lagi dapat diambil manfaatnya dan ada yang lebih bermanfaat maka harta wakaf dapat dijual atau ditukar. Dapat dipahami bahwa kebolehan menjual atau menukar harta wakaf dengan dua syarat yaitu keadaan mendesak dan maslahah yang lebih kuat seperti masjid yang sudah tidak layak digunakan atau diramaikan sehingga tidak dapat memenuhi peruntukan tanah wakaf dapat dijual kemudian digantikan dengan yang lebih bermanfaat.

Sahabat Umar bin Khattab pernah memindahkahkan masjid Kufah lama ketempat yang baru sedangkan tempat yang lama dijadikan pasar dijelaskan dalam hujah Imam Ahmad. Ibnu Aqil dan Qudamah berpandangan bahwa harta wakaf yang tidak dapat digunakan manfaatnya sesuai peruntukan tanah wakaf maka boleh untuk diganti dengan yang serupa. Boleh menukar harta wakaf dengan tujuan maslahah, ada yang lebih baik. Seperti wakaf hewan yang mana hewan tersebut hampir mati atau dapat dipastikan kematiannya maka ahli fiqh pendukung madzhab Syafi’i membolehkan untuk disembelih sebab keadaan dharurat. Imam ar Ramli melihat dari segi maslahahnya bahwa kematian hewan tidak dapat dipastikan meskipun hilang manfaat tidak boleh disembelih sebagaimana membebaskan hamba yang sudah diwakafkan. Pendapat lain mengatakan bahwa hewan wakaf tersebut dapat dijual dalam keadaan masih hidup.

Mempertimbangkan maslahahnya untuk memenuhi tujuan memelihara agama, nyawa, akal, keturunan, dan harta dilihat dari tingkat kebutuhan atau keperluan (dharuriyyah), kehendak (hajiyyah), dan keselarasan (tahsiniyyah) (Fisol, et.al, 2017, 683-692).

Mengutamakan maslahah dalam memenuhi tujuan sesuai dengan tingkat kebutuhan. Perubahan dalam peruntukan tanah wakaf yang lebih maslahah sesuai dengan kaidah fiqih mencari kebaikan dan mencegah keburukan (jalb al-manfa’ah wa daf’ al madarrah) (Fisol, Akli, dan Fadhilah, 2021, 51). Untuk memperoleh manfaat secara

40

maksimal dalam mengurus harta wakaf harus dipastikan keadilan dan kebajikannya.

b. Landasan Hukum Maslahah

Dalil diperbolehkannya teori maslahah dalam hukum Islam berdasar pada al-qur’an, hadits, dan ijma’. Berdasarkan firman Allah SWT al-qur’an surat Yunus ayat 58 disebutkan sebagai berikut:

)۵۸ :سنوي( َنْوُعَمَْيَ اَِّ مِ ٌْيَْخ َوُه اْوُحَرْفَ يْلَ ف َكِلَذِبَف ِهِتَْحََرِبَو ِالله ِلْضَفِب ْلُق

Artinya: “Katakanlah: dengan karunia Allah dan rahmatNya, hendaklah dengan itu mereka bergembira, karunia Allah dan rahmatNya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”

(QS. Yunus [10]: 58).

Dan dalam firman Allah SWT al-qur’an surat al-Anbiya’ ayat 107 disebutkan bahwa:

)۱۰۷ :أيبنلاا( َْيِمَلَعْلِل ًةَْحََر َّلاِإ َكَنْلَسْرَأ اَمَو

Artinya: “dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (QS. al-Anbiya’ [21]: 107).

Berdasarkan firman Allah SWT al-qur’an surat Yunus ayat 58 bahwa karunia yang dimaksud adalah al-qur’an sedangkan rahmat yang dimaksud adalah agama, keimanan, beribadah kepada Allah SWT. Atas rahmat dan nikmat karunia tersebut maka bergembiralah sehingga melegakan jiwa, menambah rasa syukur, semangat, dan senang dengan ilmu serta keimanan. Kegembiraan dalam hal ini adalah gembira yang terpuji.

Berdasarkan firman Allah SWT al-qur’an surat al-Anbiya’ ayat 107 bahwa maksud dari surat tersebut adalah mengutus Nabi Muhammad SAW untuk kebahagiaan dunia dan akhirat. Allah mengabarkan dan menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai rahmat bagi alam semesta. Hal ini mengajarkan kepada seluruh manusia untuk menerima rahmat dan mensyukuri nikmat yang telah Allah

41

SWT berikan. Barangsiapa yang menolak rahmatNya maka dia akan rugi di dunia dan akhirat (Nasib, 2000, 333).

Selain dalam al-qur’an, sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Majah sebagai berikut:

وٍساَبَع ُنْبِإ ْنَع ًةَمِرْكِع ْنَع ىِفْعُلجا ِرِباَج ْنَع َرَمَُمُ َنَاَبنا زْقَزَّرلاُدْبَع َانَثَدَح ,َيَْيَ ِنْبَدَّمَُمُ َانَثَدَح َرَارَض َلاَو َرُرَض َلا :َمًّلَسَو ِهْيَلَع ُالله ىَلَص ِالله ُلْوُسَر :َلاَق

Artinya: “Muhammad Ibn Yahya bercerita kepada kami, bahwa Abdur Razzaq bercerita kepada kita, dari Jabir al-Jufiyyi dari Ikrimah, dari Ibn Abbas: Rasulullah SAW bersabda, “tidak boleh berbuat madharat dan pula saling memadharatkan”.” (HR. Ibnu Majah).

Berdasarkan dari hadits tersebut, maksudnya adalah larangan untuk melakukan perbuatan yang madharat dan juga saling memadharatkan atas sesuatu sebab dalam setiap perbuatan terdapat hikmah dan manfaat di dalamnya. Sedangkan dasar hukum maslahah berdasarkan ijma’ ulama tercermin pada ragam hukum berdasarkan prinsip maslahah yang dilakukan para sahabat dan para imam mazhab.

Kemaslahatan selalu bergerak berkembang dan berubah. Apabila prinsip maslahah berhenti dipertimbangkan dalam pembentukan hukum, maka kemaslahatan yang manusia butuhkan akan terabaikan.

Beberapa kelompok berpendapat bahwa maslahah tidak dapat menjadi hujjah istinbath hukum syar’i seperti kelompok Syafi’iyah, Hanafiyah, sebagian Malikiyah, dan kelompok Dhahiriy. Sebagian kelompok berpendapat maslahah dapat dijadikan hujjah dengan syarat seperti Imam Malik, dengan syarat maslahah pada hakikatnya dikehendaki syara’ sehingga tujuan utama hukum Allah untuk kepentingan umat. Sedangkan menurut al-Ghazali bahwa maslahah dapat menjadi hujjah dengan syarat bersifat mendesak dan tidak dapat dihindari yang mencakup kepentingan banyak manusia.

Salah satu tokoh NU yakni Syechul Hadi Poernomo seorang pemikir muslim NU berpendapat bahwa maslahah yang dapat

42

dijadikan hujjah adalah maslahah mu’tabarah dengan tiga syarat yaitu: pertama, maslahah untuk dunia dan akhirat; kedua, maslahah tidak sebatas kenikmatan materi tetapi juga jasmani dan rohani;

ketiga, mengutamakan maslahah agama. Fathimah Sayyid Ali Sabbak pada kitabnya Al- Syariatu Wa Al-Tasyiri’ dalam buku “Fiqh sosial Kiai Sahal Mahfudh” (Asmani, 2007, 288-290) Bahwa:

“Kehujjahan maslahah mengandung tiga syarat; Pertama, Sesuai dengan tujuan agama, tidak menentang dasar-dasar agama.

Kedua, mendatangkan kemanfaatan dan menghindarkan dari kerusakan. Ketiga, harus bersifat umum artinya maslahah disitu menjadi kebutuhan masyarakat umum manfaatnya kembali untuk semua orang bukan individu.”

c. Macam-macam Maslahah

Dari beberapa sudut pandang para ahli ushul fiqh bahwa maslahah dapat dilihat dari segi kekuatan dan eksistensinya (Syarifudin, 2009, 346). Berdasarkan segi kekuatan atau tingkatannya, maslahah dibagi menjadi maslahah dharuriyyah, maslahah hajjiyyah, dan maslahah tahsiniyyah. Dalam hukum Islam ada tiga macam maslahah yang harus diperhatikan dilihat dari segi eksistensi maslahahnya (Supriadi, 2014, 229), yaitu:

1) Maslahah Mu’tabar, yaitu maslahah yang ada dalilnya dalam syara’. Maslahah ini berhubungan dengan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta (maslahah daruriyah). Mu’tabarah berarti dapat diterima, maksudnya maslahah ini dapat diterima karena bersifat hakiki agar manusia dapat hidup aman dan sejahtera. Pada hakikatnya keberadaan maslahah adalah untuk merealisasikan maqasid as-syari’ (tujuan-tujuan syari’), meskipun secara langsung tidak terdapat nash yang menguatkannya.

2) Maslahah Mulgha, yaitu maslahah yang dibatalkan oleh nash, seperti anak perempuan sama bagiannya dengan anak laki-laki dalam menerima pusaka dengan alasan karena sama dekat hubungannya, di samping anak perempuan itu sama-sama

43

menaggung kesusahan dengan suaminya. Maslahah ini dibatalkan oleh agama karena ada nash, yakni “bagi anak laki-laki mendapat bagian dua kali bagian anak perempuan.”

3) Maslahah Mursalah, yaitu menetapkan hukum pada suatu peristiwa yang tidak ada ketentuan nash dan ijma, berdasarkan maslahah yang tidak ada dalil syara’ yang membolehkan atau melarangnya.

Maslahah ini dapat dipahami oleh seseorang yang mau berfikir (intelektual). Maslahah mursalah menurut Imam Malik sebagaimana hasil analisis al-Syatibi adalah suatu maslahah yang sesuai dengan tujuan, prinsip, dan dalil-dalil syara’ yang berfungsi untuk menghilangkan kesempitan, baik yang bersifat dharuriyat (primer) maupun hajiyat (sekunder) (Syafe’i, 2010, 120). Persoalan yang muncul baik sifatnya dharuriyat atau hajiyat harus dilihat kesesuaiannya dengan tujuan, prinsip, dan dalil syara’nya untuk menghilangkan kesulitan.

Antara pandangan akal dengan tujuan syara’ sejalan dalam menetapkan hukum, namun tidak ada petunjuk syara’ yang menyinggung mengenai kebolehan dan larangannya (Al-Hasyimi, 2008, 118). Tiga syarat yang dapat dipahami untuk menerapkan dalil ini (Zahrah, 2011, 427), yaitu:

a) Adanya persesuaian antara maslahat yang dipandang sebagai sumber dalil yang berdiri sendiri dengan tujuan-tujuan syariat (maqashid as-syari’at). Berarti maslahat harus sesuai dengan maslahat-maslahat yang ingin diwujudkan oleh syar’i.

b) Maslahat harus masuk akal (rationable) maksudnya memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan pemikiran yang rasional, sehingga dapat diterima oleh kelompok rasionalis.

c) Penggunaan dalil maslahat untuk menghilangkan kesulitan yang mesti terjadi (raf’u haraj lazim) yaitu jika maslahat yang dapat diterima akal tidak diambil, maka manusia akan mengalami kesulitan.

44

Berdasarkan segi perubahan maslahah, menurut Mustafa asy-Syalabi (guru besar ushul fiqh Universitas al-Azhar, Cairo) yang dikutip dalam Ensiklopedia Hukum Islam (1999) ada dua bentuk maslahah. Pertama, kemaslahatan yang bersifat tetap tidak ada perubahan seperti berbagai kewajiban ibadah. Sedangkan kemaslahatan yang dapat berubah sesuai dengan perubahan tempat, waktu, dan subjek hukum kemaslahatan misalnya pada permasalahan muamalah (Dahlan, et.al, 1999, 1145).

d. Tingkatan Maslahah

Islam datang tentu membawa kemaslahatan bagi seluruh umat manusia. Setiap hukum yang diajarkan Islam memiliki maslahah yang dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu (Zahrah, 2011, 553):

1) Maslahah Adh-Dharuriyyat

Maslahah dharuriyat yaitu tingkatan primer, utama atau pokok di mana berbagai maslahat tersebut tidak akan terwujud tanpa terpenuhinya tingkatan ini. Imam Ghazali menerangkan bahwa yang termasuk tingkatan dharuriyat yaitu memelihara lima maslahat sebagai berikut (Zahrah, 2011, 549-552):

a) Memelihara keyakinan agama (al-muhafazhah alad-din)

Adanya jaminan keselamatan keyakinan menghindarkan timbulnya fitnah dan mengantisipasi dorongan hawanafsu dan perbuatan-perbuatan yang mengarah kepada kerusakan secara penuh.

b) Memelihara jiwa (al-muhafazhah ala an-nafs)

Hak untuk hidup dan memelihara jiwa agar terhindar dari tindakan penganiayaan, berupa pembunuhan, pemotongan anggota badan maupun tindakan melukai.

c) Memelihara akal (al-muhafazhah ala al-‘aql)

Menjaga akal agar tidak terkena bahaya (kerusakan) yang mengakibatkan orang yang bersangkutan tidak berguna lagi di

45

masyarakat, menjadi sumber penyakit dan keburukan bagi orang lain.

d) Memelihara keturunan (al-muhafazhah ala an-nasl)

Memelihara generasi penerus agar terjalin silaturahmi antar umat tetap terjaga sehingga tercipta perdaimaian dan persatuan.

e) Memelihara harta (al-muhafazhah ala al-mal)

Pemeliharaan terhadap harta dilakukan dengan mencegah perbuatan yang menodai harta dengan selalu menyalurkan harta secara baik untuk tujuan yang baik pula.

2) Maslahah Al-Hajjiyat

Maslahat sekunder sebagai pelengkap dari maslahat primer ialah segala sesuatu yang oleh hukum syara’ tidak dimaksudkan untuk memelihara lima hal pokok di atas. Untuk menghilangkan masyaqat, kesempitan, atau ihtiyath (berhati-hati) terhadap lima hal pokok tersebut. Perkara mubah yang termasuk dalam kategori hajjiyat ialah diperbolehkannya sejumlah bentuk transaksi yang dibutuhkan oleh manusia, seperti akad muzara’ah, musaqah, salam, murabahah dan tauliyah (Zahrah, 2011, 554-555).

Kebutuhan maslahah hajjiyat memberikan kemudahan dan kelonggaran sebagai penyempurna kebutuhan utama manusia.

3) Maslahah At-Tahsiniyat

Maslahat pada tingkat tahsiniyat atau kamaliyat (pelengkap, ialah hal-hal yang tidak dalam rangka merealisasi lima kemaslahatan pokok tersebut, tidak pula ihtiyath, akan tetapi dimaksudkan untuk menjaga kehormatan dan melindungi lima hal pokok hukum di atas (5 kemaslahatan). Kebutuhan yang harus terpenuhi sebagai pemberi kesempurnaan dan keindahan dalam hidup manusia (Syarifudin, 2009, 350).

Dalam dokumen BAB II TINJAUAN PUSTAKA (Halaman 26-34)

Dokumen terkait